Bab 2 - Orang Galau Beginikah?

"Kalau gak mau pacarin, ya gak usah baperin."

---

Sean Sakya Haidar dan Sakya Rasea Haidar. Astaga, nama mereka pun bak copy paste. Menurut info dari banyaknya artikel yang kubaca, mereka ini pindahan Bekasi; Sean kelas XII-IPA 6 dan Sea kelas XII-IPS 1. Oke, baru itu perbedaannya.

Aku mengetuk-ngetukkan ujung pensil ke jidat, berharap otak berubah encer terus dapat melahirkan banyak ide. Di sampingku Yumi bergeming, entah tidur atau terus memutar musik pakai earphone seperti sejak jam istirahat kedua dimulai beberapa menit lalu. Hari ini jadwal sekolah penuh, tambah nanti ekskul karate. Biasanya aku pulang nyaris magrib.

"Mi?" panggilku sambil menyentuh pundak Yumi. Yumi hanya bergumam sambil menggerakkan badan dengan pelan.

Aku menurunkan tangan, lalu berusaha merayu, "Hari ini pasti banyak menu-menu tradisional. Kantin, yuk!" Yumi tidak menyahut.

"Yumi yang cantik, manis, gemesin, dan kesayanganku." Aku melepas earphone sebelah kiri Yumi, lalu memainkan rambut ikalnya yang lembut. "Kamu harus makan, jam pelajaran sampai nanti sore. Kamu jangan nyiksa diri, ya, gak baik."

Yumi akhirnya bergerak. Dia menggeliat, lalu memasang sebelah earphone ke telingaku. "Coba dengar, deh, Wa. Lagunya mewakili perasaanku banget," katanya.

Lagu pun terputar. Bukannya menghayati, aku malah refleks melepas earphone. "Astaga, lagu apa itu?" Serius, bahasanya aneh. Mana isinya perpaduan antara drum, gitar, sama teriakan penyanyi. Mode full volume lagi. Aku sampai mengorek lubang telinga dengan telunjuk.

"Lagu Thailand, liriknya mewakili," jawab Yumi dengan suara serak. Kemudian, memejamkan mata, kembali menikmati lagu.

Apa separah ini patah hati Yumi? Ya walau sama dulu tidak ada bedanya, sih.

"Udah, mending kita ke kantin, deh!" Aku menarik tangan Yumi, memaksanya berdiri. Aku setengah menyeretnya. Berasa jadi emak-emak yang memergoki anaknya tengah renang di sungai.

Tiba di kantin, aku langsung memesan menu kesukaan Yumi, lalu kembali ke meja. Yumi lagi tertawa-tawa sambil asyik menatap ponsel. Pas kutengok, dia lagi nonton Spongebob. Suara tawa spons kuning itu berhasil membuat teman-teman di sampingku menengok sambil memasang wajah risi.

"Rambut panjang kamu bagus, deh, wangi lagi. Aku suka banget." Suara berat seseorang menarik perhatianku.

Aku menoleh ke sumber suara saat detektor buaya alami berbunyi. Cowok yang kebetulan menghadap padaku, duduk dua meja di belakang Yumi, dan tengah membelai rambut cewek di sampingnya. Ternyata dia orang yang lagi kucari.

"Kenapa, Wa?" Suara Yumi menarik fokus tepat saat itu buaya melempar senyum padaku.

"Enggak," jawabku sambil senyum.

Yumi menoleh ke belakang cukup lama. Dia berdiri dan segera berlari, mengabaikan diriku. Aku pun mengejar sambil terus memanggilnya. Yumi cepat sekali menghilang, membuatku tertahan kebingungan di dekat lapangan sekolah.

Perhatianku tertuju pada segerombolan cowok yang asyik bermain basket sambil sesekali tertawa, sementara di pinggir lapangan cewek-cewek menjerit histeris. Aku memfokuskan pandangan, ternyata yang tengah bermain itu ... Sean apa Sea, ya? Tadi, kan, satu belahannya ada di kantin. Karena penasaran, aku pun mendekat ke rombongan.

"Aaa! Kak Sean ganteng banget!"

"Aku gak apa, deh, dijadiin pacar kelimanya. Abis dia super ganteng!"

