Bagian 26 | Hari Sial ✓
Sorry for typo
~Happy reading~
"Buatlah aku untuk membencimu, agar aku tahu caranya untuk berhenti mengharapkanmu."
~Twin's
Menjelang sore hari, langit sedang indah dengan semburat jingga dan perpaduan warna disekitarnya : merah, biru, kuning dan jingga. Semua itu bersatu di atas langit, hingga membentuk lukisan alam yang begitu cantik. Angin sesekali berhembus, memainkan dedaunan tertiup angin. Daun tersebut mengenai jendela yang tiba-tiba terbuka lebar, membuat Naya terperanjat.
"Hawanya bikin suasana hati aku makin buruk, Zi," keluh Naya.
Pandangan Naya masih termangu pada jendela yang masih terbuka dan mengibaskan gorden biru langit itu.
Ziyad merapikan gorden yang dimainkan oleh angin dan menutup jendela. "Makanya istirahat, jangan banyak ngeluh. Shana gak bakalan suka lihat lo kaya gini," paparnya.
Naya melenguh, efek samping dari obatnya mulai dirasanya. Matanya mulai memberat. "Kalo nanti aku udah tidur, kamu tinggal aja. Lagian ini jadwal kamu latihan, kan? Aku gak apa-apa di sini sendirian, nanti juga ada orang tuaku," papar Naya.
"Itu juga kalo mereka beneran mau pulang sekarang," sambung Naya dalam hati.
Ziyad hanya bergumam tak jelas. Naya tidak tahu pasti, tapi dengan adanya Ziyad di sampingnya, itu membuatnya merasa tidak sendirian lagi, nyaman.
Ziyad membantu Naya untuk memperbaiki letak selimutnya. "Istirahat aja, gue bakalan temenin lo di sini," ujarnya.
Naya tersenyum tipis sebelum akhirnya dirinya beralih ke alam mimpi.
Semoga bisa lebih dari ini Tuhan.
•×•×•×•
Sepanjang Shana latihan, dia beberapa kali kena tegur Dean karena tidak fokus. Bahkan, saat latihan tanding dengan adik tingkatnya, Shana hampir saja kena serangan jika tidak ditegur oleh Kiyo.
"Shana!" seru pemuda itu yang menatap Shana dengan tatapan datar.
Shana mengerjap pelan, dia membungkuk hormat kepada pelatih yang memberikan raut wajah keheranan. "Kamu ada masalah, Shan? Beberapa kali keliatan gak fokus," ujar Dean.
Shana menggeleng pelan. Mana berani Shana memaparkan masalah hatinya yang tidak dia sadari pada Dean, itu adalah pilihan terburuk dalam bercerita. "Saya gak kenapa-napa, Sensei!" ujar Shana dengan tegas.
"Baiklah, tolong tingkatkan fokusmu!"
Shana menganggukkan kepalanya, lalu berjalan ke sisi matras. Dia memerhatikan kelanjutan latihan dari adik tingkatnya. Tiba-tiba saja matanya bertatapan lama dengan manik hitam kelam milik Kiyo.
Shana rasakan adalah tatapan Kiyo menyiratkan banyak makna, dia sempat tertegun. Memang masih terlalu awal untuk menyimpulkan, bahwa tatapan itu kian melembut padanya. Tapi Shana yakin jika maksud dari tatapan Kiyo yang sekarang, berbeda dengan pertemuan pertama mereka.
Kiyo memutuskan pandangannya terlebih dahulu. Shana yang merasa kecolongan karena terlihat memerhatikan Kiyo, mengumpati pemuda itu berkali-kali.
"Sialan!"
Dari awal hingga akhir latihannya kali ini, Shana merasa kosong. Pikirannya masih terfokuskan Naya dan permintaan anehnya pada Ziyad saat pemuda itu baru saja memarkirkan kendaraannya di parkiran sekolah.
Shana yang sudah memakai pakaian tegi beserta sabuknya, berlari kecil menuju Ziyad yang masih duduk di atas jok motornya, menunggu Shana berlari ke arahnya.
Satu pikirannya tentang Shana saat ini adalah, menggemaskan. Shana dengan pakaian besar yang membuatnya terlihat tenggelam oleh pakaiannya sendiri. Ziyad tersenyum kecil.
"Bisa berhenti buat senyum gak jelas?" sindir Shana.
"Habisnya gak percaya aja, lo tiba-tiba ngajak gue ketemuan di sini, padahal nanti juga bakalan ketemu, kan? Kangen, lo?" cecar Ziyad dengan kelakarnya.
Shana berdecih, masih dengan napas yang tersenggal. "Lo ... bisa gak, tolong jagain Naya dulu?" pinta Shana dengan wajah yang terlihat gusar.
Ziyad mengerutkan dahi. "Kenapa bukan lo aja? Bukannya gak mau, tapi lebih pantas lagi kalo lo sebagai Kakaknya, kan?"
Shana mematut senyumnya. Hanya sebatas garis yang tidak bertahan satu detik pun.
