SATYA - TRIBUTE NIGHT
October 2011...
RETRO penuh malam ini. Tidak ada satu pun meja yang kosong.
Pak Stefan menggelar The Beatles' Tribute Night: Abbey Road untuk merayakan 42 tahun dirilisnya album Abbey Road di Amerika Serikat. Pak Stefan juga mengundang beberapa band tambahan, karena aku tidak mungkin mengisi malam ini seorang diri. Kami akan menampilkan semua lagu dari album itu sesuai dengan urutan playlist, dengan Come Together sebagai lagu penutup, sekalipun di album Abbey Road sendiri, lagu itu justru menjadi pembuka. Aku mendapat kesempatan untuk membuka malam ini dengan Something, sebelum nanti menyanyikan The Golden Slumbers Medley, lagu ke-8 sampai ke-10 di B-side dan menutupnya dengan Come Together bersama dengan vokalis-vokalis band pengisi malam ini.
Melihat Rena ada di antara pengunjung, aku melambaikan tangan. Pria yang bersamanya pastilah Joddi. Kemarin lusa, Rena bilang akan datang bersama seseorang, tapi tidak memberitahuku siapa orang itu. Aku sempat berpikir orang itu Lukas, tetapi aku segera sadar, Lukas tidak mungkin kembali ke Bali secepat ini, dan dia tidak mungkin menyembunyikan kedatangannya dariku. Aku tersenyum mengetahui seseorang itu adalah Joddi. Rena belum bercerita banyak tentang hubungannya dengan Joddi setelah obrolan di kamar kosnya bulan lalu. Setelah malam ini, Rena pasti akan menceritakan semuanya.
Begitu menyelesaikan Something—masih dengan iringan tepuk tangan dari penonton dan acungan jempol serta senyum lebar dari Pak Stefan—aku menghampiri Rena, yang menyambutku dengan senyum. Kami berpelukan dan entah kenapa, aku merasa kehadiran Rena menyelamatkanku dari rasa kikuk dan canggung karena belum pernah RETRO penuh seperti malam ini.
"Penampilan lo vintage banget sih, Sat."
Aku menatap Rena sambil menggeleng heran. "Ini RETRO, Rena dan ini tribute night buat The Beatles, apa yang kamu harapkan selain something old?"
Rena tertawa. "Seperti biasa, gue bangga sama penampilan lo barusan. Nendang!"
Aku mengarahkan pandangan ke Joddi, yang sepertinya menunggu untuk diperkenalkan kepadaku.
"Satya, ini Joddi. Joddi, ini Satya, sahabat gue yang suka nyanyi dan keren banget kalau udah main gitar."
Kami bertiga tertawa mendengar ucapan Rena.
"Satya," ucapku sambil mengulurkan tangan.
"Joddi," jawabnya membalas uluran tanganku. "Bener kata Rena, Satya. Penampilan kamu tadi memang bener-bener keren."
"Makasih."
"Kamu nyanyi lagi kan nanti?"
Aku menganguk. "Tetep di sini ya? Awas kalau nggak nonton sampai kelar."
"Kami masih akan di sini kok, Satya. Jangan khawatir."
"Sat, mana bos lu itu? Gue pengen liat," bisik Rena sambil mengedarkan pandangan.
Aku menghela napas dan menatap Rena, berharap dia tidak mengangkat topik tentang Pak Stefan lagi. Namun Rena hanya memberikan ekspresi 'So what?'-nya itu. Aku kemudian mengedarkan pandangan ke kerumunan pengunjung untuk mencari Pak Stefan. Begitu menemukannya, aku mendekatkan tubuh ke Rena.
"Yang pakai kemeja biru dan berdiri di samping jukebox," ucapku sambil mengarahkan pandangan ke Pak Stefan, yang terlihat cukup serius berbincang dengan seorang pengunjung.
"Not bad, Sat."
Not bad untuk ukuran Rena berarti di atas rata-rata.
Rena menatapku. "Lo masih perlu penjelasan dari gue?"
Kami terdiam selama beberapa saat sebelum akhirnya aku menatap Joddi.
"Semoga suka dengan RETRO, Joddi. Rena belum pernah ke sini karena menurutnya kafe ini terlalu kuno."
Joddi tertawa. "Temanya justru brilian, Satya. Apalagi tribute night ini, aku yakin, dengan penampilan kamu dan band-band lainnya, yang belum jadi fans The Beatles, akan langsung suka The Beatles."
Aku tersenyum. "Ya udah, aku ke sana dulu ya? Siapa tahu ada yang mau ditambahin Pak Stefan nanti. Kalian jangan jauh-jauh dari sini."
Rena hanya mengangguk sambil menepuk pundakku, sementara Joddi hanya memberikan senyumnya.
Aku berniat untuk menemui Pak Stefan, sekadar ingin bertanya apakah ada perubahan untuk penampilanku selanjutnya. Beberapa hari menjelang tribute night ini, aku memang merasa sedikit jauh lebih gugup. Bahkan ketika sedang latihan hari ini, Pak Stefan mengatakan penampilanku sudah lebih dari bagus dan meyakinkanku supaya tidak khawatir. Tetap saja aku merasa gugup.
