SATYA - THE END

(Sepertinya Wattpad lagi error ya? Jarak spasinya jadi ngaco, padahal di draft udah bagus *sigh*)


December 2010...

"Apa kabar Satya?" tanya Patrick begitu kursi kosong di depannya terisi olehku.

"You asked me like we haven't seen each other for years."

"I haven't heard anything from you for weeks. I just asked a normal question, didn't I?"

Begitu pramusaji menghampiri meja kami, aku langsung memesan teh jahe, karena cangkir kopi Bali milik Patrick, sepertinya sudah setengah tandas. Tidak ada nafsu makan yang menghampiriku malam ini, padahal satu porsi Spinach Quiche biasanya jadi pesanan andalanku. Mengetahui kenapa Patrick ingin bertemu denganku di Café Moka, membuatku tidak ingin terlalu lama berada di sini.

" I'm okay. Kamu sendiri?"

"Aku juga... baik-baik saja," jawab Patrick sambil menyandarkan tubuh ke kursi rotan dan menatapku.

"Ada yang ingin kamu bicarakan?"

Aku merasa bodoh mengajukan pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangat retoris! Namun, aku ingin mempercepat pertemuan kami malam ini. Ada keengganan yang luar biasa menggelayutiku, berada di sini dan bicara.

"Let's not pretend that everything is fine, Satya. Hubungan kita sudah... berbeda."

"Aku sama sekali nggak berpura-pura tentang apa pun. Hubungan kita sudah berbeda sejak tiga bulan lalu, Patrick. I'm very aware of that. Makanya aku bertanya, apakah ada yang ingin kamu bicarakan. Let's do not pretend we have something to talk about, because I don't think we need to talk at all."

"Satya, please...."

Aku menggeleng. "Patrick, jangan membuat ini semakin rumit dan sulit untuk kita berdua. Kamu ingin bilang, let's end this relationship? Aku rasa nggak perlu. It's already ended."

Satu pot kecil teh jahe terhidang di depanku, membuat obrolan kami sedikit tertunda. Setelah mengucapkan terima kasih, aku menuang minuman hangat yang masih mengepul itu ke cangkir, menunggu Patrick mengatakan sesuatu. Mengakhiri sebuah hubungan, apalagi yang menyebabkannya adalah munculnya kekasih lama, membuatku tidak perlu berbasa-basi.

"Kamu mau mengantarku ke bandara?"

Aku memandangnya, membatalkan menyeruput teh yang sudah hampir menyentuh bibirku. "Kamu memutuskan untuk pergi dari Bali?"

Patrick mengangguk. "Minggu depan."

"Kamu yakin?"

Dia menyentuh cangkir kopinya sebelum menyeruputnya. "Lupakan saja, Satya."

Setelah itu, pandangan Patrick terfokus pada Jalan Raya Seminyak, seperti menyadari permintaannya agar aku mengantarnya ke bandara adalah sebuah kesalahan yang tidak sengaja diucapkannya.

Aku menyeruput teh jahe sambil berusaha tidak memerhatikan Patrick. Rasa asing menjalariku. Duduk di depan pria yang selama satu tahun, menjadi pria penting dalam hidupku. Dua belas bulan, ternyata tidak cukup membangun fondasi kuat untuk mempertahankan sebuah hubungan. Hanya membutuhkan tiga pertengkaran, sebelum aku memutuskan mengemasi barang-barangku dari rumah yang disewanya. Aku sengaja mencari kos yang lokasinya cukup jauh dari tempatku manggung. It was 3 months ago. Dan Rena, masih belum tahu.

"Satya... aku minta maaf."

Aku hanya menggeleng pelan. Entah Patrick memerhatikannya atau tidak. Maaf itu hanya membuka kembali semua pertengkaran dan kata-kata kasar yang keluar dari mulut kami. Aku tidak ingin mendengarnya, apalagi ketika kami sudah memutuskan untuk menyudahi hubungan ini. Maaf itu tidak bisa mengubur kehadiran Dean dari kehidupanku dan Patrick

"There's nothing to apologize for."

