Bagian 9 | Spend time? ✓

Sorry for typo
~Happy Reading~

"Lihatlah sekitar, banyak hal yang perlu kamu syukuri. Sebelum hal itu hilang dalam sekejap mata."
~Twin's

Malam ini angin berhembus pelan, namun cukup untuk membuat sebagian besar orang merasa dingin. Langit yang biasanya kelabu, karena memasuki musim hujan ini, kini menjadi biru navy dengan banyaknya bintang-bintang yang berkelap-kelip dan lengkungan bulan sabit yang menambah kecantikan langit malam pada hari ini.

Naya merasa beruntung saat pulang ke rumah, dia sudah melihat Shana yang menggeret koper merah pudar ke arah tangga. Naya tahu, jika Shana membawa koper ke rumahnya, berarti dia akan menginap lama di sini.

Naya melebarkan senyumnya ketika dia hendak menghampiri Shana yang berada di tengah-tengah undakan tangga menuju lantai dua, tempat kamar mereka.

"Berapa hari kamu mau nginep? Sebulan? Atau mau pindah sekalian ke sini?"

Langkah Naya terhenti pada jarak yang lumayan jauh, antara dirinya dan Shana yang hanya menatapnya sekilas. Naya sedikit terkejut dengan ucapan frontal Nana-ibunya. Terdengar antusias menginginkan Shana agar tinggal lebih lama di sini.

Shana memandang getir pada Nana. Jiwanya terkoyak saat melihat manik mata ibunya yang seperti mengharapkan hadirnya dirinya. Padahal hal tersebut tidak mungkin terjadi. Shana juga sadar, bahwa mungkin saja itu terjadi hanya karena adanya Elvan yang berada di samping Nana.

"Shana cuma nginep sehari aja, besok udah mau pulang."

Dalam hatinya Shana menjerit kesakitan atas jawabannya barusan. Jika saja Nana mengatakannya dengan tulus, mungkin Shana akan mempertimbangkannya lagi.


Tapi Shana cukup yakin, bahwa Nana pasti tidak akan menerimanya dengan suka hati.


Saat Shana akan melanjutkan langkahnya ke undakan tangga selanjutnya, suara Elvan menginterupsinya untuk berhenti. Shana kontan berbalik badan dan melihat ke arah Elvan. Wajah sedihnya berusaha Shana sembunyikan diam-diam dalam ekspresi datarnya.

Elvan menatap Shana dengan tatapan penuh harap. "Na, gak bisa tinggal lebih lama gitu?" Nana terlihat ikut mengangguki perkataan Elvan, seperti ikut andil untuk membujuk Shana.

Shana berdecih dalam hati. "Gak bisa, Pa. Shana sibuk, Shana izin ke kamar dulu," pamit Shana seraya pergi ke kamarnya yang berada di lantai dua, bersebelahan dengan kamar Naya.


Saat Shana menaiki anak tangga terakhir, Shana mendengar bunyi bedegum yang kencang. Shana tahu apa yang terjadi di bawah sana, karenanya Shana tidak menoleh ke bawah. Takut pertahanannya runtuh dan rasa sesaknya semakin menjadi-jadi.

Shana memejamkan matanya dengan pegangan pada sisi tangga yang kian mengerat. Sedangkan Naya yang mengintip dari balik pilar, menitihkan air mata. Melihat Shana yang seperti itu membuatnya merasakan hal yang sama.

Karena pada dasarnya, anak kembar bisa saling merasakan perasaan kembarannya. Bahkan Naya sendiri juga tidak tahu mengapa tiba-tiba dia ingin menangis sekeras-kerasnya hanya karena rasa sesak tiba-tiba hadir.

Apakah ini perasaan yang Shana rasakan saat ini? Kenapa harus sesesak ini, Tuhan! Batin Naya menjerit dan dengan cepat, Naya membanting pintu kamarnya.

