SATYA - LATE NIGHT CONVERSATION
August 2011...
Aku tergesa-gesa turun dari motor, berharap masih ada orang di RETRO. Ada kemungkinan aku menjatuhkan atau meninggalkan sesuatu yang tidak pernah lepas dariku sejak kepergian Lukas di sini.
Ketika langkahku hampir mencapai pintu masuk, Pak Stefan keluar dan kami hampir saja bertabrakan, karena begitu tergesa-gesanya aku.
"Satya?"
Aku berusaha untuk terlihat tenang dengan memberikan senyum, tetapi pikiran akan kehilangan benda itu terlanjur menguasai pikiranku.
"Pak Stefan, boleh saya masuk sebentar? Ada milik saya yang sepertinya tidak sengaja jatuh di restoran."
Pak Stefan mengerutkan kening. "Benda penting?"
"Pemberian teman saya dari Jerman."
"I'll come with you."
Pak Stefan kemudian membalikkan tubuh dan aku mengikutinya. Sejak kepergian Lukas, aku jadi lebih banyak menyibukkan diri dengan pekerjaan. Bahkan, aku juga hanya beberapa kali bertemu Rena. Tawaran untuk tampil di private occasion cukup banyak, dan aku mengambil tawaran-tawaran itu asal tidak mengganggu jadwalku di The Cowboys dan RETRO. Aku perlu menyibukkan diri untuk mengalihkan pikiran dari pria yang berada ribuan kilometer jauhnya dariku saat ini.
Begitu pintu masuk terbuka dan Pak Stefan menghidupkan lampu, aku langsung menuju panggung dan menelusuri lantai, berharap melihat gelang yang diberikan Lukas. Jantungku rasanya berdegup tidak beraturan, memikirkan aku mungkin kehilangan benda itu.
"Mungkin saya bisa bantu, Satya? Apa yang kamu cari?"
Aku menegakkan tubuh dan menatap Pak Stefan. "Gelang anyaman dari kulit Pak, warnanya cokelat muda, mungkin karena warnanya senada dengan lantai, jadi cukup susah."
"Coba saya ke staff room sebentar, siapa tahu ada yang menemukan dan menyimpannya di sana."
Aku hanya mengangguk sambil terus mencari di setiap sudut panggung, memastikan tidak ada tempat yang terlewat. Aku juga menyusuri kolong meja-meja di dekat panggung. Kalau tidak di sini, ke mana lagi aku harus mencarinya?
"Satya, apakah ini yang kamu cari?"
Aku kembali menegakkan tubuh dan menatap Pak Stefan memegang sebuah benda kecil, yang ketika aku dekati, memang benda yang sedang aku cari.
Aku mengembuskan napas lega. "Terima kasih Pak."
Pak Stefan memberiku senyumnya dan mengulurkan benda itu kepadaku. "Lain kali, hati-hati ya, Satya? You're lucky this time. Saya memang meminta semua staf untuk meletakkan semua barang yang mereka temukan di Lost & Found karena saya tahu ada benda-benda seperti ini, yang kelihatannya kecil dan tidak punya nilai, punya arti yang besar untuk pemiliknya. In this case, you Satya."
Aku mengangguk.
"Kamu terburu-buru? Mungkin kita bisa minum sebentar sambil ngobrol. You definitely need a drink. Air putih?"
Aku berniat menolak ajakan Pak Stefan karena ini sudah hampir jam satu dan aku yakin, Pak Stefan pasti lelah. Namun, Pak Stefan sudah terlanjur berjalan menuju bar. Aku menarik salah satu kursi dan duduk di sana.
Sejak interview waktu itu, aku memang tidak terlalu sering berinteraksi dengan Pak Stefan, kecuali kalau ada acara-acara tertentu di RETRO atau ada lagu-lagu khusus yang Pak Stefan ingin aku pelajari. Ini pertama kalinya kami berada diluar situasi formal RETRO, sekalipun kami ada di RETRO.
