BAB II : All Things Have a Reason

Semua hal punya alasan, termasuk saat dua pribadi yang berbeda, meluapkan emosinya dengan pertikaian.

***

Seantero sekolah mendadak gempar, tatkala sepanjang jam istirahat, menjadi waktu di mana seorang lelaki yang terkenal akibat paras dan kekuasaan yang dimilikinya, menghajar seorang lelaki yang berada di kelas sebelah. Bukan tanpa alasan lelaki bermata huzelnut itu melakukannya. Lagipula, Vanko tidak akan memulai jika lawannya---Brian Marion tidak memberikan umpan untuk memancing titik emosinya selama ini.

Tidak ada yang tahu bagaimana Vanko ternyata mahir dalam melumpuhkan lawan, membuat Brian kehilangan kesadaran dengan banyak luka disekujur tubuhnya. Bahkan, saat Vanko langsung meninggalkan tubuh Brian yang tergeletak di lantai kantin dengan berjalan sempoyongan sembari menggelengkan kepalanya dan menggigiti kukunya.

"Tidak Vanko. Dia yang salah dan kau sudah benar," katanya setelah berbalik dan mendapati tatapan yang menghakimi dari sebayanya. Bahkan, ia dapat melihat saat Brian telah dibopong ke unit kesehatan dan membuatnya kini mempercepat langkah untuk menjauh---jika bisa, ia ingin menghilang.

Akan tetapi, harapan itu harus Vanko kubur dalam-dalam karena kenyataannya, setelah apa yang ia lakukan pada Brian, membuat sekolah mengadakan pertemuan antar orangtua dari kedua belah pihak atas pemintaan dari orangtua Brian yang tidak terima saat anaknya kini harus menjalani perawatan di Rumah Sakit.

Vanko tidak bisa melakukan apapun saat ia kini berada di antara kedua orangtuanya yang tengah mendengarkan penjelasan dari orangtua Brian yang berada di hadapan mereka---menjelaskan agar ia meminta maaf dan meminta tebusan atas apa yang ia lakukannya.

"Kalian semua sudah melihat bagaimana anak ini telah membuat anak saya hampir tewas. Anak yang malang, dia harus menjalani kesehariannya di Rumah Sakit, karena tingkah anak ini yang seperti binatang dan tidak mendapatkan ajaran dari kedua orangtuanya. Bukankah, keluarga Dickson adalah keluarga yang terhormat?" kata wanita yang tidak lain adalah ibu Brian---lebih sering dipanggil dengan nama Diana. Ampuh membuat Vhi mengepalkan kedua tangan---beriringan saat Aileen kini berdiri dan menatap dengan tatapan nyalang pada Diana.

"Dengar yah, Nyonya Marion yang terhormat. Aku sudah mendengar semua perkataanmu sejak tadi dan sekarang, biarkan aku berbicara terlebih dahulu," katanya dengan emosi yang sejak tadi tertahan dengan wajah yang anggunnya. Bahkan, Aileen tidak lagi memedulikan siapapun yang mencoba untuk menyuruhnya diam, sekalipun itu adalah Kepala Sekolah. Apalagi, Vhi tidak memberikan timbal-balik untuk membuat istrinya diam saja.

"Aku sangat mengerti letak kesalahan dari anakku yang hampir membuat anakmu hanya tinggal nama. Akan tetapi, kau tanyakan terlebih dahulu pada anakmu itu yang memancing emosi anakku. Tanyakan pada anakmu yang memberikan cemoohan soal masa lalu yang anakku coba hapus dalam ingatannya dan jujur, aku mengerti di mana anakku tidak akan melakukan hal yang gegabah tanpa alasan yang pasti," katanya dengan sangat jelas, sembari menatap Vanko yang hanya menatap kosong di hadapannya. Karena itu, Aileen tersenyum lirih. "Kau tidak tahu bagaimana anakku mencoba untuk keluar dari masa lalunya dan dengan gamblangnya, anakmu itu melukai titik kelemahannya."

Ruangan ini seketika menjadi senyap. Orangtua dari pihak Brian belum memberikan komentar, hanya sebuah tatapan sinis dan cibiran tanpa suara. Hal itu sontak digunakan oleh kepala sekolah untuk berujar.

"Saya mengerti dengan apa yang terjadi. Brian memang salah dengan mencemooh Vanko yang memang terkenal pendiam. Akan tetapi, kesalahan Vanko untuk membalas pun tidak dibenarkan. Untuk itu, Vanko harus meminta maaf atas apa yang dilakukannya dan setelah menilik semuanya, Vanko akan diskors untuk merenungi perbuatannya selama tiga hari ini, dan menerima pembelajaran dari rumah ." Kepala Sekolah berujar, membuat banyak pihak tidak terima dengan keputusan itu. Termasuk kedua orangtua Vanko tentunya.

Akan tetapi, Vanko belum memberikan timbal-balik saat kepala sekolah menyuruhnya untuk meminta maaf. Tatapan yang kosong itu, terus terpaku pada meja dan karena desakan dari sekitarnya, membuat Vanko mengangkat kepala dan tersenyum miring kepada sepasang suami-istri di depannya itu.

