Bab 9

Rumus satu tambah satu dalam berpacaran ialah kencan.

mahasiswa bisnis salah jurusan—

"Silakan dinikmati." Suara merdu pramusaji menendang lamunanku.

"Makasih," balas Ken dengan senyum selezat Puyo yang sukses bikin Mbak Pramusaji memerah.

Duh, duh, duh, siluman tebar pesona.

"Makan!" Jiwa majikan Ken kembali setelah mbak pramusaji meninggalkan meja kami. Dia mengendik pada piring yang ada di hadapanku.

Aku mengambil garpu, bersiap melahap English breakfast di atas piring, tapi urung karena tepukan panas di atas tanganku. Aku cemberut dan mengernyit kesal.

Ken menggeleng. "Kalo ditawarin makan, harus jawab apa?" tanyanya.

"Oh." Aku tersenyum ragu. Perasaan dia songong, tapi pengen banget diperlakukan santun. "Makasih makanannya. Selamat makan."

Ken tersenyum kecil, senyum paling mendingan dari yang selama ini dia kasih tunjuk buatku. Inget ya, BUAT AKU. Dia bakal jadi model iklan Pepsodent keliling kalau berhadapan orang lain.

"Gue pikir lo bakal ngajak gue ke butik atau salon gitu, Bang," kataku sembari mengunyah scrambled egg.

Ken meletakan cangkir kopinya, baru menjawab, "Buat apa?"

"Tadi lo bilang mau ngasih gue benefit untuk dilihat orang lain dalam konteks lebih positif. Yah, bayangan gue, lo akan bawa gue buat make over."

"Kepengen banget?" tampang ngeledek Ken membuatku menyesal.

"Buat apa make over? Baju lo enggak terlalu gembel."

JLEB!

"Tampang lo masih bisa diterima."

JLEB! JLEB!

"Rambut lo aja yang nyakitin mata."

Rest in peace Yellovita Airin!

"Gue makhluk paling jelek yang pernah lo liat ya?" aku bertanya dengan seratus persen kerendahan diri.

Ken bersandar. Telunjuknya mengetuk-ngetuk meja. Pandangannya terfokus padaku. Situasi begini bikin kakiku menggigil di kolong meja. Tolong dong, siapa aja, kasih tahu Ken kalau wajahnya itu berpotensi bikin cewek salah tingkah—termasuk aku.

"Gue pikir kodok itu makhluk paling menjijikan, tapi enggak jelek. Gue cuma enggak suka." Ken menanggapi serius.

Sudut bibirku berkedut. Rasanya nyut-nyut kalau pertanyaanku diasosiasikan dengan kodok.

"Tapi lo enggak jelek. Cuma bukan selera gue aja," tambah Ken seringan bulu sekaligus sekejam pukulan palu Thor.

"Makasih, Bang." Aku menyuap lagi scrambled egg lebih bernapsu. Napsu mau memakan Ken hidup-hidup.

"Emang lo mau mengubah style lo demi kepuasan orang lain?" Ken bertanya lagi.

"Enggak." Aku menggeleng kuat.

"Gue juga enggak pengen mengubah lo. Selama lo nyaman dengan gaya lo, gue appreciate. Tapi soal rambut lo, mata gue gatal banget tiap liat," kata Ken. Satu tangannya bergerak mencakar udara di antara kami.

Aku menyipitkan mata. Bisa-bisanya satu kampus kena tipu akting Ken. Ckckck.

"Makan jangan decap-decap gitu."

Mulutku bergerak perlahan mengunyah makanan.

"Makannya jangan diemut." Ken menatapku tajam.

Aku kunyah lebih cepat dan penuh kehati-hatian.

"Kepalanya naikin dari piring. enggak ada yang ambil makanan lo."

Ya, Allah, ini siluman kenapa sih? Aku menegakan punggung dengan dongkol.

Ken menghela napas dan mencondongkan badan pada meja. "Sikap makan lo bisa jadi alasan predator datang buat ngerjain lo. Coba makan yang santai."

Aku ingin banget ngomong predator utamaku ada di depan muka. Eyakali aku berani ngomong. Melihat tampang Ken yang keras saja, aku sudah menciut.

"Apa sikap makan gue buruk banget?" tanyaku tanpa pikir panjang.

"Iya. Lo kayak mengundang Bambam buat neror dompet lo."

Aku duduk tegak dan agak miring, membusungkan dada, menyilangkan kaki, dan angkat dagu. "Kalo begini, gue keliatan lebih buas?" tanyaku sembari menyeringai.

Ken terbahak. Aku berdecak. Restoran di lantai 26 yang kami datangi memang sepi dan tingkah Ken enggak jadi bahan tontonan orang, kecuali para pramusaji yang jelas-jelas kena guna-guna siluman.

"Udah gue bilang, perbaiki bukan akting halu. Lo mau niru selebritis?" Ken mengacak rambutku—enggak pakai gemeush gemeush—sepenuh hati.

