Chapter III | In which rivals often find similarities

OMG aku lupa bilang kalau aku punya lagu andalan yang sangat, sangat pas dengan retelling ini!

Jack and Sally's Song by The Hound + The Fox


Satu minggu berlalu. Lila menyadari sebuah keanehan. Sayur-sayuran yang dipetik tumbuh subur keesokan harinya, seolah tak pernah disentuh. Lila, di hari ketujuh setelah memasak dan memetik berbagai sayuran tanpa pandang bulu, kini menyadari keanehan dengan terkagum-kagum.

Ini pasti peninggalan sihir Dame Gothel. Yah, ia memang terkenal sebagai penyihir keji, tetapi kalau Rapunzel tumbuh begitu baik kendati agaknya lemah, tak dipungkiri lagi bahwa Dame Gothel merawatnya tanpa cela. Tanah di sini selalu tampak baru dicangkul setiap malam saking gemburnya.

Tak ingin ambil pusing, Lila mengumpulkan bahan makanan hari ini dan mulai bertandang. Fajar baru menyingsing dan udara sangat segar. Hanya pada waktu ini pula, Lila samar-samar mendengar suara kikik geli Rapunzel dan pemuda yang tak asing. Tiap mendengarnya, Lila tanpa sadar membanting pisau saat memotong wortel.

Yah, setidaknya Lila mendahului Rainier untuk mencapai Rapunzel.

Lila rampung memasak satu jam kemudian. Usai menciduk semur ke kedua mangkuk, ia membunyikan bel seperti biasa. Namun, alih-alih ditemui Rapunzel, Rainier menjumpainya untuk pertama kali di sini.

Baik Lila maupun Rainier terpaku sesaat. Lila terhenyak mendapati Rainier begitu bebas dan tanpa batas dengan kemeja putih yang dikancing asal-asalan, rambut khas bangun tidur, dan wajah merona segar. Rainier, di sisi lain, tak menyangka Lila adalah dalang dibalik sarapan-sarapan hangat yang dibawakan Rapunzel setiap pagi, sebelum Rainier kembali sibuk di kerajaan sesiangan.

Lila adalah yang pertama kali memecahkan kecanggungan itu. Ia mengalihkan pandangan dari cupangan di leher sang pangeran. "Di mana kakakku?"

"Rapunzel kurang sehat pagi ini," kata Rainier. Ia mengambil nampan yang sudah disiapkan. "Aku tak mengira kau yang memasak."

"Kau pikir Rapunzel memasaknya dalam sekejap dengan jentikan jari? Ia tidak sehebat itu."

Segala hal yang Lila ucapkan adalah refleks. Ia bahkan tak sadar mengucapkan hal sekasar itu andai Rainier tak tertegun menatapnya. Lila buru-buru berdeham. "Maksudku ... Rapunzel memiliki fisik yang lemah. Memasak akan melelahkan baginya."

Ekspresi Rainier melunak. Ia tanpa sadar menghela napas lega. "Benar. Ia mudah lelah."

Lila takkan bertanya bagaimana Rainier tahu. Itu hanya akan memperparah denyut aneh yang tahu-tahu menerjang dadanya. Tak paham mengapa dirinya begitu terusik, ia mengisyaratkan agar Rainier bergegas. Sang pangeran menyanggupi tanpa banyak tanya.

Namun, baru saja Rainier menaiki beberapa anak tangga, ia berkata. "Er, Lila?" setelah mendapat perhatian sang gadis lagi, ia melanjutkan dengan seutas senyum tulus. "Terima kasih atas sarapannya. Semuanya enak."

"Ah ... ya."

"Kau ternyata juga sama ajaibnya," tambah Rainier. "Kau, pengalamanmu di hutan, dan segala keahlianmu yang aku tak tahu apa lagi."

Sang pangeran lantas pamit, meninggalkan Lila yang termangu-mangu dalam keremangan dapur dan aroma semur yang pekat.



Rainier menaruh nampan. "Mari makan, Manisku," ujarnya. Rapunzel, yang menggeliat malas di kasur, begitu menggoda untuk Rainier temani sekali lagi. Namun, pekerjaan di kerajaan menunggu. Rainier tak bisa menghabiskan waktu sebebas wanita dambaannya.

