Bagian 23 | Kekesalan yang Menyiksa ✓

Sorry for typo
~Happy reading~

"Kegagalan adalah sebuah pijakan untuk kamu kembali bangkit dan melompat lebih tinggi lagi."
~Twin's

"Gak usah gugup gitu Nay, good luck!"

"Biasanya juga kamu gak pernah nervous gini. Mana Naya yang gue kenal hm?"

"Ya wajar kali, Kak. Ini pertama sekaligus mungkin terakhir kalinya aku tampil," ujar Naya dengan disertai tawa miris.

Widia menggeplak bahu Naya, pelan. Namun cukup mampu membuat Naya meringis. "Lo kalo ngomong jangan aneh-aneh deh! Inget, ucapan itu doa!" sembur Widia.

Naya terkekeh pelan. "Sori, deh." Dia memberikan tanda peace pada sahabatnya itu.

Naya bersama tim cover dancer telah bersiap di balik stage dengan berbagai perasaan yang berbeda-beda. Terutama bagi Naya dan Widia yang baru pertama kalinya melakukan ini.

"Sumpah Naya, sekarang gue beneran gugup elah! Gak tahu harus gimana pokoknya! Kaki gue mendadak jadi jeli!" heboh Widia sambil berjalan mondar-mandir.

Laras menatap geli ke arah Widia. Sedangkan Shintia dan Kia masih berada di toilet karena ada beberapa urusan, katanya.

"Kan kata aku juga apa!" seru Naya sambil merenggut.

"Ini gimana ya ... gimana...." Widia selalu cemas dengan perkara yang belum tentu terjadi, overthinking.

Oleh karena itu, Laras berinisiatif memberikan Widia dan Naya minuman dingin. "Nih, minum. Coba kalian tenangkan diri kalian dulu."

Laras menyodorkan dua buah botol minuman itu pada Widia dan Naya. Matanya melirik pada jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. "Masih ada waktu tiga puluh menit lagi, gue mohon kalian jangan mikir yang aneh-aneh. Karena itu bisa merusak konsentrasi kalian. Ingat ya, kita gak boleh gagal di sini dan mengecewakan diri kita sendiri yang udah berjuang sejauh ini ya," nasihat Laras.

Sampai akhirnya waktu yang mendebarkan bagi mereka pun tiba. Dengan langkah mantap, mereka sampai di atas panggung yang menyoroti mereka dengan lampu-lampu dan atensi banyaknya manusia yang menatap ke arah mereka dengan penasaran sekaligus antusias.

Rasanya kaki aku beneran jadi lemas deh.

•×•×•×•

Jika saja keluar dari ruangan yang dipenuhi oleh kerumunan manusia yang menikmati acara ini bisa Shana lakukan, mungkin sudah dari menit-menit sebelumnya dia lakukan. Namun untuk menengok ke samping saja membuat Shana merinding. Orang yang ramai di Aula membuat Shana merasa menciut dan merasa diterkam karena tatapan mereka yang penuh perhatian ke depan panggung.

Shana memang berada di deretan kursi paling depan, sehingga meskipun perhatian mereka tertuju pada panggung sekalipun, Shana tetap merasa punggungnya di awasi oleh banyak pasang mata. Meskipun belum tentu pemikirannya itu benar adanya.

Ziyad yang berusaha menikmati acara itu menoleh ke arah Shana, beberapa kali dia memergoki Shana yang mendumel pelan, memilin jemarinya atau bahkan berdecak acap kali. Ziyad sadar, bahwa Shana sedang tidak nyaman dengan situasi seperti ini.

"Mau pulang aja?" tawarnya pada Shana yang kini menatap kepadanya.

Shana menggeleng pelan, nampak pasrah dengan keadaan. Gak mungkin bisa keluar dari sini. 

Namun yang Shana ungkapan dari bibirnya, berbanding terbalik dengan keinginan hati. "Nanggung. Nunggu Naya tampil," alibinya, tidak sepenuhnya berbohong.

Jika saja tim Naya telah selesai tampil, Shana pastikan dia akan langsung keluar dari ruangan yang sesak ini. Itu adalah janjinya pada dirinya sendiri.

"Beneran gak apa-apa? Kalo lo emang risih, kita keluar aja yuk?"

"Gak usah, Zi!" tolak Shana.

Ziyad mengangguk-angguk mengerti, dia kembali menutup mulutnya dan kembali fokus ke panggung. Meskipun sesekali melirik ke arah Shana dengan perasaan waswas.

Ziyad sebenarnya sama seperti Shana, tidak terlalu nyaman di tempat yang ramai seperti sekarang, namun demi menghargai Naya dan permintaan gadis itu yang tumben meminta pertolongan padanya waktu itu.

"Aku mohon ya, Zi. Tolong bikin Shana ikut ya? Aku mau ngebuktiin ke dia, bahwa aku mampu!"