Shana yang masih belum sanggup melanjutkan langkahnya, dikejutkan lagi oleh suara pintu yang tertutup begitu keras.

"Naya ... " lirih Shana dengan memandangi pintu kamar Naya yang berwarna pink dengan tatapan sendu.

Saat Shana merasa dia harus kembali ke rumahnya, lantas mengapa harus ada rasa sesak yang menghinggapi hatinya?

•×•×•×•

"C'mon, Ki. Jangan malas-malasan elah!" tegur Ziyad yang sedang berlari kecil di samping Akio.

Ziyad dan Akio memang tetanggaan dan merupakan teman semasa kecil. Jika saja, bukan karena ajakan dari Ziyad, Akio tidak akan repot-repot olahraga pagi dari ayam jantan mulai berkokok hingga matahari baru saja terbit, mereka masih berolahraga.

Akio memandang Ziyad dengan sengit. "Aish, lagian kenapa ganggu acara libur gue sih!" sahut Akio cepat.

Akio tetap saja mengikuti Ziyad untuk melakukan joging walaupun dengan terpaksa.

Ziyad tersenyum mengejek pada Akio. "Cemen lo, baru segini aja udah ngomen kaya anak cewek."

Akio menggerutu. "Gak cape dari mana, udah dua jam kita lari-lari ngeliling komplek dan sekarang ... harus olahraga lagi ke taman? Ya kali!"

Ziyad tergelak, dia menepuk-nepuk pundak Akio dengan keras. "Segini mah belum seberapa kalo lo beneran mau ikutan Taruna nanti."

"AH, SETAN!" umpat Akio.

Akio mendengkus saat Ziyad mulai membicarakan hal yang membuatnya-merasa semangat-sekaligus kesal jika hal itu terus Ziyad ingatkan padanya. "Gue tahu, gak usah diingetin lagi!" ketus Akio dan berlari mendahului Ziyad.

"Woi! Curang lo!" Ziyad berusaha mengejar Akio yang sudah memberi jarak lari kepada mereka.

"Giliran bahas itu, baru aja semangat. Labil emang!" gerutu Ziyad.

•×•×•×•

Setelah menyelesaikan olahraga kebugaran, mereka memilih untuk berteduh di bangku taman dekat pohon yang rindang dan membuat mereka merasa teguh saat berada di bawah naungannya.

"Gila-gila! Lo kenapa sih gak ngasih tahu kalo cewek-cewek komplek kita pada cakep-cakep sih!" protes Akio saat matanya jelalatan melirik perempuan yang berlalu lalang.

Ziyad berdecih saat melihat Akio kembali ke sikap aslinya. "Mata lo tuh, minta di congkel emang!"

"Haha, biasa. Lihat seger, mata jadi fresh langsung."

"Alibi lo!"

Ziyad melemparkan botol bekas minumannya pada Akio dan membuat pemuda itu mengaduh kesakitan, karena ujung botol tersebut mengenai pelipisnya.

"Sialan lo!" Ziyad malah tertawa ngakak melihat derita yang dialami Akio.

"Biasa aja kali matanya, giliran tadi gue ajak joging aja, mata lo, loyo amat. Pas lihat cewek, beda lagi. Langsung cerah aja," cibir Ziyad yang tidak habis pikir dengan otak sahabatnya yang satu ini.

Akio tersenyum menyeringai kepada Ziyad. "Mata gue tahu, apa yang harus dilihat dan apa yang gak harus dilihat. Bikin suntuk kalo maksain sesuatu yang gak kita suka, harus kita lihat."

"Tumben, bijak?"

"Gini-gini juga, otak gue selalu jadi saingan lo!" ucap Akio dengan sombong.

Ziyad berniat menjitak Akio, namun dengan lihainya Akio menghindar. "Suka bener aja kalo ngomong."

•×•×•×•

"Shan, sumpah ya ... aku ... gak kuat lagi, istirahat yuk?" ajak Naya untuk sekian kalinya.

