Bab 4

Apes itu sudah jatuh, suruh ganti rugi. Bego itu sudah salah, malah nyalahin orang.

mahasiswa sibuk skripsi

"Lo harus belajar dari pengalaman gue. Enggak semua orang yang lo kasih hati bakal balik ngasih lo kebaikan. Kayak Alex ke gue. Setiap dia butuh diantar ke mana, selalu gue antar. Gue juga sering nungguin dia. Main bareng dia. Tapi pas ujian, jiwa kampretnya keluar. Nilai gue jeblok gara-gara dia."

Bambam terus mengoceh, mengungkap semua keresahan yang timbul pasca melihat nilai ujiannya yang—udahlah, enggak usah disebut, kalian pun bisa nebak. Dia ngomong sambil makan ayam penyet porsi double. Aku menelan ludah. Bukan karena ngiler lihat Bambam makan. Lebih kepada nasibku siang ini. Seharusnya aku enggak jalan di koridor depan perpus. Seharusnya aku berputar sedikit lebih jauh melewati lab komputer. Seharusnya aku enggak bertemu Bambam. Oke, yang terakhir yang paling tepat. Tapi pengandaianku hanya pengharapan mereguk bulan. Kami tetap berpapasan, Bambam lalu merangkulku penuh paksaan ke arah kantin. Berdalih butuh teman curhat, dan dengan berat hati aku harus membayar semua yang masuk ke dalam mulutnya.

Buruan lulus kek, Bam!

Aku menyugar rambut. Campuran rasa dongkol dan sedih membuat rambutku gatal. Aku sudah lama hilang minat pada kata jaim, jadi woles saja garuk kepala.

"Lo krimbat, Yel," kata Bambam.

Tanganku berhenti bergerak. Bambam menatapku meremehkan. Dia mengayunkan tulang ayam sambil berujar, "Cewek harusnya sadar buat rawat badan. Lo enggak bisa terus-terusan berkeliaran di kampus dengan rambut acak-acakan, kemeja kegedean, dan jeans gantung doang. Coba dandan dikit, pake gincu dan parfum. Paling enggak, lo keramas dan nyisir deh."

Woi, sadar diri! Aku ingin berteriak balik. Yang seenak dengkul menasihatiku adalah mahasiswa yang paling dinyinyirin satu fakultas karena bau badan dan pakaiannya yang sering khilaf pada perut buncit. Aku dibuat tersenyum miris. Gini amat nasib jadi maba.

"Gue ngasih tahu ini demi kebaikan lo, Yel. Udah ya, gue harus ke ruangan dosen. Makasih traktiran lo." Bambam melambai sok keren, lalu membawa sosok genderuwonya meninggalkan kantin.

Aku segera menghitung piring di atas meja. Dua piring ayam penyet, satu porsi batagor, kerupuk dua, satu es teh manis, satu Aqua botol, ditambah kentang goreng. Ebujug, Bambam kelewatan banget. Makan sendiri seperti makan untuk tiga orang.

Aku ingin mengeluh, bertepatan aku sadar ada banyak pasang mata yang memperhatikan. Begini nih yang nyebelin dari status maba nongkrong di kantin bareng senior yang enggak lulus, gampang jadi bahan tontonan.

"Hai, Yellow." Ken duduk di kursi yang ditinggalkan Bambam di seberang mejaku.

Ya Allah, apa ini balasan atas semua contekan yang aku buat selama ujian?

"Hai, Bang." Pikir alasan buat kabur. "Gue-"

"Yel." Ken memegang tanganku. Mampos. Apa-apaan ini?

"Gue mau ngomong sesuatu sama lo," kata Ken dengan tampang serius.

Aku mengernyit, ngeri membayangkan ada satu kesalahan yang sudah aku perbuat. Mungkinkah ... dia tahu aku menggosipkan dia bareng Pipit dan Tita? Tapi enggak ada Ken di sana. Apa karena kami bertemu Kara dan Lyn di Senci?

"Gue suka sama lo. Gue mau lo jadi cewek gue," lanjut Ken.

Krik. Krik. BOOOOOM!!

Dunia dan seisinya hancur. Otakku mati. Jiwaku lepas dari raga. Kemudian bahuku diguncang lembut dan jari-jari kapalan menyapu pipiku. Aku tahu. Aku sangat tahu. Aku jatuh ke dunia paralel yang beda dari duniaku yang semestinya.

"Lo prank gue, Bang?" Aku bertanya dengan setengah jiwa masih berhamburan di bawah kaki.

"Apa?" Ken sudah menjauhkan tangannya dari pipiku. Dia menumpukan lengan pada meja dan mencondongkan badan, bersikap penuh kepedulian.

