SATYA - RETRO


April 2011...


"Sudah berapa lama kamu kerja di The Cowboys?"

"Sekitar dua tahun Pak."

"Tidak bosan?"

Aku tersenyum. "Kalau bosen ya saya nggak bisa survive di sini Pak."

Interviewer-ku tertawa. "Kamu tahu banyak lagu-lagu lama?"

"Definisi banyak Pak Stefan dan saya kan mungkin beda, jadi adil juga kalau saya bilang, saya cukup tahu lagu-lagu lama."

"Play me one song," pinta Pak Stefan sambil menyandarkan tubuh ke kursi kulitnya sambil mengatupkan kedua tangannya di bibir.

"Baik Pak."

Aku segera mengeluarkan gitar. Tatapan Pak Stefan membuatku cukup gugup, seperti kietika kami bersalaman tadi. RETRO Café ini memang belum sepenuhnya jadi. Namun, aku bisa melihat RETRO akan punya potensi untuk jadi tempat yang cukup nyaman, terlepas dari tema kafenya sendiri yang sangat oldies.

Aku memang sudah menyiapkan beberapa lagu yang sudah aku pelajari ketika memutuskan melamar di RETRO. Mungkin aku akan dipanggil untuk interview. And here I am.

Dream, dream dream dream, dream, dream dream dream

When I want you in my arms, when I want you and all your charms

Whenever I want you, all I have to do, is dream

Dream, dream dream dream

Dari beberapa lagu yang aku siapkan, entah kenapa akhirnya aku memilih lagu klasik milik The Everly Brothers itu. Suara para pekerja yang sibuk menyelesaikan RETRO sayup terdengar—meskipun aku dan Pak Stefan berada di ruangannya yang aku yakin telah dipasang peredam suara. Mungkin aku memilih lagu itu karena Lukas. Karena sampai saat ini, aku masih menyimpan perasaan yang seharusnya sudah hilang dariku. But, I'm still keeping that feeling. Dan lagu ini mencerminkan apa yang aku rasakan. All I Have To Do Is Dream.

Selama menyanyikan lagu itu, aku memang beberapa kali saling bertatapan dengan Pak Stefan. Beberapa kali, aku memergoki Pak Stefan memejamkan mata. Aku hanya berharap, lagu yang aku mainkan tidak membawa kenangan buruk untuk Pak Stefan. Aku sendiri membayangkan diriku menyanyikan lagu ini di hadapan Lukas dan ingin melihat bagaimana reaksinya. Sekalipun aku tahu tidak akan pernah ada apa pun diantara kami.

Begitu selesai, Pak Stefan membuka matanya dan hanya memberiku senyuman sebelum akhirnya bertepuk tangan kecil. Bagiku, itu sangat melegakan, karena berarti lagu ini tidak membawa kenangan buruk bagi Pak Stefan.

"That was beautiful, Satya! Saya jadi ingat masa kecil ketika Papa sering memutar lagu-lagu milik The Everly Brothers, dan saya memang akhirnya jadi penggemar mereka."

"Terima kasih Pak. Saya sempat takut kalau misalnya lagu yang saya mainkan membawa kenangan buruk."

Pak Stefan dengan cepat menggelengkan kepalanya. "Sama sekali nggak. You picked a perfect song."

Kami terdiam selama beberapa saat sebelum pandanganku jatuh ke Pak Stefan yang sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Cincin di jari manisnya membuatku ingin tahu, wanita seperti apa yang beruntung mendapatkan Pak Stefan.

"Apa saya perlu nyanyi satu lagu lagi, Pak?"

Pak Stefan tersenyum dan menggeleng. "Itu cukup buat saya, Satya. Saya akan kabari kamu secepatnya karena masih banyak yang harus saya interview. Kamu tidak tahu, permainan kamu cukup kasih saya energi tambahan. Terima kasih untuk itu, Satya. Masalah gaji, kamu jangan khawatir, kita bisa diskusikan nanti. Will that be okay for you?"

Aku mengangguk. "Buat saya, itu bukan hal yang terlalu penting Pak."

"Itu penting, Satya. Kamu perlu uang kan untuk hidup?"

Kami berdua bangkit dari kursi untuk berjabat tangan. Genggaman tangan Pak Stefan begitu kuat dan mantap, dan aku langsung merasa nyaman dengan Pak Stefan. Terkadang, ada orang yang ingin menunjukkan otoritas mereka dan memaksa orang untuk menghormati mereka. Pak Stefan jelas bukan tipe seperti itu, sekalipun aku baru mengenal Pak Stefan. Aku percaya, Pak Stefan akan jadi bos yang baik.

