RENA - SURPRISE PARTY

February 28, 2011...

"Happy Birthday, Lukas!"

Lima belas orang yang gue kumpulin di vila yang gue sewa buat malam ini―special for my dear Lukas―serempak neriakin kata itu pas Lukas masuk. It's a surprise birthday party for him. Gue tahu, Lukas pasti nggak nyangka bakal ada orang yang nyiapin pesta kejutan buat dia. Next year, he probably won't be in Bali. Jadi, nggak ada salahnya kan tahun ini gue ngasih kejutan macam gini.

Lukas jelas kaget. Gue bisa liat itu dari wajahnya. Dan gue harap, dia suka.

"Wow! What is this?"

Kami gantian ngucapin selamat ulang tahun ke dia. Sial! Gue yang ngerencanain ini malah dapat sisa. Semua orang itu pakai acara cipika-cipiki, pelukan sementara gue jadi urutan terakhir? Yeah, right!

"Happy Birthday, Lukas," ucap gue sambil nggak lupa cipika-cipiki juga sekalipun udah bekas orang. Lukas kemudian meluk gue. Somehow, gue selalu ngerasa deg-degan tiap kali dia mgelingkarin lengannya ke gue. Mungkin karena gue ada rasa sama dia? Could be.

"Jangan bilang kamu yang merencanakan ini, Rena?"

Gue cuma bisa senyum. Gue memang udah ngerencanain sejak awal bulan, bahkan agenda utama gue bulan ini adalah bikin pesta kejutan ini. Sampai sekarang, gue masih belum tahu gimana perasaan Lukas ke gue. Pesta kejutan ini adalah cara gue bilang kalau gue sayang sama dia. Semoga aja Lukas sadar dan apa yang gue lakuin ini nggak sia-sia.

"Hope you like it."

"Thanks, Rena."

Meski cuma dapet ucapan terima kasih sama his million dollar smile sebagai bonus, itu udah cukup buat gue. Paling nggak buat DETIK ini. Munafik kalau gue nggak pengen dapet yang lebih dari itu. Tapi gue juga nggak mau ngerusak apa yang udah gue punya sama Lukas. The right time will eventually come.

"Lukas, I have no present for you, but my voice. I'm gonna sing a song, maybe two as your birthday present. I hope it will make you happier on your birthday."

Gue cuma bisa tepuk tangan denger ucapan Satya dan segera duduk di sofa. Lukas cuma senyum, tapi tetep berdiri dengan tubuh jangkungnya itu. Gue heran, dulu bokap-nyokapnya ngidam apa sih sampai punya anak setinggi ini? Dari foto-foto anggota keluarganya yang lain, gue tahu kalau kakak Lukas juga punya postur badan yang sama. Udah gen kali ya?

Sejak dari orphanage visit awal bulan ini, gue memang lumayan sering keluar sama Lukas dan Satya. Kadang bertiga, kadang gue absen, kadang cuma Satya dan Lukas, tapi nggak pernah gue sama Satya doang. Gue juga udah gatel sebenernya pengen ngomong ke Satya tentang apa yang gue rasain ke Lukas. This is just not me. Gue paling nggak suka nahan-nahan perasaan kayak gini. Apalagi sama Satya. Gue juga yakin Satya pasti lagi deket sama seseorang, cuma dia belum ngasih tahu gue. Agak gondok sebenernya karena dia belum cerita apa-apa.

Gue nggak tahu Satya nyanyi apa. Mungkin tahu, tapi gue nggak perhatiin lagunya. Fokus gue ke Lukas. And Lukas only. Coba waktu di panti asuhan itu Ida nggak geger minta ditemenin beli jajan di warung, gue pasti bisa tidur di samping Lukas. Sekalipun bareng sama yang lain, that would be something.

Rambut Lukas baru dipotong cepak dan senyum yang rasa-rasanya belum lepas sejak dia dateng, bakal bisa bikin gue betah ngeliatin dia semalaman. Fuck! Kenapa gue jadi cewek melodramatis gini?

Gue berusaha merhatiin Satya, berusaha nikmatin penampilan dia. But ... tetep aja susah buat konsentrasi. Magnet gue udah nggak mempan ditarik sama cowok lain. It only works on Lukas. Daaaammmmnn! Apa sih yang baru gue pikirin?

Gue ikut tepuk tangan pas Satya kelar nyanyi. And as usual, satu lagu sepertinya nggak cukup buat Lukas dan yang lain. While Satya is busy thinking about what song he would sing next, gue nyelinap ke dapur buat nyiapin kue ultahnya Lukas.

