Bab 7

Lo tahu kekampretan temen pas lo susah.

—Bastian Mardino alias Bambam—

"Nilai kamu gimana?" Bapak bertanya saat mobil yang dia lajukan sudah meninggalkan kosan.

"Nyerempet batas siaga diomelin Bunda gitu," jawabku sembari pasang wajah korban teraniaya.

"Asal enggak perlu ngulang matkul, Bapak bantu ngomong ke bunda."

Bapak ini tipe orangtua yang enggak menuntut anak harus dapat peringkat dan juara kelas. Asal enggak tinggal kelas dan bisa lulus, bapak sudah Alhamdulillah. Jadi, aku santai mengakui perubahan status siswa ke mahasiswa enggak mengubah fakta bahwasanya otak anak tunggal mereka serba pas.

Tahu dong, kalau ada langit pasti ada bumi. Nah, bunda kebalikan bapak. Bunda agak terobsesi punya anak yang serba bisa. Sejak kecil aku ikut les ini itu dan semuanya enggak terlalu sukses. Obsesi bunda sebenarnya sangat gila pas aku SD tapi mulai menurun semenjak aku terus-terusan enggak mencapai ekspektasi. Bukan berarti Bunda enggak lagi meletakan harapan besar melihat aku WAH, sebagaimana anak-anak teman arisan kristalnya. Bunda membuat perencanaan besar agar aku bisa meneruskan usaha Bapak dan Bunda kelak. Pokoknya aku enggak bebas lah.

"Bunda kemana, Pak?"

"Lagi open jastip di Korea. Pulang dua minggu lagi."

"Bunda di Korea dua minggu enggak ajak aku?" aku menjambak rambut dengan kesal. "Bunda curang banget! Aku mau ke sana juga."

Bapak tersenyum. "Bunda sebenarnya minta Bapak rahasiain dari kamu. Kalo kamu tahu, kamu pasti bikin ribet bunda."

"Bunda bisa pake tenagaku buat gotong-gotong belanjaan. Aku rela dipekerjakan Bunda, asal aku bisa liat NCT."

"Nah, itu yang jadi alasan Bunda malas ngajak kamu." Bapak tertawa kecil. Sementara aku manyun. Kami terlalu mengenal bunda.

"Bapak ada pekerjaan di Malang. Kayaknya enggak bisa ajak kamu," kata Bapak kemudian.

"Aku bisa ikut dan enggak ganggu."

"Ada resto kita yang terbakar. Beritanya masuk TV dan Bapak butuh fokus selama mengurus kasus itu. Kamu enggak apa-apa kan di rumah sendirian?"

Aku menatap jalanan sembari menimbang suasana sepi di rumah selama bapak dan bunda pergi. Secara harfiah, rumah kami enggak akan sepi. Ada pekerja rumah tangga yang memang tinggal di sana. Jumlahnya lumayan buat bikin huru-hara, sembilan orang, tapi mana enak kalau enggak ada bunda dan bapak. Yang ada aku mentok main di rumah doang.

"Aku balik ke kosan aja begitu bapak berangkat ke Malang. Biar aku gampang ke kampus kalo ada keperluan," kataku memberi kebohongan. Bunda enggak akan percaya omonganku kalau dia dengar. Beruntunglah Bapak lebih bijak dengan tersenyum dan memuji aku yang giat belajar.

Boro-boro giat belajar, buku kuliahku saja masih mirip buku baru.

OwO

Tiga hari aku tinggal di rumah. Hari ini aku kembali ke Hang Tuah, lokasi kos Rumah Pelangi. Ketika sampai, rasanya sepi banget. Aku memaksa Pakde Mul, sopir bunda, untuk langsung balik ke Sentul.

Aku menenteng eco bag jumbo mati-matian. Pantas Pakde Mul berkeras ingin membantuku mengangkut tas ini ke kamar. Kalau tahu isinya seberat ini, aku pasti enggak akan tolak kemurahan hati itu.

"Kayaknya bawaan lo enteng. Enggak usah dibantu, kan?"

Dia, Genta, senior yang kuliah di kampus yang sama denganku. Tapi aku enggak yakin kami satu jurusan. Aku enggak punya impression bagus tentang dia, akibat gayanya yang mirip preman.

"Iya, Bang." Aku menjawab seadanya dan berjalan terseok-seok melintasi ruang tamu, bergegas menuju tangga.