Kami terdiam. Kakiku sudah gatal ingin beranjak dari kursi, tetapi ada sesuatu yang masih menahanku untuk tetap duduk.

"You deserve a better man than a bastard like me."

Aku membalas ucapan Patrick dengan menuang kembali minumanku ke cangkir sebelum menyeruputnya. Pria yang lebih baik? Patrick, yang begitu baik pun mampu untuk menyakiti hatiku, apalagi yang bisa dilakukan pria yang lebih baik darinya? Menyakitiku lebih dalam? Aku memutuskan untuk tidak melibatkan diri dalam sebuah hubungan antara dua hati saat ini. Sendiri adalah pilihan paling bijak dan benar. Aku bisa fokus menafkahi diri sendiri.

"Bagaimana kabar Dean?"

Entah kenapa nama itu tiba-tiba keluar dari mulutku. Pria yang menyebabkan kami duduk sebagai sepasang mantan kekasih. Pria yang membuat Patrick dengan mudah melupakan hubungannya denganku, karena masih terjebak nostalgia akan hubungannya dengan Dean tiga tahun lalu. Pria yang membuatku berada di sini malam ini.

"He's fine."

Aku mengangguk pelan. "Send my regard to him."

Ironis bukan? Ucapanku seperti ingin meneteskan jeruk nipis pada sayatan yang belum sepenuhnya kering.

"We don't have to talk about him, Satya."

"Siapa yang bilang kita akan bicara tentang dia? I have no interest whatsoever."

Aku kemudian bangkit dari kursi, membiarkan separuh dari teh favoritku tidak tersentuh. Berada di hadapan Patrick hanya membuat kami membuang waktu dengan percuma. And there's no need for that.

"Kamu mau pergi sekarang?" tanya Patrick, dengan nada yang seolah terkejut melihatku beranjak dari kursi di hadapannya.

"Ada janji dengan Rena," dustaku. Tidak ada kewajiban untuk menjelaskan kepadanya kenapa aku ingin pergi dari hadapannya kan?

Patrick pun kemudian bangkit dan kami saling bertatapan, seperti layaknya dua orang canggung yang masing-masing tidak tahu apa yang harus dilakukan. Aku akhirnya mengulurkan tangan, sesuatu yang sepertinya tepat untuk dilakukan saat ini.

"Thanks for everything, Patrick. I hope everything is going well with Dean and have a safe flight next week."

Patrick mengabaikan uluran tanganku. Alih-alih, dia mengulurkan lengannya untuk memelukku hingga aku tidak punya waktu untuk menolaknya. Kedua lenganku, bahkan masih berada di samping tubuhku. Perlu waktu beberapa detik, sebelum aku membalas pelukannya. Aku memejamkan mata, berusaha tidak membiarkan perasaan mengambil alih saat ini. It's just a hug, Satya, a farewell hug.

"I wish things were better between us, Satya. I'm sorry, I really do."

Aku memberikan tepukan kecil pada punggung Patrick. I wish things were better between us too, Patrick. Things could have been better between us... Sekalipun sudah menduga malam ini akan berakhir seperti ini, tetap ada kesedihan yang menghantamku. Bagaimanapun juga, Patrick pernah jadi bagian dari hidupku. Aku pernah mencintai pria ini.

Aku melepaskan diri dari pelukan Patrick untuk memandang wajahnya. Ini mungkin terakhir kali aku bisa melihatnya. Setelah malam ini, aku memang ingin semuanya benar-benar berakhir. No farewell dinner, nothing. Terdengar kejam, tetapi tidak ada cara lain untuk melepaskan diri dari bayangan Patrick selain benar-benar menyudahinya hingga tuntas. This is the best thing for us.

"Take care, Patrick."

Patrick hanya mengangguk. "Keep on fighting for your dreams. You're a good man, Satya."

"Bye Patrick."

Patrick hanya melambaikan tangan ketika aku berjalan menjauh untuk menghampiri motorku.