Kue ini juga gue pesen langsung dari hotel. Gue minta yang spesial dan agak besaran. Ini pertama kalinya gue pesen kue ulang tahun dari hotel tempat gue kerja. Biasanya gue beli jadi di Bali Deli atau Bali Bakery. Kenapa gue pesen langsung? Because it's for Lukas!

Ini ulang tahunnya yang ke-27, jadi gue nyiapin dua puluh tujuh lilin kecil. Pikiran gue udah bener-bener nggak bisa konsentrasi, sampai naruh lilin aja tangan gue gemetar. Lukas nggak tanggung-tanggung bikin hati gue kacau.

Gue denger Satya nyanyi In My Life milik The Beatles, sementara gue nyalain lilin satu-satu. Sambil nunggu Satya kelar, gue diam di dapur dan senyum-senyum sendiri. Gue bukan nggak pernah jatuh cinta, tapi baru sekarang gue kayak begini. Nggak bermaksud sombong, tapi memang gue yang biasanya dikejar. Sekalipun nggak jelas-jelas keliatan ngejar Lukas, tapi gue sadar kalau Rena yang biasanya entah sedang ke mana. Not my usual self.

Begitu denger tepuk tangan―yang berarti Satya udah kelar nyanyi—gue keluar dari dapur sambil ngebawa kue dan dua puluh tujuh lilin sambil nyanyi Happy Birthday. Gue liat Satya mainin gitarnya lagi sampai gue berdiri di depan Lukas yang nggak nyangka bakal dapet kejutan lagi dari gue.

"Rena...."

Gue bisa senyum meski Lukas cuma nyebut nama gue. But his expression when he said that? Priceless!

"Make a wish, Lukas and then, blow the candles."

Lukas closed his eyes and make a wish—yang gue pengen banget tahu apa yang dia pengen, in case I can make it come truesementara yang lain cuma ngeliatin. When he opened his eyes, Lukas mandang gue and gave me that smile again.

"Thank you, Rena," bisik Lukas.

Ruangan ini langsung rame sama tepuk tangan pas Lukas udah kelar niup semua lilin.

"Who will get the first cake?" tanya Satya.

"I don't have to think about that," ucap Lukas santai sambil motong Chocolate Strawberry Cake-nya buat potongan pertama.

Ketika udah berhasil motong, Lukas nyodorin kue itu ke gue.

"For Rena, thank you so much for preparing this surprise party for me and for being such a great great friend since I moved to Bali. Thank you so much!"

Gue bisa denger tepuk tangan lagi pas gue nerima potongan cake dari Lukas yang kemudian nyium pipi gue. Gue ngerasa jadi wanita paling bahagia sedunia and I let the world know with my big smile.

Orang-orang mungkin mikir gue senyum sebagai bagian dari ulang tahun Lukas. Padahal gue senyum karena Lukas kissed me on the cheek—bukan sekedar kecupan kalau gue sama dia abis keluar dan musti pulang. I want more, to be honest.

Nggak perlu lama-lama sebelum kue itu jadi rebutan dan Lukas—yang nggak terlalu suka kue—cuma makan beberapa suap. Satya pasti berasa nemu surga.

"This cake is heaven!"

"Gue tahu lo pasti suka," ucap gue ke Satya pas dia duduk di samping gue.

"Lukas looks so happy, Rena. Dia pasti inget terus ulang tahun kejutan ini."

Gue cuma bisa nahan senyum denger ucapan Satya. He should be. Gue nggak masalahin nominal yang gue keluarin. Buat gue, Lukas seneng dan bisa jadi orang yang bikin dia nggak bakal lupa sama ulang tahunnya di Bali, adalah tujuan utama. I learned, that making a man happy on his birthday, is one of the keys to win his heart.

"Kapan nih kita punya sesi curhat? Ada banyak banget yang pengen gue omongin ke lo."

Satya, masih sibuk dengan potongan besar kue yang dikunyahnya, cuma ngangguk doang.

"Kapan aja sih kalau aku. Kan kamunya yang sibuk dan jarang bisa," ucap Satya ketika potongan itu sudah tertelan.

"Iya deh, ntar gue nyari waktu supaya kita bisa ngobrol dari A-Z. Belakangan, gue memang sibuk di hotel. Gara-gara mau ada GM baru nih."

"Aku sama Lukas pengen banget kemah di Nyang-Nyang. Kamu mau ikut?"

Gue mandang Satya kayak dia nggak kenal sama gue. Satya cuma ketawa dan gue paling sebel kalau udah liat dia ngelibatin Lukas dalam aktivitas yang jelas-jelas gue nggak bisa atau nggak mau ikut.

