Chapter II | O Rapunzel, let down thy hair to me!
Pengawal Ged mengarungi hutan seorang diri sejak dua hari terakhir. Hanya perintah Pangeran Rainier yang menjadi penggeraknya.
"Ada dua arah yang mesti kita tempuh. Kau pergilah jauh ke dalam dan buktikan apakah itu benar! Jika kau menemukan menara, kembalilah dan tunjukkan aku jalannya. Aku akan menempuh jalan satunya, dan aku pasti sudah di sini saat kau kembali kelak."
Setelah berjalan begitu jauh, pepohonan akhirnya nampak jarang di depan mata, dan sinar matahari banyak menerobos. Tampaknya ada lapangan berumput. Sesemakan mawar mencuat di ujung pandang, dan semakin Ged mendekat, semakin jelas bahwa sesemakan itu melebat dan merambat pada ...
"Menara." Ged menahan napas kala benar-benar terlihat sebuah menara satu jendela yang menjulang suram. Sesemakan mawar berduri merambat tinggi macam ular berbisa ganas.
Dengan lega, Ged mencoba mencari tahu. Suasana begitu sepi selain suara gemerisik rumput yang diinjak dan kicau burung dari kejauhan. Namun, semakin Ged mendekat, mulai terdengar nyanyian lirih yang begitu merdu. Langkah Ged melambat, alisnya terangkat, dan mulutnya terbuka tanpa suara.
Betapa indahnya! Andai kau bisa mendengarnya juga!
Ged bagai orang kelaparan saat mencoba mencapai bawah jendela menara. Entah bagaimana ia mampu menembus sesemakan mawar berduri—nyanyian itu bagai mantra pengiring yang memudahkan Ged melewati berbagai rintangan. Padahal tidak demikian. Ged tidak sadar inderanya menumpul; celana dan lengan pakaiannya robek. Kulitnya bersimbah darah akibat menerobos paksa sesemakan duri.
Kala tak ada penghalang antara Ged dan nyanyian itu selain bangunan menara, pengawal itu berteriak dengan serak. "O Rapunzel!" lolongnya. "Turunkan rambut panjangmu padaku!"
Nyanyian itu masih tak berhenti kendati kepangan panjang menjulur padanya. Kepangan itu bagai jalinan pelangi yang memancarkan sinar sore mentari. Ada helai-helai emas yang berpadu dengan helai-helai sehitam gagak, helai-helai cokelat madu yang manis, helai-helai perak sedingin salju ....
Ged memanjatnya dengan sukacita. Tak ada yang memenuhi benak Ged selain kemerduan nyanyian Rapunzel. Setibanya di jendela, ia disambut oleh kecupan manis dan elusan lembut di pipi.
"Oh halo, prajurit pemberani." Suara Rapunzel seindah rupanya yang tiada dua.
Ged tergila-gila dan nyaris bersumpah akan mencumbu gadis itu, mendahului tuan pangeran.
Senyum Rapunzel menyempurnakan khayalan Ged. Seraya menyelipkan jemarinya di ikatan rambut Ged yang berminyak, Rapunzel berbisik. "Rambut yang bagus," katanya, dan tanpa diduga, itulah kata-kata terakhir yang didengar sang pengawal.
Sebuah lolongan panjang mengguncang hutan.
Waktu itu Lila baru saja selesai menyantap kelinci panggang. Gadis itu beranjak, sempat mengira jeritan barusan adalah raungan pemburu yang dicengkeram hewan buas. Lalu Lila sadar, hutan ini mulai ditinggalkan oleh hewan-hewan buas semenjak maraknya pemburu rusa pada tahun-tahun terakhir.
Lila mengemas barang-barangnya sekali lagi dan mengingat dari mana arah lolongan itu berasal. Ia mengikutinya.
"Ingat, Lila," awal mula peringatan Ayah dan Ibu terngiang-ngiang di benak gadis itu, menemaninya sepanjang bertualang bertahun-tahun. "Cari Rapunzel dan jangan pernah tampakkan wajahmu tanpa bersamanya! Andai Rapunzel tidak hilang, kami tidak akan melahirkanmu. Satu lebih baik daripada dua, kau tahu? Kecuali kalau kita tinggal di istana alih-alih gubuk, maka sepuluh anak kami juga mau!"