"Pasti pemberian seseorang yang spesial sampai kamu kembali ke RETRO meski sudah selarut ini," ucap Pak Stefan sambil mendudukkan dirinya di depanku dan meletakkan segelas air putih di hadapanku. "Minum Satya, kamu membutuhkannya."
Aku meraih gelas itu dan langsung tandas dalam sekali teguk. Aku memandang Pak Stefan.
"Terima kasih Pak."
Pak Stefan tersenyum. "Feel better?"
Aku mengangguk sambil mengenakan kembali gelang kulit itu di pergelangan tanganku. Salah satu isi dari kotak yang diberikan Lukas di bandara. Gelang anyaman dari kulit ini, CD yang berisis lagu-lagu dari tahun 50-60-an, album The Best mililk The Platters, serta Welcome To The Cruel World milik Ben Harper—Forever merupakan salah satu track di album itu—satu CD berisi rekamanku waktu menyanyikan Forever di Nyang-nyang, miniatur surfing board dengan tulisan namaku, dan lima foto—hanya aku dan Lukas di foto-foto itu—yang diambil selama 8 bulan kami saling mengenal. Ketika mengetahuinya, kakiku serasa tidak menginjak tanah. I was so happy. Selama beberapa menit, aku tidak berhenti tersenyum. Aku merahasiakan ini dari Rena, karena bagiku, ini satu-satunya kenangan tanpa Rena di dalamnya. I just want the box and the memory in the airport, be mine only.
"Pak Stefan pulang selarut ini pasti capek. Lebih baik saya pulang, Pak."
"Kamu terburu-buru?"
Aku menatap Pak Stefan dan menggeleng. "Bukan begitu, Pak. Saya yakin, Pak Stefan butuh istirahat."
"Kamu betah kerja di sini, Satya?"
Tricky question.
Aku mengangguk. "Terlepas dari saya yang harus lebih banyak belajar lagu-lagu lama, saya menikmati kerja di sini Pak," jawabku sambil tersenyum. "Saya suka atmosfer RETRO."
"Kira-kira, kamu keberatan tidak kalau meninggalkan The Cowboys dan jadi pengisi tetap di sini? Setiap hari, dari Senin-Sabtu selama dua jam? Saya perhatikan, setiap kamu tampil, pengunjung RETRO bertambah. Itu berarti mereka menyukai kamu."
Aku masih diam. Sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan tawaran ini dari Pak Stefan. Gajiku di sini memang lebih besar, sekalipun aku hanya tampil tiga kali seminggu. Mendapatkan kontrak permanen untuk tampil di RETRO, jelas sebuah tawaran yang menarik. Namun aku tidak ingin mengiyakan tawaran Pak Stefan sekarang juga. Bagaimanapun, The Cowboys tetaplah tempat aku memulai semuanya.
"Kamu tidak harus menjawab sekarang, Satya. Pikirkanlah dulu. Kalau memang kamu merasa tidak bisa meninggalkan The Cowboys karena alasan tertentu, saya bisa mengerti."
Aku mengangguk. "Terima kasih atas tawarannya, Pak. Pasti akan saya pikirkan baik-baik."
"Ini selalu jadi impian saya, Satya."
Aku memandang Pak Stefan yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengedarkan pandangan ke seluruh isi restoran.