"Lo ikut program TV apa? Atau lo jadi YouTuber dan masang prank ke gue biar follower lo naik?" Aku berbisik, menjauhkan telinga-telinga asing masuk dalam percakapan. Walau banyak mata sudah terang-terangan mengarah pada kami.

"Gue enggak mungkin ikut ato bikin acara begitu." Ken pasang senyum jutaan mega watt.

Aku kasih tahu sekali lagi. Senior satu ini rada-rada nakutin jadi, aku enggak akan halu beranggapan dia datang menawarkan hati kayak Pangeran di film Sleeping Beauty. Yang ada, parabola imajinasi di atas kepalaku menangkap sinyal ber-ba-ha-ya.

"Enggak, Bang."

"Apa?"

"Enggak."

"Maksud lo?"

Aku terdiam. Bingung pada suara yang mendadak keluar begitu saja. Sementara Ken kayak enggak terima sama ucapanku. Aku nggak pernah berani menolak maupun menentang ucapan senior semenjak melepaskan seragam putih merah. Untuk sekali ini, aku tercengang pada keberanianku menolak ajakan Ken. Lagipula, dia kan mantan Kara, kalau mencari pacar baru mestinya yang fotokopi Maudy Ayunda lah. Bukannya Yellovita.

"Apa jawaban lo?" Ken bertanya enggak sabaran. Ekspresinya membuatku meneguk ludah.

"Gue enggak bisa, Bang." Aku beranikan menjawab. "Gue enggak suka sama lo." Secara harfiah, gue amat sangat enggak suka sama lo.

"Lo nolak gue?"

"Maaf, Ba-"

"Kenapa enggak mau jadi pacar gue?" Ken menggeram tanpa membuka mulut dan tatapannya berubah mengerikan. Aku meneguk ludah.

Detik berikutnya, Ken kembali tersenyum. Rona wajahnya kembali ceria dengan mata membentuk bulan sabit. "Tolong kasih gue alasan."

Kan, ngeri banget!

"Karena lo Ken," jawabku super cepat akibat dentuman jantung ketakutan. Ken menelengkan kepala, masih mempertahankan rona baik-baik.

"Karena lo Kendrick Kardi...joyo." Aku enggak yakin menyebutkan nama panjangnya dengan benar.

"Nama gue Kendrick Kartohadiprodjo." Ken mengulum senyum geli.

"Nah, itu masalahnya, Bang. Bokap gue orang Sumatra dan gue harus meneruskan garis keturunan Sumatra gue. Nyokap gue nyuruh gue enggak boleh pacaran sama suku selain asal Sumatra." Asli, ini boong banget. Bapak lahir dan besar di Jakarta. Kakek dari ibunya Bapak yang orang Sumatra tulen. Terus Bunda juga bukan asli Sumatra, melainkan Bogor, dan enggak pernah menuntutku punya cowok wajib ini itu. Baginya, asal ada yang mau sama aku sudah Alhamdulillah.

Bodo ah, yang penting bisa nolak ajakan sinting Ken.

Ken bertopang dagu pada telapak tangan kiri. "Kalo gue minta lo jadi pacar bohongan gue, gimana?"

Aku menganga. Otakku sampai lumer dipaksa memahami ajakan dia yang ini.

"Tawaran ini enggak gratis."

"Gue enggak mau," potongku cepat.

"Gue kasih lo tiga detik buat mikir ulang." Ken menyeringai. "Satu..."

Aku enggak perlu pikir ulang.

"Dua..."

Ken cuma nge-prank.

"Tiga."

"Enggak!" seruku mantap.

Ekspresi Ken berubah datar. Matanya memicing. Dalam satu helaan napas, dia berubah jadi Ken yang dikenal semua orang. Ken baik hati dengan senyum cemerlang.

"Yellow, aku udah putusin Kara. Aku enggak bisa bohongin perasaan aku. Aku benar-benar sayang kamu. Perasaan ini enggak bisa aku cegah. Aku mohon, jadi pacar aku." Ken berbicara. Eits, dia lebih mirip membuat pengumuman ke seluruh kantin.

Aku melirik kanan kiri. Mata-mata medusa menatapku horor. Busur, tombak, dan pedang ilusi menancap di punggungku. Cukup satu otak bodoh untuk paham bahwa Ken sedang memainkan trik dan semua orang terkena tipuannya.

Bagooooos. Hidupku dibuat tamat dalam kedipan mata. Selamat datang status baru, selamat tinggal gelar jomblo.

Aku bukan kena prank. Aku kena penjajahan. Syiiiit! Apes banget gue!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top