Aku menarik napas panjang sebelum menaiki kendaraan dan menghidupkannya. Aku harus menenangkan diri sesaat, sebelum mengarahkannya kembali ke kos. Tidak mungkin mengendarai motorku dalam keadaan seperti ini.

Lapangan bola yang berada tidak jauh dari Café Moka, menjadi tujuanku. Lapangan bola ini sebenarnya tertutup, tetapi ada tempat parkir di depannya yang cukup luas dan setiap malam tiba, tempat parkir itu sepi. Dan sedikit gelap.

Begitu sampai di sana dan membiarkan tubuhku tetap berada di atas motor, aku hanya membuka helm sebelum menarik napas panjang.

Akhirnya ini berakhir. Akhirnya....

Hubunganku dengan Patrick, berakhir seperti yang aku inginkan. Baik-baik. Tidak ada keinginan untuk menyimpan kebencian terhadap Dean atau Patrick, karena kebencian hanya akan membuatku menyesali pertemuanku dengan Patrick. And no regret from my side. We had one year of happiness. Patrick dan Dean bukan yang pertama, yang kembali menjalin hubungan setelah tiga tahun putus. Aku hanya ingin segera melupakan hubunganku dengan Patrick agar bisa melanjutkan hidup tanpa ada beban tentangnya.

"Kamu akan baik-baik aja, Satya. You'll be really fine," bisikku pada diri sendiri.

Aku mengeluarkan ponsel untuk menekan nomor Rena. Aku memang tidak ada janji dengannya, tetapi saat ini, aku membutuhkannya. I need to tell her the whole story. Kepada satu-satunya orang yang tahu tentang hubunganku dan Patrick.

"Kenapa Sat?"

Pertanyaan pertama Rena setiap kali menerima telepon dariku. Bukan halo atau salam, tapi "Kenapa Sat?" seolah dia tahu, setiap panggilan dariku membuatnya yakin akan ada cerita yang keluar dari mulutku. Dan Rena HAMPIR selalu benar.

"Kamu ada di kos? Atau lagi di luar?"

"Gue lagi nongkrong di pantai sama Pieter, Anggia, Bona sama beberapa traveler lainnya. Lo mau gabung?"

Aku terdiam sesaat. "Pantai yang mana? Kebetulan aku lagi di daerah Seminyak."

"Depannya The Stones. Kalau lo mau ke sini, buruan ya? Pada mau ke Sky Garden soalnya."

Sky Garden. Again. "Meluncur."

Begitu mengembalikan ponsel ke saku celana, aku langsung meninggalkan area parkir lapangan bola yang menjadi tempat pemberhentianku selama beberapa menit.

Setelah apa yang terjadi, berada dalam sebuah grup akan membuatku tidak memikirkan semua yang terucap dari mulutku dan Patrick. Paling tidak, pikiranku akan teralih. At least, I won't be by myself.

Jalan menuju ke Pantai Kuta memang menguji kesabaran, apalagi setiap malam tiba. Ada kebencian yang luar biasa setiap kali melewati Legian/Kuta. Berisik dan macetnya luar biasa!

Setelah menemukan satu tempat kosong untuk memarkir kendaraan di pinggir jalan -bersama dengan banyak motor-motor lainnya- aku melepas sandal yang aku pakai dan segera menuju ke pantai. Membiasakan mata dengan keremangan cahaya, aku mencari kerumunan orang yang bersisi Rena. Ada senyum lega begitu melihat Rena melambaikan tangan dan aku bergegas menghampiri mereka.

"Hey guys!" sapaku.

Sebelum ikut duduk, aku memperkenalkan diri kepada tiga orang traveler yang namanya terdengar aneh di telingaku. Aku menyalami Bona, Pieter, Anggia, sebelum duduk di samping Rena. Mereka berenam sepertinya sedang asik membicarakan sesuatu, yang jelas, tidak bisa aku ikuti. Dan tidak ada niat juga untuk menjadi bagian dari obrolan itu.

"Dari mana lo?"

"Abis dari Café Moka, ketemu temen di sana."

