BAB VI : Sachi with his crazyness
Vanko benar-benar tidak pernah membayangkan jika rahasia yang Sachi maksud adalah, sebuah jalan tersembunyi untuk masuk ke dalam sekolah yang berada di bagian belakang. Di mana terdapat pintu kumuh yang hampir ditutupi oleh pohon beringin besar dan saat berada di dalam sana, pintu itu tidak terlihat, karena warna pintu yang hampir mirip dengan tembok batu bata. Membuatnya secara tidak sadar, menggeleng tidak percaya.
Sachi dapat melihat kekaguman Vanko, dari pancaran wajah itu dan membuat kedua sudut bibirnya langsung merekah. Seandainya ia membawa kamera, ia akan memotret kejadian langka ini. Akan tetapi, ponselkan ada?
Sehingga, Sachi kini mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi kamera untuk membidik gambar. Suara gambar yang telah terbidik pun terdengar, membuat sang empu langsung menoleh dengan tatapan tajam saat Sachi menatap gambar dari ponselnya dengan puas dan begitu lekat.
"Ternyata, kau sangat manis seperti cokelat," kata Sachi secara gamblang, karena Sachi memang tipikal manusia yang mengucapkan sesuatu apa adanya. Jika iya maka iya dan jika tidak maka tidak---karena itu, tidak ada yang bisa menganggu gugat atas pandangannya jika seseorang memang menyuruhnya.
"Kau pasti tahu tentang hukum mengambil gambar orang tanpa persetujuannya."
"Iya, tapikan aku hanya ingin mengoleksinya. Tidak ingin menggunakannya secara komersial. Tidak ada yang perlu dipermasalahkan'kan?"
"Hapus!"
Sachi menggeleng. "Tidak ingin dan jangan mimpi. Aku ingin menyimpannya dan akan selalu mengingatnya di mana jelmaan kulkas saat imut dan manis jika melongo kagum."
Lagi, Sachi membuat Vanko kesal. Tanpa mengindahkan apapun lagi, Vanko langsung berlalu begitu saja dan meninggalkan Sachi yang masih betah menatap ponselnya. "Vanko lucu sekali," gumamnya. Hingga, tanpa Sachi sadari, Vanko membalasnya dengan suku kata yang lebih dari tiga.
Sejenak, Sachi terdiam dan menghitung kata yang Vanko ucapkan. "Astaga, 9 kata. Rekor baru yang bisa kupecahkan," serunya dengan bangga. Bahkan, Sachi melompat-lompat tidak jelas hingga suara dari belakang, terdengar begitu saja.
Itu bukan suara hantu. Melainkan itu adalah suara guru pengawas yang hobi berpatroli.
Oleh karena itu, Sachi langsung meninggalkan tempat ini setelah menutup pintu dan akan menuju kelas dengan hati-hati.
***
Mata pelajaran kali ini adalah olahraga, dan beruntung, guru yang mengajar belum tiba. Bahkan, saat mereka telah mengenakan seragam olahgara kebanggan Stora High School dan telah berkumpul di lapangan. Itu sebuah keberuntungan, karena mereka tidak perlu mendapat hukuman ataupun ocehan dari guru.
Dan Vanko hanya bisa berdecak, kala Sachi kini melambaikan tangannya dengan memberikan satu kedipan yang membuatnya ingin muntah. Gadis ajaib. Bahkan, kala teman sekelas meneriaki nama mereka. Vanko yang memilih duduk sendiri---tanpa eksistensi yang lainnya, hanya bisa menghela napas kala mendengar semua omong kosong itu.
Sachi yang melihat kesendirian Vanko, hendak menghampiri, tetapi guru yang mengajar olahraga telah tiba dengan membawa bola basket, di mana menandakan jika hari ini adalah hari untuk berolahraga basket.
Apalagi, saat tiupan sempritan kini berbunyi, membuat semua murid kelas II-B berkumpul sesuai gender dengan empat baris ke depan hingga ke belakang, dan lagi, Vanko merutuki takdir saat bersebelahan dengan Sachi.
Vanko sangat heran. Kenapa ia harus terus berada di dekat gadis bar-bar seperti Sachi? Ia ingin hidup tenang. Akan tetapi, Tuhan selalu mempersulit semuanya. Sekalipun ia memilih diam, Sachi memiliki seribu cara jitu untuk membuat memberikan balasan karena kejengkelan.
