Bab 2

Posisi duduk menentukan hasil ujian
-mahasiswa semester 5-

"Gue udah bilang berapa kali, lo harus kerjain sendiri." Alex mengibaskan tangan depan Bambam, lalu bergegas masuk ke dalam ruangan saat pintu dibuka Bu Martha, dosen Pengantar Ekonomi.

"Lo jangan gitu dong, Lex. Gue temen lo." Bambam masih merengek dan tampak kaget sewaktu melihat kursi yang dipilih Alex persis di depan meja Bu Martha. Bambam enggak akan berani ambil tiga barisan kursi dari depan, jadi aku ambil duduk tepat di belakang Alex.

Alex menoleh padaku. "Lo duduk di situ aja. Jangan biarin Bambam resek. Kalo minta nyontek, enggak usah dikasih. Kebiasaan," bisiknya sinis.

Aku mengangguk sekali. Kemudian menyibukan diri mengeluarkan peralatan tulis. Di saat kampus-kampus lain menawarkan sistem kuliah hi-tech, seperti ujian dalam aplikasi dan kuliah online, kampus tua bangka ini dan seisi dosennya yang uzur memilih metode ujian konvensional melalui duduk terpisah-pisah dan menulis jawaban sampai sendi tangan encok karena mereka amat mencintai kata 'JELASKAN' dan 'BERIKAN CONTOH'.

Soal-soal pilihan Bu Martha hanya sepuluh tapi lembar jawabannya disediakan dua lembar. Aku segera mengisi soal pertama. Isi yang banyak, sebanyak-banyaknya agar terkesan benar-benar paham, padahal gimmick.

Aku melirik ke belakang dari balik lengan, Bambam kewalahan. Aku yakin dia enggak belajar dan sibuk main game online. Kalau begini, enggak ada yang bertanggung jawab, kecuali pilihannya sendiri. Aku menoleh ke Bu Martha yang sibuk main hape. Aman, pikirku. Aku menarik lengan kemejaku dan tersenyum penuh kemenangan pada tulisan kecil-kecil yang kubuat di lengan bagian dalam. Enggak ada soal yang enggak bisa aku jawab kalau sudah ada salinan di sini.

"Yel," desis Alex.

Aku gelagapan dan buru-buru menarik lengan kemejaku. "Ya, Bang?" Jangan bilang Alex butuh jawaban deh. Malesin.

"Kalo ada yang enggak lo tahu, tanya gue aja," bisiknya tanpa menoleh.

Rahangku jatuh. Itu... Aku mencari kata dalam tempurung kepalaku. Dia nawarin contekan? Ebujug!

"Makasih, Bang." Aku jawab dalam volume super kecil.

Alex menoleh sedikit dan aku melihat dia menyeringai. Kemudian dia balik badan dan kembali sibuk pada lembar kerjanya. Aku masih tercenung pada sikap Alex yang mendadak... aneh?

OoO

Aku keluar ruang ujian berbalut senyum lega. Satu tepukan ringan mampir ke bahuku. Alex menyeringai dan menyamakan langkahku.

"Soalnya gimana tadi?" tanyanya.

"Lumayan susah, tapi masih bisa gue kerjain, Bang," jawabku risih. Alex itu biasa ngomong pedas dan pasang muka jutek. Tanpa aba-aba, dia mendadak menawarkan contekan dan menanyakan situasiku, sumpah rasanya kayak Sentul digusur ke sebelah Palmerahーyang mana itu mengejutkan.

"Lo harusnya nanya gue aja. Kan tadi gue nawarin." Alex terkekeh kecil dengan kepala menggeleng-geleng.

Dalam hati, aku bertanya apa yang lucu. Balik lagi, sebagai mahasiswa semester satu, aku harus sopan ke kakak kelas. "Enggak enak, Bang. Ntar kalo ketahuan Bu Martha, nilai lo bisa jelek."

"Enggaklah," sanggah Alex mantap. "Mau makan-"

"Yellow!"

Aku mengangkat tangan pada seruan Pipit. Penyelamat memang enggak datang di awal, tapi dia muncul di detik paling mepet. "Bang, gue duluan ya." Aku setengah berlari meninggalkan Alex.

"Lo ngapain sama Alex?" Pipit menggamit lenganku, kebiasaan si manja ini tiap bersamaku.

"Nanya gimana ujian tadi, terus nawarin gue contekan. Aneh banget," bisikku sembari lirik ke belakang, memastikan Alex enggak mengikuti kami dan menangkap obrolan ini.

"Naksir lo kali." Pipit menoel daguku.

"Idih, enggak mungkin." Aku menggeleng kuat. Lebih baik mempertahankan status jomblo sejak jadi zigot daripada didekati Alex.

