Bab 18

Cinta itu datang kayak jelangkung, pergi kayak tuyul.
ーRumus baru mahasiswi baperー

Aku menundukan badan di balik semak saat melihat Bambam berjalan menuju kantin. Kemudian aku merangkak memutar ke belakang stan-stan makanan. Badanku tegak setelah tiba di belakang kantin yang berdinding tinggi, sempurna dari pengamatan Bambam.

"Mana si siluman?" aku bergumam sembari melihat kanan-kiri.

"Lo datang."

Aku berjengit menemukan Lyn muncul di sebelahku tanpa suara derap langkah.

"Ikut gue." Lyn mengedikkan kepala, lalu memimpin jalan ke bangunan kecil yang tersembunyi di balik pepohonan di belakang kantin. Ini pengalaman pertamaku menjelajah belakang kantin. Ruteku yang biasa terbatas kelas, perpustakaan (kalo terpaksa), dan kantin.

"Katanya, Ken nyariin gue, Kak." Aku mencoba mencari bahan obrolan. Berduaan bareng Lyn membuat udara berat dihirup dan canggung.

"Ken?" Lyn menoleh. Ada jeda saat dia menatapku misterius. Aku meneguk ludah susah payah. "Oh, ya. Dia udah pulang tadi. Masuk."

Aku melongok ke dalam ruangan yang dibuka Lyn. Sebuah gudang. Jantungku berdegup kencang. Sebuah ingatan menyambarku. Enggak! Aku harus pergi!

"Kak, aku baru ingat ada janji sam-"

Lyn mendorong punggungku kasar. Aku tersungkur. Lututku nyeri terhantam lantai. Ruangan dinaungi pencahayaan satu lampu bohlam. Ventilasi terbatas tiga blower di bagian atas dinding. Aku merinding. Enggak ada akses selain pintu yang sekarang dikunci dua teman Lyn.

"Ka-kak." Dugaanku bisa saja salah. Lyn mungkin enggak sengaja. Toh dia mengulurkan tangannya. Aku menerima uluran itu dan ditarik berdiri.

PLAK!

Wajahku ditampar seketika. Pipiku panas. Suara tawa dua teman Lyn menyambut.

"Gue enggak suka sama lo. Karena lo, Kara jadi sakit hati," kata Lyn dingin.

Aku memegang pipi kiriku. Sakitnya nyata. Aku benar-benar ditampar. Takut-takut aku melihat Lyn yang melotot.

"A-aku, aku enggak berbuat salah," belaku susah payah.

"Kalian percaya omongan dia?" Lyn bertanya ke teman-temannya.

"Anak baru harus diajarin biar sadar," cetus temannya yang berambut pirang.

Lyn tersenyum licik. "Tentu saja."

Sebuah jambakan bersarang di belakang kepalaku. Lyn menarikku ke tengah ruangan. Kemudian aku dipaksa duduk dan kepalaku dicelup ke dalam ember berisi air. Aku terkejut. Tanganku meronta, berusaha membebaskan diri, tapi Lyn menahan kepalaku tetap di dalam.

"Gimana rasanya, bego? Otak lo udah membaik? Ini balasan buat perbuatan sok lo ke Kara," kata Lyn setelah menarik kepalaku.

Aku terengah. Enggak sanggup membalas ucapan Lyn.

Lyn mendekatkan wajah ke telingaku dan berbisik, "Sebagai pacar boongan Ken, lo akting berlebihan banget. Jangan lupa diri."

Aku membelalak. Lyn tahu hubunganku dan Ken?

"Lo kaget?" Lyn tersenyum meremehkan. "Lo terlalu bego," desisnya. Dia mendorong kepalaku ke dalam ember. Kali ini tanganku menahan pinggiran ember.

"Si bego ngelawan!" Lyn berseru girang.

Dua temannya mendekat. Aku ketakutan mendapati tiga orang mengelilingiku. Tanganku gemetar dan lemas. Pertahananku roboh. Lyn dan kedua temannya mendorong kepalaku hingga wajahku kembali masuk ke dalam air.

Lyn menjambak rambutku ke atas. "Ini buat Kara," kata Lyn. Dia mencelupkan kepalaku lagi. Aku megap-megap di dalam air, belum sempat menghirup cukup udara. Lyn menarikku lagi. Dia berbisik, "Ini buat akting lo." Kedua teman Lyn menahan tanganku. Lyn dengan bebas mendorong kepalaku ke dalam ember.

"Sialan!"

Lyn dan teman-temannya melemparku jatuh di lantai. Aku mengusap wajah dan terbatuk. Aku enggak punya tenaga selain meringkuk di lantai.

"Buat cewek enggak tahu diri, hukuman paling pas adalah dipermalukan." Lyn berbicara lagi.

Aku menyeret badan menjauhi Lyn yang berjongkok di hadapanku. Dia menjambak atas rambutku, menarikku mendekat, dan berbisik, "Apa Ken masih mau sama lo setelah ini?"