Ternyata Pak Stefan sudah beranjak dari tempat aku melihatnya terakhir kali. Ke mana?
Aku mencari Pak Stefan di antara kerumunan pengunjung RETRO, tapi tidak menemukannya. Octopus's Garden sedang mengalun dan kakiku segera menuju ke ruangan Pak Stefan. Pasti Pak Stefan ada di sana.
Ketika berniat mengetuk pintu Pak Stefan yang sedikit terbuka, langkahku terhenti. Tubuhku seperti mati rasa.
"Why can't you give me a second chance?"
"Second chance? Don't make me laugh, Jake. It's over between us. Let me continue my life here. I have no intention to go back to Europe anytime soon."
"Is there someone else?"
"It's none of your business."
"Look at me and tell me you don't love me anymore. Then, I'll leave."
"You better leave. You're just wasting your time here."
Aku hanya mampu menelan ludah mendengar semua obrolan itu.
Pak Stefan....
Aku membalikkan tubuh untuk segera menjauh dari obrolan yang seharusnya tidak aku dengar. Seharusnya aku langsung pergi begitu tahu Pak Stefan ada di dalam.
"Satya?"
Meski sudah berjalan menjauh, masih ada beberapa langkah lagi sebelum aku benar-benar hilang dari siapa pun yang keluar dari ruangan Pak Stefan. Ternyata, aku tidak cukup cepat menggerakkan kakiku.
Aku menghentikan langkah, tetapi tidak ada keberanian untuk membalikkan tubuh. Bagaimana menjelaskan ke Pak Stefan kalau aku tidak bermaksud menguping pembicaraannya? Bagaimana aku menjelaskan keberadaanku di sini? Pak Stefan tidak akan percaya begitu saja, sekalipun aku menjelaskan alasan sebenarnya.
"Saya harus siap-siap Pak. Permisi."
Aku mempercepat langkah agar bisa segera kembali ke kerumunan. Fakta yang baru aku dengar bukan hanya membuatku terkejut, tetapi juga membuatku teringat ucapan Rena. Bagaimana mungkin feeling Rena benar tentang Pak Stefan? Ini tidak mungkin, elakku. Apa yang aku dengar tadi pastilah tidak benar. Pasti ada yang salah dengan pendengaranku. Pak Stefan tidak mungkin ... sepertiku.
Begitu sampai di sisi panggung, aku langsung meraih gitar dan berpura-pura mengatur senar. Hal yang sama pernah aku lakukan dengan Lukas. Menenangkan jantungku yang berdegup kencang ternyata bukan pekerjaan mudah. Berusaha untuk tidak memikirkan ucapan Rena saat itu: 'He's definitely gay. 100% homoseksual' adalah sebuah kesia-siaan. Kalimat itu terngiang terus di telingaku, juga percakapan antara Pak Stefan dengan pria bernama Jake. Apa yang akan Rena katakan kalau tahu feeling-nya benar?
Dalam waktu singkat, Pak Stefan sudah berdiri di sampingku. Tidak ada keberanian dariku untuk menatapnya.
"Kamu tidak perlu kabur seperti itu, Satya. Kalau RETRO tidak seramai ini, saya pasti sudah meminta kamu duduk dan menjelaskan semuanya, meski saya tidak harus melakukannya. Tapi saya ingin. Saya berutang itu sama kamu."
Aku hanya terdiam. Memikirkan kalimat apa yang pantas aku ucapkan untuk membalas kalimat Pak Stefan tanpa harus menyinggungnya. Aku yakin, Pak Stefan pasti berpikir kalau aku homofobik. Tidak seharusnya aku bersikap seperti ini, kalau aku sendiri seorang gay.
"Tidak ada kewajiban untuk menjelaskan apa pun, Pak, jika menurut Bapak tidak ada yang harus dijelaskan. Apalagi kepada saya, yang hanya karyawan di sini."
Namun, ketika langkahku hampir mencapai pintu, Pak Stefan meraih pergelangan tanganku.
"Saya tidak tahu kamu ada di sana."
"Saya harus siap-siap Pak."
Kami saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum akhirnya Pak Stefan melepaskan tangannya. Jarak kami yang masih dekat, memang tidak memungkinkan orang untuk melihat apa yang dilakukan Pak Stefan.
"Baiklah."
Aku mengembuskan napas lega begitu Pak Stefan menjauh dariku.
Sejak bekerja di RETRO, belum pernah aku secanggung ini dengan Pak Stefan. Ada terlalu banyak pertanyaan, tetapi aku tidak mau memikirkan jawabannya. Aku harus fokus pada penampilanku sebentar lagi. Bukan pada fakta tentang seskualitas Pak Stefan, bukan pada percakapan yang aku dengar antara Pak Stefan dan Jake, dan bukan pada obrolan singkatku dengan Pak Stefan.
Aku menarik napas dalam sebelum mengalungkan gitar dan menunggu giliran untuk tampil.
The show, must go on.
***
Another 6 chapters in a row. Pada seneng pasti kan ya, saya update-nya banyak terus, hahahaha. Medianya adalah Because milik The Beatles, salah satu lagu di album Abbey Road, yang dijadikan tribute night RETRO. Apa yang terjadi selanjutnya? You have to wait :)
Selamat menikmati semuanya!! :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top