"Terima kasih untuk waktunya Pak."

"Saya yang terima kasih kamu sudah datang. And played one of my favorite songs."

"Saya permisi dulu Pak Stefan."

Pak Stefan hanya mengangguk. "Hati-hati di jalan, Satya."

Begitu keluar dari ruangan Pak Stefan, aku mengembuskan napas lega. One interview done. Penghasilanku dari The Cowboys dan beberapa kali panggilan untuk wedding dan beberapa acara, memang cukup untuk menghidupiku di Bali. Namun jika diterima di RETRO, aku akan mulai bisa menambah rekening tabunganku. Living as a singer is not that easy, you know.

Ponselku berdering ketika berniat menyalakan motorku. Ketika melihat nama siapa yang tertera di layar, aku tidak mampu menyembunyikan senyum.

Satya, are you busy? If not, let's have lunch together at usual place. There is something I need to tell you :)

Something I need to tell you? Apa itu?

I'll be there shortly.

Aku segera menghidupkan motor dan mengarahkannya ke daerah Kerobokan. Tempat biasa yang dimaksud Lukas, tentu saja Bali Buda Kerobokan. Sebenarnya, dibilang biasa juga terlalu berlebihan, karena kami tidak sering-sering juga makan di sana. Hanya saja, setiap kali aku, Lukas, dan Rena keluar, pasti mampir ke sana. Karena di antara kami, hanya Lukas yang vegetarian dan tidak banyak restoran yang punya menu vegetarian, jadilah aku dan Rena yang mengalah. Selama Bali Buda masih menyediakan something sweet, aku tidak masalah pergi ke sana.

Sejak Lukas pulang dari Rumah Sakit bulan lalu dan aku yang sering menemaninya ketika Rena kerja, hubungan kami bisa dikatakan jadi semakin dekat. Tentu saja, dekat dalam arti sahabat. Sekalipun begitu, aku masih membiarkan diriku dikuasai oleh harapan semu tentang Lukas. I still have that feeling for him. Kadang, aku merasa ada batasan yang dibuat Lukas setiap kali kami bertemu. Tentu saja aku tidak mungkin menanyakan hal itu kepadanya. Bisa bertemu dengannya meskipun harus menahan perasaan terhadapnya, sudah cukup.

Rena juga tanpa henti mengingatkanku tentang hal ini. And she's right. Always right. Aku hanya mendengarkan ceramah Rena setiap kali aku bercerita tentang Lukas. Lama-lama, aku merasa tidak akan ada yang bisa mengerti apa yang aku rasakan, sekalipun orang itu Rena. Maka aku mulai mengurangi intensitasku untuk bercerita kepadanya tentang Lukas. I just keep it to myself.

Ketika akhirnya sampai di Bali Buda, Lukas belum ada di sana. Aku langsung menuju ke meja yang berada paling ujung dan memesan satu pot Earl Grey serta satu porsi Chocolate Mud Cake. Sementara menunggu pesanan, pikiranku tidak mau berhenti untuk menduga apa yang akan diceritakan Lukas. Kami tidak pernah membahas sesuatu yang sangat pribadi. Aku tidak mungkin memberitahunya tentang perasaanku kan?

Aku menghela napas dan melambaikan tangan ketika melihat Lukas turun dari sepeda motor. Dia pasti habis atau berencana untuk surfing—melihat surfboard terpasang di sisi sepeda motornya. Begitu Lukas masuk dan memberiku senyuman lebar sebagai pembuka pertemuan kami, aku tidak bisa menahan diri untuk membalas senyumnya.

"Have you ordered something?"

Aku mengangguk. "Kamu abis atau mau surfing?"

"I just finished surfing. The wave was great this morning and I knew I had to surf. Now, I'm super hungry!"

Ketika Lukas baru saja selesai memesan Lean Green Smoothie, Tofu Pot Pie, dan Sundried Tomato Quiche sebagai menu makan siangnya, pesananku datang. Reaksi pertama Lukas tentu saja menggeleng heran melihat apa yang aku pesan.

"You don't drink alcohol but you eat something sweet like that?"

"I'm a cake monster. You know that."

"And you ordered tea? Satya! It's so freaking hot out there!"

Aku hanya tersenyum. "I always do. So?"

