RENA - CONFESSION

February 2013...


Gue berusaha buat hubungin Lukas via Skype karena tiba-tiba aja, gue nggak bisa nemuin dia di Facebook. Gue kirim e-mail, bilang kalau gue pengen banget ngobrol sama dia di Skype, tapi nggak ada balesan. Tiap hari gue mantengin Skype, berharap Lukas online. Tapi nol. Gue ngerasa jauh lebih baik kalau gue ngomong ke Lukas dulu sebelum cerita ke Satya. Somehow, gue masih nggak bisa ngebayangin diri cerita ke Satya semuanya. I know him so well hingga gue tahu reaksi macam apa yang bakal Satya kasih ke gue. Dia mungkin nggak bakal caci maki atau teriak-teriak ke gue, tapi sikap diem dia itu jauh lebih bikin gue ngeri. Pikiran kalau apa yang bakal gue bilang ke dia, bakal bikin persahabatan kami retak, bikin gue sedih.

Joddi sendiri udah nggak marah sama gue. He apologized for what he had said before, tapi dia tetep bilang kalau kami nggak akan nikah sebelum gue cerita ke Satya sama Lukas. He keeps on saying that everything is going to be fine. Bahkan gue sendiri nggak yakin semuanya bakal baik-baik aja.

Clock is ticking dan gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Gue masih pengen nikah sama Joddi sesuai dengan rencana sebelumnya. Siap atau pun nggak gue ngadepin Satya, ngebayangin gue nikah sama Joddi, ngasih gue kekuatan buat berani. Rasanya kayak mau ke sidang yang gue tahu, satu-satunya hukuman yang bakal gue terima adalah hukuman mati. At this point, I'd rather lose Satya than Joddi.

Sejak dari rumah ke vilanya Stefan, gue berpikir buat nunda ini. I still have tomorrow. And the day after. Tapi gue nggak mau ngecewain Joddi dan harus bohong lagi sama dia. So, I kept on driving.

Sesampainya di vila, gue masih nggak yakin mau masuk atau nggak. Gue memang sengaja nggak ngasih tahu Satya kalau gue mau dateng, karena tahu, Satya pasti di rumah pagi-pagi begini. Gue cuma butuh ngomong sama dia berdua, dan vila Stefan adalah tempat yang pas. Semoga Stefan nggak di rumah. Beberapa kali gue ketemu dia, gue tahu Stefan itu bukan cowok biasa. His calmness, makes me nervous. Gue nggak tahu gimana ngejelasinnya, tapi gue selalu ngerasa nggak nyaman ketemu Stefan seorang diri.

Gue narik napas panjang sebelum mencet bel dan berharap Satya langsung yang bukain pintu. Gue pengen ini cepet kelar dan apa pun reaksi Satya, gue harus siap.

This is hard....

Gue langsung nelen ludah begitu tahu Stefan yang bukain pintu.

"Rena?"

Gue nggak nyalahin Stefan kalau dia kaget ngeliat gue pagi-pagi udah di depan pintu vilanya di daerah Kerobokan. Sekalipun begitu, Stefan udah rapi. Pakai kemeja cokelat muda lengan panjang sama celana bahan broken white. Dari cerita Satya, gue tahu kalau Stefan ini memang rapi banget orangnya. Nggak heran, dia cocok banget sama Satya.

"Stefan, Satya di rumah nggak?"

"Satya kebetulan baru pergi sepuluh menit yang lalu ke Uluwatu. Ada wedding yang harus dia isi sore ini, jadi dia mau sound check dan memastikan semuanya beres. Kamu tahu Satya seperti apa kan?"

Gue cuma senyum dan ngangguk. "Kalau gitu, gue mending balik aja. Harusnya gue telepon dia dulu tadi."

"Come on in, Rena. Let's have coffee."

Gue nggak tahu kenapa nggak nyiapin diri buat kemungkinan ini. Undangan Stefan bisa jadi bikin gue makin ragu buat ngasih tahu Satya tentang Lukas. Kenapa? Karena gue bakal ngadepin cowok yang cinta setengah mati sama Satya dan betapa bahagianya mereka. Apa yang bakal gue bilang punya kemungkinan ngehancurin itu semua. Or, it could do the opposite. Tapi gue nggak mau duduk sama Stefan aja. Just the two of us. Gue bisa kehilangan keberanian.

"I wish I could Stefan, tapi gue harus pergi. Urusan wedding ini bener-bener bikin pusing."

Gue harap, alasan wedding ini cukup kuat.

"Hanya sebentar. Jarang-jarang kita ngobrol berdua. Saya mau tahu beberapa hal tentang Satya dari kamu," balas Stefan sambil senyum.

Kali ini, gue ngerutin dahi. Apa lagi yang pengen dia tahu? They've been living together for more months. Apa lagi yang Stefan belum tahu?