Lila mengencangkan tali bot dan sabuk yang mengikat tas. Pemburu mana pun yang melihatnya pasti mengira Lila adalah putri seorang pemburu mahir, tipe gadis yang tak memedulikan pesta debut dan semacamnya. Memang benar. Konon, saat hamil Lila, Ibu tak lagi mendamba apa-apa. Ia takut anaknya direnggut oleh penyihir lain. Namun, setelah menyadari bahwa bayi Lila tidak spesial seperti Rapunzel, Ibu justru berubah jengkel. Ia mengharapkan ada penyihir yang mau menculik anak keduanya, tetapi sayang, Lila kerap terhindar dari marabahaya.
Daripada di rumah bersama ibunya yang aneh, atau ayahnya yang tak berguna, bukankah sebaiknya Lila memanfaatkan keberuntungannya untuk meninggalkan rumah? Toh, itulah yang memang orang tuanya harapkan. Apalagi, ketika rumor mengenai Rapunzel tersebar makin luas dan makin hebat tiap tahunnya. Kabar bahwa banyak pemuda mencarinya membuat Ayah dan Ibu bersemangat untuk mendorong Lila mencari sang kakak.
Bukankah, jika Rapunzel dilamar seorang bangsawan kaya, itu sebaiknya terjadi ketika Rapunzel sudah kembali pulang? Bayangkan status Rapunzel yang bisa mengangkat kemiskinan keluarga kandungnya! Apalagi jika Lila berhasil mendapatkan calon suami yang kaya raya. Itulah mengapa ia memilih untuk pesta di kerajaan sebagai debutnya—hanya pemuda-pemuda berkualitas yang hadir di sana.
Kemudian, dua akan menjadi lebih baik daripada satu!
Lila tak sadar dirinya bergerak cukup jauh saat melamun. Tahu-tahu ia menginjak lubang jebakan. Telat bagi Lila untuk menyelamatkan diri saat terjerembab ke dalam tanah.
"Oh, sial!" umpatnya. Ini adalah lubang jebakan rusa! Lila mendesis gemas dan berusaha memanjat, tetapi percuma. Selama beberapa saat Lila menggeledah isi tas dan mencari cara untuk naik, tetapi segala upayanya berujung gagal. Ia sempat terjatuh sekali, merusak kail, dan menyia-nyiakan seikat tambang yang kini berserabut parah.
Lila frustasi. Mendadak jantungnya berdebar, khawatir jika Pangeran Rainier bakal mendahuluinya mencapai Rapunzel karena tertarik akan teriakan itu. Lila yakin lolongan tadi adalah kegagalan seorang pemuda bodoh yang mencoba memanjat menara Rapunzel. Sudah banyak kasus seperti itu.
Sewaktu Lila mulai kehilangan harapan, terdengar derap kaki kuda. Lila terkesiap. "Tolong!" gadis itu berusaha berteriak. "Tolong, aku terperangkap!"
Ini bodoh, sekaligus memalukan bagi Lila yang bangga dengan statusnya sebagai gadis petualang, tetapi ia mengakui persiapannya kali ini memang kurang. Ingat, uang sakunya habis untuk membeli gaun semalam, benar? Andai Lila tahu bahwa gaun itu tak berarti apa-apa dan tetap membuatnya dikenal sebagai adik Rapunzel, ia bakal membeli gaun yang biasa-biasa saja, dan membeli perlengkapan berburu yang pantas.
Derap kaki kuda itu mendekat. Lila mengulang teriakannya, walau tidak menyangka akan dibalas oleh suara yang familiar.
"Nona Lila?"
Ia seketika mengunci mulut. Wajah Rainier muncul di atas lubang dan gadis itu terbengong-bengong.
Mengapa, pekiknya dalam hati, di antara semua orang, dia yang muncul?
Ekspresi Rainier bercampur aduk: heran, bingung, sekaligus kagum. Namun, reaksi selanjutnya justru berbeda jauh. Rainier mendadak tertawa.
