BAB XV : A pleasant day
Sekarang akhir pekan. Banyak orang menggunakannya untuk memperpanjang masa hibernasi setelah menjalani hari-hari yang cukup panjang. Ada juga yang mengisi akhir pekan dengan melakukan olahraga di pagi buta. Seperti yang dilakukan oleh Vanko yang kini telah menyiapkan diri dengan pakaian olahraga untuk melakukan joging.
Apalagi, joging kali ini, ia lakoni bersama Sachi setelah kemarin, membuat janji untuk bertemu di depan halte. Vanko ingin mengajak Sachi untuk mengelilingi perumahan yang luasnya tidak terhitung. Lagipula, perumahaan itu juga memiliki banyak sarana seperti taman yang indah dan beberapa sarana olahraga termasuk lapangan basket. Mungkin, mereka bisa beristirahat sejenak di sana.
Kini, terlihat bagaimana Vanko berjalan pelan meninggalkan rumahnya menuju haluannya dengan senyum tipis. Membuat, dua sosok yang tengah mengamati hal itu disebalik jendela, tersenyum bahagia. Ini yang mereka harapkan sejak dulu.
Alhasil, Victory dan Aileen saling melempar tatapan, hingga berakhir dengan Aileen yang menyanderkan kepalanya pada dekapan sang suami dengan bahagia.
Sementara Vanko, terus berlari pelan hingga keluar dari perumahan dan menemukan presensi Sachi yang tengah celingukan. Berakhir di mana Sachi yang mengenakan hoodie berwarna abu-abu dengan celana training senada dan rambut yang diikat, kini melambaikan tangan seraya mendekat ke arah Vanko.
"Selamat pagi, Jelmaan Kulkas!" sapanya dengan kedua sudut bibir yang terbentang.
Vanko hanya tersenyum tipis, sebagai balasan dari sapaan itu, lantas menyedorkan satu susu kota pada Sachi untuk kesekian kalinya.
"Lagi? Ah, aku bisa jadi sapi perah kalau kau terus saja memberiku susu ini," keluhnya. Akan tetapi, Sachi tetap menerima dan berterima kasih.
"Susu mengandung kalsium. Bagus untuk perkembangan tulang. Terlebih, kau tipikal tidak terlalu suka dengan susu---"
"Dari mana kau tahu?"
Dan Vanko hanya mengedikkan kedua bahunya. "Aku pernah mendengarmu berterus terang di mata pelajaran Mr. Ville. Kau berkata; susu adalah musuhmu sejak kecil, tetapi Mom-mu selalu memaksa agar kau meminumnya dan kau punya 1000 alasan untuk menolak," jelasnya yang membuat Sachi mengangguk, karena ia baru mengingatnya.
Mereka belum melakukan joging, lantaran Sachi haus sehingga Vanko harus menunggu Sachi untuk meminum susu itu. Akan tetapi, Vanko refleks menahan pergelangan tangan Sachi sesaat ingin meneguknya.
"Ada apa? Kau juga ingin?"
"Minum sambil berdiri dapat membuat susu mengalir dengan tekanan, dan pada akhirnya menghambat pencernaan yang rentan menyebabkan berbagai gangguan pada perut. Lagipula, ada kursi di belakangmu! Duduk dulu," katanya. Sachi sontak melongo tidak percaya. Namun, ia tetap menuruti perkataan Vanko.
Dengan ekspresi yang sama, ia meneguk susu itu hingga habis seraya memusatkan pandangannya pada Vanko yang memilih untuk berdiri dan menatap lurus ke depan. Hingga, ia menyelesaikannya dan mereka mulai melakukan joging---lebih mirip berjalan, karena Vanko terlalu mengkhawatirkan dirinya yang akan langsung tidak sadarkan diri jika terlalu kelelahan, atau bahkan terjadi hal yang tidak diinginkan lagi.
Merasakan bagaimana khawatirnya Vanko, membuat Sachi hanya tersenyum statis. Ia sangat tidak nyaman saat diperlakukan seperti itu. Akan tetapi, ia memilih untuk menjadi gadis penurut, daripada merusak suasana pagi hari ini yang begitu indah.