"Lo mau tahu apa lagi tentang Satya? Gue rasa, semua tentang Satya, lo pasti udah tahu. You guys have been living together! What else do you want to know?"

"Please?"

Gue mandang Stefan dan akhirnya nganggukkin kepala. "Bentar aja ya?"

Begitu gue setuju, ada sesuatu yang bikin gue ngerasa nggak enak. I don't know. That kind of feeling when you know something is just not right. Gue harap itu cuma perasaan gue aja.

Setiap kali ke sini, gue selalu ngerasa ada di dunia lain. Bukan horor maksud gue, semua yang ada di tempat ini screams vintage, old, classic. Hampir setiap sudut, gue pasti ngeliat sesuatu yang unik. Sebagai pemilik RETRO, gue awalnya nggak berharap akan ngeliat sesuatu yang ekstrem kayak gini. Pas gue pertama kali ke sini, harapan gue itu kedengeran konyol banget. Apalagi dari cerita-cerita Satya, gue tahu kalau Stefan memang suka ngumpulin benda-benda antik, terutama ngerawat benda-benda peninggalan keluarganya.

Kami ngelewatin ruang tamu dan ruang tengah buat ke teras belakang. Tempat gue dan Satya biasa ngobrol karena tempat itu sejuk banget. Gue langsung duduk di kursi dan ngeliat Stefan minta pembantunya buat bikin dua kopi. Satya is a lucky one. Gue seneng akhirnya dia nggak nyia-nyian cowok kayak Stefan.

"Saya rasa, kamu ke sini tanpa memberitahu Satya, pasti ada sesuatu yang sangat penting. A secret, maybe?" tanya Stefan ringan, hampir seperti mengajukan pertanyaan itu sebagai sebuah canadaan.

Gue sama sekali nggak nyangka kalau Stefan bakal langsung nembak gue dengan kalimat kayak gitu. Jelas gue gelagapan karena Stefan kayak tahu kalau gue ke sini karena ada yang mau gue ceritain ke Satya. Ini yang gue nggak suka cuma berdua sama Stefan. He's terrifying without having to intimidate me.

"Nggak ada rahasia apa-apa, Stefan. Gue pikir, Satya pasti di rumah jam-jam segini."

Kami diem. Gue tahu Stefan ngamatin gue, seperti berusaha buat ngebaca pikiran gue. Gue seperti dianalisa dan gue paling benci dianalisa. Apalagi sama cowok temen baik gue pas gue mau bilang ke temen baik gue itu kalau selama ini gue bohong sama dia. How does that make me feel?

Mungkin, ini perasaan aneh itu yang gue rasain tadi.

"Rena, saya bukan paranormal, tapi saya cukup bisa membaca orang. I've been dealing with people for years. Saya bukannya ingin membaca pikiran kamu, tapi kalau ini tentang Satya, saya ingin tahu. Is there anything you would like to tell him that I'm not supposed to know?"

Gue sama Stefan saling pandang. Gue harusnya nggak nerima tawaran Stefan buat masuk. Harusnya gue ngotot kalau gue harus pergi. Now, I'm trapped in this conversation that I don't wanna have with him. I just don't want to lie to them. No more lies.

Haruskah gue cerita ke Stefan tentang Lukas? Rasanya bukan keputusan yang bener kalau gue harus cerita ini ke Stefan. Not only he is Satya's boyfriend, but because it has nothing to do with him. Masalah Lukas adalah masalah gue sama Satya. Gue nggak mau nyeret Stefan ke situasi ini, karena dia justru harusnya nggak boleh tahu. It's just between me and Satya.

"Nggak semuanya tentang Satya lo harus tahu kan?"

Stefan ngehela napas sebelum ngangguk. "Kamu benar. Setiap orang memang berhak punya rahasia. Saya juga punya. Tapi saya mencintai Satya, Rena. Jika ada sesuatu yang buruk yang ingin kamu sampaikan ke Satya, kamu bisa cerita ke saya dan biarkan saya tahu lebih dulu. Mungkin memang tidak seharusnya seperti itu. Kita berdua tahu Satya bisa jadi sangat menutup diri jika ada sesuatu yang mengganggunya. Saya berusaha untuk melindungi Satya dari apa pun yang bisa membuatnya sedih."

Gue cuma bisa diem. Kebetulan, pembantu Stefan baru aja ngeletakkin kopi di hadapan gue, jadi gue bisa sedikit ngalihin perhatian dari kalimat Stefan barusan. He's right. Setiap orang memang berhak punya rahasia dan Satya memang bisa jadi sangat tertutup. Dan itu berarti, gue nggak harus cerita ke Stefan kan? Gue cuma nggak mau Stefan jadi berasumsi yang macem-macem tentang Satya sama Lukas. Gue paling nggak mau kalau ini bikin hubungan Satya sama Stefan jadi berubah. Udah cukup gue jadi bitch buat Lukas dan Satya. I don't want to be a bitch in Satya's relationship with Stefan.