"Bukan lagi. Apalagi pas dia senyum. Duuuh, pengin langsung dihalalin Neng, mah!"

Tim rukiah mana, ya? Kayaknya setan-setan sudah merajalela di sini. Berada sekitar lima menit di sana saja rasanya telingaku kehilangan fungsi karena cewek-cewek itu terus teriak. Mendingan pergi dan lanjut mencari Yumi.

"Awas!"

Teriakan itu membuatku refleks membalikkan badan. Untungnya tanganku cepat menangkap bola basket yang siap bikin benjol kalau sampai mengenai kepala. Aku segera melemparnya, tetapi malah mengenai Sean yang sedang berlari; membuatnya jatuh terjengkang. Yeu, dasar lemah! Aku memilih pergi. Malas lihat drama alay yang sebentar lagi akan dimulai setelah Sean dikerumuni fans-nya.

Aku memutuskan ke kelas. Sambil menunggu Yumi kembali, aku melanjutkan penelusuran tentang si Buaya Kembar di beberapa website. Namun, terkejut saat melihat berita terbaru di web mading sekolah.

"Ini, kan, kejadiannya baru banget. Gila, udah viral aja!" Aku mengeklik berita berjudul Hot News! "Pangeran Garuda High School Diserang Hatters". Lalu, makin kaget pas lihat isinya. Itu aku walau fotonya tidak terlalu jelas.

Pintu dibanting dengan kencang. Kukira itu segerombolan cewek barbar yang mau menyerang, tahunya Yumi. Dia langsung menghampiriku dengan wajah panik.

"Alsava Iswara! Kamu ngapain aja tadi? Kok, masuk berita?" Tidak hanya mencecar, Yumi juga menggoyang-goyangkan tubuhku.

"Salah beritanya, itu dilebih-lebihkan. Aku cuma lempar bola, salah si cowok yang lembek gak bisa nahan bola," jawabku agak ngegas. Belum puas meluapkan kekesalan, aku melanjutkan kalimat sambil menyuruh Yumi duduk. "Lagian tim mading sekolah gak bisa nyari berita lain apa, yang lebih bermutu?"

"Ah, kamu, sih, gak tahu seberapa terkenalnya Sean sama Sea." Lalu, Yumi ngumpat kasar, bikin aku noleh kaget.

Aku melihat ponsel kembali. Ada notifikasi pesan WhatsApp yang masuk.

Cici: Sea nanti mau dating sama anak kelas sepuluh di kafe sekitaran Jalan Braga.

Mel-Mel: Kalau aku lihat, tuh cowok ngincer cewek yang bisa ngasih sesuatu ke dia. Kalau Sean, dia ngincer cewek kalem dan feminin.

Anda: Ngasih sesuatu apa? Terima kasih infonya, @Cici.

Mel-Mel: Semacam harta atau cinta. Maksudku yang bikin Sea merasa aman. Dia, tuh, lebih ke tipe cowok yang lakinya setengah.

Cici: Bencong maksudmu?

Mel-Mel: Bukan gitu, Markonah! Si Sea ini tipe cewek idamannya yang agak tomboilah. Soalnya aku lihat dia agak manja ke mangsanya.

Anda: Terus kalau Sean?

Lalu, mengalirlah penerawangan Mel-Mel di grup Tim Babudar, diselingi sahutan nyeleneh Cici yang sukses membuatku beberapa kali ngakak. Cuma mereka agen resmiku. Lagi pula, syarat jadi agen itu harus punya hati batu dan tahan banting. Ya, yang memenuhi hanya mereka.

Obrolan pun berakhir dengan perundingan misi pertama. Baru setelah isya, aku izin ke Ibu untuk keluar sama Mel-Mel dan Cici. Tadinya mau ngajak Yumi, tetapi dia masih dalam masa "sensitif". Tiba di kafe di Jalan Braga, ternyata tidak sulit menemukan Sea yang lagi merayu gebetannya. Dia nyanyi di panggung area outdoor kafe sambil gandeng cewek bergaun biru muda selutut.