Mereka kemudian bersantap dalam ketenangan dan sedikit canda tawa seperti biasa. Ini seperti surga, bukankah begitu? Rainier merasa demikian. Segalanya sempurna: sebagai pangeran, ia telah menemukan wanita yang sangat cocok untuk menjadi putrinya. Tinggal waktu yang mampu menjawab kapan Rainier mengambil langkah selanjutnya.

Dan, ia mesti mendapat restu Lila yang sebenar-benarnya.

Sungguh, kalau Rainier tadi tidak turun, ia telah melupakan eksistensi Lila. Ia pun tidak mengingat Ged sama sekali kecuali saat pulang ke kerajaan. Ketika menemui Rapunzel, rasanya segala kegundahan Rainier hangus. Setiap detik bersama Rapunzel dipenuhi sensasi melayang.

Namun, untuk pertama kalinya, perhatiannya tidak tersedot seutuhnya kepada Rapunzel. Bayangan akan Ged yang tak kunjung nampak, maupun Lila yang ternyata selama ini sendirian di bawah kakinya, membuatnya agak gundah.

"Aku mual." Rapunzel mengeluh. Ia tidak menghabiskan semur. "Sebaiknya aku minum saja. Lebih baik aku tidak makan daripada tidak minum sama sekali!"

"Apa kau baik-baik saja? Sekeliling matamu gelap." Rainier terheran-heran. "Apa kau tidak bisa tidur semalam? Kau membutuhkan obat? Akan kubawakan racikan terbaik dari kerajaan."

Rapunzel mengangguk dengan senyum lemah. "Mungkin aku butuh banyak istirahat."

"Ya, tidurlah," kata Rainier, dan berhenti mengunyah saat Rapunzel mendekat untuk mencium pipinya. Wanita itu mengucapkan salam perpisahan karena tahu Rainier harus pergi setelah sarapan.

Segera setelah Rapunzel terlelap, Rainier kehilangan semangat begitu saja. Hanya semur lezat yang membuatnya betah makan. Sang pangeran tidak berlama-lama di menara itu, dan bergegas pulang.

Segala kesibukan di kerajaan membuat Rainier lelah akhir-akhir ini. Padahal, ia biasanya mampu bekerja tanpa masalah besar. Namun, semenjak bolak-balik ke hutan di malam hari, Rainier mudah lesu. Tak ada yang dipikirkan selain nyanyian pengantar tidur Rapunzel yang melarikannya dari kesuntukan dunia.

Maka, Rainier memacu kudanya lebih cepat malam itu. Tanpa menunggu makan malam, ia pamit untuk menemui calon istrinya. Orang-orang toh tak peduli, yang penting Ferdinand selalu hadir.

Sayangnya, tak peduli seberapa banyak Rainier memanggil, Rapunzel tak menurunkan kepangan. Tampaknya Rapunzel masih tidur, ya? Pertanyaannya terjawab saat terdengar suara keriut pintu dan gesekan sesemakan yang berat. Rainier mengitari menara dan mendapati kebun tersembunyi yang ditutupi lebatnya Rhododendron.

"Lila?"

"Yang Mulia," suara Lila menembus pagar Rhododendron. Tak lama kemudian muncul sang gadis, menyibak padatnya bunga-bunga ungu dan dedaunan. "Lewat sini. Rapunzel tidur seharian, jadi ia tak bisa membantumu."

Rainier menghela napas. Rapunzel tidur seharian? Padahal Rainier sudah membayangkan malam pelepas penat. Yah, setidaknya, ia cukup lega melihat Lila sekarang. Ia mengikuti jejak sang gadis dan memasuki ladang sayur-mayur kecil.

Rainier sedikit canggung melihat pakaian Lila yang berlumuran tanah. Gadis itu membawa keranjang berisi sayur-mayur. "Kau ... berkebun di malam hari?"

"Tidak. Ini untuk makan malam."

"Jadi, kau yang memetiknya pula?"

