Bab 3 - Ini mah Bunuh Diri!
"Kami sama-sama berjuang meski bukan jadi pemenang."
🐊🐊🐊
"Culun, istirahat nanti lo harus datang ke kelas XII-IPA 6! Ingat, lo utang budi sama pangeran ganteng ini." Cowok yang tubuhnya mirip pohon kelapa ini membungkuk dan menatapku tajam.
Tahan-tahan, tidak boleh ngatain apalagi nabok mulut nih cowok. Huh! Kepedean banget, sih.
Tuhan, kenapa harus dia pahlawan yang menyelamatkan hamba dari geng Vika tadi?
"Kok, lo gak nyahut, sih? Teriak, kek, atau iyain. Muji gue ganteng, kek," katanya sambil tersenyum dan merapikan rambut.
Dasar aligator! Boro-boro mau muji, muak yang ada. "Baik, kakak yang ... ya-yang tampan," kataku akhirnya sambil susah payah menelan ludah. Mual rasanya habis mengucapkan itu. Rasa pengin mencuci lidah pakai air tujuh sumur campur bunga tujuh warna.
"Bagus." Sean menjitak jidatku sambil menyunggingkan senyum. Dia berdiri, membuatku refleks mendongak demi menatap wajahnya yang tinggi. "Gue tunggu istirahat nanti." Dia pun pergi.
Aku menatap kepergiannya. Setelah benar-benar pergi, aku menarik napas, dan mengeluarkannya sekaligus. "Kutuk dia jadi batu, Tuhan!" Sambil melompat dan mengepalkan tangan erat-erat.
Puas meluapkan emosi, aku segera berlari ke kelas. Di jalan aku membuka ponsel untuk mengabari anggota Babudar bahwa istirahat nanti siap-siap ada rapat darurat dadakan.
Padahal hari ini aku sudah mandi, tetapi pelajaran Pak Yas malah praktik lari. Jadilah saat ini aku berbaris di lapangan bersama teman sekelas XI-IPS 2 dan menyimak arahan Pak Yus.
"Nah, kebetulan hari ini jadwal praktik kita berbarengan dengan kelas XII-IPA 6 ...."
Aku sudah terkejut mendengar sepotong informasi itu. Berarti bakal ada buaya yang songong dan kepedean akut itu juga, dong? Dan, memang benar. Dari pinggir lapang, aku bisa melihat gerombolan kakak kelas yang cewek-ceweknya mengerumuni satu cowok berbadan paling tinggi, Sean. Mereka mengarah ke sebelah kami dan mengatur barisan di sana setelah diarahkan sama guru.
Pak Yas menyuruh kami pemanasan dulu dengan lari dua putaran lapangan. Gila, satu putaran saja aku sudah habis napas, mana lapangan sekolah gede banget, plus cuaca lagi panas-panasnya. Aku haus, tetapi tidak bisa izin ke kantin. Jadinya, deh, aku istirahat beberapa kali dan memelankan kecepatan lari biar paru-paru sama hidungku bisa kerja lebih baik.
Aku tiba paling akhir, sementara Pak Yas sudah mengabarkan kalau akan diadakan turnamen lari persahabatan antara kelas sebelas dan dua belas. Ibu, aku mau pingsan saja daripada harus ikutan turnamen. Aku lemah banget dalam pelajaran Olahraga, apalagi kalau menyangkut fisik macam ini.
"Lurusin kaki kamu," tegur Yumi yang membuatku membuka mata dan beringsut telentang.
"Enggak usah telentang juga kali!" omel Yumi. "Kalau habis lari itu jangan langsung duduk. Minimal kamu harus melakukan peregangan dulu."
Sementara itu, sorak-sorai mulai terdengar. Aku melihat turnamen sudah dimulai. Tim pertama yang bertanding adalah cowok-cowok. Kelas kami jelas kalah telak, bahkan sudah tertinggal lima poin. Lalu, tiba saatnya yang bertanding itu Sean melawan Rafik dari kelasku. Cewek-cewek makin kencang bersorak, meneriakkan nama Sean pakai embel-embel semacam sayang, bebeb, bahkan yang lebih alay, suamiku. Aku mual.
Pemenangnya Sean dan sudah bisa ditebak bagaimana reaksi cewek-cewek, histeris pakai banget. Bahkan, ada yang langsung ngajak swafoto dan siaran langsung.
"Ih, ganjen banget, sih!" kesal Yumi sambil memukul tanah.
"Jangan bilang kamu iri karena gak bisa ikutan," candaku sambil tertawa pelan.
"Gaklah!" ketus Yumi yang membuatku makin tertawa. Ngomong-ngomong, aku senang karena dia sudah sembuh dari acara galau-galauannya. Aku bisa menebak jika dia baru sebatas suka, tidak cinta seperti saat sama pacarnya dulu.
Turnamen berlanjut. Kali ini giliran cewek-cewek yang beraksi. Keadaan berbalik, kali ini kelasku yang unggul. Bahkan, saat giliran Yumi, dia berhasil mengalahkan kakak kelas yang omongan dan sikapnya paling angkuh, yang tadi dikatai ganjen sama dia.
Sekarang giliranku. Di samping kiriku ada cewek bertubuh langsing, dia terus dadah-dadah ke arah Sean yang lagi istirahat dengan melepas kaus olahraga dan menyisakan dalamannya doang—memang kakak kelas tidak punya akhlak. Di sebelah kananku cewek berbadan gemuk dan tingginya hanya berbeda sedikit dariku.