Rena menatapku, seolah tahu aku tidak sepenuhnya mengatakan hal yang benar. Dia tahu, aku dan Patrick sering makan malam di kafe itu. Rena kemudian meneguk habis kaleng Diet Coke-nya.

"Hello people! I hope I'm not late."

Kami semua langsung mengangkat wajah. Melihat Lukas yang tiba-tiba ada di antara kami, membuatku sedikit kaget.

"Shall we?" tanya salah satu traveler berambut pirang dan berkulit pucat, yang langsung berdiri dan membersihkan celananya dari pasir.

Beberapa dari mereka mulai beranjak bangkit dari pasir ketika mendengar ajakan itu, termasuk Rena.

"Lho, pada mau ke mana?"

"Mereka mau ke Sky sekarang. Lo mau ikut?" jawab Rena sekaligus mengajukan pertanyaan yang jawabannya sudah dia ketahui dengan pasti.

"Nanya apa nanya?"

"You're not going, Satya?" Kali ini, giliran Lukas yang mengajukan pertanyaan itu.

Aku menggeleng. "Kalau pada mau ke sana, go ahead. Aku masih mau di sini."

"Yeah, I think I'll stay here too."

Kali ini, aku yang mengerutkan kening mendengar kalimat itu keluar dari Lukas. Rena pun memandang Lukas dengan pandangan agak bingung.

"Pergi aja kalau kamu mau, Lukas. Aku bakal baik-baik aja di sini."

"I'll catch up later on. Habis pulang kerja, mau duduk-duduk dulu," balas Lukas.

"Lukas, lo yakin?" tanya Rena

Lukas hanya mengangguk.

Setelah berpamitan, mereka akhirnya meninggalkanku dan Lukas sendirian. Berdua dengan Lukas? Aku sama sekali tidak menyangka akan mengalaminya. Bukan apa-apa. Hanya saja....

"Kalau kamu capek, kenapa tadi ke sini?"

Lukas tertawa. "Good question, Satya," jawabnya sebelum meluruskan kakinya, tidak peduli pada celana pendek dan betisnya yang langsung kotor.

"And the answer is?"

"I want to see the waves. Kamu tahu sendiri, di Sanur nggak ada ombak seperti ini," Lukas mengarahkan tangannya ke gulungan ombak di hadapan kami.

"Cuma mau lihat ombak?"

Lukas mengangguk. "It never fails to calm me."

"Kamu masih mau ke Sky nanti?"

Lukas mengangkat bahunya. "Maybe. I don't know," balasnya sambil tersenyum. "I want to grab a beer. Do you want something to drink?"

"No Lukas, thanks. I'm fine."

"Tunggu sebentar ya?"

Lukas kemudian bangkit dan dalam sekejap, aku tidak melihat sosoknya lagi.

Aku menarik napas dalam. Empat bulan lalu, aku tidak akan pernah menyangka, malam seperti ini akan terjadi dalam hidupku. Hubunganku dan Patrick jauh dari kata sempurna, tapi kami bahagia. Segalanya baik-baik saja. Siapa yang bisa menduga, empat bulan kemudian, hubungan kami benar-benar berakhir?

Why am I feeling sorry for myself? He cheated on me!

Aku berusaha mengusir bayangan Patrick dari pikiranku. I'll be fine, I will be just fine.

"To keep your voice, so you can sing Forever again."

Lukas sudah kembali duduk di sebelahku dan mengulurkan satu botol air mineral yang tidak dingin. Aku tersenyum, sebelum menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

"You really like that song," balasku atas kalimat yang diucapkannya.

"I love it."

Aku memandang Lukas, yang pandangannya seperti menerawang samudera luas dan gelap di hadapan kami. Dia terlihat begitu tenang.

"Kenapa kamu menyukai ombak, Lukas?"

"Karena mereka nggak pernah punya irama yang sama. Ritme yang sama. Selalu berubah. It reminds me about life. That it keeps on changing. Not to mention, I love surfing. So, that explains everything," jawabnya sebelum mengurangi isi botol birnya.