"Vanko, kau harus meminta maaf kepada keluarga Brian---"

"Aku tidak bersalah, kenapa aku harus meminta maaf?" pangkasnya dengan datar atas ucapan kepala sekolah. "Jika kau memaksa, keluarkan aku saja dari sekolah ini. Tidak perlu memberikan skorsing."

Lantas Vanko berdiri, meninggalkan rapat yang terjadi dan membuat semua orang bungkam. Termasuk kedua orangtuanya. Bahkan, Aileen dan Vhi kini saling memberikan tatapan bermakna, hingga Aileen memberikan tatapan seperti memohon pada suaminya untuk melakukan suatu hal. Sehingga, Vhi mengangguk yang kemudian menatap sang kepala sekolah yang masih terdiam.

"Semuanya sudah terjadi, dan aku mewakili keluargaku untuk meminta maaf. Termasuk di mana Vanko harus berhenti untuk menuntut ilmu di sekolah ini," katanya sembari bangkit dari duduknya---beriringan dengan Aileen yang kini berdiri. "Aku akan meminta seseorang untuk mengurus semuanya. Untuk keluarga Marion, saya akan membayar semua pengobatan Brian hingga sembuh dan kami permisi dulu."

Aileen dan Vhi kini berjalan keluar dari ruangan. Tidak mengindahkan apapun lagi karena intensi mereka hanya satu, mencoba berbicara dengan Vanko yang kini berdiri di tengah lorong karena menatap jendela yang menampilkan sekelompok anak tengah bermain basket.

Aileen dapat melihat hal itu, yang sontak membuatnya meneteskan air mata. Aileen masih mengingat bagaimana putranya memang menyukai olahraga basket, berharap agar remaja nanti, ia bisa mengikuti lomba basket dan memberikan medali pertamanya pada sang ibu.

Akan tetapi, semua mimpi dan harapan Vanko pupus setelah kejadian itu menimpanya. Bahkan, Vanko tidak berselera hidup saat Aileen maupun Vhi, terus melihat Vanko yang mencoba menyakiti dirinya, dan bahkan melakukan percobaan bunuh diri. 

Aileen menarik napas, kini memegang pundak Vanko yang dapat digapainya, tetapi terhentikan saat Vanko menghindar dengan napas memburu.

"Semuanya sudah selesai. Kau tidak akan lagi bersekolah di sini, dan Dad akan mencari sekolah yang tepat untukmu," kata Vhi yang membuat Vanko tersenyum miris.

"Terserah Dad saja." Lantas Vanko kembali menarik langkah dan meninggalkan kedua orangtuanya yang hanya bisa menatap lirih kepada putra mereka yang terus saja seperti ini. Hingga 10 tahun berlalu dan terus membekas dalam benak dan lubuknya. 

"Vhi, aku sangat rindu dengan Vanko kita," lirihnya yang kembali meneteskan air mata. Kemudian menyanderkan kepalanya pada bahu sang suami yang hanya bisa memberikan sapuan hangat.

Berharap, semua mimpi buruk ini akan berakhir suatu saat nanti.

***

Pemandangan dari luar  yang dilihatnya dari jendela kamar sangat indah. Membuat kedua matanya tidak bosan untuk memberikan amatan. Apalagi, saat ia kini mendekatkan wajahnya pada kaca jendela, dan merasakan  permukaan kaca yang cukup licin karena embun di pagi hari, menuntun jari telunjuknya untuk menulis sesuatu di benda itu.

Vanko.

Lantas kedua bibirnya membentang---membentuk sebuah senyuman.

Sesuai dengan perkataannya, Vanko benar-benar memutuskan untuk keluar dari sekolah yang menyesakkan dirinya itu.  Sekolah yang dipenuhi akan orang-orang yang terus menyudutkan dan membuatnya makin tertekan.

Vanko tidak bisa melupakan perkataan Brian kemarin siang. Bahkan, saat lelaki itu berujar dengan gamblang dan tanpa dosa. Dengan merekam percakapan mereka berdua dan berniat mengancamnya.

"Oh iya, dengan melakukan hubungan itu sewaktu kecil, apa menyenangkan? Maksudku, apa kau menikmatinya?  Eh ... apa kau malah  candu dan menjadi seorang homoseksual?"

Vanko menggosokkan jemarinya pada leher yang kemudian berhenti pada wajahnya. Ia memang salah, dengan berdebat dengan Brian yang berakhir  di mana ia malah mengatakan 'Aku menikmatinya atau tidak, itu bukan urusanmu. Sekalipun aku adalah homoseksual, apa itu membuatmu keberatan?' Seakan memberikan pemahaman lain bagi orang yang mendengarnya. Padahal, artinya tidak seperti itu.

Vanko hanya bisa membuang napasnya dengan lega, saat ia telah mengetahui di mana ayahnya benar-benar mengabulkan permintaannya untuk berhenti di sekolah itu.

Tbc.

Bagaimana pendapat kalian gens?

Beritahu kalau ada typo yah. Purple u💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top