SATYA - LIES UNVEILED
May 2013...
"Kamu suka?"
Pertanyaan itu meluncur dari Stefan ketika kami sedang duduk di salah satu bangku yang berdekatan dengan sungai kecil di Keukenhof. Ribuan tulip dalam berbagai warna, memenuhi pandanganku sejak kami sampai di sini. Cuaca yang sedang cerah-cerahnya, membuatku betah berjalan-jalan di Keukenhof, hingga akhirnya Stefan meminta kami beristirahat sejenak.
Untuk sampai di Keukenhof di daerah Lisse ini, tadi kami naik sepeda dari apartemen Stefan di Leiden. Sejak tiba di Belanda, entah kenapa aku jadi lebih suka naik sepeda. Mungkin karena pengendara sepeda di sini bisa bersepeda dengan aman. Apalagi dalam perjalanan ke sini, aku melihat begitu banyak bangunan tua. Meski kakiku terasa agak pegal karena bersepeda hampir satu jam, tetapi keindahan warna-warni tulip yang ditawarkan Keukenhof membuatku melupakannya. Aku terlalu bersemangat untuk menjelajahi tempat ini.
Belanda sejauh ini memberiku pengalaman yang menyenangkan. Baru seminggu aku di sini, tetapi Stefan sudah menunjukkan begitu banyak hal. Dia bukan hanya menunjukkan tempat-tempat yang jauh dari turis, tempat dia biasa bermain sewaktu kecil, tetapi juga mengenalkanku ke teman-temannya, bahkan bertemu dengan paman dan bibinya, di mana aku disambut dengan sangat ramah dan hangat. Pemandangan dua pria yang saling bergandengan tangan atau pun berciuman di tempat umum menjadi hal yang lumrah, hingga tanpa ragu, Stefan selalu menggandeng tanganku setiap kali kami berjalan menyusuri jalanan di Leiden.
"Tempat ini indah sekali," jawabku sambil tersenyum.
Stefan mengangguk. "Sekalipun besar di Belanda, setiap tahun saya pasti menyempatkan diri untuk datang ke sini. Saya tidak pernah bosan mengunjungi tempat ini."
"Stefan?"
Stefan menatapku. "Ya?"
"Thank you for taking me here."
Sejak kami duduk, Stefan tidak pernah lepas menggenggam tanganku, hanya mengangguk sambil membiarkan jemarinya meremas milikku lebih erat.
"Kamu belum capek kan?"
Aku menggeleng. Terlalu bersemangat untuk merasa lelah. Apalagi di tempat sebesar Keukenhof.
"I love that yellow tulip. So bright and cheerful," ucapku sambil memerhatikan tulip-tulip berwarna cerah yang terletak tidak jauh dari tempat kami duduk. Kombinasi warna-warni tulip yang sengaja ditanam di satu tempat, sungguh sangat memanjakan mata.
"Satya...."
Aku mengalihkan pandangan dari tulip itu ke arah Stefan. "Ya?"
"Saya mengajak kamu ke sini karena ada yang ingin saya tunjukkan ke kamu."
Aku mengerutkan kening begitu mendengar ucapan Stefan. Dia kemudian mengeluarkan iPad dan menyodorkannya kepadaku. Stefan jarang membawa tablet kalau kami keluar, apalagi sejak tiba di Belanda. Melihatnya membawa benda itu cukup membuatku heran.
"Apa yang mau kamu tunjukkan, Stefan?" tanyaku sambil menerima iPad itu dari tangannya.
"Just watch this video, okay?"
Aku hanya mengangguk, sekalipun tidak mengerti apa maksud perkataannya.
Ketika mataku menatap layar iPad itu, suara dan wajah Rena langsung terdengar begitu aku menekan tombol play. Reaksi pertama yang aku tunjukkan ke Stefan adalah sebuah senyum lebar. Apa ini?
Namun senyum itu perlahan memudar ketika semakin lama video itu berjalan, ekspresi wajah Rena berubah. Begitu juga denganku. Setiap kata yang meluncur dari mulutnya terdengar begitu asing, bukan dalam artian bahasa, tetapi lebih seperti mendengar sebuah audiobook tentang novel roman atau salah satu adegan yang biasa muncul dalam film drama. Ketika akhirnya Rena tidak bisa menahan tangis dan mendengar sebagian besar yang diucapkannya, mulutku terlanjur kelu. Terlalu terkejut dengan apa yang aku dengar. Ingin rasanya menganggap ini sebagai sebuah lelucon yang disiapkan Rena untukku. Namun melihat air mata yang mengalir di pipi, suaranya yang bergetar dan tersendat-sendat, aku sadar ini bukanlah sebuah lelucon ataupun sebuah audiobook tentang novel roman.
Ini adalah sebuah pengakuan dari Rena.