"Bersedia! Satu, dua, tiga!"
Aku mulai berlari, sebisaku. Namun, di langkah ke sekian puluh, pernapasanku mulai tidak sinkron. Jantungku bertalu-talu, paru-paruku rasanya tidak berfungsi. Aku pun berjongkok. Gerah dan panas menyerang badan, sementara peluh mengucur deras. Kakak kelas bertubuh kurus tadi sudah berada jauh di depanku, berbeda dengan kakak tambun yang bernasib sama.
"Eh, tunggu!" katanya sembari ngos-ngosan. "Bisa gak kita bareng aja? Kakiku sakit, nih, tadi keseleo."
Aku langsung menyetujui dan memutuskan memapahnya. Selama sisa putaran, tidak ada obrolan memang, tetapi kami sama-sama berjuang untuk mencapai garis finis meski bukan jadi pemenang. Akhirnya, kami sampai. Yumi tetap bersorak heboh menyambutku dan langsung memberikan sebotol air minum. Sementara itu, kakak tadi sudah bersama teman-temannya dan kudengar dia dibawa ke UKS.
Saat ini aku dan Yumi lagi istirahat di bawah pohon beringin pinggir lapangan. Namun, terganggu ketika tiba-tiba kami dihampiri gerombolan Sean.
"Jangan ganggu sahabatku!" Yumi langsung berdiri, pasang badan. Aku ikut berdiri dan memegang tangannya.
"Enggak, gue cuma mau ngingetin sahabat lo soal pertemuan kita," kata Sean sambil tersenyum ke arahku.
"Aku gak bakal lupa, kok," sahutku sambil waspada.
"Sip. Ngomong-ngomong, aksi lo tadi bikin gue kagum." Sean bicara sambil membungkukkan badan. "Yah, walau mungil, tapi hati lo besar kayaknya."
Aku hanya bisa senyum, lantas mengucapkan, "Terima kasih atas pujiannya, Kak."
"Kak? Aa, kek, atau pangeran gitu," protesnya. Kudengar Yumi memekik tertahan, sementara dua kakak kelas cowok di depanku menahan tawa.
"Permintaan tidak bisa dikabulkan, Kak," kataku tanpa melunturkan senyum.
"Ya udah, nih, minuman buat lo." Sean menyodorkan sebotol minuman dingin rasa jeruk—sesuai kesukaanku.
"Tidak perlu, Kak. Terima kasih," tolakku lantas menarik tangan Yumi untuk segera pergi.
Yumi tidak bicara apa-apa bahkan setelah kami sampai di kelas. Yah, itu, sih, karena guru BK sudah masuk dan pelajaran dimulai.
Sesuai pemberitahuan, saat jam istirahat tiba, aku dan Yumi pergi ke kantin untuk bertemu Mel-Mel dan Cici. Topik rapat darurat kali ini adalah langkah mendekati Sean dengan memanfaatkan kesempatan emas di depan mata.
"Ini kesempatan berefek efisien buat misi," komentar Mel-Mel setelah meneyedot es jeruk berisi lebih banyak es batu daripada airnya.
"Betul. Kamu harus lebih sabar, deh, kalau-kalau ngadepin tingkah ajaib Kak Sean. Soal fans barbarnya, biar aku sama Mel-Mel yang urus," imbuh Cici.
"Dan, soal keamanan kamu, aku yang jamin, Wa," sahut Yumi. "Aku gabung sama misi ini. Aku gak akan biarin kamu dalam bahaya."
Aku menatapnya dengan haru.
"Nah, lengkap sudah. Sekarang tinggal susun rencana kecilnya aja, ya?" Mel-Mel melempar tatapannya padaku, meminta persetujuan. Aku mengangguk dan dimulailah rapat penting di grup WhatsApp setelah menambahkan nomor Yumi.
"Gue tunggu di kelas, tahunya lo enak-enakan di sini," tegur seseorang sambil menarik kucir rambutku.
Aku menelungkupkan ponsel di meja, Yumi sigap mengambilnya. Lalu, aku berdiri. "Maaf, Kak, aku tadi isi perut dulu," kataku sambil menunduk.
"Padahal gue mau neraktir lo." Sean langsung menarik tanganku dan menyeret menuju meja kosong di sudut kantin, letak yang lumayan jauh dari tempatku tadi.
"Lo tahu, kan, apa itu balas budi?" Dia menyuruhku dengan setengah memaksa untuk duduk di sampingnya. Aku sudah risi melihat reaksi cewek-cewek di kantin yang menatapku tajam sambil berbisik-bisik, tambah sekarang perlakuan Sean memperparah keadaan.
"Gue punya satu permintaan dan gue kasih pilihan jawaban buat lo cuma iya atau ya doang. Gak ada protes, gak ada request," imbuhnya tanpa peduli bahwa aku sudah akan meledak saat ini juga karena amat geram dengan tingkahnya.
Lagi, tanpa menunggu responsku, dia kembali melanjutkan, "Besok lo harus jadi robot gue, nurut omongan gue. Sekali nolak, hukuman ditambah sehari."
Aku mendelik dan nyaris mengumpatinya jika tidak ingat situasi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top