"Eh, lo hilang kemana tiga hari?" Pertanyaan Genta menghentikan langkahku.

"Pulang ke rumah," jawabku tanpa berani menatapnya. Dia itu punya mata yang nyeremin banget dan aku paling anti sama senior yang begitu. Tetap saja siluman ular ada di rangking teratas yang aku hindari.

Aku harus cepat ke kamar. Jauhkan segala kontak dengan senior. Sebaik-baiknya senior itu yang cuek sama keberadaan junior.

"Rumah lo dimana?"

Ini introgasi?

"Bogor."

"Lo naik kereta ke sini?"

Kami enggak mendadak akrab. Kan?

"Diantar."

Genta bertolak pinggang. Kakiku lemas. Wajahnya serem banget. Aku ada salah ngomong? Masak di kosan harus kena masalah sama senior juga sih?

"Lo harusnya bilang kalo tinggal di Bogor. Gue mau titip roti unyil," kata Genta mirip rengekan bocah.

Aku buru-buru meletakan eco bag, lalu membongkar isinya. Satu menit kemudian, aku tahu, aku terlalu responsif dan sudah membuat kesalahan fatal. Harusnya aku enggak mengeluarkan kotak roti unyil yang dimasukan Mbak Puput. Seharusnya pula, aku enggak usah duduk menemani Genta menghabiskan roti unyil.

Kami enggak akrab!

"Makan apa lo?"

Dan feromonku masih berfungsi memanggil senior-senior aneh lainnya. Aku bersorak hore dan meniup terompet dalam khayalan. Hidup kok gersang banget dari kedamaian?

"Nih bocah bawa oleh-oleh roti unyil. Cobain rasanya." Genta menyodorkan kotak roti ke Oca dan temannya yang bergabung bersama kami di meja makan.

"Rasa apa?" tanya Oca sembari mencomot satu roti.

"Rasa roti."

Genta tertawa dan diikuti Oca serta temannya. Aku memandangi ketiga senior, gagal paham pada lawakan mereka. Sepertinya aku berada di dimensi yang enggak sesuai. Aku tahu! Aku sedang menjalani kehidupan yang berbeda dari kehidupan nyataku. Apa aku jadi Natalie di film Isn't it romantic?

"Gue kayak inget lo." Teman Oca menatapku intens.

Iih, ngeri. Yang ini juga enggak beda seremnya dari Genta.

"Lo cewek barunya Ken!" Cowok itu menjentikan jari di depan hidungku. "Kenal gue kan?"

"Enggak," jawabku spontan.

Oca dan Genta terbahak.

"Sok pemes lo." Oca mengejek.

Cowok itu tampak kesal, lalu berpaling padaku lagi. Aku butuh mencari alasan kabur dari sini. Aku bisa mengurung diri seharian di kamar.

"Gue Gio. Jurusan bisnis juga. Gue semester lima. Inget kan?" Gio tersenyum luar biasa lebar. Senyum itu lenyap sekejap begitu aku menggeleng dan tawa di sampingnya makin kencang.

"Udah, Gi. Lo masih kalah pamor dari Ken. Eh!" Oca menoleh dengan tampang yang siap melahapku. "Lo pacar Ken? Ken yang ganteng itu? Bukannya Ken pacar Kara? Sejak kapan Ken dan Kara putus? Apa kita ngomongin Ken yang beda? Bukan Ken yang ganteng itu?"

Badanku menciut terkena invasi pertanyaan Oca.

"Ken udah putus dari Kara. Sekarang jadian ama nih bocah."

Nih bocah punya nama. Aku mengeluh dalam hati.

Oca menarik tanganku. Matanya berubah penuh gliter dan bibirnya menyeringai lebar.

Aku berusaha menarik tanganku. Oca makin mengeratkan genggamannya. Aku tarik lagi dan Oca enggak bergeming. Aku panik. Situasi begini jelas-jelas siaga level tiga. Genta dan Gio hanya diam, menonton kami penasaran.

"Plis, kasih gue trik bikin Ken putus dari Kara dan jadian sama lo," kata Oca.

Aku membelalak. Kaget bukan main pada permintaan konyolnya. Rahang Genta dan Gio jatuh berbarengan. Inilah dampak berdekatan dengan siluman ular, orang-orang jadi salah sangka.

Enggak ada trik begituan! Aku dijebak! Aku korban! Aku cuma kebetulan lagi sial dan sialnya keterusan!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top