BAB XVII : A Hate

Vanko masih menatap Sachi dengan ekspresi sama---menahan amarah yang menggebu-gebu. Masih mencoba memahami kenyataan di mana Sachi adalah putri dari seorang pria bejat yang menghancurkan kehidupannya selama ini, membuat kepalanya langsung meledak.

Ia sama sekali tidak pernah membayangkannya. Oleh karena itu, Vanko langsung mengambil kesimpulan atas sikap Sachi selama ini kepadanya. Barangkali, memang ingin menebus atas dosa ayahnya.

Sekejap, Vanko tertawa---melihat bagaimana ekspresi Sachi yang tidak mengerti---seakan ia sama sekali tidak tahu apa-apa soal perbuatan ayahnya.

"Itu tidak mungkin. Ayahku ... tidak akan melakukan itu, dan kau pasti salah menerka wajahnya, Vanko!" ucap Sachi masih dengan eskpresi yang mencoba untuk memahami apa yang terjadi.

Namun, mendengar penuturan Sachi, sontak membuat Vanko tersenyum tipis dan mengangguk. "Tentu, kau tidak tidak mempercayai apa yang kukatakan, karena dia adalah ayahmu. Akan tetapi, aku melihat dengan jelas, bagaimana pria itu melakukan hal ketidaksenonohan kepadaku dan menghancurkan kehidupanku. Jujur saja, Sachi! Kau pasti merencanakan semua ini. Apa kau ingin kembali menghancurkanku? Sama seperti ayahmu?"

"Vanko---"

Penuturan Sachi tertahan, kala Vanko memberikan isyarat agar gadis itu tidak berkata apapun. "Biarkan aku mengatakan beberapa hal dulu, Nona Martinez!" katanya penuh penekanan. Membuat Sachi amat frutasi, ia bingung untuk mengatakan hal apa sebagai balasan, karena ia memang tidak tahu apa-apa. Ia hanya tahu, jika ayahnya meninggal di tempat kerjanya. Hanya itu.

"Sungguh, Sachi. Aku tidak pernah membayangkan jika dibalik kepedulianmu, tersimpan suatu hal di mana kau ingin menghancurkanku!" katanya dengan suara serak. "Kenapa kau tidak membiarkanku lenyap saja? Kenapa kau mempermainkan takdirku seperti ini? Sebenarnya, apa kesalahanku sehingga kau dan ayahmu itu, melakukannya? Apa kau tidak memahami bagaimana tersiksanya aku selama ini, huh?"

Sachi sontak menggeleng, seraya mendekat---Vanko langsung mengambil langkah mundur. "Aku menganggapmu seperti malaikat, Sachi. Saat kau datang dengan satu lilin menyala ditanganmu dan mendekatiku, membuat kehidupanku perlahan berbinar. Dari situ, aku berusaha untuk mengimbangimu, tetapi ... kenapa kau membuatku seperti ini?"

"Kenapa kau tidak berterus terang dengan semuanya?"

Sachi langsung terisak melihat Vanko yang menangis penuh luka juga kebencian kepadanya. "Vanko, aku---aku tidak tahu apa-apa. Tidak ada yang memberitahuku, dan soal kepedulianku, aku benar-benar tulus melakukannya, karena kau memang berhak mendapatkannya," katanya dengan lirih, "apa yang harus kuperbuat agar kau bisa mempercayaiku?"

Sachi sangat frustasi. Manalagi, Vanko tidak memberikannya setitik kepercayaan saat kemarahannya telah menguasai dirinya. Bahkan, Vanko hanya berseringai kala ia mencoba menjabarkan kebenarannya.

"Tidak ada yang perlu kau lakukan, Sachi. Semuanya sudah sangat jelas. Kau dengan persekongkolan ayahmu itu, sudah sangat jelas. Untuk itu ...," jedanya yang kini menarik langkah pada Sachi---sontak membuat Sachi terkesiap. Apalagi, saat Vanko mendekatkan wajah mereka hingga menyisihkan beberapa senti saja. Dengan wajah datarnya, Vanko mengungkung manik itu, "akhiri ini semua! Jangan perlihatkan kepedulianmu lagi kepadaku, karena aku ... membencimu, Nona Sachi Martinez!"

