Bagian 10 | Salah Shanaya ✓

Sorry for typo
~ Happy reading ~

"Hati-hati dalam menilai seseorang, karena kamu bukanlah Tuhan yang Maha Tahu."
~Twin's

Semenjak Shana menginap di rumahnya, Naya menjadi lebih aktif dan lebih ceria dari biasanya. Bahkan tak segan-segan kedua orang tuanya merasa khawatir dengan kesehatan Naya karena seperti tampak memaksakan diri untuk tetap baik-baik saja padahal akhir-akhir ini Naya terlihat lebih pucat dan sering terkena demam secara mendadak disertai virus influenza yang membuatnya kian lemas.

Seperti sekarang, saat Naya terbaring tidak sadarkan diri karena demamnya kemarin malam mencapai tiga puluh sembilan derajat celsius. Naya yang masih di ambang sadar-tidak sadar, memilih dirawat di rumahnya daripada harus ke Rumah Sakit.

Tentu saja Nana dan Elvan akan mengabulkan permintaan putrinya tersebut. Asalkan putri mereka mau mengikuti serangkaian pengobatan untuk kesembuhannya.

Ditemani oleh Shana yang tidak henti-hentinya membujuk Naya agar segera pulih kembali. Dia tidak tega melihat Naya yang terbaring lemah dan kekhawatiran orang tua mereka yang membuat Shana merasa iba.

Shana sengaja mengambil waktu untuk tinggal lebih lama di rumah orang tuanya, walaupun dia masih terlihat ketus saat berinteraksi dengan keluarganya, tapi itulah yang menjadi suatu kebahagiaan bagi keluarga Shana dan Naya. Kata kakek dan neneknya yang baru saja selesai membesuk Naya.

Shana menyendokkan sebuah sendok yang berisi bubur buatan Nana pada Naya yang sedang merajuk karena mulai merasa bosan harus makan obat yang baginya tiada henti. "Makan, cepet!" seru Shana.

Naya tetap enggan membuka mulutnya meskipun sudah dipaksa oleh Shana dengan tutur kata yang baik.

Baiklah kayanya gak ada cara lain selain ini. Pikir Shana.

Haish, merepotkan sekali. "Makan atau gue pulang dari sini!" Ancaman dari Shana rupanya masih sangat ampuh untuk membujuk Naya agar segera makan. Terbukti dengan Naya yang menyambut suapannya yang satu ke suapan berikutnya dengan antusias.

Shana sedikit menarik kedua ujung bibirnya menjadi terangkat. Tipis dan sedikit. Namun cukup mengesankan bagi Naya.

Saat satu suapan terakhir selesai dikunyah, Naya menahan Shana yang ingin menyimpan piring bekasnya makan. "Kamu itu cantik kalo senyum, jangan jadi judes," ucap Naya dengan disertai senyum simpulnya.

Shana hanya menganggut sambil mengambil nampan berisi piring serta gelas yang telah kosong, bekas Naya. Dia hendak membawanya ke dapur, tanpa menoleh pada Naya.

"Cepet sembuh, jangan manja," ujar Shana yang melangkah menjauh dari pintu kamar Naya.

Naya terkekeh melihat tingkah Shana. "Dasar tsundere ...."

Ketika Shana keluar dari kamar Naya, dia sedikit terlonjak kaget saat mendapati Nana yang berdiri di depannya. Raut cemas dari wajah keibuannya membuat Shana mengulas senyum tipis.

"Naya udah makan?"

"Udah, Ma."

Nana manggut-manggut mengerti. Shana merasa dirinya tidak berarti apa-apa di depan wanita yang merupakan ibu kandungnya ini. Bahkan untuk sekedar menanyakan perihal dirinya pun, Nana jarang, bahkan tak pernah melakukannya.

Peduli saja tidak.

"Ma, Shana mau ke dapur dulu, permisi."

Baru saja belum genap tiga langkah, Nana menyerukan namanya. Shana buru-buru memutar tumitnya, menghadap ke arah Nana. "Iya, Ma?" sahutnya cepat.

