Bab 15

Capek skripsi, maunya nikah.
Capek kerja, maunya nikah.
Memangnya nikah solusi capek?
ーMantan mahasiswaー


Libur telah usai, waktunya mempersiapkan kondisi lahir batin masuk kuliah. Aku memanggul tas merah yang kontras dengan kepribadianku.

Menurut webtoon yang aku baca marathon selama dua hari, aku harus membuat sedikit perubahan agar peruntunganku membaik. Termasuk mengucapkan satu kalimat dengan lantang di depan cermin.

"Gue manusia paling beruntung!" Aku mengepalkan tinju ke udara. Kali ini aku bersungguh-sungguh akan menjalani kehidupan kampus, berniat mengisinya dengan semua kebaikan dan kebahagiaan.

Dan semua pemikiran positif yang aku miliki sejak jam tujuh pagi tertiup angin. Wuuuuussss. Enggak ada yang tersisa.

Orang-orang menyambutku dengan tatapan penasaran. Bambam berderap cepat menyongsongku yang baru tiba di lantai dua sambil membawa kabar celaka. "Lo, gue, dan Ken sekelas di matkul Filsafat Bisnis."

Langit baruku yang berhias pelangi dan awan berbentuk domba pink berarak menjauh, ditendang awan gelap dan sambaran petir.

"Ma-matkul apa, Bang?" tanyaku dalam suara lemas.

"Elah saking bahagianya sampe lo enggak merhatiin. Kita kuliah Filsafat Bisnis bareng di kelas Pak Aji. Ayo makan." Bambam merangkulku menuju satu-satunya tempat kecintaannya di kampus ini, kantin.

OwO

"Lo sekelas sama Ken?" Tita mengulang kabar yang sudah aku bagi.

"Juga Bambam," tambah Pipit.

"Di hari Senin!" aku mengerang. Senin itu permulaan segala aktivitas dalam sepekan, lalu aku TERPAKSA menjalaninya bersama Ken dan Bambam. Takdir macam apa ini? Aku baru mulai mengubah kisah hidupku. Aku ingin jadi tokoh utama wanita yang menginspirasi, bukan terus-terusan jadi bahan prihatin dan iba siapa pun yang tahu kisah hidupku.

"Hebat," Tita bertepuk tangan, "tingkat kekentalan jodoh lo dan Ken memang patut diapresiasi."

Apresiasi gigi lo, Tita!

Aku menahan diri enggak membocorkan fakta hubunganku dan Ken sebatas penjajah dan budak. Ikatannya kuat tapi merugikan di pihakku.

"Ken mulai ngerjain skripsi di semester ini ya?" Pipit melempar pertanyaan yang enggak bisa aku jawab.

Untung biang gosip macam Tita kumpul bersama kami. "Gue dengarnya begitu. Dia juga freelance di kantor bokapnya. Lo tahu?"

"Bapaknya sales kan?" tanyaku yang teringat tragedi Bunda mewawancara Ken.

"Ngegampangin lo." Tita menyanggah keras seolah kita sedang bahas hidupnya.

"Ken bilang sendiri bapaknya jualan mobil," belaku.

"Iya jualan mobil. Maksudnya tuh showroom mobil."

Bibirku membentuk o kecil tanpa suara. Kalau begitu pantas dia bisa tinggal di apartemen duplex sendirian. Uang bapaknya pasti banyak.

"Oke juga hidup Ken," puji Pipit enggak berguna. "Pacarnya temen gue memang keren."

"Lo tahu enggak." Tita membuka sesi gosip hot.

"Enggak. Apaan?" Pipit duduk merapat ke Tita dan menarik lenganku mendekat. Kami jadi mirip penumpang angkot yang duduk mepet-mepet di saat kursi taman dibuat sepanjang satu meter.

"Kara lagi dekat sama senior gue yang namanya Adit. Gue awalnya enggak percaya tapi tadi pagi gue lihat mereka berdua makan di kantin akrab banget," bisik Tita dengan tampang ratu gosip.

"Yellow makan di kantin bareng Bambam enggak ada yang mikir mereka lagi dekat." Pipit ngebanyol. Semesta juga tahu keakrabanku dan Bambam itu bak inang dan parasit.

"Yellow mah kartu Eat & eat berjalan Bambam. Aneh sih cuma lo doang mahasiswi yang kena dipalak Bambam."

"Iya juga. Bambam cuma malak Yellow. Kalo mahasiswi lain palingan diminta contekan doang. Ada apa-apanya nih?"

Pipit dan Tita mencurahkan senyum jahil. Aku memutar bola mata. Kita lagi bahas Kara yang sekejap bergeser ke topik internal aku dan Bambam.

"Mau bahas gue ato Kara nih?" aku berdecak.