Apa-apaan dia? Aku memegang tangan Lyn, berusaha melepaskannya. "Kak. Tolong lepas, Kak."

Dua teman Lyn mendekat. Salah satunya menyodorkan gunting. Aku menggeleng. Jangan benda itu lagi.

"Kak, a-aku minta maaf. Tolong, Kak. Bebasin aku." Aku meracau, panik luar biasa melihat Lyn sudah memegang gunting.

"Permintaan maaf lo terlambat," kata Lyn dengan seringai jahat.

Kres.

Kres.

Kres.

Aku menangis tergugu. Semua ketakutanku berkumpul, mendesak, dan meluluh-lantakan diriku. Ini mengerikan. Sekali lagi aku dipermalukan dengan cara ini.

"Sebagai penutup."

BYUR!

Lyn mengguyur seember air kepadaku. Mereka tertawa bersama.

"Jangan sok cantik lo," kata teman Lyn.

"Makan tuh perbuatan enggak tahu diri," tambah yang lain.

Aku menutup wajah, enggak kuat menerima semua ini. Namun yang bisa aku lakukan hanya menangis. Aku takut. Aku takut. Aku takut.

"Setelah ini, pisah dari Ken. Enggak usah bawa-bawa masalah ini ke dia ato lo akan..." Bisikan Lyn terhenti. Dia memberikan tatapan memperingatkan. Aku menunduk takut dan mengangguk. "Bagus."

Lyn berdiri. "Jangan pernah menyakiti Kara lagi. Lo paham?!"

Aku mengangguk. Tanganku berpilin di pangkuan. Tangisanku enggak mereda. Ini mimpi buruk, mimpi yang menjadi nyata. Bahkan tawa Lyn dan teman-temannya terdengar menyilet gendang telingaku.

"Awas kalo berani bocorin hal ini. Lo yang salah nyakitin Kara," kata si pirang. Temannya yang satu lagi melempar sebuah pel ke arahku. Gagangnya menghantam lenganku keras. Aku mengaduh dan mereka tertawa.

"Jangan bikin luka fisik. Segitu udah cukup. Ayo pergi. Biarin dia refleksi diri di sini, tempat paling cocok buat sampah."

Aku menutup wajah menggunakan kedua tangan. Rasa takut, sedih, kecewa, dan malu bercampur membengkakan hatiku. Aku enggak kuat menahan ini sendiri. Air mataku enggak cukup melampiaskan semua ini.

Kenapa aku lagi? pikirku nelangsa.

Aku meraup potongan rambut di lantai yang basah. Rambutku. "Aku enggak salah, aku enggak jahat," gumamku sembari menyeka mata dengan punggung tangan kanan. Aku mendekap potongan rambutku. Tangisanku meledak makin kencang.

"Astaga dragon! Siapa itu?"

Aku tersentak. Jantungku bertalu, ngeri membayangkan Lyn dan teman-temannya kembali lalu menyiksaku lagi. Mataku buram tergenang airmata. Aku mengusap pakai lengan kemeja, lalu menyelidik sosok yang masuk ke dalam gudang.

"Ya, ampun! Lo kenapa?!" Cewek itu berjongkok di depanku dan tampak ngeri melihat sekelilingku.

Aku merasa familiar pada wajahnya, tapi terlalu malu untuk menjawab. Kondisiku jelas lebih mengenaskan dari sekedar deskripsi basah dan berantakan. Aku hanya sanggup menunduk, menyembunyikan wajahku dari pengamatannya.

Cewek itu memiringkan kepala, melongok wajahku. Dia terkesiap. "Lo Yellow? Cewek barunya Ken? Ada apa sama lo?"

Karena julukan cewek baru Ken, aku begini. Kalimat itu tertahan di balik gigiku yang mengigit bibir bawah.

"Oke, lo enggak usah jawab. Lo bisa berdiri? Ada yang sakit? Perlu gue panggil Ken?"

Aku mendelik.

"Oke, oke, enggak usah panggil Ken. Lo masih mau di situ? Mau gue bantu? Gue bantu aja ya. Lo kayaknya enggak bisa berdiri. Kalo gue pegang tangan lo, sakit enggak? Patah tulang enggak kalo gue angkat lo? Aduh, gue bisa enggak ngangkat lo?" Cewek itu terus mengoceh enggak jelas.

Aku menahan tangan cewek itu yang sudah memegang lenganku. "Aku masih bisa jalan, tapi badanku masih lemas," kataku dengan suara serak.

Cewek itu mengangguk. "Oke. Lo duduk aja dulu. Gue tungguin..." Dia melirik genangan air di sekitar kami, lalu melanjutkan, "di sebelah situ."

Aku tersenyum kecil. Dia duduk di seberangku, cukup jauh. Kami berdua mengisi kekosongan dalam diam. Aku enggak tahu apa dia pikir saat menemukanku. Pikiranku terlanjur larut pada semua yang aku alami dalam gudang ini.

Dan peringatan Lyn.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top