Shana melihat ibunya itu menghela napasnya, feeling Shana mengatakan bahwa apa yang akan diutarakan oleh ibunya bukanlah hal yang ingin dia dengar. Jantungnya ikut berdegup kencang karena harap-harap cemas.

"Kalau bisa, jaga jarak sama Naya, bisa? Mama gak mau Naya sakit-sakitan gini karena banyak berinteraksi sama kamu."

Tubuh Shana merasa melemas, jika saja dia tidak memegangi nampan dengan benar, sudah Shana pastikan bahwa tubuhnya akan melorot ke bawah. Hatinya mencelos sakit. Pelupuk matanya berusaha untuk menyembunyikan cairan yang meleleh dari mata.

Shana hanya mengangguk mengiakan tanpa minat membalas ucapan Nana. Lidahnya terlalu kelu, bahkan untuk berucap sepatah kata pun.

•×•×•×•

"Shana berangkat dulu," pamit Shana saat sampai di gerbang sekolah.

Shana menyalimi Elvan yang kini sedang mengecup keningnya. "Belajar yang rajin ya?"

Shana membalasnya dengan anggukan kepala. Elvan tersenyum lebar pada Shana. Rasanya baru kemarin dia melihat putrinya belajar merangkak, sekarang justru putrinya sudah akan melewati masa pubertasnya. Sungguh, waktu itu berjalan begitu cepat.

Saat keluar dari mobil, Shana merasa matanya memanas. Hatinya berdesir hangat. Dia berusaha untuk tidak menangis. Namun, tetap saja. Sekuat apapun dia mencoba untuk menahan tangisnya, beberapa butir air mata sebesar biji jagung terus saja mendesak keluar di pelupuk mata.

Shana segera menyekanya dan berjalan di keramaian koridor sekolah. Tangannya masih setia memegangi dadanya yang terasa sesak akan kehangatan yang dia dapatkan hari ini.

"Naya beruntung bisa merasakan hal seperti ini setiap harinya." Shana tersenyum miris saat mengingat kejadian di mana dia tidak bisa seutuhnya mendapatkan kebahagiaan seperti yang Naya rasakan.

"Hei, Shan!" Sapaan itu berhasil membuat Shana menoleh dan dia menyesal karena menghentikan langkahnya dan memilih menengok ke belakang.

Ngapain sih gue pake nengok segala, nyesel kan!

"Apa?" sahut Shana dengan ketus.

Ziyad berlari kecil menghampiri Shana. Senyum lebar kini terpatri pada wajah Ziyad yang manis. "Senyum kalo ada yang nyapa, jangan cemberut gitu."

Lalu Ziyad menyeret Shana yang mengikutinya dengan langkah terseok-seok menuju kelasnya.

Shana yang tertarik begitu saja hanya bisa pasrah, setidaknya dia percaya pada Ziyad daripada siapapun temannya untuk saat ini. Bahkan jika seandainya Ziyad berniat macam-macam sekalipun, Shana tidak akan segan-segan untuk menghajarnya agar tidak kurang ajar padanya.

•×•×•×•

Salah satu yang menjadi keuntungan bagi Shana untuk masuk ke jurusan IPS adalah mayoritas perempuan lebih sedikit dibandingkan laki-laki dan hal itu sedikit Shana sukai. Karena berurusan dengan perempuan lebih merepotkan daripada dengan laki-laki.

Mulutnya itu lho!

Namun tidak menutup kemungkinan, meskipun minoritas perempuan, ada saja yang mencoba mengusik kedamaian hidup Shana di kelas. Perempuan yang memiliki nama Rara, berjalan ke arahnya dengan disertai antek-anteknya yang Shana perhatikan selalu ada di sampingnya-Shana belum kenal dua orang di belakang Rara itu.

Rara mendekati mejanya dan melipat tangannya di depan dada dengan tatapan yang seperti menghujat akan kehadiran Shana di kelas yang seperti sebuah parasit. "Ada ya, orang gak tahu diri kaya lo di sini?"

