Bagian 8 | Keterkaitan

Sorry for typo
~ Happy reading ~

"Tidak ada yang benar-benar sendiri, meskipun kamu berada di titik terendah sekalipun. Karena pada dasarnya, manusia itu diciptakan untuk berpasangan."
~Twin's

Masih dengan baju khusus untuk latihan tari, Naya mengibas-ngibaskan tangannya yang memegang kertas yang sudah terlipat ke depan wajahnya, mengurangi rasa gerah, walaupun tak berefek banyak. Tapi dengan angin kecil yang tercipta, dapat membuat kegerahan yang melandanya sedikit berangsur berkurang.

Widia duduk di samping Naya, dia bersandar pada dinding sambil menyelonjorkan kakinya. "Latihan hari ini bener-bener nguras tenaga banget, ya?" Widia ikut mengibas-ngibaskan dengan tangannya. "Coach bahkan gak segan-segan buat omelin kita, padahal biasanya dia kalem banget," keluhnya lagi.

Widia tidak ada habisnya menggerutu. Latihan tari mereka sudah selesai sejak lima menit yang lalu, namun saking lelahnya, banyak anggota tari yang memilih mengistirahatkan tubuhnya terlebih dahulu.

Memang latihan tari yang sekarang, terasa lebih berat dari sebelumnya. Hal itu dirasakan oleh semua anggota klub tari, termasuk Naya. "Mungkin Mbak Laras lagi banyak pikiran."

Widia mencebikkan bibirnya, dia tidak bisa seperti Naya yang terus berpikir positif thinking. "Bukan gitu Nay, dia itu keliatan ... lagi galau gitu, wajahnya nekuk banget. Aura kesedihannya itu loh," ujarnya menggebu-gebu.

"Dramatis ih!"

"Biarin lah. Oya, cepetan balik yuk! Gue gak enak nih sama Kiyo, pasti dia udah lama nungguin gue."

Widia tampak gelisah saat melihat jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan malam.

"Cie, makin lengket aja," goda Naya sambil menjawil pipi Widia.

"Ish! Dia mah emang suka over protective. Padahal gue bukan anak kecil, heran gue sama jalan pikiran cowok kaya dia," sergah Widia dengan mengerucutkan bibirnya.

"Dari dulu gitu mulu, kalian tuh. Bikin envy banyak orang loh, kapan jadiannya sih?"

"Ih, apaan jadian, sorry ya!"

Naya mencibir. "Gak jadian, tapi lagaknya kaya orang yang pacaran."

Widia tergelitik untuk tertawa. "Haha, lagian lo ngomong ada-ada saja sih, gue sama dia gak jadian kok, beneran!" Widia membentuk huruf V dengan jarinya.

Naya masih dalam mode cemberut. Karena dia sendiri gemas dengan tingkah sahabatnya ini, entah tidak peka ataupun pura-pura tidak peka. "Tapi kalo ada apa-apa sama kalian, janji harus cerita ya?"

Widia menganggut meyakinkan. "Lo bakalan jadi orang pertama yang paling update tentang kehidupan gue!" ucapnya bersemangat.

Setelah mereka sampai di loker penyimpanan barang, mereka masing-masing mengambil sebagian barang-barang yang akan mereka bawa pulang. Karena sebagiannya lagi, tetap mereka simpan di loker. Takut jika sewaktu-waktu mereka membutuhkannya.

Naya kembali tersenyum simpul saat melihat barang yang tak pernah absen berada di lokernya. Bahkan setiap di hari yang sama, Naya sangat menanti-nantikan barang tersebut.

Widia yang sudah selesai mengganti pakaian, menyenggol lengan Naya dan menggoda perempuan itu. "Uh ... yang dapet lagi sesuatu dari doi."

Naya tersipu malu karenanya. Secepat kilat, dia memindahkan coklat batang itu pada tas kecil yang akan dibawanya. Surat yang tertera pada coklat tersebut, akan dibacanya nanti. Di rumahnya.

"Udah ah, tuh Kiyo nelepon lagi," ucap Naya mengalihkan pembicaraan saat mendengar suara dering dari ponsel Widia.

Widia menepuk keningnya, seperti terlupa akan sesuatu. "Oya, gue baru inget kalo Kiyo nungguin, yuk Nay! Jangan sampai kita ngebuat orang kaya Kiyo nunggu, bisa kena amuk nanti." Widia pura-pura memasang ekspresi takutnya.

Naya terkekeh geli. "Mana bisa orang bucin kaya Kiyo marah ke lo."

"Hahaha, pesona gue emang sulit ditolak sih, keliatan banget harus dilindungi kali ya?"

"Mulai deh narsisnya."

"Bukan narsis sih, tapi terlampau percaya diri."

Mereka melangkah bersama menuju parkiran. Dari arah pintu-dekat loker-mereka bisa melihat Kiyo yang duduk di atas motornya, menunggu Widia dan Naya akan menunggu jemputan dari ayahnya.

•×•×•×•

Selesainya latihan karate kali ini, bersamaan dengan selesai latihan tari. Karena itu, Shana dapat melihat Naya dan perempuan yang dia temui di halte bus waktu itu-Widia. Akhirnya dia tahu nama dari perempuan itu dan mengingat pertemuan pertama mereka adalah ketika Shana membentak Naya waktu pertama masuk sekolah.