"Kamu ingin tinggal di sini lebih dari 8 bulan?"

Lukas tersenyum. "I wish I could. But, I have to go back to Germany. Menyelesaikan studiku dan setelah itu, who knows? Aku akan sangat merindukan Bali."

"Kamu bicara seolah akan pergi besok. Kamu masih lama di sini, Lukas."

"Delapan bulan itu sebentar Satya. Makanya, aku ingin melihat Bali sebanyak mungkin. Aku pasti akan lebih jatuh cinta pada pulau ini."

"You will."

Aku membuka botol air mineralku dan meneguknya sedikit. Berada di sini bersama Lukas tiba-tiba membuatku haus.

"How's everything so far? Your internship and life in general."

"So far, everything is great. Teman-teman di hotel sangat membantu. Aku masih berusaha untuk adaptasi dengan kebiasaan orang Indonesia. It's just so different with Cologne and Germany in general. Tapi, aku yakin akan terbiasa nanti."

"How long have you been here, by the way?"

"Dua bulan," jawab Lukas. "Baru dua bulan saja aku sudah jatuh cinta dengan pulau ini, apalagi delapan bulan?"

Lukas kemudian tersenyum. Seolah ingin menertawakan kebodohannya karena jatuh cinta dengan Bali hanya dalam kurun waktu dua bulan. You're not the only one, Lukas.

"Ada prioritas, apa yang sangat ingin kamu lakukan di Bali?"

"Surfing!" serunya girang. "Aku sudah pergi ke Balangan dan Serangan. The waves are quite nice there. Yang pasti, aku usahakan untuk surfing tiap hari, tentu saja kalau ombaknya bagus. Aku ingin menjelajahi semua surfing spot yang ada di Bali."

"You can always come back here, Lukas. Bukan berarti kalau kamu balik ke Jerman terus nggak bisa ke sini lagi kan? You don't have to do everything in 6 months."

"Banyak yang akan berubah saat aku kembali, Satya."

"I may still be here."

Lukas menatapku. "See? I don't even know whether you or Rena will still be here. It will be different."

"Are you a professional surfer?"

"Aku nggak meyebut diriku profesional, karena aku nggak berencana menghidupi diri dari surfing," jawab Lukas sambil tersenyum. "Tapi juga bukan pemula. I just can't see myself without surfing."

"Jangan-jangan alasan kamu memilih internship-mu di sini, karena kamu mau berselancar tiap hari."

Lukas menatapku serius. "You're not a psychic, are you?"

Ketika aku mengerutkan kening karena tidak memahami maksud pertanyaannya, Lukas malah tertawa.

"I'm just kidding, Satya. Never thought I would see that expression of yours. And yes, the reason why I chose Bali is because I want to surf, every time I want. I don't have to think about what season it is."

Aku hanya tersenyum sambil menggeleng. Pertemuan ketigaku dengan Lukas dan aku sudah menyukai pria ini.

Kami kemudian sibuk dengan pikiran masing-masing. Aku diam, sesekali meneguk air mineral. Dari ekor mataku, Lukas memusatkan pandangannya pada gulungan ombak di hadapan kami, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkannya dengan sungguh-sungguh.

"What's your plan for weekend?" tanyaku akhirnya. Kesunyian yang sempat ada di antara kami, hanya akan membuat suasana canggung.

"Surfing," jawab Lukas singkat. "Rena sepertinya ingin ikut, just to accompany me. Kamu mau ikut?"

Aku mengangguk, bukan mengiyakan ajakan Lukas, tapi berpikir. Akhir minggu ini aku tidak punya agenda apa pun. So, why not?

"Boleh. Aku belum ada rencana apa-apa buat weekend ini. Mau berselancar di mana?"

"Mungkin Balangan atau Blue Point? Echo Beach juga boleh. I have to check the wave first. I'll let you know Saturday morning."

"Perfect!"

"But, I don't have your number. Can I have it? Also, in case of emergency."

Bibirku membentuk sebuahsenyum tipis, yang aku harap tidak akan diperhatikannya. "Sure!"    

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top