Bab 8
Beda setan dan siluman?
S
etan menggoda hidup manusia. Siluman menjajah hak hidup gue.
—Yellow—
Kampus tetap ramai di momen libur semester. Aku berjalan sembari menundukan kepala. Mata-mata penasaran membuntuti setiap langkahku.
Nyebelin banget. Kalau bukan akibat WhatsApp siluman, mana mau aku menampakan diri di tengah panas-panasnya gosip aku merebut Ken.
"Ini dia Yellow yang lagi jadi trending kampus kita!" Bambam menghadang jalan. Aku bergeser ke kiri, dia ikut bergeser. Aku putar ke kanan, dia balik arah dan menutup aksesku kabur. "Jangan sombong dong. Baru pacaran sama Ken udah lupa sama gue. Kita kan temenan."
Temenan apa penjajahan?
"Udah lama enggak ketemu. Gimana kalo kita makan? Lo udah sarapan? Kayaknya belum. Gue liat lo lemes banget. Jalan nunduk aja. Ke kantin yuk. Gue enggak mau pacar Ken yang baru sakit."
Cekalan tangan Bambam pada sikuku mencegah semua penolakan yang berputar di kepala. Ini sudah jelas. Uang jajanku bakal kena invasi Chu Pat Kai.
"Makan dong," kata Bambam sembari mendorong mangkok bubur ayam yang topping-nya mau luber.
Ini berapa harganya? Aku menjerit dalam hati, membayangkan bubur ayam pesanan Bambam buatku bukan porsi normal.
"Makasih, Bang." Aku mengaduk bubur dengan lesu. Mau ketemu siluman malah kena cekal siluman lain. Cobaan begini senang sekali menimpaku.
"Gue kaget banget tahu lo jadian sama Ken. Selama ini, kalian berdua enggak keliatan akur. Gue kasihan sama Alex. Dia kayaknya terpukul banget tau soal ini. Lo tahu kan Alex demen sama lo?" Bambam mengoceh sambil meracik buburnya. Dia menuang sambal langsung dari mangkoknya tanpa takaran.
Aku bergidik ngeri. Bubur semangkuk dihajar sambel satu mangkok kecil. Mampos banget nasib Bang Bubur. Sambalnya dihabisin Bambam.
"Gue enggak bisa nyalahin Ken dan lo. Alex sih yang lama banget beraksi. Kalo suka harusnya cepat nembak. Kebanyakan pertimbangan si kampret," lanjut Alex lagi.
"Gue dan Bang Alex temenan," kataku bersikap senetral mungkin.
"Lo enggak demen Alex?" Bambam menjerit, lalu menggeleng dramatis. "Gue tahu Alex bakal patah hati kalo nembak lo. Emang paling bener dia pendam aja. Semua cewek jelas lebih milih Ken."
Obrolan ini makin ngaco.
"Oya, lo ngapain ke kampus?" Bambam bertanya sebelum menyuap.
"Mau ketemu Bang Ken."
"Ken?" Bambam memandangiku kaget. "Kok lo enggak bilang? Udah sono ketemu Ken. Tuh dia lagi jalan depan kantin. Ken! KEN! WOY!"
Enggak usah teriak-teriak kaleee!
"Ken nungguin lo tuh. Sana samperin. Bubur lo belum disentuh, kan? Biar gue aja yang habisin." Bambam menarik mangkukku tanpa repot menunggu balasan.
Aku memanggul tas punggung setengah hati. Saat aku berdiri, Bambam berkata, "Mumpung lo lewat depan, tolong bayarin buburnya. Gue mau keluar lewat pintu belakang kantin."
Aku ingin berkata GUKGUK!
"Iya, Bang," jawabku pura-pura tersenyum.
"Kamu sarapan bareng Bambam?" Ken menghampiriku yang sedang jalan ke gerobak tukang bubur.
Aku cuma sanggup nyengir. Ngaku sarapan bareng, terdengar mengada-ada. Ngaku enggak sarapan, jelas-jelas ada satu mangkok bubur yang awalnya diperuntukan buatku.
"Berapa pesanan Bambam, Bang?" Aku bertanya ke tukang bubur.
Bang Nasrullah, tukang bubur legendaris kampus ini, melotot. "Kok Neng yang bayar?"
Aku nyengir lagi. Ini bagian dari cobaan, jawabku dalam hati.
"Empat puluh ribu, Neng," kata Bang Nas akhirnya.
"MASAK?" Aku menjerit spontan. Kemudian menutup mulut saking malunya jadi tontonan orang. Bambam memandangiku dari meja di tengah kantin. Habis nyawaku kalau Bambam sampai mikir aku menjelekan reputasinya yang sudah hancur lebur.
"Bambam pesan dua mangkuk, enggak pake sate," bisikku.
"Itu porsi ekstra, Neng. Bukan porsi biasa. Semangkok buat dua porsi itu," bisik balik Bang Nas.
Pantas saja! Aku meringis.
"Nih, Bang." Satu tangan terulur melintasiku, menyerahkan selembar uang lima puluh ribu ke Bang Nas. Aku menoleh dan menemukan Ken di belakang.
"Nanti gue gantiin uang lo, Bang," kataku setelah transaksi bubur selesai.
Ken tetap berjalan di depanku. Dia enggak merespons. Langkahnya lebar dan cepat. Aku setengah berlari mengejar lajunya. Kemudian dia berhenti mendadak. Aku enggak sempat ngerem dan menubruk punggungnya.
"Maaf, Bang." Aku enggak perlu minta maaf sih, tapi aku kan yang junior di sini. Hawa Ken juga berubah mode senggol dikit kena gorok.
"Lo kebiasaan banget." Ken berdecak sambil bertolak pinggang.