Harus aku akui, desain interior RETRO ini benar-benar membuatku terpana ketika pertama kali melihatnya. Banyak barang-barang antik—jika tidak bisa dibilang kuno—bertebaran di seluruh sudut restoran. Ada jukebox yang terpasang di dekat pintu masuk, satu gramofon yang diletakkan dekat dengan panggung tempat aku biasa tampil, lengkap dengan puluhan, bahkan mungkin ratusan piringan hitam yang tertata rapi tidak jauh dari gramofon itu, mesin kasir yang hanya Pak Stefan yang tahu dibuat tahun berapa dan masih berfungsi, beberapa tea set yang sepertinya pantas berada di museum dan banyak benda-benda lain yang membuat RETRO benar-benar berkesan retro. Yang aku suka dari RETRO adalah beberapa poster film yang memenuhi dinding. Film-film klasik Hollywood dan Eropa dari tahun 20-an hingga 70-an terbingkai rapi, belum lagi foto-foto hitam putih para musisi legendaris mulai dari Frank Sinatra, Louis Armstrong, Bing Crosby, Billie Holliday, Ella Fitzgerald, The Beatles, BeeGees, The Everly Brothers (of course!), The Supremes, dan beberapa musisi lain yang tidak aku kenali wajahnya. Apalagi, RETRO memang dibuat seperti rumah zaman kolonial, dengan teras, ruang tengah, dan kebun belakang. Semuanya lengkap dengan barang-barang kuno.
"Konsep ini menarik, Pak. Saya belum pernah ke tempat seperti ini," balasku sambil tersenyum. "Sebuah kehormatan bisa jadi bagian dari RETRO."
"Semua barang-barang ini milik kakek dan nenek serta orang tua saya, Satya. Saya sudah cerita kan bagaimana saya bisa jatuh cinta dengan The Everly Brothers? Sejak itu, saya selalu bilang ke Papa dan Kakek kalau suatu hari saya ingin memiliki tempat yang menyimpan semua benda-benda koleksi mereka. Hanya sedikit dari benda-benda di sini yang saya beli, semuanya punya nilai sejarah. Paling tidak, sejarah keluarga saya."
"Mereka pasti bangga dengan Pak Stefan."
Pak Stefan mengangguk. "Semoga saja. Orang tua saya sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Melihat semua benda-benda ini, selalu membuat saya merasa dekat dengan mereka. Seakan mereka masih ada bersama saya."
Ada kerinduan dalam nada suara Pak Stefan dan aku tidak bisa menyalahkannya. Pak Stefan sudah melakukan hal yang sangat membanggakan, dengan menyimpan dan merawat benda-benda peninggalan mereka dengan sangat baik.
"Mereka tidak pernah pergi, Pak Stefan, hanya fisik mereka saja yang sudah tidak bersama kita lagi. Ayah saya selalu mengatakan itu setiap kali saya kangen Ibu."
Pak Stefan menatapku. "Ayah kamu juga pasti bangga punya putra yang punya kemampuan main musik seperti kamu."
Aku tersenyum tipis. "Ayah selalu bangga dengan pilihan hidup saya, Pak, asalkan itu membuat saya bahagia. Tidak pernah menuntut saya melakukan sesuatu yang tidak membuat saya senang. Dan itu membuat saya menjadi bertanggung jawab sejak kecil atas setiap pilihan yang saya buat karena Ayah mendidik saya seperti itu."
"You're a good guy, Satya."
You're a good guy, Satya. Someone ever said that to me.
Aku membalasnya dengan sebuah senyum tipis. Aku melirik grandfather clock yang berdiri tidak jauh dari tempat kami duduk. Jam menunjukkan sudah pukul setengah dua. Sudah waktunya aku pulang.
"Maaf Pak Stefan, saya lebih baik pulang. Sudah sangat larut dan kasihan kalau istri Pak Stefan menunggu."
Seperti terkejut, Pak Stefan menatapku heran. "Istri?"
Aku mengangguk. "Istri Pak Stefan pasti sudah bertanya-tanya kenapa sampai lebih dari jam satu, Pak Stefan belum pulang."
Ada keheningan sebelum akhirnya dipecah oleh suara tawa Pak Stefan. Ini pertama kalinya aku mendengar Pak Stefan tertawa lepas. Bagian mana dari kalimatku yang terdengar lucu? Aku masih memandang Pak Stefan bingung.
Ketika tawa itu sudah mereda, Pak Stefan menatapku. "Dari mana kamu mengambil kesimpulan kalau saya sudah punya istri, Satya?"
Aku masih diam.
"Kamu bilang seperti itu pasti karena saya memakai ini ya?" Pak Stefan menunjukkan jari manisnya yang memang mengenakan cincin.