"Sori, bukan maksud—"
"No problem, tapi ... gue gak bisa," lirih Shana dengan suaranya yang parau, bahkan terdengar bergetar.
"Terus kenapa, Shan?" desak Ziyad.
Dia juga heran dengan tingkah Shana ini, mendadak mengajaknya ketemuan dan tiba-tiba saja meminta bantuan yang aneh.
Benar-benar tiba-tiba. Padahal setahunya, Shana suka diam-diam membesuk Naya. Ziyad mengetahui ini karena dia sering mengikuti Shana yang waktu itu tidak sengaja bertemu dengannya di pelataran rumah sakit.
"Maaf, Zi. Gue gak bisa menjelaskannya sekarang," cicit Shana.
Kepalanya bahkan tertunduk, malu karena dengan seenaknya dia meminta bantuan dari orang yang selalu baik padanya dan enggan menjelaskan alasannya. Benar, Shana memang egois.
"Ya udah, bilangin ke Sensei kalo gue izin," putus Ziyad.
Saat pemuda itu menstarter motornya, Shana mendongak. "Makasih, Zi," ucapnya tulus.
Ziyad menarik kedua sudut bibirnya untuk tersenyum lebar pada Shana. "Gak apa-apa, lain kali jangan kaku gitu, santai aja. Gue pasti bantu kok," ujar pemuda itu sebelum benar-benar pergi, Ziyad sempat mengacak-acak rambut Shana dengan sebelah tangannya.
"Semangat latihannya, Shan!"
Shana masih terpegun, hingga beberapa menit setelah Ziyad pergi dari halaman parkiran sekolah.
Dia memegang dadanya yang sepertinya berdebar sangat kencang. "Gue gak kena serangan jantung, kan?" gumamnya yang hanya terdengar oleh angin yang memainkan rambutnya.
Tanpa sadar, seulas senyum tipis yang Shana tampilkan itu, lama kelamaan menjadi senyum miris. "Andai aja ini bukan perintah dari Mama ..."
Shana kembali menepis pemikiran itu. Dia berulang kali menggeleng dan meyakinkan diri bahwa itu bukanlah yang harus dia pikirkan saat ini.
Kakeknya sudah berulang kali Shana hubungi untuk segera menjemputnya, namun saat panggilan itu terhubung, neneknya bilang bahwa kakeknya sudah tidur. Shana pun merasa sungkan untuk meminta bantuan kakeknya. Bahkan saat neneknya menawarinya untuk membangunkan sang kakek, Shana menolaknya.
"Gak apa-apa, Nek. Shana bisa pulang naik taksi online," tolak Shana.
"Jangan maksain diri, Shan. Hati-hati!"
"Iya, Shana bakalan jaga diri, Baik, Nek."
"Ya sudah, cepat pulang. Sudah malam gini."
"Iya, Shana juga baru mau pesen taksi online, kok."
"Yakin gak mau dijemput sama Kakek, Shan?"
"Iya, Nek. Udah dulu, ya ..."
Sekilas, Shana dapat melihat Sita dan Trella, salah satu sahabat Sita yang akhirnya Shana ketahui. Mereka baru saja, keluar dari gerbang sekolah. Shana berusaha tidak mengindahkan kehadiran kakak kelasnya yang sudah berdiri arogan di depannya.
"Oh, ternyata ada cewek tomboi nih, gimana kabar Adek lo itu, sekarat?" ucap Sita dengan nada yang meremehkan.
"Ups ... atau emang udah gak di urus ya?" timpal Trella. Gadis belia yang menekuni dunia permodelan di usia mudanya itu, tampak berbeda dari yang Shana ketahui dari media masa. Trella yang baik dan lembut, hanyalah pajangan semata.
"Gimana mau ke urus kalo Kakaknya aja, kaya gini?"
Sita terus mengkomporinya, tapi Shana sudah berusaha untuk menahan amarahnya agar tidak lepas kendali.
Trella menoleh pada Sita, dia tersenyum mengejek pada Shana. "Kesabaran lo, boleh juga," bisik Trella tepat di telinga kanannya.
"Tapi gue gak yakin kalo mereka bisa bikin kesabaran lo bertahan," sambung Trella dan menunjuk dengan dagunya segerombolan laki-laki berpakaian selayaknya preman-preman mendekati ke arah mereka.
Sita terlihat sibuk dengan gawainya, mendongak ke arah Shana. "By the way, salah satu dari mereka kenalan gue sih, jadi gue manfaatin aja," tutur Sita.
Gadis itu menepuk pelan pipi Shana sebanyak dua kali, lalu tersenyum manis. "Semoga beruntung ya, perempuan tulen," ejeknya.
Sita dan Trella pun masuk ke mobil yang terparkir di seberang jalan. Sebelah tangan Sita melambai ke arah, seakan mengejek Shana karena belum mendapatkan taksi online-nya.