Rena memberitahuku tentang kebenaran seksualitas Lukas, bahwa dia gay, bahwa Lukas memiliki perasaan yang sama denganku, dan bagaimana selama ini, dia menyembunyikan fakta itu dariku dan Lukas. Hanya karena dia tidak ingin melihat Lukas dan aku bersama.
Bagaimana bisa aku menerima kenyataan itu sekarang? Setelah sekian lama aku hanya bisa berharap dan membayangkan apa yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, bahkan sebelum Stefan menjadi seseorang yang penting dalam hidupku. Bagaimana mungkin Rena bisa melakukan itu kepadaku, orang yang berkali-kali disebutnya sebagai sahabat? Bahwa apa yang dilakukannya didasarkan pada perasaan cemburu karena Lukas ... mencintaiku?
Aku hanya mampu menelan ludah sebelum menarik napas panjang. Membiarkan Stefan mengambil iPad itu dari tanganku.
"Salahkan saya Satya, karena menyimpan ini dari kamu selama hampir empat bulan. Saya yang meminta Rena untuk membiarkan saya memberitahu kamu tentang ini."
Aku hanya mampu memandang Stefan dengan tatapan tidak percaya. Seluruh tubuhku seperti dibekukan dengan apa yang baru aku dengar, baik dari Rena maupun Stefan.
"Rena datang ke rumah, berniat untuk memberitahu kamu tentang hal ini, tetapi kamu sedang pergi waktu itu. Jadi saya mendesak Rena untuk cerita, karena tahu, pasti ada hal penting yang ingin disampaikannya ke kamu. Rena awalnya menolak, sebelum saya bisa meyakinkannya untuk bercerita. Maafkan saya kalau memang kamu merasa dibohongi. Saya melakukan ini karena tidak mau kamu membenci Rena sebelum hari pernikahannya. Kamu tidak akan datang di hari terpenting dalam hidupnya kalau kamu tahu, sedangkan saya tahu, Rena sangat ingin kamu hadir. Jadi, salahkan saya karena baru memberitahu kamu sekarang."
"Kenapa, Stefan? Apakah ada yang salah dengan apa yang aku dan Lukas rasakan?"
Ekspresi Stefan berubah begitu mendengarku mengucapkan nama itu, dia bahkan berusaha untuk meraih tanganku, tetapi aku menepisnya. Aku bangkit dari bangku tempat kami duduk dan berjalan dengan cepat, tidak peduli ke mana langkah kaki akan membawaku. Aku bahkan mengabaikan tatapan orang-orang yang mungkin berpikir kenapa aku berjalan begitu cepat di tempat seindah Keukenhof.
This is just ... too much!
Entah perasaan mana yang paling menguasaiku saat ini. Marah karena Rena tahu bagaimana perasaanku ke Lukas atau karena Stefan menyimpan kebohongan itu dariku ketika selama itu, kami tidur satu ranjang, berbagi rahasia dan tubuh kami, tetapi bersikap seperti kebohongan itu tidak pernah ada. Kenapa orang-orang yang begitu aku cintai bisa melakukan ini terhadapku?
Akhirnya, aku berhenti ketika dadaku mulai terasa sakit. Oleh kebohongan Rena. Oleh keputusan Stefan yang menyimpan rahasia ini dariku. Oleh perasaanku sendiri terhadap Lukas yang tidak pernah tersampaikan. Oleh rasa marah yang semakin menggunung sejalan dengan detik yang berjalan. Aku merasa dikhianati oleh orang-orang terdekatku.
Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya, tepat ketika Stefan berhasil menyusulku.
"Just leave me alone for a while, Stefan. Aku mohon."
Bahkan aku tidak bisa menatap wajah Stefan ketika mengatakan itu, sebelum melanjutkan langkah untuk menjauh darinya.
***
Few days after Keukenhof...
Sejak pulang dari Keukenhof, aku mendiamkan Stefan. Hanya menjawab seperlunya dan menolak diajak keluar, meski cuaca sedang indah-indahnya. Aku tidak ingin membiarkan amarah yang masih menguasaiku, membuatku mengatakan sesuatu yang akan menyakiti kami berdua. Aku memilih diam, sekalipun Stefan berusaha untuk membuat kebahagiaan yang aku rasakan sebelum hari itu kembali.
Kenyataan tentang Lukas terlalu hebat untuk bisa aku anggap sebagai hal yang bisa berlalu begitu saja. Pikiranku berulang kali membayangkan apa yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, andai saja Rena tidak menyembunyikan kebenaran tentang jati diri kami. Mungkin, aku berada di Jerman sekarang atau mungkin, Lukas akan ada di Bali setelah menyelesaikan pendidikannya. Aku tidak harus keluar dari RETRO dan hubunganku dengan Stefan akan tetap menjadi hubungan antara atasan dan bawahan. Pikiranku terlalu sibuk dengan berbagai hal yang bisa terjadi antara aku dan Lukas, hingga aku bahkan tidak tahu mana yang realistis, mana yang hanya imajinasi.