"Oya, Kara lagi." Si biang gosip enggak mau melepas hot potato di kepalanya. "Kara kan awalnya narik simpati mahasiswa karena diputusin Ken buat cewek kayak lo."

'Kayak lo' itu terdengar sakitnya tepat menghunus jantung dan menikam harga diri. Makasih banyak pada Tita yang enggak pernah lupa mengingatkan aku pentingnya kesadaran diri.

"Sejak gue lihat Kara dan Adit, gue jadi enggak simpati lagi. Dia gampang gitu move on dari Ken. Mending gue dukung Yellow. Lo juga, Pit, dukung Yellow walau Ken dan Yellow itu kayak Pangeran dan kodok," cerocos Tita berapi-api.

"Sip! Gue akan dukung Yellow bersama Ken," imbuh Pipit sama-sama lebay.

Alasan nomor dua kuliah hari pertamaku jauh dari segala rencana. Well done, Yellow.

OwO

Percaya enggak percaya, Ken enggak datang ke kelas Etika Bisnis. Aku girang enggak harus akting aneh-aneh karena ada dalam radius sepuluh meter siluman ular. Sekali lagi, peruntunganku berbalik arah meninggalkan aku yang dicecar teman-teman di kelas untuk memberikan tugas pertama Etika Bisnis ke Ken.

Padahal seratus persen mahasiswa yang kuliah di sini kenal Ken. Bahkan jangkrik yang sering nongkrong di parkiran pun kenal Ken.

Aku enggak berani menolak mereka ketika Bambam ikutan mengompori massa yang gaduh menyuruhku menyampaikan tugas Pak Aji. Aku mengirim pesan dan enggak menerima balasan sama sekali. Nanya mahasiswa yang papasan pun kurang bisa dipercaya. Biasanya menemukan Ken itu segampang mencari kerumunan laron maka lampu yang dikerubuti itu pasti Ken.

Aku bertemu Adit di tangga. Dia menyapaku duluan, cukup ramah walau enggak menampilkan senyum jutaan mega watt kayak siluman ular.

"Kakak tahu dimana Abang Ken?" Sesama mahasiswa jurusan, kami memang dibiasakan panggil abang untuk senior cowok. Karena aku kurang akrab dengan Adit, aku pilih panggilan sopan kakak.

"Kamu nyari Ken?" Adit membatalkan niatnya menuruni tangga.

"Iya."

"Dia kenapa lagi? Enggak masuk kelas?"

"Iya." Aku mengangguk, menutupi fakta aku kaget pada tebakan Adit.

"Coba ke perpus. Kalo enggak ketemu, cari di belakang masjid."

"Oke."

Adit tersenyum, lalu pergi, menyisakan aku yang sangsi Ken bisa ditemukan di perpus dan belakang masjid. Kesannya dua tempat itu lebih cocok untuk anak baik-baik, alih-alih si siluman.

Alasan ketiga kuliahku gagal dari segala keberuntungan ialah saat aku menemukan Ken ada di perpus. Dia sedang meletakan kepalanya pada meja di ujung terdalam perpus tanpa memajang buku apa pun di atas meja.

"Lo sedang apa, Bang?" Aku berbisik sembari membungkukan badan. Aku bersikap enggak tahu Ken hanya numpang bobok di perpus.

Ken menyeringai. "Ayang nyariin? Apa disuruh ngasih tugas Pak Aji?" tanyanya masih enggan mengangkat kepala.

Aku duduk di sebelah Ken dan mengangsurkan selembar kertas fotokopian tugas Pak Aji. "Buat lo, Bang."

"Iya." Ken enggak mengambil kertasku dan terus memainkan cincin di meja.

"Lo galau gini karena Kara lagi dekat sama Adit?" Berdekatan sama Ken itu seolah treatment mulutku bekerja sebelum otakku selesai loading. Aku menyesal, tapi kadung penasaran.

"Kenapa mikir gitu?"

"Gue rasa insting gue terasah, Bang," jawabku ngasal.

Ken mengangkat kepalanya. "Coba instingnya dipertajam buat belajar."

"Itu mah nanti aja pas kepepet dan mendekati ujian. Gue itu mencontoh dinas PU yang demen benerin jalan di musim hujan."

"Bisa banget alasan lo." Ken tertawa kecil, lalu tatapannya jatuh ke cincin di meja.

Aku ikut menatap cincin itu, menerka siapa pemiliknya dan kenapa Ken memainkan cincin itu. Dugaan sementara jatuh ke Kara dan hubungan masa lalu mereka.

"Mau ikut gue?" tanya Ken. Wajahnya sudah enggak mendung.

"Kemana lo mau culik gue?" aku melingkarkan tangan ke depan dada protektif.

"Jual cincin ini terus kita kencan."

Siluman ular mabok udara perpus ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top