Bab 13
Ambyaar...
Situ yang ganti status. Di sini yang kretek kretek.
ーMahasiswa yang jadi secret admirerー
Setelah aksi Ken meluk terus bilang makasih dan maaf, siluman ular itu mengusirku terang-terangan. Dia menarikku keluar dari apartemennya lalu menyuruhku pergi dari tempat lain.
Woiii, gue datang karena resah sama keberlangsungan hidup lo!!
Mbah Gugel yang dipercaya sama mutakhirnya dengan Roy Kiyoshi dan Mbah Mijan hanya bisa memberi jawaban absurd untuk kebingunganku.
Aku beralih ke solusi kedua. Call a friend. Tita sedang pergi ke Malaysia dan ngamuk karena aku ganggu. Aku juga mau ngamuk pas sadar pulsaku meluncur bak roket akibat telepon dia. Ujung-ujungnya aku chat Pipit yang kebetulan cuma ngetrip ke Bali dan enggak merasa privasinya terganggu.
Masak sih?
Aku meraba dadaku dan berpikir, enggak kecil banget. Lumayanlah ada.
Pendapatku jelas subjektif. Sebaiknya aku cari pihak ketiga yang berpengalaman dan bisa memberikan masukan mengacu pada jangka hidupnya.
Dan, pilihanku mentok di Mbak Leha.
Aku lirik kanan kiri, lalu jalan mengendap ke dapur. Suara musik dangdut mengalun makin kencang seiring langkahku yang kian dekat dapur. Mbak Leha sedang mengepel sambil nyanyi Iwak Peyek.
"Mbak, mbak," desisku.
"Ngapa?"
Aku mendekat hati-hati. Mataku tetap memantau keberadaan penghuni Rumah Pelangi, memastikan keberadaan kami aman dari serangan kepo yang lain.
"Segini," aku menarik leher kaosku dan menunjukan isi dalamnya ke Mbak Leha. "Kurang?"
Mbak Leha berpikir keras. Kernyitan di dahinya menandakan pertanyaanku cukup berat.
"Kekecilan, Mbak?" tanyaku waswas.
"Harus sering dipijat itunya." Mbak Leha menunjuk dadaku. "Terus lu sering gini." Tangan Mbak Leha menyatu di belakang punggung. "Tiap hari hitung sampai dua puluh."
"Bikin gedean, Mbak?"
"Kagaklah." Mbak Leha berdecak. "Seenggaknya punggung lu jadi tegap. Terus lu harus makan 'itu'."
Aku mendekatkan diri. "Itu apa maksudnya?" bisikku. Ini jelas resep rahasia.
"Sini." Mbak Leha membisikan sesuatu yang bikin aku kaget.
'Itu' bisa bantu ukuran dadaku? Yakin?
Dua jam kemudian, aku dan Mbak Leha berkutat di dapur setelah belanja di Pasar Palmerah. Hasil perburuan demi menambah ukuran 'cup' lumayan banyak. Aku baru sekali itu ke pasar dekat kosan, dan kaget pada kelihaian si mbak menggoyang harga ke penjual.
"Udah lengkap semua." Mbak Leha tersenyum bangga pada makanan di atas meja. "Duduk situ, Yel. Mbak ambilin nasi. Makan yang banyak."
"Widiw, banyak banget makanannya!"
Genta dan Oca masuk saat Mbak Leha menyerahkan sepiring nasi.
"Makan bareng, Kak, Bang," ajakku.
"Tapi kenapa sayur katuk dan tumis toge?" Oca menatap masakan Mbak Leha sangsi.
Aku menarik kaos Oca, lalu berbisik, "Kata Mbak Leha, makanan ini bisa bikin dadaku membesar."
"Bikin besar dari mana? Sayur katuk itu buat ibu menyusui biar ASI nya lancar! Toge itu biar cewek subur!"
Eh?
Aku menoleh pada Mbak Leha yang cengengesan. Kemudian ke Genta yang terbahak.
"Biar lu makan sayur, Yel. Keseringan makan ayam mulu. Badan lu juga butuh gizi dari sayuran," kata Mbak Leha tanpa dosa.
"Udeh makan, biar nambah gede tetek lo," ledek Genta.
Mbak Leha menyendokan nasi ke piring Genta dan Oca. Kemudian mereka mengambil lauk ke piring masing-masing. Di meja ini enggak ada yang merasa malu, kecuali aku.
Aku ingin gali lubang buat kubur mukaku!
Semua gara-gara siluman ular!
OwO
Aku berlari. Langkahku ringan karena telepon bunda yang menyuruhku segera keluar kos. Aku celingukan, enggak menemukan mobil Bunda ataupun Bapak di sekitar Rumah Pelangi.
"Yellow! Sini!" bunda berteriak dari mobil sedan yang parkir di seberang jalan.
"Bunda beli mobil?" tanyaku begitu masuk ke mobil.
"Enggak. Bunda dapat lucky draw dari mol. Jalan, Pak Mul."