Aku paling suka melihat ekspresi Lukas kalau sudah melihatku memesan teh panas, sekalipun untuk makan siang. Dia bukan hanya anti makan daging, tapi juga anti minuman panas.

"Satya, bulan depan ulang tahun Rena kan? I'd like to give her a surprise. She threw a surprise party for me last February, I want to do the same. Not exactly the same though. I know Rena would have her own kind of party," ucap Lukas sambil tersenyum.

Aku hanya mengangguk. Sekeras apa pun mencoba untuk mengusir pikiranku tentang kemungkinan hubungan Rena dan Lukas, aku masih belum bisa sepenuhnya melihat Rena tidak menyimpan perasaan apa pun terhadap Lukas. Sekalipun Rena berulang kali meyakinkanku mereka hanya sebatas teman baik. Berulang kali juga, dia meyakinkanku tentang kekasih Lukas di Jerman. Melihat antusias Lukas kali ini tentang ulang tahun Rena, membuatku kembali memikirkan kemungkinan yang selalu Rena sanggah itu.

"Apa rencana kamu?"

"That's what I need to find out. Kamu mau kan bantu aku?"

Aku tersenyum tipis. "Sure! But, can I finish my cake first before we have a long conversation about this? When it comes to surprise, believe me, Rena could be hard to please."

Lukas tersenyum. "Bukankah wanita itu memang sulit untuk dibuat senang?"

"Like your girlfriend?"

Lukas hanya tertawa, sementara aku kembali menikmati Chocolate Mud Cake-ku menjadikannya pusat perhatian. Aku seharusnya tidak merasa seperti ini. Lukas berhak jatuh cinta dengan siapa pun, sekalipun itu Rena.

"Satya, kamu kelihatan nggak begitu bersemangat. Ada yang mau kamu ceritakan? Atau kamu ada masalah?"

Aku mengangkat wajah dan tersenyum, sebelum menggeleng. Bagaimana mungkin aku cerita tentang masalahku, Lukas? My problem is, I fall in love with you and know, that you would never love me back.

Ada tatapan khawatir yang aku tangkap dari Lukas. Ketika dia sudah mengerutkan dahi, memainkan apa pun yang bisa ditemukannya dengan tangannya serta menyandarkan tubuhnya, aku tahu kalau dia khawatir.

"Aku baik-baik aja, Lukas. I just had an interview with RETRO. Ada kafe baru yang akan dibuka bulan depan di Petitenget dan aku cuma kepikiran tentang interview tadi."

"Aku yakin kamu pasti dapat kerjaan itu, Satya. You're such a good singer and guitar player. Apakah ini restoran dengan tema kuno itu?"

Aku tertawa, sekalipun kelihatan sekali kalau aku memaksakannya. "Jangan sebut kuno. Tema kafe mereka bukan dari zaman prasejarah."

Lukas tersenyum. His million dollar smile kalau menurut istilah Rena. "Okay, classic. How about that?"

"Sounds better," balasku sambil menyuapkan satu potong kecil kue ke mulutku.

"Satya...."

"Ya?"

Kami saling bertatapan dan aku melihat Lukas hanya diam.

"Thank you for being so good to me since I moved here. Kamu dan Rena ... I will miss you both when I leave Bali."

Aku hanya bisa menelan ludah dan lagi-lagi, mengangguk. Tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan atau lakukan. It will be an emotional farewell, for sure. Aku bahkan berpikiran untuk tidak mengantar Lukas ke bandara hanya untuk menghindarkan diriku dari melihatnya pergi.

"Kita nggak akan pernah putus hubungan, Lukas. Will you promise me to stay in touch?"

Lukas mengangguk. "Pasti! Hanya saja ... aku pasti akan kangen surfing and all the things that we usually do together."

"Me too," balasku singkat.

Pesanan Lukas datang dan dengan segera, ekspresi wajahnya berubah ceria lagi. Aku juga hanya bisa tersenyum melihatnya. Kadang, hal-hal kecil seperti ini yang membuat sesuatu jadi begitu melekat di ingatan. Hanya melihat ekspresi Lukas ketika menyeruput smoothie-nya sebelum menggosok kedua tangannya—sesuatu yang selalu dilakukannya sebelum menikmati makanannya—cukup membuatku tahu, betapa aku akan sangat merindukan pria ini jika nanti dia sudah kembali ke Jerman.

"Bon appetit!" ucap Lukas dengan senyum lebarnya sebelum memulai menyuapkan quiche itu ke mulutnya.

***


The media is All I Have To Do Is Dream by The Everly Brothers.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top