Namun, beberapa menit berjalan---mungkin 20 menit, Sachi harus berhenti secara tiba-tiba, karena otot kakinya yang mendadak lemah atau mati rasa. Bahkan, beberapa bagian tubuhnya juga mulai terasa lemah.
Vanko yang berjalan terlebih dahulu, sontak menghentikan langkah saat merasa sesuatu yang menjanggal dan itu memang benar, saat ia melihat Sachi yang terlihat lemas. Buru-buru, Vanko mendekat dengan cemas.
"Ah, seharusnya aku tidak mengajakmu joging."
"Aku baik-baik saja---"
"Omong kosong! Kau tidak baik-baik saja," katanya dengan sedikit kesal yang kemudian memapah Sachi untuk menepi. Mungkin lebih tepatnya memasuki area lapangan basket di mana terdapat jejeran kursi dan lebih nyaman lagi.
Alhasil, Sachi yang terus pasrah, hanya bisa mencibirkan kedua bibirnya karena ia benar-benar merasa lemas. Padahal, ia hanya berjalan santai saja, tidak seperti Vanko yang benar-benar joging. Mungkin, ini salah satu gejala yang memang akan ia rasakan.
"Aku akan mengambi air---"
"Aku tidak haus," katanya yang menghentikan langkah Vanko dan langsung berbalik. "Aku ingin ke toilet dulu. Ah, menyebalkan sekali. Jangan mengikutiku yah! Toiletnya juga di sana, kau bisa melihatnya dari sini."
Dengan kilat, membuat Vanko mendelik. "Mana bisa seperti itu. Bagaimana jika---"
"Aku sudah merasa baik. Kalau aku tidak baik-baik saja, kau akan mendengar suara teriakanku atau suara gaduh. Oke? Aku pergi dulu," kata Sachi seraya menetralkan dirinya yang kemudian melangkah menuju toilet.
Vanko benar-benar khawatir, saat Sachi terlihat sempoyongan---memaksakan diri untuk tiba di toilet umum yang membuatnya berdecak sebal. Ia tidak menyangka saja dengan Sachi yang terlihat berlagak kuat dibalik kesulitannya.
Sekejap, ia celingukan seraya menanti Sachi yang baru saja masuk ke dalam sana. Karena ia berada di dalam lapangan basket, kedua matanya tidak sengaja menemukan sebuah bola basket yang ada di dekat tiang.
Sembari mengarahkan pandangan ke arah toilet umum yang dimasuki oleh Sachi, membuatnya secara tiba-tiba menuntun diri ke tempat di mana bola berada. Manalagi, saat ia kini memegangi bola itu dan mulai memantulkannya.
Awalnya, hanya seperti itu. Akan tetapi, Vanko mulai bermain dengan lebih---dengan menggiring bola basket ke keranjang basket. Vanko juga melakukannya dengan beberapa teknik yang ia kuasai begitu lihai dan mengagumkan. Apalagi, saat ia yang menembak bola berulang kali ke keranjang basket---bola itu akan masuk. Termasuk, saat ia melakukanya di garis tengah lapangan.
Tidak menyadari jika seseorang tengah menatapnya penuh binar. Bahkan, berdecak kagum berulang kali, tetapi ia menahan suaranya agar tidak merusak suasana. Akan tetapi, saat tembakan Vanko dari garis tengah lapangan yang masuk, sontak membuat Sachi bersorak heboh.
"Oh God! Aku baru tahu jika kau memiliki kemampuan lain!" pekiknya sembari mendekat. Secara spontan, membuat Vanko terkesiap---seakan baru saja melakukan kecerobohan. Bahkan, ia hampir melupakan jika Sachi tengah menuntaskan sesuatu di dalam toilet.
"Itu … aku hanya … bermain saja," balasnya sembari mengusap ceruk lehernya, karena gugup.
"Kau terlalu rendah hati, tetapi aku suka," ucapnya dengan senyum lebar, yang kemudian memberikan fokus pada ponselnya. "Aku baru ingat! Sam bercerita pasal tim basket sekolah yang membutuhkan pemain karena beberapa senior yang mulai fokus dengan ujian. Aku akan mendaftarkanmu!"
