BAB XI : A Punishment

Tidak ada yang spesial pada pagi ini. Malah, hanya sial yang berkunjung untuk merusak suasana hati. Bukan karena cerita dengan ending tragis yang ia baca, tetapi ini karena penugasan. Salah besar jika Sachi tidak mengerjakannya. Hanya saja, ia lupa membawa buku bersampul krem yang berada di atas meja belajarnya.

Padahal, mata pelajaran sejarah kali ini begitu disiplin. Sangat darurat jika tugas yang diberikan oleh Miss Jea tidak dikumpul. Sekalipun berasalan di mana kau melupakannya. Sekejap, Sachi mengingat kelas sebelah, di mana murid yang tidak mengumpul tugas makalah; hukumannya adalah lari. Bahkan, Miss Jea akan menentukan putaran lari sesuai dengan suasana hatinya.

"Mati aku!"

Sachi sudah tidak bisa berkutik lagi, saat bel mulai berdering. Membuat para murid yang berada di luar kelas, berbondong-bondong untuk masuk. Itu juga berlaku dengan Vanko, yang baru kembali dari toilet.

Sachi takut. Ia tidak bisa lari, maksudnya, ia takut mimisannya kembali kambuh jika ia terlalu lelah. Bahkan, ia bisa saja tidak sadarkan diri di tengah lapangan karena kanker otak stadium 2 yang diidapnya selama ini. 

Sebuah tamparan bagi kehidupannya saat sebulan lalu, ia diagnosis mengidap penyakit ganas itu. Ia merasa, mempersulit kedua orangtuanya yang harus banting tulang untuk menebus obat-obatannya selama ini. Bahkan, saat dokter menyarankan agar ia menjalani pembedahaan untuk mengangkat sel kanker pada otaknya, membuat Sachi melihat bagaimana kedua orangtuanya yang berusaha mati-matian mengumpulkan uang untuk operasi yang tidak lama lagi akan dilakukan setelah membuat perjanjian.

Awalnya, ia sempat ingin lenyap saja dari dunia ini. Seperti yang diingin Vanko pada kehidupannya. Akan tetapi, melihat kegigihan kedua orangtuanya, ia akan berusaha untuk bertahan dan sembuh. 

"Good Morning." Suara dari Miss Jea, sontak menyadarkannya dari lamunan yang membuat kedua matanya berkaca. Buru-buru, ia menyekanya, dan sontak mendapat tatapan penuh arti dari Vanko. Seakan berupa sebuah pertanyaan; ada apa dengan dirimu?

Sachi hanya menjulurkan lidahnya dengan mimik muka konyol. Hanya karena itu, sukses membuat Vanko menghela napas.

"Okay. Silakan kumpul makalah hasil observasi kalian di atas meja!" pintanya. Di sinilah, Sachi mendadak gelisah. Terlihat dari napasnya yang terdengar tidak beraturan, juga dari pergerakan Sachi yang tidak tenang. 

Vanko tentu menyadari Sachi yang sedang kebingungan. Terlebih lagi, saat Sachi yang menggigiti kukunya saat hampir semua murid di kelas ini, berjalan ke depan untuk mengumpul makalah.

Terlihat, Vanko yang tadinya ingin mengeluarkan makalah miliknya dari dalam tas, teurungkan saat ia mengerti dengan keadaan. Secara spontan, ia menoleh ke arah Sachi. "Kau lupa dengan tugasmu?"

Sachi yang mendengar pertanyaan Vanko, langsung mengangguk dengan peluh sebiji jagung yang mulai tampak. "Aku sudah menyelesaikannya dan lupa untuk mengambilnya. Miss Jea tidak menerima alasan apapun jika sudah berhubungan dengan tugas."

Vanko mengangguk setuju. Setiap ia berjalan di lorong, beberapa murid akan menceritakan untuk tidak berbuat masalah di kelas Miss Jea. Apalagi, jika tidak mengerjakan tugas. Vanko bisa saja memberikan tugasnya pada Sachi, tetapi tindakannya itu sangat tidak efektif, karena di setiap lembar makalah, terdapat namanya---perintah dari Miss Jea sendiri.

Akan tetapi, kenapa ia tiba-tiba peduli pada Sachi? Untuk kesekian kalinya?