"Lo kenapa sih pengen kemah di pantai antah berantah kayak gitu? Tangganya jahanam pula. Kalau ke Sekumpul aja gue males, bukan berarti gue oke ya ke Nyang-Nyang."

Gue memang paling males kalau pergi ke tempat yang banyak tangganya. Turun mungkin gue masih oke, tapi kan nggak mungkin gue naik pakai elevator? Betis gue pasti protes kalau gue ajak ke tempat-tempat dengan tangga ratusan macam Nyang-nyang. Gue pasti bakal skip.

"Kan sepi tempatnya, Rena. Ada berapa banyak pantai yang nggak banyak orangnya di Bali?"

"Mau kemah kapan?"

"Lusa. Lukas dapet masuk pagi dan besoknya di libur katanya, jadi ya bisanya hari itu."

"Lo kemah hari Rabu ya jelas gue nggak bisalah. Gue toyor juga lo. Ajakan lo nggak banget deh."

Satya ketawa lagi denger protes dari gue. Siapa pula yang mau kemah tengah minggu kalau bukan orang-orang tanpa kerja kantoran kayak gue?

"Eh, lo kemah sama Lukas doang?"

Entah kenapa, pikiran kalau Lukas bakal kemah sama Satya bikin gue jadi punya pikiran yang nggak-nggak. I mean, Satya is gay and Lukas is an attractive guy. Bukan nuduh Satya bakal macam-macam sama Lukas, but who knows? Godaan itu nggak pandang bulu.

Satya ngeliatin gue kayak pertanyaan itu punya arti yang lebih dari sekadar pengen tahu. Gue memang nggak cuma pengen tahu.

"Nggak lah. Ada beberapa traveler yang mau ikut juga. Sekarang masih berlima, tapi kayaknya bakal nambah. Kamu pasti nggak pernah ngecek posting-an di grup ya? Kenapa? Kamu khawatir Lukas bakal kenapa-kenapa?"

Gue paling nggak suka kalau orang bisa nebak apa yang gue pikirin. Dan parahnya, Satya ini kadang memang bisa baca pikiran gue dengan tepat. Kayak sekarang ini.

"Ya, kan siapa tahu."

Lukas, tiba-tiba muncul di antara kami ketika Satya mau bilang sesuatu. "Kalian asyik banget ngobrolnya. Yang ulang tahun dilupain."

Satya tersenyum. "We just talked about our camping the day after tomorrow."

Lukas ngeliatin gue dan dari ekspresinya, gue tahu dia pasti pengen gue ikut tapi dia tahu gue nggak bisa.

"Too bad you can't join us, Rena."

Gue cuma ngangguk. "I curse the stairs anyway."

Lukas dan Satya ketawa.

Satu per satu, tamu yang gue undang mulai pulang. Mungkin karena udah lumayan larut dan besok pada kerja, maka tinggal gue, Lukas, dan Satya yang beres-beres sedikit biar nggak terlalu keliatan berantakannya.

Satya pamit pulang begitu liat kalau udah nggak ada apa-apa lagi yang perlu diberesin.

"Aku pulang dulu ya Ren? Ngantuk banget nih. Dan kenyang!" ucap Satya sambil ngeberesin gitarnya dan masukin instrumen itu ke tasnya.

"Lo kan kalau udah puas ngabisin kue pasti balik."

Satya cuma nyengir.

"Kita harus ketemu deket-deket ini, Rena. A must!"

"Iya, iya. Ntar gue kasih tahu kapan gue lowong. Udah buruan gih sana pulang. Huss! Huss!"

Satya cuma diam dan mandang gue aneh. "Lukas jangan diapa-apain ya?"

Gue cuma julurin lidah karena tahu Satya cuma bercanda. Untung Lukas lagi ke toilet, jadi nggak perlu jelasin ke dia apa yang baru kami obrolim.

"Satya, are you going home?"

Satya ngangguk. "It's getting late and I'm full from all the food," jawab Satya. "Once again, Happy Birthday Lukas. Happy getting older."

Gue sama Lukas ketawa dan mereka pelukan, sesuatu yang buat gue nggak punya arti apa-apa. Kumpul sama traveler dari berbagai negara, bikin gue tahu kalau dua cowok pelukan itu nggak berarti mereka ada apa-apa. It's like brotherhood.

"Ati-ati di jalan," ucap gue sambil cipika-cipiki sama Satya sebelum dia beranjak dari hadapan gue sama Lukas.

Begitu vila sepi dan gue yakin Satya udah jauh, gue sama Lukas saling padang-pandangan.

Lukas tersenyum. "Now what?"

"Lo mau duduk di deket kolam renang?"