Ziyad sempat terheran dengan kalimat Naya, tapi tidak juga menolak permintaan gadis tersebut karena menurutnya tidak terlalu berat baginya untuk membantu Naya. Lagian usahanya mengajak Shana tidak berakhir sia-sia, bukan?

•×•×•×•

Ada alasan kuat yang membuat Naya bertahan hingga sejauh ini di atas panggung, meskipun dia sudah merasakan pening pada kepalanya dan kakinya yang tidak mampu lagi menyangga beban tubuhnya. Selain tidak ingin membuat banyak orang kecewa padanya, sekilas Naya dapat melihat Shana di antara banyaknya pasang mata yang melirik padanya.

Gadis dengan wajah tertekuk karena tidak menyukai kerumunan, hadir pada acara paling ditunggu-tunggu oleh Naya. Momen pembuktian baginya. Naya bahagia, Shana meluangkan waktunya. Bahkan dengan sukarela, membolos check up demi dirinya. Itu yang dikatakan neneknya pada Naya, sebelum Naya berangkat ke Bandung.

Naya terharu dengan Shana yang mau memilih bertahan hingga berjam-jam demi melihat dirinya yang tampil. Padahal Naya tahu, Shana dan keramaian merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa bersatu. Walaupun disuruh bertahan hingga satu jam lebih lamanya, Shana pasti akan menolaknya mentah-mentah.

Naya bangga terhadap dirinya sendiri yang bisa bertahan hingga saat ini. Walaupun banyak orang yang meragukan dirinya, bahkan tadi saja Naya memaksakan diri untuk minum obat di luar jadwalnya. Takut-takut terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan sewaktu-waktu dirinya perform di atas panggung.

Meskipun hal itu bertentangan dengan resep dokter, tapi jika Naya menunda jadwalnya minum obat, hal itu justru semakin beresiko bagi kesehatannya.

Aku mohon tolong kuatkan aku, Tuhan. Pinta Naya dalam hati.

Naya ingin kuat tanpa harus berpura-pura. Dia tidak ingin menyerah karena yang dia tahu bahwa kerja keras adalah salah satu faktor penentu kesuksesan. Meskipun kegagalan bisa saja menjadi guru terbaik untuk meraih kesuksesan yang sempat tertunda.

Setidaknya bertahanlah sampai ini semua selesai.

•×•×•×•

Menatapnya dari kejauhan adalah keahliannya. Walaupun menggapainya adalah kemustahilan, tapi yang dia inginkan hanyalah sederhana.

Dapat menjadi saksi ketika gadis itu bahagia bersama dunianya.

Sesederhana itu kebahagiaan yang dia rasakan untuk orang yang kini menempati relung hatinya.

Dia menjadi salah satu dari sekian ratus manusia yang menyaksikan penampilan gadis tersebut, menjadikannya sebuah kebanggaan tersendiri baginya.

Tapi satu hal yang membuat dia khawatir pada gadis itu adalah pada menit-menit terakhir saat penampilannya telah selesai, dilanjutkan dengan sesi pertanyaan singkat. Dia dapat melihat bahwa Naya beberapa kali mengerjapkan matanya.

Dia bukan orang bodoh yang tidak mengetahui, bahwa Naya sepertinya sedang menahan sesuatu yang membuatnya semakin mengepalkan tangannya. Dia dapat melihat itu dengan kentara, karena letak duduknya yang berada di depan panggung dan hanya berjarak beberapa meter saja dari arah Naya.

Hingga sesuatu yang dikhawatirkannya beberapa menit yang lalu olehnya terjadi.

Naya pingsan.

Banyak orang yang histeris dan berjalan mendekati panggung. Penasaran dengan kejadian apa yang terjadi. Ponsel-ponsel mengacung ke atas, hendak merekam kejadian. Namun terhentikan oleh petugas keamanan yang mengamankan mereka agar kembali duduk di bangkunya masing-masing.

Dia mendengkus keras ketika melihat Shana yang hanya termangu di tempatnya, tanpa berniat menatap Naya sedikit pun. Bahkan Shana terlihat benci saat menatap Naya. Perempuan itu malah membuang muka, membuatnya menggeram kesal.

Tanpa ragu, dia menyerobot ke arah kerumunan yang sudah diamankan oleh pihak keamanan pada acara tersebut, namun langkahnya membeku saat dia melihat Ziyad sudah membopong tubuh Naya dan melangkah ke balik stage.

Sial, kalah cepat!

Selalu saja banyak makian yang dia ucapkan ketika Ziyad selalu saja mendahuluinya. Entah itu melalui pelajaran atau mungkin tentang urusan hati misalkan?

~tbc~
©300320 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 14 Juli 2020]

Note : Thank's for reading~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top