"Miss sudah memeriksanya dan masih ada dua orang yang belum mengumpul tugasnya. Siapa itu?" tanya dengan raut tidak suka. Sukses membuat semua murid saling menatap dan bertanya-tanya.

Kalau sudah begini, Sachi tidak bisa menghindari hukumannya. Terlebih lagi, saat jarinya kini menunjuk ke atas. "Saya, Miss. Saya melupakannya."

Semua murid sontak memusatkan pandangan pada Sachi, termasuk Vanko. Alhasil, membuat Miss Jea tersenyum  sinis lantas mengangguk. "Miss tidak menerima alasan apapun, termasuk jika kau melupakannya. Itu kecerobohanmu! Jadi, kelilingi lapangan sekolah sebanyak 12 kali," katanya dengan serius. "Sekarang!"

Sachi hanya menghela napas, sebelum menganggukkan kepalanya berulang kali. Ia yang hendak melakukan tugas, harus terhenti saat melihat Vanko ikut berdiri---seraya menatap Miss Jea dengan lekat.

"Aku juga melupakannya, Miss."

Sachi melongo tidak percaya. "Kau?"

Padahal, ia sempat melirik Vanko yang hendak mengeluarkan makalah dari dalam tasnya. Itu, tindakan bodoh.

Akan tetapi, Vanko tidak memedulikan bagaimana ekspresi Sachi yang terkejut, dan kini menggenggam jemarinya untuk keluar dari kelas. Ia bahkan tidak bisa berkata-kata, saat Vanko melakukan itu semua. Padahal, ia tidak memimpikan hal apapun atas perlakukan Vanko. Karena itu, jantungnya berdegup tidak karuan---hampir setiap saat jika berpapasan dengan Vanko.

"Eh, maaf." Vanko buru-buru melepas genggaman jemari itu kala berada di luar kelas.

"Tidak masalah, tetapi kenapa kau melakukan ini? Aku melihat makalahmu," katanya dengan suara pelan.

Vanko hanya menatap Sachi tidak minat. "Aku tiba-tiba ingin lari." Dan Vanko kini berjalan terlebih dahulu menuju lapangan. Meninggalkan Sachi yang terpaku akan perilaku Vanko yang berbeda.

"Ah, kenapa aku menjadi mellow seperti ini?"

***

Entah kenapa, sinar mentari begitu terik. Bertepatan saat Vanko dan Sachi yang kini mengambil ancang-ancang untuk berlari. Seperti jika mentari mengatakan; sinarku akan mengobarkan semangat kalian. Benar-benar omong kosong!

Namun, tidak ada yang tahu, saat mereka hendak berlari, Vanko dapat mendengar namanya tengah dipanggil oleh seseorang dan itu adalah … Rose. Sekejap, membuat benaknya berpencar untuk mencari jawaban akan kehadiran Rose yang mengenakan seragam Stora High School.

"Oh astaga, Vanko! Akhirnya, aku menemukanmu," kata Rose dengan bahagia. Kemudian, menatap Vanko dan Sachi dengan tanda tanya. "Apa yang kau lakukan dilapangan dengan seragam forum? Dan siapa gadis ini?"

Vanko yang telah mengingat alasan presensi Rose, sontak menatap Sachi dengan lekat. "Kami dihukum karena lupa membawa makalah," jawabnya seraya memberikan kode pada Sachi untuk memperkenalkan diri.

Sachi sontak menggaruk kepalanya yang sama sekali tidak merasa gatal, lantas terkekeh. "Hai, aku Sachi, Sachi Martinez. Aku teman sekelas dan teman sebangku Vanko. Seperti yang Vanko katakan, kami dihukum dan senang bertemu denganmu …."

"Aku Roselina Laurence. Pindahan dari New Work dan aku teman masa kecilnya." Sambil mengulurkan kedua tangan yang membuat Sachi mengangguk paham. 

Pantas saja mereka terlihat saling mengenal. Karena selama Vanko berada di sini, ia tidak pernah melihat sedikit pun, interaksi Vanko dengan teman yang lainnya. Mungkin, itu juga akan berlaku dengan dirinya jika ia tidak menjadi gadis yang terkesan bar-bar.

