Bab 17

Kalau ada yang aku sesalkan sejak lahir, yaitu kamu. Kenapa aku baru kenal kamu sekarang?
ーMahasiswa playboy kaleng kalengー

"Ciye yang punya Ayang, ngampus aja dijemput." Genta berseru saat aku turun ke ruang makan.

Mbak Leha berbagi cengiran usil ke Genta. Aku menggaruk belakang kepala, gatal karena tadi pagi enggak sempat keramas dan semalam ambruk setelah kencan sepenuh hati versi Ken.

"Ada apa sih, Bang?" tanyaku polos. Benar-benar enggak paham apa yang sedang menghinggapi dua orang itu.

"Noh cowok lo nongkrong di teras." Genta mengendikan dagu pada pintu depan.

"Ken?" Perasaan kami enggak janjian ketemu pagi ini. Aku buru-buru ke depan dan menemukan Ken duduk di kursi rotan yang ada di teras ditemani secangkir teh di meja.

Sekejap yang lalu aku berpikir dia datang untuk membongkar kisah kasih yang tak sampai. Siapa yang duga dia mau mengantarku kuliah. Aku ingin berkata 'celaka' lalu melempar jutaan alasan enggak harus naik mobilnya yang pantang disentuh. Ken lebih cepat mencekal lenganku.

"Bilang sama Mbak Leha, makasih tehnya," perintah Ken dengan santai saat aku meronta.

"Ngomong aja sendiri!" aku balas setengah berteriak.

"Ngomong apa sih?" Kepala Mbak Leha tahu-tahu muncul dari balik pintu.

Ken berubah ramah dan berbicara, "makasih teh manisnya, Mbak. Tehnya wangi dan manisnya pas. Saya suka banget."

Mbak Leha senyum malu-malu. "Duh, baru teh. Kapan-kapan cobain gorengan Mbak. Noh Genta kagak bisa mup on gitu makan segigit."

Aku memutar bola mata. Bertambah lagi korban guna-guna Ken, seolah penggemarnya di kampus masih kurang.

"Tentu aja, Mbak. Kapan-kapan masakin saya gorengan ya. Sekarang kami pamit dulu. Makasih, Mbak. Selamat bekerja." Ken menutup cuap-cuap pelet dengan senyum sakarin.

(sakarin sejenis pemanis buatan yang 300x lebih manis dari gula murni)

"Hati-hati ya, Mas Ken. WhatsApp aja kalo mau ke sini. Mbak siapin gorengannya."

Aku melotot ke Ken lalu Mbak Leha, akhirnya buntu. "Lo tukeran nomor WA sama Mbak Leha?" tanyaku menyelidik sewaktu Ken mendorongku masuk ke dalam mobilnya yang masih berstatus PANTANG DICOLEK.

"Mau tahu aja urusan gue dan Mbak Leha. Awas tangan lo megang jok mobil gue. Sini gue aja yang pasang seatbelt-nya."

Ken membuatku sukses tersenyum miris. Ke Mbak Leha yang baru dikenal hari ini, dia bisa bersikap manis dan membagikan senyuman peletnya. Sementara aku yang dari zaman tersasar di hari pertama kuliah dan sampai detik ini mengisi kehidupannya, boro-boro Ken mau manis dikit kecuali ada racun yang tercampur.

"Gue penasaran seberapa pentingnya gue sampai lo mau datang jemput." Aku teringat sesuatu. "Lo mau culik gue kemana lagi?"

"Kuliah lo masih satu setengah jam lagi kan?" Ken menengok jam tangan di pergelangan kiri. "Kita makan sebentar. Gue belum sarapan."

Aku menutup wajah dengan kedua tangan. "Kalo ini bagian aksi kencan sepenuh hati lo, gue rasanya mau mati. Plis jangan lagi, Bang."

Ken mulai menjalankan mobil. Aku mengintip dari sela tangan, ke arah mana siluman ini membawaku. Plaza Senayan. Untunglah. Enggak jauh dari kampus.

"Ngopi dikit. Lagian semalam itu salah lo. Kenapa makan kayak orang kesurupan gitu? Apa lo bener kesurupan semalam?"

Aku ingin balas, kesurupan aura jahat lo. Eh tapi, potensi penyiksaan Ken akan semakin berkibar. Aku juga masih jadi junior di kampus yang butuh ketenangan dari gangguan senior ular.

"Gue kecapean jadi butuh makan," jawabku jujur.

"Badan lo payah banget, main sedikit sudah loyo. Besok gue beliin Anlene Gold."

"Kasih gue kebebasan aja." Aku menyandarkan kepala pada jendela dan merenungi nasibku yang jauh dari kata merdeka. Kalau enggak Bambam, ya Ken. Seolah statusku hidup, enggak lebih untuk memenuhi kebutuhan orang lain.

"Woi, pala lo jauhan dari jendela gue." Ken menarik telingaku, membuat aku menjerit kaget dan kesakitan.

"Lo gila! Kuping gue sakit!"

"Pala lo bertindak enggak menyenangkan ke mobil gue."