"Hai, jelmaan kulkas. Sungguh, aku sangat senang. Tadi, kau berbicara 9 suku kata denganku. Woah, seharusnya aku mengabadikannya," kata Sachi, tetapi Vanko mencoba untuk tidak menghiraukan celetukan gadis itu. Hingga di mana, guru olahraga yang dikenal dengan nama Mr. Grey mengambil alih.
"Selamat pagi, semuanya. Berhubung ada murid baru, aku akan kembali memperkenalkan diri. Namaku Grey Lambert, panggil Mr. Grey, yah, Vanko Dickson!" Mr. Grey melambaikan tangannya pada Vanko yang hanya mengangguk sekilas.
Beberapa siswa bertanya-tanya saat Mr. Grey mengetahui nama Vanko. Padahal, Vanko belum memperkenalkan diri sama sekali. "Hanya dia yang asing di antara kalian dan Miss. Ville memberitahu jika kelas kalian kedatangan keluarga baru." Mr. Grey langsung menimpali seraya memantulkan bola basket tersebut. Mengingatkan pada semua murid di mana Mr. Grey memiliki ingatan yang kuat mengenai banyak hal. Selain terkenal tampan, Mr. Grey memang menjadi panutan karena ramah tamah pria tersebut pada semua warga sekolah. Bahkan, Sachi juga jatuh hati pada guru itu.
"Baik, karena saya telah membuang waktu sekitar 15 menit, kita langsung membagi tim sesuai dengan urutan absen. Karena sekolah hanya memiliki satu lapangan basket, jadi permainannya dilakukan berselang-seling yang akan dimulai dari putra," instruksinya yang masih fokus pada pantulan bola, hingga Mr. Grey melakukan shooting ke keranjang bola dan masuk! Semua murid memberikan sorakan juga tepukan tangan. "Untuk pemanasannya, lari mengelilingi lapangan sebanyak empat kali."
Lantas berlanjut saat Mr. Grey kembali membunyikan sempritannya, membuat semua murid mengambil ancang-ancang untuk berlari. Termasuk Vanko yang menuntun kedua kaki panjangnya untuk mengitari lapangan basket yang lumayan luas. Akan tetapi, Sachi terlihat menggigiti bibir bawahnya. Ini kali pertamanya ia mengikuti kelas olahraga---karena benci dengan kelas olahraga.
Awalnya, ia ingin absen dengan alasan sakit, tetapi ada ketakutan pada dirinya, sehingga itu urung terjadi. Alhasil, Sachi mendesah pelan. Apalagi, saat kedua matanya dapat melihat Mr. Grey yang menyuruhnya untuk segera berlari, hingga ia tidak memiliki pilhan lain selain melaksanakannya. Mencoba mempercepat langkah untuk beriringan dengan Vanko yang berlari amat santai dan fokus dengan intensinya.
"Hai lagi."
Vanko sontak menyapukan jemari panjangnya pada wajah. Sungguh jengkel dengan sikap Sachi yang terus berada di sekitarnya. Seandainya ia punya sihir, ingin sekali ia mengucapkan mantra agar gadis bar-bar itu tidak ada terus menganggunya yang ingin memberikan tekanan pada sekitarnya.
"Cuacanya cerah juga, yah?" Sachi berbasa-basi. Seperti biasanya, Vanko mencoba tidak peduli dan terus mempercepat langkah, membuat Sachi juga melakukan hal yang sama, walau napasnya sudah tersengal-sengal karena sejak dulu, ia benci olahraga lari. Sangat melelahkan. Akan tetapi, Sachi terus memperlihatkan dirinya seolah-olah berlari adalah kesukaannya. Membuat beberapa orang yang melihat Sachi mengejar Vanko, hanya bisa menggeleng tidak percaya.
"Ais, anak itu sudah gila, kenapa suka sekali menganggu Vanko?"
"Sachi menemukan pangerannya setelah sekian lamanya."
"Kukira Sam adalah pangerannya."
Perkataan dari temannya yang diiringi kikikan, membuat Sachi berbalik dengan posisi lari secara mundur---saat jarak mereka tidak terlalu jauh dan tidak lupa memberikan senyuman yang paling tulus. Saling tulusnya, serasa kedua jemari lentiknya ingin memegang sebuah batu untuk dilempari pada tiga gadis sekelasnya yang suka sekali bergosip ria. "Aku memang sudah tidak waras. Akan kutarik kau ke rumah sakit jiwa untuk menemaniku," katanya yang kemudian kembali pada intensinya. Tidak memedulikan ucapan untuk dirinya karena bagi Sachi; segala hal yang telah Tuhan tentukan, harus ia jalani dengan hati terbuka dan menerima secara lapang dada setiap komentar orang lain untuk dirinya. Itulah namanya kehidupan.