Hubunganku dengan Rena jelas tidak akan pernah sama lagi. Aku bahkan tidak tahu apakah bisa memaafkannya. Kebohongannya tidak hanya menghancurkan persahabatan kami, melukaiku dan Lukas, tetapi juga Stefan. Pria yang seharusnya tidak perlu terseret dalam lingkaran kebohongannya jika saja Rena bisa menunggu sedikit lebih lama untuk langsung memberitahuku. Stefan tidak seharusnya tahu.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Mataku masih menatap nanar deretan bangunan di seberang kanal kecil di depan apartemen Stefan melalui jendela di ruang tamu. Sudah sejak dua jam yang lalu aku meringkuk di sofa dan membiarkan lamunan menguasaiku. Aku bahkan tidak tahu Stefan ada di mana. Saat ini, aku hanya ingin sendiri. Aku seperti ingin membuat panca inderaku mati rasa.
"Satya...."
Pandanganku masih terpaku, sekalipun suara Stefan terdengar begitu rapuh dan sedih, menembus lamunanku.
"Aku nggak lapar kalau itu yang kamu ingin tahu."
Aku merasakan tangan Stefan meremas pundakku sebelum dia duduk di sampingku.
"Saya akan terus minta maaf sampai kamu mau bicara dengan saya. Tapi, apa yang kamu lakukan ini sama sekali tidak akan mengubah apa pun."
Aku masih mengabaikan Stefan, seperti tidak sadar apa yang dikatakannya justru membuat ini semakin sulit.
"Satya, tolong tatap saya."
Ada perasaan enggan untuk menuruti permintaan Stefan, tetapi akhirnya aku mengabaikan perasaan enggan itu untuk menatapya.
Sejak status hubungan kami berubah setahun yang lalu, aku belum pernah melihat tatapan Stefan yang sedang ditunjukkannya saat ini. Kedewasaan dan kematangan itu masih ada, tetapi kesedihan itu ... yang membuatku justru bertanya-tanya. Kenapa dia harus merasa sedih?
"Kamu tahu bagimana perasaan saya ke kamu. Saya selalu ingin melihat kamu tersenyum, berusaha untuk membuat kamu bahagia dengan cara saya sendiri. Menyembunyikan apa yang Rena ceritakan ke saya dari kamu bukanlah sesuatu yang mudah. Saya memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi kalau kamu tahu. Saya bahkan terpikir untuk menyembunyikan fakta ini dari kamu, menuruti ego saya." Stefan mengulurkan tangannya dan meraih tanganku sebelum mengecupnya. "Saya terlalu takut untuk kehilangan kamu, Satya. Saya terlalu takut untuk menghadapi kenyataan kalau kamu bisa saja pergi dari kehidupan saya dan mengejar apa yang selama ini tidak pernah kamu tahu. Saya takut kalau sekali lagi harus kehilangan orang yang sangat saya cintai."
Stefan kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya. "Namun saya kemudian sadar, apa pun konsekuensinya, kamu tetap harus tahu. Yang terpenting bagi saya adalah melihat kamu bahagia. Jika memang Lukas adalah pria yang bisa memberikan itu, saya harus terima karena kamu bahagia. Saya tidak mau kita menjalani hubungan ini sementara ada yang belum selesai antara kamu dan Lukas. Saya seperti memaksaka kamu untuk tetap bersama saya tanpa punya pilihan lain. Saya tidak mau seperti itu. Kalau kamu masih ingin mempertahankan hubungan kita, saya mau kamu menjalaninya karena itu pilihan kamu, bukan paksaan dari saya."
Apa yang baru Stefan katakan, membuatku tertegun.
"Itu sama sekali nggak ada hubungannya, Stefan."
"Semuanya berhubungan, Satya."
Aku hanya mampu menelan ludah dan kembali membiarkan pandanganku beralih dari Stefan. Betapa pun bosan mendengar diriku sendiri membiarkan kenapa menjadi kata tanya yang menguasaiku sekarang, tidak ada kata tanya lain yang bisa mewakiliku saat ini. Kalaupun tahu, aku tidak memiliki jawaban atas pertanyaan itu.
"I'll let you think, Satya."
Aku merasakan kecupan lembut di ujung kepala sebelum akhirnya Stefan meninggalkanku.
Sekarang, apa yang harus aku lakukan?
***
Oke, cukup dulu ya? Ini udah tinggal sedikit lagi tamat kok, jadi saya update-nya akan pelan-pelan. medianya adalah Forever milik Ben Harper, lagu kesukaan Lukas dan Satya. Saya rasa, lagu ini tepat banget buat mendampingin part ini.
Enjoy the update!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top