"Why not?"

And that's what we did.

Gue sama Lukas duduk di pinggir kolan, sambil ngerendem kaki, mandang langit Februari yang cerah banget malam ini plus dua botol kecil Heineken. Gue agak kaget meski Lukas nggak doyan daging, tapi dia masih suka minum. Bukan berarti dia mabuk atau minum tiap hari juga. Cuma, itu berarti dia nggak healthy freak kayak kebanyakan orang yang nggak doyan daging.

"Aku nggak tahu harus bilang apa, Rena. Thank you so much for all the trouble you've been through in preparing this party. Aku tahu kamu sibuk."

Gue cuma bisa senyum. This could be the moment. This could be....

"Gue seneng kalau lo seneng, Lukas. Lo harus seneng sih karena ini ulang tahun lo."

"Now, I know how hard it will be to leave Bali."

Gue paling nggak suka kalau Lukas udah nyinggung masalah ini. Gue tahu dia bakal balik ke Jerman, tapi itu kan masih Juni. Masih empat bulan lagi. Nggak perlu disinggung terus.

"Will you miss ... us?"

Gue nggak bisa ngomong 'will you miss me' karena gue nggak mau Lukas punya asumsi kalau cuma gue temennya di Bali yang bakal dia kangenin.

"Pasti! That's why I said, it will be hard for me to leave Bali. So many good friends here and you, Rena. You've helped me a lot."

The moment when he looked at me and gave me his slight smile, I swore I could do stupid things. This moment, I realized that this man, has taken my breath away. I'm in love with him!

Gue cuma bisa nelen ludah, nggak tahu musti ngapain. Gue sama Lukas udah sering pergi berdua, ngobrol berdua, tapi kali ini rasanya beda. Just different. Jantung gue rasanya mau copot. This could be the moment I've been waiting for.

Entah apa yang ngerasukin gue, sampai akhirnya gue ngulurin lengan gue dan ngebiarin jari gue ended up on his lips. Dengan lembut, gue bersihin sisa krim yang sepertinya masih nempel disana. But it's not that. The intimacy. Rasanya, belum pernah gue seintim ini sama cowok mana pun, for just doing this. Letting my fingers touched his lips ... Oh my God!

Lukas juga cuma diam. Kami saling tatapan dan tubuh gue tiba-tiba udah makin deket aja sama tubuh Lukas. But, when I drew my face closer, Lukas held my hand and shook his head.

"I can't do this to you, Rena."

Tatapan gue ke Lukas sekarang berubah jadi tatapan nggak ngerti maksud perkataannya. Our bodies were still close, our sights were still locked, but there's something else in the way he looked at me. Dan cara Lukas megang tangan gue. Something ... just doesn't seem right, even though I wanted it to be extremely right. Even though the moment WAS right.

"Kenapa?"

Gue liat Lukas setengah yakin. Kayak ada yang pengen dia bilang tapi masih nggak yakin. Apa Lukas udah punya cewek? Dan dia pengen ngasih tahu gue sekarang pas gue ngerasa we had our moments? Lukas masih belum bilang apa-apa dan ini nyiksa banget. Gue kutuk juga cupid biar tangannya buntung.

"My heart is set on someone else. I'm sorry. I didn't mean to hide it from you. I was just ... wating for the right time."

Gue cuma bisa nelen ludah sebelum narik lengan gue dari Lukas.

Pengen banget gue bilang 'I'm sorry' tapi gue sama sekali nggak nyesel udah ngelakuin apa yang tadi gue lakuin. Gue cuma ... masih belum siap buat denger apa yang mau Lukas bilang. I know, he'll say something.

"I think, it's the right time to let you know, Rena."

Gue masih diem. Nggak tahu musti ngapain. Munafik kalau gue bilang nggak kecewa. But I have to hear what he's going to say. Paling nggak, kalau gue tahu siapa cewek yang berhasil dapetin hati Lukas, gue bisa agak tenangan dikit. I could be wrong, though. Bisa aja gue malah makin getol buat dapetin Lukas. Love is blind and all in love is fair. Dan saat ini, gue udah buta.

"Who is she?"

Gue sama Lukas saling pandang. Lukas, masih keliatan antara yakin dan nggak buat ngasih tahu gue, yang justru makin bikin gue penasaran. Just tell me who is that fucking bitch, Lukas! So I could slap her face and tell her to go to hell.

Lukas ngalihin pandangannya dari gue sebelum balik lagi natap gue. "It's ... Satya, Rena. It's not a she and will never be."

Fuck you, Lukas!

Kalimat pertama yang terlintas di pikiran gue begitu Lukas nyebut nama Satya.