"Gue nggak tahu sedalam itu cinta lo sama Satya."

"Tell me what is it, Rena. It must have been something that will upset Satya."

Stefan natap gue dan entah dari mana, gue tiba-tiba ngerasa kalau nggak ada salahnya gue cerita ke Stefan. Sebagai pembuka. Kalau Stefan tahu, bakal lebih gampang buat gue ngomong ke Satya. Gue mungkin kedengeran plin-plan, tapi gue tahu, orang kayak Stefan ini nggak bakalan berhenti nanya sebelum dia dapet apa yang dia mau. Jadi marketing sekian tahun, gue juga bisa baca orang. Paling nggak, kalau Stefan tahu, gue bisa bilang ke Stefan kalau sekarang masalah Lukas ini nggak perlu jadi besar karena Lukas sendiri juga udah punya pacar dan Satya udah sama dia. Paling nggak, Stefan tahu dari gue, sumber dari semua kebohongan ini.

"Kalau lo maksa, oke. Gue bakal cerita. Tapi lo mau janji, setelah gue cerita, lo nggak bakal mikir yang macem-macem tentang Satya."

Gue ngamatin Stefan dan dia ngangguk.

Gue narik napas sebelum gue mlai cerita gue soal Lukas. "Gue bohong sama Satya."

And so the stories begin....

Gue nggak nyangka kalau Stefan bakal setenang ini denger cerita gue. Gue bahkan nggak ngeliat emosi apa pun dari dia. Dia cuma diem dan ngangguk sambil natap gue selama gue cerita, gimana Satya sama Lukas ketemu dan kenapa gue sampai bohong ke mereka berdua. It's more like one way conversation karena Stefan kayak patung, nggak nyela atau ngasih gue pertanyaan. Jujur, ada sedikit perasaan lega karena gue cerita ini ke Stefan. Memang nggak akan selega kalau ngomong langsung ke Satya, tapi paling nggak, Stefan tahu kalau Satya dan Lukas nggak pernah ada apa-apa, selain perasaan suka yang sama-sama mereka nggak tahu. It's me, the bitch, the villain, the antagonist in the story between Satya and Lukas. Dan pas gue selesai, Stefan cuma nyeruput kopinya. Emotionless.

"Jadi, kamu mau cerita ke Satya tentang ini?"

Gue ngangguk. "Joddi ngancem buat nunda pernikahan kalau gue nggak cerita ke Satya sama Lukas. Masalahnya, gue nggak bisa kontak Lukas. E-mail gue nggak ada yg dibales, Skype dia nggak aktif, gitu juga Facebook-nya. Gue pikir, bakal ngerasa lebih baik kalau gue cerita ke Lukas dulu baru cerita ke Satya. But, the clock is ticking dan gue nggak mau nunda terus-terusan soal ini."

"Saya mungkin nggak akan mengerti bagaimana kamu bisa melakukan ini ke dia, Rena. Tapi saya senang kamu cerita semuanya ke saya. Saya juga nggak tahu bagaimana perasaan Satya ke Lukas sekarang, meski kamu bilang Lukas sudah punya pacar. Tapi siapa yang tahu perasaan orang? Sekalipun itu Satya. Kalau tahu, Satya mungkin akan marah, mungkin dia akan menganggap ini nggak ada artinya lagi, tapi reaksi dia bisa jadi lebih buruk dari apa yang kamu kira. You know Satya well enough."

Gue lagi-lagi cuma bisa ngangguk. "Gue udah siap kehilangan Satya, Stefan. Gue tahu, apa yang gue lakuin ini memang nggak bener dan gue sadar dari awal, kalau gue bisa kehilangan Satya. Selama ini gue takut kehilangan Satya. Tapi sekarang ini, Joddi adalah prioritas dalam hidup gue. Sekalipun gue nggak pernah pengen kehilangan Satya, gue lebih nggak bisa kehilangan Joddi. Gue benci harus milih salah satu, tapi gue tahu, cuma masalah waktu sebelum gue harus cerita ke Satya. Dan gue nggak mau sampai gue tua buat ngaku ke dia."

Stefan diem.

"Saya jadi ingat, satu malam ketika Satya baru bergabung dengan RETRO, dia kembali ke kafe untuk mencari gelang dari anyaman kulit. Ketika saya tanya, apakah gelang itu dari seseorang yang spesial, Satya hanya bilang gelang itu pemberian teman dari Jerman. Bahkan, dia masih memakainya ketika kami sudah tinggal bersama. Baru beberapa minggu setelahnya, saya tidak melihat lagi dia memakai gelang itu. Mendengar cerita kamu, semuanya jadi masuk akal. Gelang itu pasti pemberian Lukas."