Aku mendorong tangannya menjauh. Dia yang bilang rambutku nyakitin mata, malah dibikin tambah berantakan. Kayaknya niat banget bikin aku jadi bulan-bulanan.

"Lo merhatiin gue, Bang?" Aku tersenyum licik. "Lo diem-diem naksir gue?"

"Mana ada?" Ken bersidekap. "Orangutan juga tahu gue enggak gila buat ninggalin Kara demi lo."

Aku menunjuk Ken antusias. Nah, ini dia! The hidden story! WOAH! Bongkar, Bangke~n!

"Terus kenapa lo jadian sama gue? Pake acara pacaran palsu. Lo enggak memuaskan Kara di ranjang ya?" Setelah tinggal sendiri di Jakarta dan diperkenalkan manga hentai oleh Pipit, aku jadi paham masalah puas mendesah bisa melanggengkan hubungan.

Ken bertopang dagu dan tersenyum licik. "Lo udah dua kali menyinggung ranjang. Pengen banget tahu performa gue?" bisiknya.

Aku merinding. "Enak di lo, rugi di gue," bisikku balik, menutupi ketakutan yang muncul.

Ken memangkas jarak kami. Dia terus menatapku dengan kepercayaan diri dan senyum tipis. Aku terkunci pada situasi ini. Apalagi aroma mint eksotis menguar tipis darinya. Aroma yang aku ingat. Aroma yang aku cium waktu pertama kali keliling kampus. Dia dan aromanya yang berada di luar ligaku.

"Lo masih punya waktu buat mikir gaya pacaran apa yang lo mau. Gue memanfaatkan lo dan lo berhak memanfaatkan gue juga," bisik Ken lagi. Dia memundurkan kepalanya. Aku menggigit bibir bawah. Tawarannya menggiurkan. Memanfaatkan Ken.

Lalu hidup dan matiku diabdikan buat siluman? OGAH!

"Gue pikir-pikir lagi," jawabku sok enggak peduli.

"Take your time, Ayang." Ken tersenyum luar biasa lebar.

Pekik dan cekikik kecil di belakang punggungku menandakan ada pengamat lain yang kelojotan karena satu ekspresi sok ganteng Ken. Aku enggan menoleh. Paling para pramusaji muda yang kena tipuan siluman.

OwO

Ken mengantarkanku balik ke kampus. Katanya, dia ada janji sama dosen. Aku dibebaskan dari tugas jadi monyetnya dan boleh nunggu di mana saja, asal pas di WhatsApp langsung gercep.

Sekali siluman tetap siluman.

Aku mencibir nasibku. Jungkir balik banget di penghujung semester satu. Kesannya, hidup sebagai mahasiswi nilai B atau C masih kurang mengenaskan sehingga aku ditarik masuk drama per-SETAN-an.

Satu kantong plastik hitam disodorkan ke mukaku. Aku berpaling dari coret-coretanku di buku.

Pipit dan Tita berdiri sambil pasang tatapan 'ayo baikan'. Aku mengulum senyum. Receh banget jiwaku. Baru diajak baikan saja, aku lupa sama kekesalanku ke Ken.

"Sini duduk." Aku menepuk lantai di kanan dan kiriku. Pipit dan Tita langsung duduk, lalu membuka plastik di depan kami.

"Gue bawain kesukaan lo," kata Tita antusias.

Teman-teman cewek biasa ajak baikan dengan ngeteh manja dan cake cantik. Tita dan Pipit terlalu mengenalku untuk membawakan sekantong gorengan.

Ya, pertemanan kami memang terlalu murahan.

"Gue minta maaf karena sembarangan termakan gosip," kata Pipit tanpa repot memulai pidato manis permohonan maaf.

"Gue juga, Yel. Kita baikan, ya?" Dan Tita menutupnya begitu sempurna.

Dimana lagi bisa menemukan dua sahabat paling murahan seperti ini. Aku mengangguk. Kami makan gorengan dan tertawa, lebih tepatnya menertawakan kebodohan kami beberapa hari lalu.

"Itu Lyn," bisik Tita. Lengannya menyenggolku.

Aku mengangkat kepala dan mendapatkan tatapan sinis Lyn. Jantungku berdegup kencang. Menjadi pusat perhatian bukan kebiasaanku, apalagi terang-terangan disinisin senior.

"Mukanya kayak benci banget sama lo?" Pipit berbicara begitu Lyn putar badan dan menghilang ke dalam ruang kemahasiswaan.

"Ya wajar aja. Dia enggak suka Yellow karena ngerebut Ken. Sebagai teman baik Kara, dia pasti ikutan sebel sama Yellow," timpal Tita.

"Bener juga." Kemudian mereka tertawa, seolah lupa aku masih duduk di tengah-tengah mereka.

Kalau begini, mending enggak usah baikan lah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top