Kami mulai menjalankan rencana. Mel-Mel dan Cici ternyata sudah membawa lima—iya, seriusan—korban Sea, lalu segera mengarahkan mereka untuk menyerbu panggung. Suasana pun ribut, orang-orang menonton. Cici langsung menarik cewek di samping Sea dan membawanya pergi. Mel-Mel di sampingku ngakak sambil fokus merekam, lalu nyuruh aku beraksi. Gila, sih, demi duit begini amat.

"Berhenti kalian semua!" teriakku, menyela keributan. Kulihat salah satu dari mereka terperanjat. Aku segera memberi kode lewat gerakan alis dan kedipan. Untungnya mereka langsung paham.

"Siapa lo, hah? Korban, nih, cowok ayam?" Cewek berambut sebahu maju sambil berkacak pinggang.

"Enak aja lo main ngatain gue! Lo salah sasaran, gue gak kenal lo!" Sea yang sudah bersembunyi di balik tubuhku, menyahut dengan intonasi tinggi dan napas menderu.

Kejadian berikutnya tidak dapat aku hindari saat cewek di depanku menumpahkan segelas jus tepat mengenai wajahku. Aku tahu sasarannya adalah Sea, sialnya dia menjadikan tubuhku sebagai tameng. Kelima cewek itu pun berlari pergi, sementara Sea akhirnya melepaskan diriku. Aku mengusap wajah dengan kesal. Benar ternyata ucapan Mel-Mel.

"Muka lo. Duh, sorry, ya." Sea hati-hati mengelap mukaku dengan tisu dan memberikan beberapa lembar padaku.

"Gak apa," sahutku sambil mengelap baju yang terkena cipratan.

Setelah selesai, Sea menawarkan diri mengantar pulang, tetapi aku menolak. Sikapnya lumayan manis, sih. Pantas saja banyak cewek yang jadi korban.

"Kak, maaf. Aku tadi gak sengaja," kata cewek yang tadi menyiram pas aku sampai di dekat mobil Mel-Mel.

"Santai aja. Makasih juga atas bantuan kalian," balasku sambil tersenyum.

"Iya, Kak. Pokoknya misi ini harus berhasil. Tuh cowok harus sadar kalau mereka terlalu egois. Kalau gak mau pacarin, ya gak usah baperin. Walau katanya cuma bercandaan dan nyalahin kita terlalu baperan, tetapi, kan, cewek itu apa-apa pakai hati."

Aku hanya mengangguk menanggapinya. Beberapa saat kemudian, kami pun membubarkan diri.

Besoknya, pagi-pagi di kamar. Aku mempersiapkan diri untuk benar-benar terlihat feminin. Pakai kacamata, rambut digerai, dan latihan jalan anggun. Padahal hari ini ada pelajaran olahraga. Duh, semoga kelas Pak Yas tidak praktik.

Tiba di sekolah, Yumi ngakak parah sampai nyaris terjengkang melihat penampilanku. "Ini sahabatku apa Miper yang lagi nyamar jadi anak SMA?" ejeknya sambil terus ngakak.

"Gak lucu, Mi," protesku sambil melepas tas ransel dan menyimpannya di kursi. Waktu masuk masih tersisa lima belas menitan lagi, jadi aku memutuskan keluar tanpa Yumi.

Niat awal mau mencari keberadaan Sean, tetapi aku malah dicegat geng Vika saat di koridor belakang kelas sepuluh yang dekat taman. Aku melipat tangan di dada sambil menghela napas, paling malas kalau harus berurusan sama geng songong yang sok keren ini.

"Udah kampungan, gak punya muka lagi. Makin berani aja lo berulah di sini!" Vika mendorong pundak kiriku dengan telunjuk, sementara matanya menatap nyalang. "Harusnya lo sadar, lo bisa sekolah karena bokap gue! Lo itu miskin, jadi jangan banyak berulah!"

"Iya, gue miskin, tapi jelas gue punya otak dan pintar." Aku mengetuk-ngetukkan jari di pelipis kanan, tanpa melepas tatapan dari wajah ber-make-up Vika. "Gak kayak lo, punya kepala tapi gak ada otak. Ada pun, otak lo kosong. Sayang banget." Aku menyunggingkan senyum.

"Sialan lo!" Wajah Vika merah padam. Dia membentak, tangannya terangkat ke udara. Aku bersiap menerima tamparan ketika sebuah suara menggelegar dari belakangku.

"Berhenti!"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top