Shana berdecak, ingin marah pun rasanya sia-sia. Niatnya untuk segera pulang dan menikmati malamnya, harus tertunda karena laki-laki yang berjumlah enam orang itu terlihat seperti pemburu yang buas terhadap mangsanya. Shana bergidik ngeri. Walaupun merasa tulang-tulang hampir copot karena kelelahan latihan, setidaknya dia harus siap-siap untuk menjaga kehormatannya.
Dia tidak akan membiarkan laki-laki itu menyentuhnya barang sedikitpun.
Halte di dekat sekolahnya memang terbilang sepi, hingga sedikit orang yang berlalu-lalang. Bahkan kalaupun ada, mereka sangat enggan untuk membantu Shana, jika hal tersebut akan berimbas pada mereka.
Hidup memang separah itu, mereka akan menolong jika itu menguntungkan dirinya. Jika tidak, jangan harap kamu akan mendapatkan pertolongan dari mereka.
Shana meregangkan otot lehernya, saat keenam laki-laki itu sudah mengelilinginya. Mengelak dari mereka pun sudah terlanjur tidak bisa Shana lakukan. Salah satu dari mereka berusaha untuk mencekal lengan Shana, namun Shana lebih cepat untuk menangkisnya.
"Wow, belum jinak ternyata, Bos," ujar pemuda yang memakai tindik di telinga, hidung beserta bibirnya.
Bos yang mereka maksud adalah kenalan Sita yang memiliki badan gendut dengan banyak tato yang terlihat pada lengannya yang hanya memakai jaket jeans tanpa lengan.
Siulan menggoda dari mereka membuat Shana menggeram.
"Cantik-cantik sendiri, mau Abang temenin gak? Nanti di anterin, deh."
"Mendingan temenin kita-kita yuk, di sana," ujar laki-laki yang berambut sepak, menunjuk pada sebuah kedai malam dua puluh empat jam.
"Diem kalian semua!" gertak Shana yang tidak berhasil untuk menghentikan aksi mereka.
Shana mengeratkan kembali letak tali tasnya dan bersiap menghadiahi mereka semua dengan rencana yang sudah Shana rancang pada kepalanya.
Saat pria gendut yang merupakan bos mereka, merangsek maju dan mencolek dagunya. Shana dengan geram memelintirkan lengannya dan menendang tulang keringnya. Sangat keras.
"Apa, hm? " tantang Shana.
Bos mereka yang merintih, karena cekalan dari Shana memang kuat, hingga sulit untuk melepaskannya.
"Ngapain diem aja, cepat bantu saya!" bentak bos mereka pada bawahannya.
Sontak saja, Shana mengumpat dalam hati. Dia berusaha menangkis, bahkan kebanyakan darinya adalah memberikan tendangan pada kepala, bahu, hingga tangan yang tidak berarti lebih bagi mereka.
Pria bertindik yang terkena tendangan Shana pada wajahnya, mengelap sudut bibirnya yang sobek. "Lumayan, lah."
Masih dengan napas yang terengah-engah, Shana kembali mengeratkan lengannya pada bos dari mereka. "DIEM LO!" hardik Shana, karena Bos dari mereka itu terus saja mencoba meloloskan diri.
Saat pria bertindik mengeluarkan pisau lipatnya, teman-temannya protes.
"Lo gila, Pik?!"
"Jangan, Pik. Inget ya, kita disuruh bukan buat ngebunuh dia, meskipun dia ngeselin!"
Teman-temannya berusaha untuk menghalangi orang yang dipanggil 'Pik' itu. Tapi 'Pik' malah memukul teman-temannya.
"Sialan lo, Pik!" umpat salah satu temannya.
Pik hanya menyeringai ke arah Shana, tanpa memperdulikan ocehan temannya.
"Gue cabut Bos, Pik dah gila, gue gak mau kena imbasnya."
"Kita juga, sori."
Shana masih tercengang di tempat, masih dengan kesadaran yang ada, Shana melepaskan cekalannya pada orang yang mereka panggil sebagai 'Bos'.
"Pik udah, lo—"
Sreeet
Darah segar yang keluar dari perut kanan bos mereka membuat Shana memekik tertahan. Dia berjalan mundur, hingga akhirnya berlari menjauhi pemuda itu.
"Woi! Lo gak bisa lari gitu aja!" teriak Pik.
Shana merasa ini adalah hari yang sangat buruk baginya. Saat tubuhnya meminta untuk diistirahatkan, Shana justru terjebak dalam drama pelik seperti ini.
"Huftt ... " Entah sudah berapa kali Shana membuang napasnya.
"Sini lo!"
Teriakan itu membuat Shana kembali tersadar. Ditengah larinya, air mata Shana tidak hentinya terus mendesak keluar. Padahal sudah Shana tahan beberapa kali.
"Gue gak boleh cengeng."
Shana masih memaksakan kakinya untuk lari, dia merasa wajahnya sudah lengket dengan keringat dingin mulai bercucuran, tangannya pun bergemetar hebat.
Hap.
"Akhirnya dapat!" serunya.
~tbc~
©120420 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 15 Juli 2020]
Note : Thank's for reading~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top