"Siapa lagi?" Lila tersenyum. "Rapunzel memiliki fisik yang lemah. Ia juga sakit sekarang."

Rainier sempat termangu di ambang pintu. Ia menyadari betapa lebat serabut tanaman mawar yang menyamarkan pintu kecil di dapur. Ia terkesima karena Lila mampu mengerjakan segala hal tanpa susah payah. Apalagi, situasi di luar menara Rapunzel mencekam dan mengerikan! Bagaimanapun mereka berada di tengah hutan. Hanya terdengar sahut-sahutan burung hantu, gemerisik mencurigakan, dan kesenyapan tanpa batas. Rainier bergegas masuk dan berteduh di dekat lilin-lilin hangat yang berpendar lemah, sementara Lila mencuci kubis dan kentang.

Ketika Lila menghidangkan makan malam, Rainier sudah lapar betul. Kesederhanaan makan malam membuat Rainier merasakan keintiman yang tidak pernah didapat sebelumnya. Ia biasa makan di bawah kandelir kristal dan meja mahogani yang dipoles mengilap, dengan pakaian rapi dan santun. Ini baru pertama kali ia duduk berhadapan dengan rival kecilnya, menyantap masakan Lila yang menyaingi kehebatan koki kerajaan, dan ditemani sejumlah lilin yang memendarkan cahaya madu temaram.

Selama sesaat mereka bersantap dalam ketenangan, kendati dua pasang mata itu sering mencuri pandang. Kala tatapan mereka akhirnya terbentur, Lila membuang muka, sementara Rainier menurunkan pandangan. Tatapannya berhenti pada jemari Lila yang menghadapnya.

"Dari mana kau mendapatkan itu semua?" Rainier terperangah. Luka-luka sayat dan goresan memenuhi jari-jari sang gadis. Sebagian sudah lama, sebagian masih tampak ... baru. Hei, ia tidak melihat ada kesalahan saat Lila memasak tadi.

"Tergores duri mawar," jawab Lila enteng. "Tiap kali melewati pintu."

"Itu mesti diobati."

"Ini cuma goresan."

"Ya, yakinlah seperti itu hingga kau terinfeksi." Rainier beranjak untuk mengambil salep. "Rapunzel tidak membutuhkan ini, tetapi tabib kerajaan mengotot aku harus membawanya. Lihatlah." Ia memamerkan tas tambahan dari kerajaan. "Banyak sekali obat dan ramuan; penangkal sihir gelap, pereda ruam, penghancur air mata batu ...."

Lila memandang pemberian Rainier dalam diam.

Diingatkan sekali lagi bahwa berbagai hal yang Lila terima ada kaitannya dengan Rapunzel, membuat kentang tumbuk di hadapannya menjadi hambar. Lila tak menyentuh itu. Tidak perlu. Ia sudah biasa tergores.

"Terima kasih, tetapi Rapunzel akan membutuhkannya suatu saat." Lila tersenyum. Ia mendorong salep itu menjauh.

"Aku lupa kalau kau keras kepala." Rainier mendengus. Ia membuka wadah salep dan mengisyaratkan Lila untuk mengulurkan tangan. Sang gadis terhenyak, menggeleng ragu, tetapi Rainier pandai memainkan perannya. "Apa yang membuatmu menolakku?"

Tidak ada. Lila menghela napas dan menjulurkan jari-jarinya dengan enggan. Kala Rainier menariknya, gadis itu tersentak ringan oleh sensasi setruman yang tak diduganya. Mengira Lila akan menarik tangan, Rainier justru mempererat genggaman.

"Ini hanya sebentar, Lila."

Lila mengatupkan bibir gugup. Jantungnya berdegup saat Rainier mengusap jari, menelusuri tiap jengkal luka kering maupun basah, lalu melabur obat oles dengan begitu lembut.

Selama sesaat waktu serasa berhenti berputar. Rainier tak pernah berada sedekat ini selain ketika mereka saling mengunci pandangan di lantai dansa. Tak ada yang Lila dengar selain ceracauan Rainier tentang Rapunzel, sementara wawasan pandangnya penuh oleh wajah Rainier yang rupawan dan matanya yang cemerlang. Sekarang, Rainier kembali berada begitu dekat dengannya, kali ini menggenggam jemarinya untuk diobati.