"Jangan! Maksudku, lupakan saja apa yang kau lihat, karena aku tidak ingin jika---"
"Aku sudah mendaftarkan namamu, dan balasannya; kau harus mengikuti seleksi lusa nanti. Ah, aku tidak sabar," pangkas Sachi yang mengabaikan penolakan Vanko. Manalagi, saat Vanko kini menatap Sachi dengan tercengang. Ia kesal sendiri.
"Sudah kukatakan, aku---"
Sachi menggelengkan kepalanya sembari menempelkam jemari telunjuknya pada bibir tipis itu. "Kau punya potensi, Vanko. Jangan membuatnya sia-sia. Aku tahu, dalam dirimu … ada keinginan besar untuk melakukannya. Tidak perlu takut, karena aku akan mendukungmu!"
"Aku ingin melihat, kisahmu berakhir dengan bahagia. Jadi, semangat!" Sambil membangkitkan kobaran itu, yang membuat Vanko termenung menatap Sachi amat lekat.
Bahkan, Vanko terlihat tersenyum miris---membuat Sachi sama sekali tidak mengerti arti dari tatapan itu.
"Kenapa kau begitu mahir melakoni dua kepribadian?"
"Kenapa kau selalu terlihat baik-baik saja, padahal saat ini kau berada dalam keadaan yang sulit?"
"Dan, kenapa kau menyemangati seseorang, saat kaulah yang sangat membutuhkannya---selama ini."
Sachi mendadak terpaku, menatap paras Vanko yang masih menatapnya dengan ekspresi sama. Hingga, Sachi menarik napas dan menghembuskannya. Tidak lupa memperlihatkan senyum manisnya.
"Sederhananya, aku tidak ingin semakin membebani orang terdekatku, saat aku diagnosis penyakit itu. Kalau aku merasa takut dan langsung menyerah, itu akan menambah beban mereka. Lagipula, dokter mengatakan jika aku bisa melaluinya," jelasnya.
"Aku tidak terlalu tahu soal penyakitmu, karena aku hanya mendengar jika kau sakit dan berusaha untuk bertahan. Itu berarti, semacam kanker. Benar?" tanyanya. Sachi perlahan menatap Vanko dengan lekat lantas mengangguk.
"Ya, kepalaku terasa pecah dibuatnya. Aku benar-benar tidak menyadari jika gejala yang sering kualami akhir-akhir ini adalah sel abnormal bersifat kanker. Hingga, aku dibawa ke rumah sakit untuk pemeriksaan dan kata dokter; aku diagnosa kanker otak."
Vanko terkejut. Terasa kelu untuk berucap. Ia tidak menyangka jika Sachi sekuat ini. "Stadium berapa?"
"Sesudah 1 dan sebelum 3."
Itu berarti, Sachi berada distadium 2 di mana sel tumor yang terus berkembang secara lambat, tetapi mungkin dapat menyebar ke jaringan terdekat dengan cepat jika tidak dilakukan pengobatan lebih lanjut lagi. Vanko pun, langsung menghela napas setelah mendengarnya. "Kapan kau akan menjalani perawatan lebih lanjut lagi untuk mengangkat sel kanker itu?"
"Kedua orangtuaku hanya mengatakan, dalam waktu dekat ini. Akan tetapi, aku tidak tahu pasti," jawabnya yang membuat Vanko terdiam---membuat suasana senyap dengan rasa canggung yang menyeruak. "Tidak perlu dipikirkan. Aku akan baik-baik saja, dan kau tetap harus mengikuti seleksi itu! Harus!"
"Bagaimana jika aku menolak?"
Dengan tatapan angkuh, Sachi berpangku tangan. "Kau tidak mungkin melakukannya! Harus ikut, yah!" katanya dengan berharap. Kedua bola mata Sachi pun terlihat berbinar yang membuat Vanko menahan napas dan tidak tahan dengan itu.
Alhasil, ia malah mengangguk. "Aku akan ikut," balasnya dengan senyuman. "Tapi, aku tidak yakin jika bisa lolos!"
"Vanko! Kau harus yakin!"
Vanko yang mendengar kekesalan Sachi pun, sontak tersenyum tipis.
TBC.
Ah, semoga terhibur manteman. Nggak sabar akutuh ama endingnya😭tandain yah kalau ada typo😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top