Aku mengangguk.
Pak Stefan menghela napas. "Can you keep a secret, Satya?"
Oke, ini mulai membuatku jadi panik dan bertanya-tanya.
"Cincin ini hanya kamuflase, Satya," ucap Pak Stefan setelah bisa mengontrol dirinya, kembali menjadi Pak Stefan yang biasanya. "Ketika masih tinggal di Amsterdam, banyak kerabat jauh di Indonesia yang bertanya kapan saya menikah. Maklum, usia saya sudah hampir 40 tahun. Ketika saya memutuskan untuk kembali ke Indonesia setahun lalu, saya sudah bisa menduga pertanyaan seperti apa yang akan sering saya dengar. Jadi, saya memutuskan untuk membeli cincin ini agar orang tidak lagi bertanya-tanya kapan saya menikah. Saya berhasil sejauh ini dan setiap kali ditanya mana istri saya, alasan yang selalu saya katakan, dia tinggal di Belanda. Selesai perkara."
Fakta ini benar-benar mengejutkanku. Pak Stefan masih ... sendiri? Dengan usia yang sudah sangat mapan, apa lagi yang dicari?
"Kenapa Pak Stefan melakukan itu? Apa tidak membuat orang bertanya-tanya kenapa istri Pak Stefan tidak ikut ke sini?"
"Saya lelah ditanya terus kapan menikah. Ada saatnya saya merasa marah dan ingin bilang, mind your own business, tapi sepertinya sudah jadi kebiasaan orang Indonesia untuk tahu urusan orang lain. Sejauh ini, saya berhasil menipu semua orang di sini karena pertanyaan itu tidak pernah saya dengar lagi. Tentang istri, saya hanya mengatakan apa yang saat itu terlintas di pikiran saya saja. Saya juga tidak menyalahkan kalau kamu pasti kaget dan bertanya-tanya."
Aku hanya bisa memberikan senyum tipis. "Pak Stefan melakukan hal yang cerdik."
Pak Stefan tertawa. "Janji kamu tidak akan cerita siapa-siapa tentang ini?"
Aku mengangguk. "Kalau pun saya cerita, orang akan berpikiran saya gila dan mengada-ada."
"Ketika kamu menginjak usia 30, semuanya akan berbeda. Enjoy your life while you're young. Usia kamu berapa? Masih 26 kan?"
Aku mengangguk.
"Enjoy it, Satya. Do crazy things while you can, but, do it responsibly."
Aku membalas ucapan Pak Stefan, lagi-lagi dengan anggukan dan senyuman.
"Pak Stefan masih mau di sini?"
Pak Stefan menggeleng. "Saya juga sudah mau pulang. Bisa minta tolong kamu matikan lampunya, Satya? Ada berkas yang harus saya ambil di ruangan sebentar."
"Baik Pak."
Aku bangkit dari kursi dan mulai mematikan tiga lampu yang dihidupkan Pak Stefan sekaligus menuju pintu keluar.
Begitu sampai di teras, aku membiarkan senyum lebar menghiasi wajahku sambil memainkan gelang yang kembali terpasang di pergelangan tanganku.
"Ayo, Satya, sebelum orang-orang berpikir bahwa RETRO masih buka," ucap Pak Stefan sambil mengunci RETRO dan berjalan menuju ke tempat parkir.
"Terima kasih Pak Stefan sudah mau bercerita ke saya tentang banyak hal."
Pak Stefan menatapku dan tersenyum. "Saya juga berterima kasih kamu mau mendengarkan obrolan saya yang tidak penting itu. Kamu hati-hati di jalan ya?" pesan Pak Stefan sambil menepuk pundakku.
"Baik Pak," jawabku sambil tersenyum.
***
Medianya adalah Strangers In The Night milik Frank SInatra. Stefan dan Satya memang bukan 'strangers' tapi ini pertama kalinya mereka ngobrol dan Stefan sedikit membuka diri. Apakah...?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top