Bab 1

Sebaik-baiknya senior itu yang enggak ganggu makan siang junior
—mahasiswa semester 1—

"Yellow!"

Aku tersedak kuah bakso. Suara itu lebih buruk dari klakson motor emak-emak yang belok berlawanan dengan lampu sen. Semua mahasiswa di sini paham makna yang tersembunyi di balik keriangan suara itu dan—secara tidak langsung—kami sepakat untuk menghindari konfrontasi apa pun berkaitan dengan si pemilik suara.

"Makan sendiri aja." Satu badan besar terbungkus jaket bomber hitam duduk di sebelahku. Aroma keringat, terik matahari, dan rokok menguar darinya. Namanya Bambam, mahasiswa semester sepuluh, terkenal karena sikap SKSD, mulut nyinyir paling malesin, dan tukang malak.

"Bakso, Bang." Aku menawarkan setengah hati.

"Wah, lo paham aja gue lapar. Boleh juga tuh bakso." Bambam mengelus perut buncitnya yang terbungkus kaos ketat.

Aku meringis. Kalau begini situasinya, aku kena jebakan paling terkenal, yaitu Ramah Berbahaya stage 1. Bambam bakal sok baik, terus minta dibayarin ini itu. Mau menolak, aku enggak sanggup menghadapi mulut nyinyir Bambam. Apalagi statusku mahasiswi tahun pertama. Mending ikhlaskan sedikit jatah bulanan dari Bapak, asal hidupku tentram.

"Pesan aja, Bang," cicitku ragu-ragu. Aku berharap ada satu hari Bambam tobat dan enggak malak. Aku mah enggak doa berlebihan Bambam bakal traktir balik, asal dia stop nodong adik-adik tingkat, buatku sudah cukup.

"Lo yang bayar nih?" Bambam pasang ekspresi curiga.

Aku mau banget jawab, iya Bang bercanda. Kemudian aku jadi target Bambam. Cari aman saja, anggap sedekah ke kaum duafa. Maka aku membalas, "Iya, Bang. Gue yang bayar."

"Waduh, lo baik banget. Gue jadi enggak enak lo traktir gini. Ntar gue traktir lo pas gue dapat transfer duit dari bokap," kata Bambam sembari menepuk bahuku lalu menarikku ke bawah ketiaknya. Alasan klise yang dia umbar ke semua korbannya.

Aku memberikan senyum terpaksa. Pandanganku bersirobok dengan mahasiswa-mahasiswa lain yang diam-diam menonton. Sirat mata mereka menunjukkan kelegaan bahwa bukan mereka yang dipaksa membuka dompet buat perut Bambam, sekaligus prihatin padaku. Ya, aku maklum sikap pura-pura buta mereka. Toh, aku pun akan berlaku sama kalau ada mahasiswa lain yang kena aksi Bambam.

"Gue pesan bakso dulu. Lo mau sesuatu?" Bambam melepasku dan berdiri.

Aku menggeleng kecil, pura-pura fokus pada isi mangkokku. Bambam pergi ke gerobak bakso di dekat pintu masuk kantin. Aku manfaatkan kesempatan buat meregangkan otot bahuku yang kena jepit ketiak dan lengan Bambam. Aku mengesampingkan kemungkinan bau badan Bambam menempel di bajuku, yang penting aku enggak kena cedera otot bahu.

Alex duduk di seberang mejaku. Dia membenahi letak kacamatanya, meneliti isi mangkok dan wajahku, lalu mendengkus meremehkan. "Lo bayarin Bambam lagi?" tanyanya dalam suara yang jauh dari kata ngebas, malahan mirip remaja yang baru akil balig.

"Iya," aku mengangguk, "Bang Alex mau bakso juga?"

"Enggak." Dia melipat tangan sambil bersandar ke punggung kursi. "Lo berani dikit nolak Bambam. Jangan mau diminta ini itu."

Nah, yang ngomong kurang bercermin diri. Dia saja, mahasiswa semester tujuh, masih kalah saing dari Bambam. Setiap dicontek Bambam, mentok ngeluh, tapi enggak berani membalas ketika Bambam merebut kerjaannya. Menilik ukuran Alex yang kecil mirip minion dan Bambam yang gede tinggi kayak Wreck it Ralph, pantas saja Alex takut kena bogem. Tapi dia yang barusan nyerocos menyuruhku membalas Bambam, kayak sendirinya sanggup menjadi backing-ku setelah aku menolak Bambam. Aku pilih senyum tipis saja daripada curhat enggak penting atau menyetujui.