"Lo kan bisa ngomong baik-baik, enggak usah jewer gue. Segitu berkumannya gue buat menyentuh mobil lo? Ngapain lo ajak gue masuk mobil lo?" Emosiku mendidih. Siluman kurang bahagia memang butuh liburan ke neraka. enggak mulut, enggak tangan, refleksnya enggak jauh dari menyakitiku.

"Gue enggak mungkin naik taksi kalo mobil gue ada dan nyaman banget. Lain kali pake sarung tangan, terus bungkus kepala dan seluruh muka lo biar mobil gue tetap higienis," balas Ken bagai angin lalu. Dia memanuver mobil ke parkiran PS.

"Enggak sekalian lo bawain kain kafan buat bungkus sekujur badan gue?" Aku membuang muka. Kesal enggak tertahan.

Ken terbahak, seolah kami sedang membicarakan orang lain.

"Gue bawain seperangkat alat sholat sekalian penghulu. Gimana?" goda Ken setelah sukses memarkir mobilnya di antara Voxy dan Wrangler.

"Jangan lupa siapin calon suami seganteng Jaemin NCT, sekaya Reino Barrack, dan sepintarー"

"Gue?" Ken memotong cepat.

Jika mataku bisa membunuh pakai laser macam Cyclops, Ken pasti sudah hangus jadi debu. "Lo menilai diri lo terlalu tinggi, Bang," sahutku dalam suara berdesis.

"Kebetulan gue selalu peringkat satu di kelas dan selama kuliah enggak pernah dapat selain A. Gimana dong?"

Si Bangkeeee!

"Lo nyombong gini, anak-anak di kampus tahu?" Aku melipat tangan, berlagak enggak gentar karena ucapan Ken barusan. Padahal aku harus memeras darah dan menambah dosa untuk menorehkan A dan B di KHS.

"Buat apa gue sombongin, mereka udah tahu nilai gue." Ken melirikku meremehkan. "Gue cuma ngasih tahu lo aja. Kali-kali lo lupa siapa yang duduk di sebelah lo."

Aku tertawa sarkas. Gini banget aku memulai hari. Apa enggak ada pilihan memulai hari dengan sapaan Young Lex dan Viki Prasetyo? Asam urat dan tekanan darah tinggi bisa menyerangku yang belum dua puluh tahun.

OwO

Pipit melingkarkan tangan di lenganku sewaktu aku keluar kelas Statistik Bisnis. Aku enggak cocok bertemu angka. Bahan kuliah yang diberikan Pak Ginting serasa nyanyian nina bobo di telinga. Aku bahkan enggak yakin ada yang nempel, kecuali ucapannya, "Sampai di sini. Pelajari lagi di rumah."

Apa coba yang dipelajari? Au ah! Ntar tanya yang sekelas aja.

"Katanya, lo diantar sama Ken. Bener gitu?" Pipit memulai obrolan sembari menarikku turun.

"Iya. Tahu dari mana?" aku enggak punya kelas yang samaan bareng Pipit hari ini. Heran saja dia tahu apa yang belum aku bagikan.

"Tita. Dia dengar dari sesamanya."

Kami mengodekan tukang gosip sebagai sesamanya Tita.

"Oh." Aku melirik dan enggak sengaja bertemu mata dengan Alex. Sebagai bentuk sopan santun, aku tersenyum kecil.

Pipit enggak sadar keberadaan Alex. Dia menarikku berbelok menjauh, menuju bagian administrasi.

"Gila ya. Kabar lo diantar Ken bikin heboh."

Aku enggak perlu bertanya ada apa, why, waeyo, dan sebangsanya. Pipit itu serupa kran yang lupa ditutup, selama air dalam penampungan masih ada maka mengalir terus isinya.

"Ken itu enggak ada kelas hari ini, tapi dia mau gitu ngantar lo doang ke kampus yang jaraknya selepetan dari kos. Makanya, banyak cewek yang ngerasa Ken itu diperbudak sama lo. Harusnya lo enggak usah manja pakai antar jemput pacar, toh pas jaman pacaran sama Kara, Ken enggak pernah harus jadi sopir dadakan gini..."

Pipit terus mengoceh. Mulutku makin menganga. Di sini aku yang diperbudak. Astaga! Ini orang pada gila semua?

AKU-ENGGAK-PERNAH-NYURUH-KEN-JEMPUT!!!

"Pit." Aku menyela ocehan Pipit bertepatan seorang senior menghampiri kami.

"Yellow, dicariin di belakang kantin," kata senior yang aku lupa namanya.

"Siapa yang nyariin, Kak?" Dengan koneksi sebatas Pipit, Tita, Ken, dan Bambam, aku enggak yakin ada yang membutuhkanku.

"Kayaknya Ken." Senior itu pergi begitu saja.

Aku memandang Pipit yang memberikan tatapan kepo. Aku hanya sebatas mengedikkan bahu, lalu memisahkan diri.

Sudah menyebabkan gosip aku memperbudaknya, masih saja siluman ular menggentayangi waktu bebasku setelah kelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top