Shana memilih untuk mengabaikannya dan tetap fokus untuk menulis tugasnya. Sedangkan Ziyad dan teman-temannya yang lain sedang keluar kelas, memanfaatkan waktu jam kosong atas keabsenan guru.

Karena tidak mendapatkan respon, Rara makin gencar untuk mempermainkan Shana. "Gak usah sok belagu lo! Apa yang lo udah lakuin, huh!" Rara menarik paksa dagu Shana agar menghadap sepenuhnya padanya.

Suasana kelas memang sedang hening karena sebagian orang memilih menghabiskan waktunya di luar kelas. Hanya tersisa beberapa orang saja dan semuanya seolah mengabaikan kejadian antara Shana-Rara itu.

"Apa?"

Shana menatap malas pada Rara yang berdecak kesal karena sikap Shana yang semakin membuatnya geram.

"Lo bener-bener munafik ya, Shan. Padahal kembaran lo lagi sakit, tapi lo malah kelihatan biasa aja, ya!"

Shana menggertakkan giginya. Sikap sok tahu Rara membuatnya benar-benar merasa kesal. Shana mencoba untuk tidak menghiraukannya, dia hanya berdecih pelan.

Rara menahan emosinya yang berada di atas ubun-ubun. Kedua tangannya sudah gatal untuk tidak mencakar-cakar Shana saat ini. Karena dengan keabsenan Naya dalam latihan tari, itu berpotensi mengurangi keefektifan anak inti ekskul tari.

Terlebih, mereka akan menghadapi perlombaan yang sangat Rara impikan.

"Lo emang keterlaluan jadi saudara ya, Shan?" tanya Rara yang semakin meledeknya.

Awalnya Shana ingin membiarkan Rara berspekulasi apa saja tentang dirinya, oleh karena itu Shana lebih memilih untuk mendiamkannya.

"Orang tua lo emang bener-bener gak becus ya didik lo sampai jadi gini?" tantang Rara karena semakin geram melihat Shana yang diam tenang saja.

"Tahu apa lo!" seru Shana dengan lantang.

Shana menunjuk pada Rara dengan jarinya. "Lo jangan sok tahu!" desis Shana tajam.

Rara dengan sengaja menampar wajah Shana dan menatapnya tajam.

PLAAK!

Suara tamparan itu menggema di ruangan kelas. Shana merintih menahan perihnya. Dia berusaha tetap santai, meskipun banyak pasang mata yang mulai memandang padanya, Shana merasa risih.

"Semua orang di sini juga tahu sama sikap lo yang anti banget sama Naya!" Rara mendorong bahu Shana hingga membuat bahu Shana membentur ujung kursi.

"LO BISA JADI PENGHAMBAT BAGI NAYA TAHU!" bentak Rara lagi. "Dan asal lo tahu, karena semenjak kehadiran lo, Naya jadi lebih memforsir diri untuk latihan tari. Padahal gue tahu, tubuh dia lagi gak sehat!" sambungnya.

Shana tertegun. Dia tidak menyangka bahwa Naya akan berubah sedrastis itu. Rara tersenyum miring melihat wajah Shana yang terlihat terpegun. Rara mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada telinga Shana.

Dia membisikkan sebuah kalimat yang membuat hati Shana mencelos dan rasa bersalah terus bercokol pada benaknya.

"Asal lo tahu, karena hadirnya lo juga, kehidupan Naya bisa berubah. Akibat sikap lo yang sembrono itu, bisa aja membuat kehidupan Naya hancur begitu saja."

Sekali lagi Rara menikmati reaksi tegang dari wajah Shana dan pergi meninggalkan Shana yang sedang merenungkan perkataan Rara.

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa hal itu mengusik pikirannya untuk saat ini.

~tbc~
©160320 tanialsyifa
[Selesai revisi tanggal 12 Juli 2020]

Note : Thank's for reading~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top