"Maaf," desisku lagi.
"Nah, ini masalah lo." Ken menunjuk hidungku. "Kebiasaan," katanya dengan kesal.
Mood-nya jelek banget.
Ken berputar ke mobil putih yang parkir depan kami. Aku berjalan ke arah pintu penumpang depan.
"Eh!" Ken menarikku hingga aku tersentak dan menubruk dadanya. Hidungku berdenyut nyeri. "Lo cuci tangan abis makan?"
"Hah?" Aku menatap tanganku yang diangkat Ken.
"Jangan pegang mobil gue. Masuk langsung duduk," perintah Ken galak. Dia membuka pintu SUV Range Rover-nya dan mendorongku masuk. "Jangan pegang seatbelt gue. Nanti gue yang pasangin."
Aku menganga. Segitu kotornya tanganku? Aku memperhatikan dua telapak tanganku dan enggak ada bekas aneh-aneh. Kalau ada pun masih bisa aku bersihkan pakai baju.
Ken masuk dari sisi pengemudi. Dia menarik seatbelt dan memasangkan untukku. Matanya menyorot tajam, memberi kode jangan sentuh apa pun.
"Gue kotor apa hina sih?" Aku enggak tahan diperlakukan rendah begini.
Ken melirikku sinis. Dia enggak menjawab, malah melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus.
"Terus sekarang gue diculik?" tanyaku mulai waswas.
"Dijual juga enggak laku," sahut Ken. Tuh mulut pedas dan menyayat.
"Makasih udah ngasih pencerahan ke gue," candaku sarkas.
"Enggak usah ngambek." Ken mengacak rambutku. Aku memukul tangannya.
"Gue udah bilang jadi pacar gue itu enggak gratis. Gue mau balas jasa ke lo," katanya, enggak terpengaruh pukulanku tadi.
"Balas jasa? Lo mau bayar gue?"
Ken melirikku atas bawah, lalu tersenyum meremehkan. Aku memandang pakaianku hari ini. Kemeja biru dan jeans longgar yang bersih dan wangi pelembut pakaian. Aku yakin aku enggak gembel banget sekarang.
"Gue mau lo dapat benefit setelah kita putus," jawabnya dengan mata terfokus pada hiruk-pikuk jalan.
"Benefit apaan?" tanyaku takut-takut.
"Orang-orang bisa liat diri lo dalam konteks lebih baik. Dan ...." Ken melempar seringai, "mantan gue harusnya naik kelas sosial. Jadi gue pengen lo bisa dapat cowok ganteng, pintar, dan baik."
"Terdengar kayak ucapan Fauna, Flora, dan Merryweather."
"Siapa mereka?"
"Ibu perinya Sleeping Beauty."
Ken tertawa kecil. Aku mendengkus. Frekuensi kami beda saluran.
"Gue rasa gue bisa dianggap bapak perinya Cinderella."
"Siluman mana bisa jadi peri," gumamku.
"Apa lo bilang?"
"Enggak." Aku menggeleng cepat.
Ken mencebik dan melanjutkan, "Gue mau lo bisa punya pacar yang baik."
"Karena pacar gue sekarang palsu," sahutku.
"Ya." Ken melirik kesal. Aku pura-pura sibuk memandangi jendela di sisi sebelahku.
"Gue juga mau lo berani buat nolak kalo Bambam malak lo."
"Ajarin gue caranya berani nolak setiap perintah Ken," gumamku.
Mobil berhenti di lampu merah. Ken menoleh sepenuhnya. Wajahnya luar biasa ceria, tipe ekspresi yang dia pasang di depan orang lain. Aku meneguk ludah.
"Kita kan pacaran, Yang. Masak kamu anggap aku merintah kamu? Aku sih sukanya kalo merintah di ranjang. Mau coba?"
Aku melotot, kaget bukan main mengetahui Ken menangkap sindiranku. Perasaan aku bicaranya kayak orang kumur-kumur deh.
"Jangan macam-macam ya." Aku mengeluarkan pulpen 0,5 mm. Ken mundur. Matanya membelalak. "Gue bisa melukai lo pake ini." Aku memencet pulpen.
Ctek!
Ctek!
Lah? Kok enggak keluar ujungnya?
Ken menyambar pulpenku dan dibuang ke bangku belakang. "Kebanyakan drama lo. Gue enggak akan narik paksa cewek ke ranjang kalo dia enggak mau."
"Kalo gitu lo udah narik Kara ke ranjang lo?"
Ken menoyor dahiku. "Kepo," katanya.
Jawaban itu enggak menjawab pertanyaanku. Aku ingin tahu seberapa jauh Ken dan Kara berhubungan. Secara mereka tersohor paling langgeng selama tiga tahun. Katanya sih enggak ada putus nyambung. Kan, aneh kalau mendadak mereka putus.
Apa mereka sudah ciuman?
Aku melirik Ken. Bibirnya tipis dan warnanya bagus. Aku menduga hasil kecupan Kara pasti treatment bibirnya pink.
Apa mereka sering make out?
"Lo ngeliatin gue terus."
Aku buru-buru buang muka. Sok kecakepan banget, pikirku.
"Gue kasih lo tambahan benefit," kata Ken. Telunjuknya teracung penuh percaya diri.
"Apa?"
"Gue kasih lo kesempatan ngerasain pengalaman pacaran. Tinggal pilih mau tipe pacaran kayak gimana."
Sudut bibirku terangkat sebelah, mengekspresikan seluruh perasaan yang muncul gara-gara ocehan siluman. Dia pikir sesuatu banget jadi pacarnya. Padahal yang aku inginkan hanya hidup tentramku kembali.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top