Gelang? Gue malah nggak tahu kalau Lukas ngasih sesuatu ke Satya. Kapan? Jadi Satya juga bohong waktu gue nanya dia beli gelangnya di mana dan nggak ngasih, pas gue pengen nyoba pakai. Satya, lo kenapa reckless banget gitu sih?

"Dia udah nggak pernah make gelang itu lagi kan?"

Stefan menggeleng. "Saya tidak meragukan Satya, kalau dia sudah melupakan perasaannya ke Lukas. Saya takut kehilangan Satya kalau kamu cerita sekarang. Saya belum siap kehilangan dia, Rena."

Sekarang, gue ngerasa sangat sangat bersalah cerita ke Stefan. Nggak berhenti gue ngutukin diri sendiri, betapa gobloknya gue terpancing buat cerita ke Stefan. Now, it's too late to take everything back.

"Gue nggak bermaksud bikin lo kehilangan dia, Stefan."

Stefan cuma senyum. "Saya tahu."

Gue sama Stefan kemudian cuma diem dan buat ngatasin rasa canggung, gue ngeraih kopi yang udah mulai agak dingin. Gue benci kopi dingin, tapi sekarang gue nggak peduli. Lagi-lagi, gue udah ngelakuin hal yang bodoh.

"Rena, kamu bisa bilang ke Joddi kalau sudah cerita ke Satya dan bilang, reaksi Satya ternyata tidak sesuai dengan yang kamu bayangkan. Kamu bisa kan berbohong ke Joddi? Biar saya yang nanti cerita ke Satya. Saya yakin dia bisa memahaminya. Dia tidak bisa marah sama saya terlalu lama."

"Maksud lo apa? Gue cerita ini karena gue nggak mau ada kebohongan lagi, tapi lo malah nyuruh gue bohong sama calon laki gue?"

"Saya tahu betapa kamu ingin Satya jadi bagian dari hari besar kamu. Kamu pasti sadar, kalau kamu yang cerita, ada kemungkinan Satya tidak akan mau hadir di pernikahan kamu. Saya yakin bisa meredam emosi Satya. Saya tidak mau pernikahan kamu ditunda hanya karena ini, seperti saya tidak mau Satya absen di pernikahan kamu. Let me handle this, Rena. Saya juga tidak mau Satya membenci kamu."

Gue cuma bisa diem. "Lo nggak khawatir sama sama Satya, meskipun lo sendiri nggak tahu apakah Satya masih nyimpen perasaan ke Lukas atau nggak?"

Stefan ngangguk. "Perasaan saya ke Satya jauh lebih besar daripada harus merasa cemburu atau marah sama apa yang baru saya dengar. Lagipula, ini bukan kemauan Satya kan? Saya yakin, Satya sudah bisa melupakan perasaannya ke Lukas."

Stefan ini beneran ada ya? Gue kok masih ngerasa kalau cowok kayak Stefan ini nggak pernah ada. Gue belum pernah ketemu cowok yang emosinya bisa dikontrol kayak Stefan sekarang. Gue nggak bisa baca emosi dia. Kalau misalnya dia marah atau cemburu, gue nggak akan pernah tahu karena dia sama sekali nggak nunjukkin tanda-tanda itu. But, Stefan is right. Gue masih mau Satya hadir di kawinan gue. Selfish as it may sound, kehadiran Satya bakal sangat berarti buat gue.

"Tapi lo janji sama gue kalau lo bakal cerita ke Satya?"

Stefan ngangguk. "Saya janji, Rena. Dia akan tahu tentang Lukas. Kalau kamu masih mau cerita sendiri ke Satya, saya nggak keberatan untuk ada di antara kalian. Saya hanya tidak mau Satya sedih dan kepikiran."

"Thank you, Stefan."

Dari sekian banyak kalimat yang pengen gue bilang ke Stefan, gue malah cuma bisa bilang terima kasih. Gue percaya sama Stefan kalau dia bisa cerita masalah Lukas ini ke Satya dengan caranya sendiri, sekalipun ini bakal bikin gue jadi pengecut karena nggak berani ngomong langsung ke Satya. Gue nggak mau bohong lagi ke Joddi, jadi gue bakal bilang ke dia kalau gue cerita sama Stefan. Gue harap itu cukup buat Joddi biar nggak nunda lagi pernikahan kami.

Satu beban berat udah terangkat dari pundak gue. Gue harap, ngaku ke Lukas juga nggak akan. Akan lebih gampang kalau dia benci sama gue, karena gue berhak dapet kebencian itu dari Lukas. Buat sekarang, fokus gue cuma bulan depan, to be Mrs. Joddi Spencer.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top