Mereka sedang berjoging karena awalnya Shana hendak pergi sendiri, tapi Naya memaksanya untuk ikut. Karena tidak ingin cekcok di pagi hari, Shana mengiakan agar Naya ikut dengannya disertai syarat yang mengharuskan Naya tidak memanggilnya dengan embel-embelan kakak.

"Lemah lo!" ejak Shana.

Naya hanya menganggap ucapan Shana hanya angin berlalu saja, dirinya sudah tidak tahan lagi jika harus kembali berlari kecil. Itu membuatnya lelah, sangat.

Naya sudah menselonjorkan kakinya di tepi trotoar taman yang banyak diduduki oleh orang-orang. "Kalo kamu mau lanjut, silahkan. Tapi aku tunggu di sini ya? Capek," keluh Naya sambil mengibasi wajahnya.

"Ya udah, tapi jangan cengeng kalo gue tinggalin nanti," sahut Shana.

Naya malah tersenyum saat Shana melontarkan kalimat itu. "Kamu gak akan beneran ninggalin aku sendiri."

"Sok tahu!"

Lalu Shana memilih untuk kembali melanjutkan larinya dan meninggalkan Naya yang masih saja tersenyum walaupun sudah mendengarkan perkataan Shana yang sarat akan penuh makna.

Mungkin banyak orang yang akan menilai, bahwa Shana memperlakukan dirinya dengan tidak baik. Tapi Naya percaya, bahwa seorang kakak tidak akan melakukan sesuatu yang buruk bagi adiknya sendiri.

Karena bagi Naya, menjadi seorang kakak itu adalah tanggung jawab yang berat. Selain menjadi tauladan bagi sang adik, dia juga memikul tanggung jawab yang tak kasat mata saat sudah dewasa kelak.


Untuk itu, Naya percaya. Bahwa Shana akan selalu memberikan yang terbaik baginya. Sekalipun itu terlihat buruk oleh pandangan orang lain.

"Karena hidup ini tidak melulu tentang menanggapi komentar orang lain." Naya mengulas senyum saat kalimat itu secara reflek dia ucapkan pada dirinya sendiri.

•×•×•×•

"Nih minum, jangan biasain minum air dingin kalo abis olahraga."

Shana menyodorkan sebotol minuman pada Naya yang disambut baik oleh Naya. "Kok balik lagi, Shan? Udah selesai larinya?"

Shana tidak menanggapinya, malah menyuruh Naya untuk segera minum. "Minum buruan! Gue juga capek kali."

"Makasih, aku tahu kamu gak akan beneran ninggalin aku." Naya meneguk minuman tersebut hingga tersisa setengah lagi.

Shana hanya bergumam tidak jelas dan ikut berselonjoran di samping Naya sambil meminum air dari botol minumannya.

"Padahal ini belum waktunya kamu berhenti lari loh, biasanya kamu lari bisa sampai satu atau dua jam." Naya melirik jam hitam yang berada di pergelangan tangannya. "Ini, baru aja tiga puluh menit dan udah bilang capek. Kamu aneh atau peduli sama aku?" tanya Naya lagi di sela-sela waktu istirahatnya.

Shana tersedak minumannya. Naya menepuk punggung Shana. "Pelan-pelan, Na!" ujar Naya memperingati.

"Gue juga manusia kali, wajarlah kalo gue capek juga," sahut Shana cuek.

Naya tersenyum melihat wajah Shana yang memerah. Dia tidak tahu, apakah itu tanda bahwa Shana malu ataupun marah. Yang pasti, Naya tahu bahwa Shana selalu peduli padanya.

"Tapi justru karena hal itu bikin aku tambah yakin kalo kamu itu sebenernya peduli sama aku."

"Ngaco lo kalo ngomong."

~tbc~
©070320 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 12 Juli 2020]

Note : Thank's for reading~
Update tiap Sabtu or Minggu

Salam hangat,
Bye~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top