Tunggu.

Ini rasanya salah. Mengapa jantung Lila jumpalitan dan wajahnya panas?

Ini tidak boleh terjadi, Lila begitu ketakutan di benaknya. Dia adalah kekasih kakakku.

Lila sadar jika Rainier sudah berhenti mengoles obat, tetapi jemari mereka masih bersentuhan. Rainier merenung sementara tangannya yang hangat mengelus telapak Lila. Kasar. Kedua tangan mereka sama-sama kasar akibat biasa berburu.

Bagi Rainier, tangan semacam milik Lila adalah yang pertama kali pernah disentuhnya. Ia terbiasa dengan tangan-tangan lembut para gadis bangsawan. Namun, tangan penuh luka gores itu menyimpan begitu banyak pengalaman. Bukankah Lila pernah bilang jika sebagian hidupnya habis untuk mencari Rapunzel di seluruh penjuru hutan negeri?

Lila tahu-tahu menarik tangan. Malu.

Tak ingin tenggelam canggung, sang pangeran bertanya. "Dari mana kau mendapat luka-luka lama itu?"

"Semua kecelakaan yang kualami saat mencari Rapunzel selama bertahun-tahun." Lila meringis. "Aku pernah digigit ular berbisa, jatuh dari pohon, dikejar beruang, dipanah pemburu di sini"—ia menepuk tepi bahu kirinya, membuat Rainier membeliak—"dan aku sudah terbiasa. Jadi, Pangeran, luka goresan mawar itu kecil bagiku."

Rainier terkesima walau tidak menyetujuinya. "Gadis sepertimu seharusnya masih mengejar impian dan menikah."

"Bagaimana denganmu?" Lila melempar pertanyaan dengan menyeringai. "Pangeran sepertimu seharusnya bisa melakukan apapun tanpa dibayang-bayang oleh Putra Mahkota."

Itu memang sudah menjadi rahasia umum penduduk negeri. Kisah antara Ferdinand dan Rainier lebih santer daripada Rapunzel dan Lila, dan penduduk penggosip begitu terbiasa dengannya, sampai-sampai itu bukan hal baru lagi. Berbeda dengan Lila, Rainier tidak tersinggung saat mendengar pertanyaan tersebut. Ia hanya mendengus.

"Kau pernah dengar aturan khusus untukku?" tanyanya, yang disambut oleh anggukan ragu. "Aku tak boleh mencetak skor berpedang lebih dari Ferdinand, aku tak boleh memiliki lencana lebih banyak, dan aku tak boleh sekali-sekali berkuda melampaui dia ...."

"Dan apa dia memang selalu lebih unggul?"

"Oh! Tentu tidak." Senyum culas Rainier membuat Lila tergelak. Tawa sang gadis yang menular membuat raut Rainier mencerah. Pemuda itu pun tak bisa menahan seringai lebar. "Percayalah. Aku yang paling pandai berburu di kerajaan! Dia bahkan tak bisa menembak rusa, dan sangat membenci itu."

"Berburu dengannya pasti sulit untukmu."

"Aku memilih untuk berburu sendirian bersama sedikit pengawal saja."

Jawaban Rainier otomatis mereda sisa-sisa tawa. Namun, perasaan mereka sudah lebih baik daripada sebelumnya. Senyum masih tersemat di bibir, dan kehangatan terpancar dari mata kelabu Lila.

"Kau harus memerhatikan dirimu sendiri lebih banyak, Pangeran."

"Hei, katakan itu pada dirimu sendiri." Rainier mendengus geli. "Setidaknya aku sudah mulai ...."

Rainier menghentikan ucapan hingga Lila penasaran. "Mulai apa, Yang Mulia?" tanya gadis itu penasaran.