Vanko langsung meninggalkan Sachi yang melongo tidak percaya. Bahkan, membuat Sachi langsung terperosok di atas lantai, saat semuanya bukanlah mimpi. Alhasil, Sachi langsung bangkit untuk mengejar Vanko. Namun, lelaki itu serta-merta menghilang dengan sepedanya.

Vanko benar-benar tidak ingin mendengar semua kata-katanya dan langsung meninggalkannya begitu saja.

Dengan kilat, Sachi menangis sejadinya di depan pintu. Tidak memikirkan betapa malangnya ia, hingga sang ibu datang dengan ekspresi terkejut.

"Astaga, Dear. Apa yang terjadi denganmu? Kenapa bingkainya pecah dan di mana temanmu?" tanyanya dengan perasaan campur aduk. Mencoba menenangi Sachi yang terus menangis.

"Mom ...."

"Sachi! Apa yang terjadi?"

"Kenapa Dad melecehkan Vanko kecil, Mom? Kenapa Dad melakukannya? Vanko melihat foto Dad dan dia langsung membenciku," isaknya.

Belle pun terkesiap mendengar penjelesan dari putrinya. Ia sangat terkejut, dan sontak memeluk Sachi yang tidak ingin menghentikan isakannya. Sejekap, Belle memejamkan mata. Ini sudah sangat lama, dan tidak pernah ia bayangkan akan menyeruak di masa depan nanti. Bahkan, mempengaruhi putrinya sendiri.

***

Sudah tidak terhitung, beberapa tetes air mata Sachi berjatuhan. Mungkin, matanya sudah memerah dan akan bengkak tidak lama lagi. Kini pun, hanya terdengar sesenggukan kala Sachi kini mendengar cerita ibunya di masa lalu mengenai tabiat ayahnya.

Vanko benar. Ayahnya-lah yang bersalah di sini. Ayahnya-lah yang melakukan tindakan ketidaksenonohan itu dan ia malah tidak percaya akan ucapan Vanko yang memang melihat tersangkanya.

Omongan tentang ayahnya yang meninggal karena kecelakaan kerja pun, hanyalah alibi. Kenyataannya, pria yang selama ini ia banggakan---ditabrak lari oleh pengendara mobil saat mencoba melarikan diri.

Kata sang ibu pun; ayahnya mengidap gangguan psikotik---gangguan jiwa parah yang menyebabkan munculnya pemikiran dan persepsi yang tidak normal. Orang yang mengalami gangguan psikotik akan mengalami halusinasi, mempercayai hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi, dan bahkan mendengar, melihat, atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak nyata.

Tambahan, ibunya menceritakan bagaimana hubungannya dengan sang ayah kian renggang karena beberapa faktor---membuat sang ayah menyalurkan kekesalannya dengan berbagai hal. Apalagi, saat ketukan palu di meja hijau terdengar, membuat sang ayah makin menjadi-jadi. Bahkan, Vanko bukanlah korban tunggal, karena sang ayah nyatanya melakukan hal itu pada beberapa anak dengan sejenis untuk menyalurkan berahi dan kekesalannya.

Bagai petir di siang bolong, membuat Sachi amat terluka. Ia kembali menangis. Cemas akan keadaan Vanko yang kembali mengingatnya. Bahkan, ia masih mengingat saat Vanko menyuruhnya untuk menjauh dan Vanki benci terhadap dirinya. Ia mencoba berpikir; bagaimana cara menampakkan diri di hadapan Vanko, esok hari?

"Sudah, jangan menangis. Temanmu itu butuh ruang untuk sendiri dulu," kata sang ibu, Belle yang mencoba menenangkan. Beriringam saat pintu terbuka, menampakkan sosok pria dewasa dengan segudang kelelahannya.