Para gadis yang melihat Sachi, hanya bisa menggelengkan kepalanya seraya berdecak. Mungkin, agak kagum saat Sachi seperti berusaha untuk menyalakan api di tengah angin puting beliung yang menerjang. Sekalipun besar kemungkinan, ia akan ikut terombang-ambing dan binasa oleh angin itu sendiri. Namun, Sachi Martinez memang beda dari gadis lainnya. Memiliki taktik dan tidak dipahami oleh beberapa orang. Termasuk saat Sachi terus mendekati Vanko yang sejak awal pertemuan, enggan untuk berteman.
"Jelmaan kulkas, wait me!" Sachi memekik dan berusaha untuk mensejajarkan dirinya pada Vanko yang tanpa ekspresi terus melangkah ke depan. Bahkan, saat Vanko merasa enggan untuk melirik ataupun mengatakan satu hal setelah 9 suku kata di belakang sekolah.
Akan tetapi, Sachi bersyukur saat ia dapat mensejajarkan langkahnya pada Vanko saat sisa satu putaran lagi yang mereka harus lalui. Manalagi, saat Sachi kini berjalan mundur terlebih dahulu untuk terus mengamati bagaimana kerennya Vanko saat berlari. "Vanko! Fighting!"
Vanko hanya berdecak. Terlihat dari Vanko yang tidak ingin memberikan timbal balik, hingga Sachi dengan segala keluarbiasaannya, terus melakukan hal itu tanpa bosan. Bahkan, saat Sachi tidak mengamati sesuatu yang berada di belakang yang bisa saja membuatnya terluka atau terjatuh.
Dan kenyataannya, memang seperti itu. Sachi tidak dapat melihat batu sebesar genggaman orang dewasa, sehingga salah satu kakinya yang menginjak batu itu, membuatnya kehilangan keseimbangan. Akan merasakan di mana pantat yang bisa saja merasa nyeri atau bahkan kepalanya yang akan terluka hingga mengeluarkan darah. Itu semua adalah bayangan yang langsung saja terekam dalam benaknya, dan membuatnya langsung berteriak dengan memejamkan mata saat akan merasakan dunianya akan berakhir.
"Aku telah mati." Sachi bergumam dengan mata terpejam. Namun, merasa aneh saat tubuhnya tidak merasa sakit sedikit pun. Alhasil, Sachi langsung mengambil kesimpulan di mana rohnya, bisa saja pergi dari tubuhnya. Membuat Sachi langsung membuka mata dengan pelan dan menangkap wajah tanpa ekspresi itu yang membantunya agar tidak terjatuh. Bahkan, saat Sachi dapat merasakan bagaimana Vanko yang memegang pinggangnya dengan gemetar dan sesekali memejamkan mata.
Membuat Sachi terpaku saat paras Vanko dapat ia lihat begitu dekat. Apalagi, saat mata huzelnut itu beradu dengan matanya, meninggalkan sensasi yang membuat sesuatu berdebar tidak karuan.
'Aku benar-benar gila!' Sachi bergumam dalam hati.
"Gadis bar-bar!" kata Vanko yang kemudian menjauhkan tubuhnya dari Sachi yang kini merasakan sekitarnya yang mendadak berbunga. Serasa musim semi datang begitu cepat. Hingga di mana Vanko kembali berlari untuk melanjutkan perintah dari Mr. Grey dan meninggalkan Sachi yang dikerumuni beberapa orang.
"Sachi, kau gadis bar-bar nomor satu di Stora!" pekik sang ketua kelas, James Baldein yang disetujui oleh yang lainnya.
Sachi yang mendengarnya, memilih tertawa. "Terima kasih para penggemarku---"
"Sachi, kau mimisan!" James berujar, membuat Sachi yang belum menyelesaikan ucapannya, langsung memencet hidungnya dan berbalik.
"James, katakan kepada Mr. Grey! Aku ke unit kesehatan dulu."
Beberapa temannya yang ingin menguarkan pertanyaan, terhalang saat sang empu langsung berlari dengan memencet hidungnya menuju unit kesehatan. Dan, Vanko dapat melihat saat Sachi berlari meninggalkan pelajaran, membuat kedua alisnya bertaut begitu penasaran.
'Kenapa gadis bar-bar itu?'
Tbc.
Maafin kalau ada typo👀
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top