Bambam balik membawa dua botol teh Pucuk. Aku kaget pas dia menyerahkan satu botol ke Alex sambil ngomong, "Yellow traktir lo minum. Jangan lupa bilang makasih."

Alex berdecak ke Bambam yang cuek menegak minumannya, lalu berpaling padaku dan pasrah mengucapkan terima kasih. Aku tersenyum kecil, canggung duduk bersama dua senior.

"Makan siang bareng?"

Kampus ini enggak gede, tapi enggak kecil banget. Ada dua kantin di kampus ini. Yang persis di samping parkiran dan di belakang gedung. Terus ada kafe-kafe lucu di seberang kampus, sebelah kampus, serta warteg yang terjangkau dengan jalan kaki. Meski begitu, aku harus banget terjebak bareng senior yang ini?

Aku tersenyum miris. Feromonku mungkin berpotensi manggil cowok-cowok yang enggak diharapkan.

"Lo makan siang sendiri, Ken?" Alex bertanya ke cowok yang baru saja duduk di sebelahnya.

"Mau beli kopi," jawab Ken, teman seangkatan Alex.

Ken ini jauh dari deskripsi Alex dan Bambam secara fisik. Dia tinggi, berkulit putih, rambut rada gondrong setelinga, dan senyumnya bagus. Gue bilang bagus, bukan cakep. Paham ye! Terus Ken ini terkenal ramah tapi enggak menjamah dompet orang lain, juga pintar. Kabarnya sih boyfriend material.

Yang bikin aku enggak demen berdekatan Ken itu ialah sikap baiknya. Aku ngerasa kayak ada yang salah. Dia enggak benar-benar baik. Berasa ada shade side begitu. Susah dijelaskan karena ini masih berkaitan dengan insting.

"Lo mau makan apa, Ken?" Bambam bertanya sok asik.

"Apa aja," jawabnya.

"Kebetulan Yellow lagi traktir. Gue mau ambil gorengan, gue ambilin lo donat. Mau ya?"

Kan, monyet banget Bambam. Dia yang nawarin Ken, malah aku yang ditodong bayar. Mampuslah nasib uang jajanku.

Ken menatapku. Aku menegakan punggung, alarm waspada di kepalaku menyala. Selama ini, Ken biasa menganggapku seperti debu di udara, enggak penting, enggak tampak, dan enggak bernyawa. "Makasih traktirannya, Yellow," kata Ken dalam suara super manis dan senyum selegit marshmallow.

Level waspadaku naik ke siaga! Aku enggak bisa percaya dia mendadak memanusiakan aku.

"Sesekali, Bang," sahutku dengan penekanan ekstra pada setiap suku kata.

"Kalo gitu, sesekali gue traktir lo," kata Ken lagi, masih mempertahankan halo di atas kepalanya.

Aku menahan diri supaya enggak mencibir. Kalau mau balas budi, coba tolong pindah meja dan jangan ngajak ngobrol. Anggap aku seperti butiran debu kayak biasanya. Itu baru benar.

"Enggak usah, Bang. Makasih." Aku menolak halus. Ken enggak melepas tatapan aneh di balik wajah malaikatnya. Aku susah percaya dia menawarkanku tiba-tiba.

"Lo enggak suka ditraktir Ken?" Bambam menyela. Aku gelagapan karena mendapat serangan dari arah berbeda. "Lo jangan gitu sama Ken. Dia itu senior baik, biasa traktir adik tingkat dan teman. Enggak enak kalo lo nolak padahal lo udah traktir dia. Kalo lo malu ditraktir sendirian, gue temenin lo. Nyantai lah. Walau gue, Ken, dan si kampret itu senior lo, kita bisa diajak asik kok."

Alex tersenyum kecut dipanggil semena-mena. Aku menemukan Ken sudah pasang kostum bulu dombanya dengan sempurna, menutup fakta dia sempat menatapku aneh.

Kalau begini, aku benar-benar terjebak di antara mereka. Level siaga harus terus dipertahankan sampai situasiku bebas dari mereka, yaitu saat bakso di mangkokku habis dan sukses kabur dari sisi Bambam.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top