Itu ayah tirinya, Marcel Baldwin. Seorang ayah yang benar-benar menyayanginya tanpa memandang apapun dan menganggapnya sebagai putri kandungannya sendiri, karena sang ibu yang memang tidak bisa lagi memberikan anak lantaran ketidaksuburan atau infertilitas pada ayah tirinya. Namun, Sachi dapat melihat bagaimana sang ibu yang sangat mencintai ayah tirinya dan begitu pun sebaliknya. Apalagi, saat usia pernikahan mereka telah memasuki 10 tahun.

Dengan kebingungan, Marcel mendekat. "Kenapa kalian berdua? Ada masalah?"

Dan Sachi memilih untuk tidak menjawabnya, membuat Belle menghela napas. "Nanti kuceritakan. Kau pulang terlalu cepat, ada masalah ditempat kerjamu?"

Marcel menggeleng dan menyedorkan sebuah amplop. "Lusa, kita akan ke New York. Aku sudah membuat persetujuan dengan temanku yang berprofesi sebagai Dokter spesialis onkologi rumah sakit sana, untuk melakukan operasi pengangkatan sel kanker pada Sachi."

Alhasil, Belle bahagia mendengarnya dan langsung memeluk Sachi. "Dear, kau akan segera sembuh---"

"Mom, Dad, aku pikir ... sepertinya tidak perlu ada operasi. Biarkan aku mati dengan penyakit ini---"

"Apa yang kau katakan, Sachi? Sebenarnya, ada masalah apa di sini?" ucap Marcel yang bingung dengan tutur kata putrinya---seperti orang tanpa haluan. Sehingga, Belle langsung menceritakan apa yan baru saja terjadi.

Sama halnya dengan dirinya, Marcel pun dibuat terkejut---mencoba untuk memikirkan kalimat yang tepat sebelum berujar. Hingga, Marcel mendekati putrinya sembari memberikan elusan di pucuk rambut. "Sachi, ini bukan kesalahanmu dan jangan menyalahkan dirimu. Biarkan temanmu sendiri dulu untuk memahami keadaan. Namun, kau juga tidak boleh berkata demikian hanya karena masalah ini. Kau anak kami satu-satunya, mutiara kami. Jangan mengatakan hal itu lagi, ya?"

Dengan kilat, Sachi mengangguk. Ia juga memeluk sang ayah dan menangis. "Maafkan Sachi, Dad ...," katanya, "tetapi, kenapa harus New York? Itu sangat jauh."

"Teman Dad merekomendasikannya. Anaknya juga sama sepertimu, tetapi dia lebih ganas lagi dan sekarang, anak itu benar-benar sembuh dari penyakitnya. Tidak perlu memikirkan hal apapun lagi, ya. Dad akan mengurus semuanya, termasuk absensimu di sekolah," katanya yang membuat Sachi mengangguk paham.

Itu berarti, Sachi harus meninggalkan Vanko dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu, ia akan berusaha agar Vanko ingin mendengarkan penjelasannya, sebelum ia pergi ke New York. Itu sangat harus ia lakukan.

***

Vanko mengayuh sepedanya dengan kecepatan tinggi, karena ia ingin tiba di rumahnya dengan segera. Pikirannya benar-benar kacau. Padahal, ia ingin memberikan beberapa kejutan pada Sachi dan itu harus terhalang---mungkin tidak akan terjadi, karena ia telah bertekad untuk menjauhi gadis itu---anak dari pria yang menghancurkannya.

Tidak terlalu lama, bangunan megah itu kini berada di hadapannya. Ia pun, langsung memarkir sepedanya, hingga buru-buru memasuki rumah. Dapat ia lihat, sang ibu yang tengah menatapnya---seraya celingukan---mungkin mencari keberadaan Sachi.

Dengan kilat, Vanko berdecak kala berhadapan dengan sang ibu. "Mom, lupakan semua tentang Sachi, dan jangan menanyaiku tentang alasannya. Aku ingin sendiri dan tidak ingin diganggu," katanya dengan tatapan kosong. Vanko pun langsung memasuki rumah, yang membuat Aileen bertanya-tanya atas sikap putranya itu.

"Ada apa lagi ini?"

Tbc.

Halo, makasih udah sempetin baca😘semoga terhibur dan tandain kalau menemukan typo🤗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top