"Mengapa kau menertawakan aku?" Lila menghardik dengan pipi merona marah.
"Tidak." Rainier mencoba menahan tawa. "Tapi—astaga, aku tidak menyangka telah berdansa denganmu yang begitu anggun dua malam lalu, dan sekarang kau jatuh di lubang jebakan rusa dengan pakaian pemburu."
"Apa kau mau menolongku atau tidak, wahai Pangeran?"
Rainier mengangkat alis. Ia berjongkok dan menyunggingkan seringai geli. Ia tahu dirinya menang sekarang. "Kalau aku menolongmu, apakah kau akan merestui hubunganku dengan Rapunzel sekarang?"
"Rapunzel bahkan belum bertemu denganmu!"
"Dan apa kiranya yang akan membuat Rapunzel menolak seorang pangeran?" Rainier beranjak. Ia merogoh salah satu tas untuk mengambil tali tambang. Sembari melakukannya, ia mendengar Lila mencibir banyak sekali hal, seolah-olah mereka telah bersaing lama dan tidak terhalang oleh status apapun. Padahal Rainier adalah putra raja, sementara Lila cuma gadis desa yang tidak bakal pernah dikenal siapapun kalau bukan karena kakaknya Rapunzel.
Lila berhasil memanjat. Sebenarnya ia tidak kesusahan mengandalkan tali itu saja, tetapi sang pangeran tahu-tahu mengulurkan tangan. Lila sempat bengong, dan jeda itu membuat tangannya panas. Sekali lagi, tak ada alasan untuk menolaknya. Seorang pangeran mengulurkan tangan untuknya.
Kendati, sayang sekali, untuk sebuah alasan yang berhubungan dengan orang lain.
Lila menerima uluran Rainier, dan sang pangeran menariknya menjejak ke tanah berumput dengan kuat. Ia tak tahu kalau Lila sudah terbiasa dengan ini. Hentakannya yang keras bersambut dorongan tubuh Lila yang kuat. Gadis itu tak bisa menahan langkah saat menubruk dada Rainier.
"Oh!"
Rainier terhuyung-huyung, walau pertanyaan yang refleks terucap sama sekali tak mengkhawatirkan dirinya sendiri. "Apa kau baik-baik saja?"
Lila terperangah. Pertama-tama, karena debaran tanpa undangan yang mengganggu hatinya, dan ini membuatnya semakin marah. Yang kedua, amarahnya juga cepat reda karena pertanyaan Rainier.
"Harusnya aku yang meminta maaf," kata Lila. "Aku menabrakmu," lanjutnya gugup. Meski, Rainier toh tidak jatuh atau terluka karena itu. Maka, Lila menambahkan dengan sedikit menyesal. "Dan ... sebab tujuanmu menolongku adalah karena Rapunzel, jadi kupikir aku akan menyerahkan restuku pada keputusan Rapunzel. Dia yang akan dilamar, dia yang berhak menentukan."
Rainier menggulung talinya dengan kernyitan di dahi. "Aku tidak menolongmu karena itu," katanya malu. "Aku hanya sedikit bercanda tadi. Mana mungkin aku membiarkan orang terjebak di hutan senyap begini?"
"Oh—yah, baguslah."
Rainier mengawasi Lila menepuk-nepuk rok dengan jengkel. Gadis itu sibuk membetulkan tas perlengkapannya dan sempat mengacuhkan sang pangeran. Rainier juga tidak diam saja. Ia menyimpan kembali talinya.
"Jebakan penutupnya sudah rusak. Apa kau akan membuatkan baru atau membiarkannya?" tanya Rainier lagi.
"Biarkan saja. Aku tak mau kehilangan waktu satu detik pun sementara kita berada di titik yang sama."
"Aku tidak—" Rainier menarik napas. "Wah!" tambahnya lagi. "Kau gadis yang sangat keras kepala. Andai aku menikahi kakakmu, bagaimana aku mesti menanganimu?"
