Bab 12

Syahrini enak kalo diputusin bisa nyanyi. Lah gue diputusin bisanya gigit jari.

mahasiswa dan lagu Kau Yang Memilih Aku—

"Lo mau ketemu Ken?" Lyn bertanya datar.

Aku mengangguk sekali agak ragu. Ini jelas bukan Lyn yang aku lihat di koridor kampus.

"Dia di dalam, tapi..." Lyn melirik Oca dan Gio. "Kayaknya lo berdua harus pulang. Ken lagi sakit."

Aku tersenyum sambil mengangguk ke Oca dan Gio. Untung mereka paham dan mau pergi setelah bye-bye lebay hampir semenit. Lyn menguak pintu apartemen Ken, memberiku ruang untuk masuk.

Ken sedang duduk di sofa depan TV. Dia enggak menyadari kedatanganku dan terus menatap layar yang menayangkan Spongebob. Aku bergidik ngeri menemukan kesukaan Ken sama konyol dengan kepribadiannya.

"Ken," panggil Lyn.

Ken menoleh. Dia kaget mengetahui aku ada di sebelah Lyn. Aku cuma melambai enggak jelas.

"Kamu udah sampe?" Alis Ken mengerut.

"Surprise!" Aku pura-pura berseru riang. "Kaget, kan?"

"Ah." Ken melirik Lyn. "Lo bisa pulang. Gue udah ditemani cewek gue."

Itu maksudnya Lyn yang disuruh pulang? Bukan aku, kan? Apa aku?

"Oke. Jaga diri lo." Lyn mengambil tas cantik yang ada di sebelah Ken. "Lo masih punya waktu buat berpikir, Ken."

"Ya." Ken menopang siku ke paha. Dia memfokuskan diri pada adegan Spongebob dan Patrick di Krusty Krab.

Lyn menghela napas saat melewatiku. Dia pergi tanpa basa-basi kepadaku. Boro-boro basa-basi, dilirik Lyn saja enggak.

Mana yang lebih buruk, disinisin apa dicuekin?

"Duduk sini!" Ken mengedik pada sisi sofa sebelahnya yang kosong.

Aku duduk dan berusaha menonton Spongebob tanpa subtitle, lalu tersadar betapa begonya aku soal bahasa Inggris. Untung Bunda enggak menjerumuskanku ke jurusan bahasa Inggris. Bisa ketahuan kemampuan kuliahku sebatas catatan dewa di lengan dan sistem hafalan SKS.

"Lo suka horor?" tanya Ken.

"Enggak."

"Komedi romantis?"

"Enggak."

"Misteri?"

"Enggak."

"Apa tontonan kesukaan lo?"

"Outlander," jawabku enteng.

"Anak baru lulus SMA nontonnya Outlander?" Ken memicing. "Lo yakin masih polos?"

Aku tersenyum pongah sambil bersidekap. "Gue udah nonton Romeo and Juliet yang diperankan Olivia Hussey dan Leonard Whiting. Terus Scarlett O'Hara. Gue juga suka Anne with E. Apa itu menjawab kecurigaan lo?"

"Enggak terlalu. Sam Heughan sering naked di Outlander, kan?"

"Anggap aja bagian seni dan kebutuhan cerita," balasku sok enggak peduli. Padahal mah aku jingkrak-jingkrak bareng Pipit pas lihat adegan itu.

"Dasar." Ken mengacak-acak puncak kepalaku dan bikin aku menjerit sebal.

"Kalo tambah berantakan, ntar mata lo makin tersakiti," sindirku sembari melindungi kepalaku pakai tangan.

"Baper nih." Ken terkekeh, bikin aku makin dongkol. Dia mengambil hapenya lalu membuka sambungan ke TV. "Kita streaming Outlander. Mau yang season berapa?"

"Gue suka season pertama. Jamie pas awal-awal kenal Claire. Tapi lo mendadak baik gini bukan karena ada apa-apanya, kan?"

TV sudah masuk ke situs nonton streaming dan Ken masih mengetik judul serial yang mau kita tonton. Bertemu Ken yang oke-oke saja dengan kemauanku itu seperti papasan dengan Bambam dan enggak digeret ke kantin. Bukan bersyukur, malah bikin cemas.

"Gue suka ceritanya. Kebetulan lo ngingetin gue sama serial ini. Gue belum nonton yang season empat. Lo udah?" Ken meletakan hape dan TV mulai menayangkan lagu pembuka Outlander yang khas.