"Setidaknya aku bisa memenuhi banyak keinginanku sebagai seorang pangeran." Rainier mengoreksi kalimat. Ia tidak punya hati untuk mengatakan bahwa dirinya sudah mulai memenuhi keinginan sendiri dengan mengejar Rapunzel. Entahlah. Itu tidak terasa tepat di lidahnya.

Lila pasti sudah terlalu banyak mendengar nama Rapunzel, sebagaimana Rainier mendengar nama Ferdinand atasnya.

Tenang saja. Rainier juga sama muaknya.

Mungkin sedikit congkak atau sok baginya saat mengakui ini, tetapi Rainier mengerti apa yang dirasakan Lila.

"Omong-omong, jangan panggil aku 'Pangeran' dan segalanya." nadanya melembut, memunculkan rona di pipi Lila tanpa aba-aba. "Sejujurnya dipanggil seperti itu selalu mengingatkanku pada nasibku di kerajaan. Tolong, panggil aku dengan namaku."

Lila mengatupkan bibir ragu. "Rainier?"

Pemuda itu tersenyum. Oh, andai ia tahu namanya terdengar begitu manis di bibir Lila, ia akan meminta sang gadis memanggil namanya sejak pertemuan pertama.



Jelas sekali ada begitu banyak hal yang ingin dibagi, tetapi Rainier menguap lebar dan mengerjapkan matanya yang merah. "Aku perlu beristirahat," katanya, lantas mengambil tasnya kembali sementara Lila membereskan makan malam.

Sadar bahwa Rainier akan kembali ke puncak menara membuat Lila begitu berat. Namun, siapa ia untuk menahan sang pangeran? "Tidurlah dengan nyenyak, Rainier. Aku akan membuat sarapan yang lezat besok."

"Aku menantinya."

Mereka melempar senyum, tetapi sayang, itulah akhir dari obrolan yang mengantar Rainier menaiki tangga. Untuk pertama kalinya pula ia juga tidak terlalu antusias untuk menemui Rapunzel. Putri itu tidur seharian. Ia juga khawatir andai penyakit Rapunzel bakal menular kepadanya, tetapi di mana lagi ia mesti tidur? Ia tak mungkin mengarungi kegelapan pekat hutan untuk pulang ke kastel.

Rainier mengangkat alis senang menyadari Rapunzel ternyata sedang memperbaiki kepangan rambutnya di tepi kasur. Rapunzel menyapanya dengan senyum manis. "Kau dari bawah, Sayangku?" tanyanya. "Aku mencium aroma makan malam."

Rainier membenarkan, dan gembira saat Rapunzel kemudian menawarkan nyanyian pengantar tidur. Wanita itu memang masih sakit, tetapi ia tak butuh makan. Ia hanya butuh minuman yang sudah disediakan Lila.

Rainier menghela napas lega. Memang tak ada yang ia inginkan selain rengkuhan Rapunzel yang memanjakannya di kasur. Matanya pun memberat seketika ia merebahkan diri, sementara Rapunzel bersiap untuk bernyanyi untuknya.

Seperti biasa, Rainier jatuh terlelap. Kendati, pemuda itu menyadari, bahwa butuh waktu lebih lama untuk tidur daripada biasanya. Aneh, padahal hari ini ia sangat lelah. Apakah karena nyanyian Rapunzel tidak semerdu biasanya?



Besoknya, Lila bangun awal ketika langit masih gelap. ia perlu memetik sayur-mayur ajaib seperti biasa. Namun, pagi ini, ia mendapatkan sebuah kenormalan yang justru mengejutkannya.

Sayur-mayur yang semalam dipetiknya tak tumbuh!

"Bagaimana bisa?" gumam Lila. Ia mengitari kebun dengan bingung. Tanahnya juga tidak gembur lagi, seolah-olah kekeringan melanda begitu cepat. Penasaran, Lila mencoba menggali tanah-tanah di bawah sayuran yang tidak tumbuh.

Setelah cukup lama, cangkulnya membentur sesuatu yang keras. Lila mencoba mempercepat upaya.

Namun, apa yang Lila temukan sama sekali diluar harapan.

Ketika tampak gunungan tulang-belulang tertimbun di dalam tanah, gadis itu terkesiap.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top