"Mengapa perlu?" balas Lila bingung. "Kau akan membawa Rapunzel pergi. Aku takkan bertemu denganmu lagi kecuali pada hari-hari besar, bukan?"
"Ah ... benar."
Keheningan hutan mencapai kedua bibir sekarang. Meski tatapan mereka masih menjalin, mencoba menilik apakah ada yang ingin dikatakan lawan bicara, tak ada suara yang ditutur lagi. Pada akhirnya, entah siapa yang berdeham dan mengalihkan pandangan duluan, mereka sepakat untuk berkemas dalam kesenyapan. Hanya suara gesekan rumput dan sepatu yang menaklukkan bisunya udara.
Rainier melompat ke kuda. "Berhati-hatilah di jalan, Nona Lila. Aku yakin engkau pasti tidak asing dengan medan hutan." Ia melirik tas menggembung di bahu gadis itu. "Tetapi ... jangan lengah."
"Terima kasih atas segalanya." Lila mengangguk, lantas teringat sesuatu. Ia merogoh tas dan mengeluarkan bungkusan kelinci panggang yang beraroma menggoda. Rainier melotot. "Sebagai balas budi. Apakah engkau mau?"
"Itu sangat ...." Rainier nyaris menyebut liar, tetapi itu tidak sopan. Ia cepat-cepat mengulang dengan santun. "Aromanya sangat menggiurkan." Ini sungguhan. Aroma herba memancar hangat dan Rainier merasakan perutnya keroncongan. "Namun, aku yakin kau lebih membutuhkannya. Simpan balas budi itu kelak."
Ah, sudah pasti itu untuk memastikan restu Lila pada Rainier dan Rapunzel. Sang pangeran khawatir bahwa restu Lila barusan berlandaskan euforia saja—jika gadis itu kelak merasa geram pada Rainier lagi, bisa saja restunya dicabut.
Demikianlah, mereka akhirnya menghaturkan salam perpisahan. Kendati tujuan mereka sebenarnya sama: asal lolongan itu. Lila tidak tahu siapa pemilik suara tersebut, tetapi Rainier mengkhawatirkan Pengawal Ged.
Sebenarnya, saat Rainier tadi mendengar jeritan yang menembus seluruh penjuru hutan, ia berada cukup jauh. Rainier baru saja kembali dari rute yang diambilnya, dan tak mendapatkan apapun selain jalan keluar ke arah ladang wortel seorang penduduk. Namun, karena ia menunggang kuda, ia bisa memangkas jarak dan waktu dalam sekejap.
Keduanya menempuh perjalanan masing-masing dengan gelisah, tetapi Rainierlah yang paling cemas di sini.
Semoga itu bukan suara Ged.
Mereka akhirnya tiba di menara Rapunzel di waktu yang terpaut sedikit. Lila beruntung karena menemukannya terlebih dahulu.
Kedatangan Lila mengejutkan Rapunzel. Ketika sang kakak melihat secuil dirinya dalam rupa Lila, gadis itu tidak berlama-lama lagi untuk merangkulnya. Kemurnian Rapunzel membuat Lila seketika terenyuh. Ia membalas pelukan Rapunzel dengan lebih erat.
Lega. Ia sangat lega untuk berbagai hal yang kau tahu mengapa.
"Mari masuk, Lila sayang!" Rapunzel tak pernah melepaskan genggaman. Ia menunjukkan sebuah pintu rahasia yang disembunyikan sebuah pigura lukisan besar, lantas menuntun Lila menuruni tangga melingkar tanpa ujung. Setibanya di dasar, Lila mendapati mereka memasuki sebuah ruangan panjang yang terdiri dari dapur dan ruang-ruang kecil untuk berbenah segala macam.
Ternyata ada pintu rahasia, batin Lila. Yah, kalau tidak demikian, bagaimana selama ini Rapunzel makan dan bebersih? Puncak menara itu hanya diisi satu kamar bundar.
"Menetaplah di sini. Masak dan bersantaplah segala hal yang kau inginkan, Lila. Semua milikmu." Senyuman Rapunzel membuat Lila susah memikirkan hal selain menyanggupi permintaannya. Kakaknya memang indah. Jika kau membutuhkan definisi sebuah keindahan, maka tengoklah Rapunzel yang secemerlang sinar mentari sore, selembut aliran sungai di hilir, semanis vanila, dan seharum lavender.