"Dia pinter loh. Anak kesayangan Profesor Budi dan kaya. Lumayan kan jadi pacar pertama Yellovita Airin," goda Pipit.

"Bilang aja kalo lo yang naksir Alex. Nanti gue salamin," balasku enggak kalah sadis. "Salam cinta apa salam rindu?"

"Jangan terlalu baik ke gue. Nanti gue aja yang ngomong ke Alex kalo..." Pipit mendekatkan bibirnya dan melanjutkan, "Gue udah gila."

"Sadis lo!"

Aku dan Pipit terpingkal.

"Ujian lo tadi gimana?" Pipit sama-sama semester satu denganku, tapi jadwal kelasnya banyak yang beda jadi dia ujian di ruangan berbeda.

"Nih." Aku menarik lengan kemeja. Pipit membekap mulutnya yang nyaris memekik norak.

"Lo pintar banget," desisnya penuh kekaguman.

Aku berdecih sambil merapikan lengan kemeja. "Malah gue bego, makanya butuh contekan. Coba lo kelasnya samaan, gue bisa nyontek lo."

"Gue juga bego." Pipit menarik lenganku mendadak. "Lihat tuh," bisiknya.

Aku mencari objek yang ditunjuk Pipit. Sepasang kekasih duduk di kursi taman. Couple goal paling tersohor di seluruh fakultas, Ken dan Kara. Semua orang menebak, kalau mereka bakal sampai menikah, anak-anak mereka kemudian akan diberi nama dengan awalan huruf k. Berlebihan, pikirku. Jodoh itu enggak bisa ditebak. Yang tampak awet, bisa saja kandas, lantas menyakiti hingga sakitnya pun diidap orang di luar hubungan mereka yang enggak tahu apa-apa.

"Mereka serasi banget. Ken keren dan Kara cantik banget. Gue berasa nonton drama versi nyata." Puluhan kuncup bunga seketika mekar di sekeliling dunia imajinasi Pipit. Aku memicing, silau pada kebahagiaan yang menebar dari sanubari Pipit untuk pasangan yang enggak relate sama hidupnya. Ciri-ciri netijen banget.

"Biasa aja," kataku enteng.

"Lo aromantis," tuduh Pipit. "Semua orang, dari nenek jompo sampai bayi baru netes bisa lihat gimana mesranya mereka. Lo enggak peka banget. Jangan bilang ...." Dia menyentak rangkulannya di lenganku dan ekspresinya berubah ngeri. "Lo demen sesama?"

Yang ini juga ciri-ciri netijen, tingkat halunya melewati batas normal. "Kok baru sadar?" Aku menggodanya. "Gandengan lagi dong."

"Iiih!" Pipit meraup mukaku dengan beringas. "Jangan ngaco."

"Lo lagi nuduh gue sembarangan." Aku menepikan rambut yang jatuh ke dahi akibat perbuatan Pipit.

"Kenapa lo enggak rapi sedikit? Gue yakin lo bakal tampil lebih cantik. Alex aja sadar lo cantik."

"Gue emang terlahir cantik dan gemesin. Dengan apa adanya diriku." Aku melebarkan lengan dan tersenyum pongah.

"Tadi pagi nyisir?" Pipit memicingkan mata. "Enggak usah jawab deh. Gue males dengar kejujuran lo."

"Emang ketauan banget?" Aku memegang rambut dekat telinga.

"Oh, enggak ada yang sadar kalo rambut lo berantakan. Ngaku aja ditiup angin nakal." Pipit mulai sarkas.

"Besok gue nyisir," belaku, "gue harus berangkat pagi buat ujian jadi enggak sempat nyisir."

"Kosan lo ke sini tinggal lompat-lompat juga nyampe."

"Lompat-lompatan ke sini capek."

"Banyak alasan lo!"

"Namanya membela diri."

"Lo salah masuk jurusan. Sana pindah ke hukum biar kemampuan debat lo terasah."

Aku mencibir ucapan Pipit yang keluar tanpa proses penyaringan. Dipikirnya aku pilih jurusan ini atas kemauan sendiri. Kalau bukan akibat bunda yang terobsesi ingin punya ahli waris pengusaha, mana mau aku repot belajar bisnis.

"Kenapa diam aja di situ? Mau makan enggak?" Pipit mulai nyolot.

"Mau." Aku berjalan lesu membuntuti Pipit. Punya satu teman, susahnya ampun-ampunan. Tapi terlanjur cocok. Aku menoleh ke arah Ken dan Kara, lalu terhenyak sewaktu pandanganku bersirobok dengan Ken. Aku segera buang muka dan berjalan cepat menyusul Pipit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top