"Kebetulan yang menyenangkan." Aku menyandarkan punggung di sebelah Ken. Ini bukan alasan kunjunganku. Iyalah, siapa yang butuh nonton streaming bareng. Di kosanku juga ada TV walau enggak selebar milik Ken dan ada akses free wifi yang kadang buffering. Overall, kamar kosku lebih nyaman daripada goa siluman yang mewah ini.

"Lo bebasin gue dari tugas ayang KW sampai masuk kuliah?" Aku bertanya pelan-pelan, ngomong sambil berpikir jangan sampai salah ucap.

"Iya."

"Lo baik-baik aja?" Jantungku jumpalitan melempar pertanyaan barusan.

"Terlalu sehat untuk mati," jawabnya garing.

Aku memicing. Waktuku terbuang sia-sia untuk khawatir Ken menegak cairan karbol akibat patah hati.

"Ada apa sih?" Ken memutar badannya menghadapku. "Lo natap gue kayak nangkap basah gue nyolong sesuatu."

Dia marah! Ken marah! Kok marah sih? Aku mengernyit.

"Itu!" Aku menunjuk TV. "Harusnya lo enggak pasang episode ini. Gue suka pas Claire dan Jamie malam pertama."

Ken membelalak. Aku meneguk ludah. Ampun deh. Dari sekian ribu adegan Outlander, kenapa harus adegan itu yang aku ingat?

"O-oke." Ken mengambil hape tanpa melepas pandangannya dariku. "Lo punya adegan favorit ya."

"Bukan. Itu, apa tuh, Jamie kan, itu loh, yang punggung Jamie..." Mau ngomong apa sih gue?

"Ah! Punggung Jamie." Ken mengerling jenaka.

"Ada bekas luka!" Aku berseru. Alasan apa pun yang penting jangan rusak citra diriku. Cukup aku, Tuhan, dan Pipit yang tahu proses rusaknya moralku akibat hentai manga dan adegan dewasa di serial Netflix.

"Gue sedih sama masa lalu Jamie. Apalagi kan, itu, Claire, dia, itu-"

"Kebanyakan itu. Udah nonton. Gue majuin ke adegan kesukaan lo."

Aku menggigit jari. Kalau nonton bareng Pipit, aku jelas bebas putar ulang adegan krusial yang menampilkan kegagahan Jamie. Lah, di sebelahku ada Ken. Yang ada aku gelisah dan mau pulang. Ini kami benar-benar nonton adegan Claire dan Jamie enggak pakai baju?

Aku ambil bantal sofa, memeluk erat, mengalihkan emosi yang menumpuk. Aku enggak tahu salahku apa sampai sepanjang hari ini banyak dapat pemandangan yang jauh dari kata polos.

"Siapa yang jadi Claire?" tanya Ken sambil menunjuk ke TV.

"Caitriona Balfe?" Aku menyembunyikan setengah wajahku di balik bantal.

"Dia cantik dari atas ke bawah. Bahkan rambutnya rada messy gitu bikin dia tambah seksi. Kenapa..." Ken menoleh. Bibir bawahnya maju. "Lo messy dan enggak seksi?"

Aku mau telepon Sun Go Kong biar tangkap siluman ini dan tarik ke neraka. Jangan kasih izin Ken eksis di muka bumi.

"Maaf kalo gue messy tapi enggak seksi kaya Caitriona," kataku sarkas. Aku buang muka. Nyesel deh datang ke sini.

"Uluh uluh, bocah ngambek. Coba lihat sini. Biar Ayang liat muka ngambeknya. Kali aja seksi."

Aku menepis tangan Ken yang mencoba memegang wajahku. Dipikirnya wajahku itu spons kali, enak aja pegang-pegang.

Aku menghadap Ken dengan wajah dibuat-buat sejelek mungkin. Bibir manyun, hidung mengerut, dan mata disipitkan. Nih, wajah seksiku.

Ken terbahak, tampak puas lihat aku jadi bulan-bulanan. Aku berdecih. Selain korban penjajahan, aku pun merangkap badut dadakan. Kemudian hal paling ajaib sekaligus sial terjadi. Ken mengalungkan kedua lengannya di leherku, memangkas jarak kami, dan menopangkan dagu di bahuku.

Gila! Apa-apaan ini?!

"Makasih udah datang," bisiknya.

Ini siluman kesurupan?

"Dan maaf." Dia mengeratkan pelukannya. Aku terkejut menyadari dadaku dan Ken menempel. Jantungku berdegup kencang dan oksigen ditarik dari paru-paruku.

Oh, ini BURUK! Super BURUK!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top