"Terima kasih," kata Lila, tetapi ancaman kedua orang tuanya telah tertanam sejak dahulu, dan berhasil menggerus pengaruh Rapunzel. "Namun, Ayah dan Ibu ingin engkau pulang, Rapunzel. Meski sebentar saja."
Senyum Rapunzel meredup muram, dan Lila merasa berdosa karena telah menghilangkan senyumnya. "Oh adikku tersayang," keluhnya, "andai engkau tahu, bahwa semenjak Dame Gothel meninggalkan dunia, tak ada lagi harapan bagiku untuk keluar dari sini! Tak ada yang kusantap selain apa yang tumbuh di kebun, dan tak ada yang menghiburku selain buku-buku usang yang begitu penat untuk kutilik lagi. Jiwaku rasanya digerogoti."
Lila menahan napas. "Apa yang bisa kulakukan untuk menyembuhkanmu?"
"Aku ingin merasakan secuil dunia luar melalui tanganmu, Lila. Masakanmu, petikanmu, segala hal yang kau mampu! Aku yakin itu akan membuat kesehatanku pulih."
"Aku akan berusaha."
Rapunzel mengangguk dengan senyum lebar. Ia lantas membuka sebuah pintu sempit di dapur. Rupanya pintu itu mengarah ke kebun sayur-mayur, yang sekali lagi melempar Lila pada kesehariannya saat muda dahulu. Pintunya begitu susah dibuka karena disembunyikan sesemakan. "Semua ini milikmu sekarang."
Lila merasa begitu malu. Pantaslah kalau pemuda semulia Rainier menginginkan Rapunzel. Ia memang sangat elok paras dan hatinya.
"Ada lagi yang bisa kulakukan untukmu?"
"Ah! Aku tidak mengharapkanmu untuk naik ke menara lagi, Sayangku. Di sanalah aku dikutuk agar tidak bisa keluar, dan aku tak menginginkan kutukan serupa menimpamu. Jadi, menetaplah di sini, dan aku akan turun acap kau membutuhkanku."
Lila tersenyum. Sempurna sudah kebaikan Rapunzel. "Tentu," katanya. "Aku takkan mengunjungi menara lagi."
Maka Rapunzel meninggalkan adiknya di bawah. Ia bergegas ke atas dengan jantung berdebar-debar. Ia sangat senang bahwa Lila, adik yang sama sekali tidak diduganya selama ini, adalah gadis yang begitu manis.
Rapunzel tak perlu bersusah payah.
Sehingga, ketika Rapunzel tiba di kamarnya sekali lagi, ia mendengar seruan berulang dari bawah jendela menaranya. Mantra yang juga diucapkan oleh semua orang. Namun, pemilik suara kali ini berbeda. Rapunzel bisa merasakannya.
Ia menurunkan kepangan rambut dan menanti seorang pemuda paling tampan yang pernah ditemuinya muncul. Ia juga mengenakan pakaian yang mahal dan tanpa kusut. Wajahnya yang bersih dari segala keburukan membuat pipi Rapunzel bersemu merah.
"Jadi, engkau Rapunzel." Mata Rainier membulat dalam kekaguman. Ia membungkuk hormat. "Aku Rainier, pangeran negeri ini. Adik dari Putra Mahkota Ferdinand."
"Rainier." Rapunzel tanpa sadar mengulang namanya. Manis. Nama Rainier bagai lelehan awan gula di bibirnya yang merah.
Rainier menyukai bagaimananamanya diucapkan oleh suara semerdu itu. Ia juga tahu bahwa ia bisamendapatkan hati Rapunzel dengan mudah. Entah bagaimana. Segalanya terasa tanparintangan lagi sekarang. Apa-apa mengenai Ged dan Lila segera tersingkirkan dibenaknya, dan tak ada lagi yang Rainier mampu pikirkan selain kelembutanRapunzel di rengkuhan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top