"Okay, senang bertemu dengan Rose. Aku harap kita bisa berteman dengan baik." Rose pun membalasnya dengan anggukan. Bahkan, terlihat saat jemari mereka kini terlepas, Rose ingin berbicara dengan Vanko, tetapi lelaki itu langsung bersuara.

"Kami harus menyelesaikan hukuman ini," ujarnya yang kembali menggenggam jemari Sachi dan berlari. Tentu, Sachi dibuat terkejut. Ingin menepis, tetapi jiwa dalam dirinya malah berkoar bahagia. 

Vanko memang seperti ini. Bahkan, Vanko tidak memedulikan bagaimana terkejutnya Rose yang melihat kedekatannya dengan Sachi. Ia tentu iri. Setelah tekanan masa lalu, Vanko bahkan serasa menjauh dari dirinya.

Tidak ada yang bisa Rose lakukan selain meninggalkan lapangan. Tidak ingin merasa terluka sebagai seorang pengagum pada sahabat sendiri. Lagipula, ia tidak ingin berlama-lama di lapangan, karena alasan utamanya keluar dari kelas adalah ingin ke toilet.

"Wow! Aku kira, jelmaan kulkas sepertimu tidak memiliki teman. Akan tetapi, kau punya! Bahkan seorang gadis!" ucapnya seraya melepas genggaman tangan itu.

Hoh. Sachi kembali seperti pertama kali ia temui, membuat Vanko tersenyum tipis. Senyum yang membuat Sachi langsung meleleh di tengah badai salju yang melanda.

"Aku lelaki normal."

Sachi mengangguk percaya di balik senyum statisnya. Lantas, mereka kini fokus mengelilingi lapangan sebanyaak 12 putaran.

Namun, baru 3 putaran, Sachi sudah merasakan kepalanya yang berdenyut hebat. Sangat sakit. Apalagi, saat kakinya mulai lemas. Alhasil, Sachi langsung berhenti dan memasrahkan diri dengan duduk di lapangan.

"Aku lelah! Kau lanjutkan saja!" ucapnya saat melihat Vanko ikut berhenti dan termenung.

Sachi tidak peduli lagi, jika Miss Jea akan mengomel atau memarahinya, karena ia benar-benar tidak berdaya lagi. Vanko pun, dapat melihat hal itu. Mendadak, otaknya langsung bekerja dengan semestinya hingga akhirnya, berjongkok di hadapan Sachi.

"Istirahat saja di pinggir lapangan. Biar aku yang mengambil bagianmu."

Seketika, Sachi mendelik. "Mana bisa seperti itu! Aku tidak ingin masuk penjara hanya karena membiarkan anak seseorang mati terkapar sebab dia mengambil bagianku yang 9 putaran lagi. Kau pikir saja! 9 tambah 9, sama dengan berapa?"

"181."

"Ais, kenapa kau seperti ini? Tidak perlu lakukan hal gila itu. 18 putaran itu, akan mematahkan kakimu dan aku tidak ingin bertanggung jawab---oh astaga!" 

Gadis itu langsung terdiam dengan mata mendelik saat Vanko langsung menggendongnya ala bridal style ke pinggir lapangan. Seperti mimpi, saat Vanko kini seperti seorang pangeran.

"Aku itu pemaksa dan tunggu aku di sini," katanya seraya mengelus pucuk rambut Sachi, lantas kembali melanjutkan putarannya.

Sachi dibuat terkagum akan sikap Vanko kepadanya. Padahal, ia sama sekali tidak memberikan 'obat peduli' pada Vanko. Jadi, kenapa Vanko tiba-tiba berbanding terbalik dengan dirinya yang kemarin?

Sungguh! Vanko tidak lagi menolak sentuhan sederhana dari sekitarnya, juga ia kini peduli dengan orang lain, dan mulai mempelihatkan betapa manisnya ia jika tersenyum. Dan yang paling utama, Vanko bahkan tidak irit dalam hal bicara seperti kemarin.

"Jika kau terus seperti ini, jelmaan kulkas. Bisa-bisa, kau akan menetap dihatiku. Ais! Menyebalkan!"

Tbc.

Aku baru update😭aku dikejar deadline, hiks😭semoga terhibur yah, manteman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top