Umpatan dalam hati gue itu jelas nggak akan ngaruh apa-apa. Gue masih berharap salah denger. Gue masih berharap kalau Lukas nggak serius sama apa yang baru dia bilang. But, judging from his expression, there's no way he's kidding about what he just said. Satya? Kalau Lukas bilang dia gay, I would STILL be fine. Dia nggak cuma bilang kalau dia gay, tapi jatuh hati sama Satya, sahabat gue? That's unacceptable! That's really really unacceptable! Gue nggak terima. This is absurd!

"Thanks for being honest with me, Lukas."

Instead of showing my disagreement, I became a hypocrite by saying those words. Pikiran gue nggak bisa nemuin kalimat yang pas buat ngungkapin apa yang gue rasain. I am furious! Lukas is in love with fucking Satya!

"I'm sorry."

Gue ngalihin perhatian gue dari Lukas ke arah tembok di seberang kolam renang. Now, I wish that water in the pool would drown me. Swallow me. Or swallow Lukas and his fucking heart for Satya!

Bayangan Satya muncul di pikiran gue dan sekarang, gue tahu dengan jelas apa yang coba gue cari pas liat Satya dan Lukas di Balangan waktu itu. At that time, I thought, MAYBE Lukas was gay and he COULD BE attracted to Satya. It was JUST A THOUGHT! Tapi, seiring dengan seringnya gue keluar sama Satya dan Lukas, gue bilang ke diri gue sendiri kalau itu nggak mungkin. They're friends, nothing more than that. Dan jelas, gue salah besar. Ini bener-bener kejutan. What the fuck is going on in here?

Fuck you both!

Ternyata, gue salah besar. Gue mustinya percaya dan nggak pernah lepas dari feeling gue waktu itu.

"Kamu pasti kaget, dan aku nggak salahin kamu, Rena. Satya is your best friend. Ada sesuatu dalam diri Satya yang nggak bisa aku tolak. It just happened like that. I can't help myself. Love always comes uninvited. In the most unbelievable situation. Meskipun aku belum tahu apakah Satya sama denganku atau nggak. Kamu tahu maksudku kan?"

Lo nggak perlu jelasin ke gue tentang cinta, Lukas. I know it better than you. Dada gue masih naik turun, entah karena gue marah atau karena gue masih kaget atau karena simply gue nggak mau nerima fakta yang baru gue denger.

Gue ngerti apa yang lo maksud, Lukas. Gue ngerti banget. He is gay, Lukas. I hope you know that.

But....

Pas gue ngeliat Lukas lagi, sesuatu dalam diri gue berontak. Tiba-tiba aja, gue tahu musti bilang apa ke Lukas. Fuck everybody! Fuck Satya! Fuck Lukas!

"Find another man, Lukas, before that feeling for Satya is getting deeper."

Lukas cuma bisa natap gue dan diem, seolah dia nggak nyangka gue bilang kayak gitu. Well, sorry to say, Lukas, that's not what you're going to hear.

"He has someone else?"

Gue gelengin kepala gue. "He's not gay, Lukas, if that's answered your question. I just don't want you to be brokenhearted by knowing it from someone else. I know Satya for years. He's straight."

There you have it!

I decided to be the queen of the bitch by telling the biggest lie in my life to Lukas. Let Lukas find another man and I'll be so damn happy knowing that man is not Satya. Call me whatever names you want, but, I've made my decision.

Kalau memang gue nggak bisa dapetin Lukas, then Satya juga nggak boleh. Egois? Then be it! I don't give a shit of what Lukas is feeling. Dia nggak boleh tahu kalau Satya itu juga cowok kayak dia. Gue nggak bakal rela ngeliat mereka berdua jadian. Like, never! Gue milih jiwa gue kebakar di neraka, daripada musti liat mereka bahagia.

"Oh."

Cuma itu yang keluar dari Lukas dan gue juga cuma bisa nelen ludah.

"I'm sorry I have to tell you that, Lukas."

Lukas cuma senyum tipis. "You did the right thing, Rena. Even though I'm not sure how to handle this right now."

Gue ngulurin lengan gue dan ngeremas tangan Lukas. "I'm here."

Lukas ngedarin pandangannya ke kolam renang dan kalau bisa, gue pengen banget tahu apa yang dia pikirin. Tapi, gue tahu, saat ini gue nggak boleh ceroboh. Lukas probably is in shock and I just want him to know that I'm still here.

Gue kemudian liat Lukas mandang gue dan ngasih senyuman yang selama ini jadi titik lemah gue. "Thank you Rena. Thank you so much."

Gue cumabisa ngangguk.    

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top