Bunda itu memang keseringan hoki. Beli kopi sachet saja, dia menang sepeda motor. Undian di supermarket, terima kulkas. Bahkan, beli ciki gope saja, Bunda dapat uang lima puluh ribu di dalamnya. Kalau Bunda sampai terima Mercedes untuk customer loyalty, aku enggak aneh sih. Selain hoki, bunda juga sering belanja di mol sebagai bagian usaha jastipnya.
"Ini." Bunda memberikan aku boneka Teddy Bear putih.
Aku mengernyit menerima boneka itu. "Bunda ingat aku suka Peter Rabbit, kan?"
"Ingat," jawab bunda cepat. "Itu Bunda dapat dari mol. Katanya belanja Bunda cukup poin buat tukar boneka itu."
Aku menatap Steiff Sweetheart Teddy Bear dan tersenyum kecil. "Bunda enggak coba jual boneka ini?" godaku.
"Maunya gitu, tapi malas ah. Buat kamu aja. Omong-omong..." Bunda duduk miring. Mata Bunda berubah warna dan aku tahu lanjutan omongan Bunda. "Kalo dijual, harga pasarnya berapa?"
"Bunda enggak tahu?" Aku geleng-geleng kepala pongah. Bunda boleh jadi personal shopper dan agen jastip yang rela keliling setengah dunia. Sayangnya, pengetahuanku buat yang satu ini lebih kece.
"Kalo mau nyombong besok-besok aja. UAS kamu gimana? Ada yang C? Ada yang harus ngulang?" Sejak Bunda lihat hasil UTS-ku beberapa bulan lalu, pertanyaan Bunda memang berubah pola. Dia enggak nanya matkul yang nilainya tinggi yang mana. Dia memulai perhatiannya dengan memastikan aku enggak mengulang matkul.
"Aman, Bun! Nilai A dan B."
"Ada A? Matkul apa?"
"Pengantar Ekonomi dan Bahasa Indonesia," jawabku dengan senyum lebar.
Memang ya sebagai orang yang lahir besar dan menyandang KTP Indonesia, bisa memperoleh A buat Bahasa Indonesia itu kebanggaan. Kayak menang olimpiade gitu.
"Kalo gitu Bunda belanjain kamu. Pak Mul, ke Pacific Place sekarang. Yellow mau beli baju baru."
Aku mencibir. Enggak ada ya, aku minta baju karena dapat A. Aku maunya cake.
Berhubung ke Pacific Place, dekat juga sama goa mewah siluman ular. Apa aku belikan makanan buat dia?
Aku menggeleng kuat. Ntar diusir lagi, malu-maluin. Ngapain juga ingat dia sih?
"Kamu kenapa?" bunda menepuk pundakku ringan.
"Bun, teman aku ada yang pacaran terus galau gitu. Dia curhat ke aku tapi aku bingung." Curhat dikit ke Bunda deh.
"Emang ada apa?" Bunda bertanya sambil sibuk menekuni hape, ciri khasnya yang sering menerima orderan.
"Dia dipeluk cowoknya terus disuruh pulang ama cowoknya. Bukannya dia berharap diapa-apain ama cowoknya tapi aneh aja. Bunda juga mikir gitu kan?" aduh, aku harusnya tulis dulu curhatanku sebelum ngomong ke Bunda. Kalau begini, kesannya jadi si cewek (aku) kegatalan.
"Kamu udah punya cowok?" tembak bunda yang sekarang mengeluarkan iPad.
"Enggak! Kan dibilang teman aku!" Kok bunda nebak ke situ sih?
"Ngaku aja itu cerita kamu," kata Bunda yang sibuk kanan kiri dengan hape dan iPad.
"Dibilang bukan aku." Nada suaraku menurun di ujung. Bohong ke orang tua itu rada gimana gitu.
Etapi aku dan Ken enggak pacaran beneran yang artinya aku.enggak.boong.KAN?
"Ya udah, Bunda percaya. Bilangin temen kamu buat bilang makasih ke cowok itu." Bunda sibuk ketik-ketik di iPad sambil lirik hape dan enggak membuat kontak mata padaku sama sekali.
"Kenapa bilang makasih ke cowok itu?"
"Bilang aja, makasih. Kasih tahu, Bunda yang ngomong. Jadi temen kamu nanti bilang ke cowoknya kalo Bunda bilang makasih." Bunda menepikan iPad dan hape. "Lagian temen kamu ribet ya. Masih muda, pacaran jangan dibikin lebay. Kalo suka, jalani. Kalo capek, dilepas. Enggak semua yang teman kamu mau bisa dia dapat. Enggak semua yang ngebingungin itu bisa nemu pemahamannya. Paham?"
"Enggak."
"Ya Allah, Yellow! Bunda ngomong banyak malah enggak didengar. Gimana kamu..."
Perjalanan menuju Pacific Place yang biasanya kurang dari sepuluh menit serasa seratus tahun akibat ceramah dadakan Bunda.
Lain kali jangan curhat ke Bunda deh.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top