Kening Shana mengernyit saat melihat Ziyad yang baru saja keluar dari salah satu ruangan tari, sebelumnya laki-laki itu sudah izin untuk pulang duluan pada teman-temannya, termasuk padanya.

"Wah, Shana. Baru mau pulang?" Ziyad menyapanya saat mereka berpapasan di dekat koridor yang memisahkan ruang latihan karate dan latihan tari.

Shana merotasikan matanya. "Harus banget nanya itu?" katanya sarkas.

Ziyad menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Ya, apalagi? Eh, by the way, lo pulang sama siapa? Udah malem gini."

Shana memikirkan perkataan Ziyad, dia memang berniat untuk pulang naik ojek online, namun Shana sendiri masih cukup ragu akan keputusannya. "Naik ojol, mungkin?"

Sambil berjalan beriringan, Ziyad menanggapinya, "gak di jemput, kaya biasa?"

Shana menggeleng, dia tidak mau terlalu merepotkan kakeknya lagi, apalagi ini sudah terlalu malam. "Gak."

"Gimana kalo gue yang anterin? Gak baik, perempuan pulang malem kaya gini," usul Ziyad yang membuat Shana menatap skeptis.

"Suer, gue gak maksud apa-apa, ini real karena gue khawatir sama lo," ucap Ziyad dengan sungguh-sungguh.

Shana berusaha mencari kebohongan pada mata Ziyad, namun yang dia temukan adalah debaran aneh pada jantungnya.

Karena gue khawatir sama lo.

Kalimat itu terngiang dalam benaknya. Shana dapat melihat kesungguhan pada ucapan Ziyad, tapi gensinya terlalu tinggi untuk sekedar mengiakan tawaran dari Ziyad.

Shana berdeham canggung. "Gak usah, Zi. Gue bisa pake ojol kok," tolaknya.


Saat mereka sampai di parkiran, Shana melihat Kiyo yang tampaknya menunggu kedatangan perempuan bernama Widia, seperti yang dilihatnya sembarang waktu. Shana memerhatikan Kiyo yang sedang memarahi Widia layaknya anak kecil, dari jarak yang cukup jauh untuk dilihat Kiyo.

Atensi Shana teralihkan pada Ziyad yang terus memaksanya untuk ikut bersamanya. Shana berdecap acap kali. "Udah, gak usah!" tolaknya untuk kesekian kalinya.

Ziyad mendadak mencekal pergelangan tangannya. Shana hampir saja memekik kaget, jika saja Ziyad tidak langsung memberikan tatapan tajam padanya. "Lo tahu gak, kalo gue khawatir?" Suara Ziyad mendadak meningkat satu oktaf, Shana sendiri terhenyak.


"Udah tahu, perempuan itu bakalan bahaya kalo pulang sendiri jam segini dan lo dengan bodohnya malah milih naik ojol?" Ziyad tertawa sarkas. "Bahkan lo nolak ajakan gue, padahal gue lebih terpercaya dari pada ojol itu, kan? Gue bahkan lebih kenal lo dari pada ojol itu!"

Bahunya naik-turun dengan napas yang kempas-kempis menahan amarah yang bisa saja dia lampiaskan pada Shana. Ziyad sendiri heran dengan Shana yang keras kepala seperti ini.

"Ck, gak usah lebay, Zi. Gue bi-"

"NA! LO PIKIR RASA KHAWATIR GUE, CUMA CANDAAN BIASA, HUH!"

Shana tertegun. Dia termangu pada raut wajah Ziyad yang tampak frustasi. Bahkan dia saja baru mengenal Ziyad selama tiga bulan bersekolah di SMA Kejora.

"Gue berani bersumpah, kalo gue gak bakalan macem-macem, tapi gue mohon ... lo jangan tolak tawaran gue, oke?" Suara Ziyad kembali rendah, hati Shana jadi bimbang.


"Tapi-"

"Udah lo ikut gue." Ziyad menariknya menuju motor pemuda itu yang terparkir tidak jauh dari Kiyo.

Bukan hanya Kiyo saja, tapi Naya, Widia dan Elvan-ayahnya-melihat ke arahnya. Hal itu membuat Shana kikuk sekaligus malu. Dia terus menundukkan kepala.

Tapi hal itu tidak berangsur lama, saat Shana mendengar Kiyo yang berbicara dengan Elvan dengan tutur kata yang tidak sopan.

Lagi-lagi Shana melihat kilatan emosi itu terpancar pada sorot mata Kiyo kepada ayahnya. Meskipun pernah membuat Kiyo merasa kesal dengannya, Shana hanya pernah melihat kilatan benci itu pada Kiyo-saat pemuda itu menatap lawan bicaranya -Shana melihat Kiyo yang sedang mengamuk kala itu.

Dan kini ... Shana kembali melihat tatapan itu dari Kiyo.

"Ayok, naik!" Shana menoleh pada Ziyad dan pemuda itu memberikannya helm.

Shana menerima helm tersebut dengan perasaan campur aduk, sesekali dia melirik pada Kiyo yang sepertinya masih berbicara serius dengan ayahnya, namun tetap tidak menunjukkan wajah datar ataupun ceria. Hanya ada tatapan tidak suka yang membuat Shana merasa janggal.

Apakah banyak hal gue yang terlewat 'kan?

~tbc~
©060220 tanialsyifa
Note : Thanks for reading~

Salam hangat,
Bye~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top