RENA - BIG DAY
March 2013...
Gue ngeliat tampilan gue di cermin. Gaun putih ini khusus didesain buat gue, dan suara ribut-ribut di luar yang dari tadi rasanya nggak ada jedanya, bikin gue agak gugup. All those months of preparation, all those endless arguing and discussions ... led to this moment. Gue nggak pernah nyangka kalau gue bakal berdiri di depan cermin, ngeliat diri gue kayak gini. Gugup tapi gue juga bahagia.
Sayup-sayup, gue bisa denger suara Satya dan betapa gue masih punya satu utang sama dia. Cerita ke Stefan masih belum cukup. Entah kenapa gue juga pengen ada Lukas di sini. Bukan karena gue masih ada feeling sama dia, tapi buat alasan yang sama kenapa ada satu yang kurang dari hari ini. Stefan berkali-kali bilang, kalau gue nggak usah mikirin Satya dan Lukas. He'll take care of it. Joddi knew that I haven't told Satya and Lukas. Dia cuma diem setelah cerita kalau gue cerita ke Stefan. Tapi setelah itu, Joddi cuma bilang, kapan pun gue siap buat cerita, dia bakal ada di sisi gue. Kekhawatiran gue nggak kejadian. He didn't postpone our wedding.
Gue ngehela napas panjang tepat ketika gue denger ada ketukan di pintu gue.
"Mbak, udah siap?"
"Tunggu bentar."
Sekali lagi, gue ngeliat tampilan di cermin dan berusaha buat nggak mikirin apa pun kecuali Joddi. This moment is for him. For us. Not for Satya or Lukas. This is ours.
Gue akhirnya ngebuka pintu dan wedding planner gue, dengan senyum lebar dia, udah nunggu.
"Jangan gugup, Mbak. Everything is going to be extremely fine."
Gue cuma ngangguk tepat ketika bokap gue jalan ke arah gue dan ngulurin lengannya.
"Putri Papa ini cantiknya ngalah-ngalahin Mama waktu muda dulu."
Gue cuma senyum pas bokap gue bilang kalimat itu sebelum nyium pipi gue. "Rena nggak perlu lapor Mama kalau Papa bilang gitu kan?"
"Bilang juga Papa nggak keberatan. Papa yakin, Mama kamu pasti akan bilang hal yang sama. Kamu siap?"
Sekali lagi, gue ngehela napas gue sebelum ngeyakinin diri gue sendiri. "Rena siap, Pa."
So, here we go.
Gue sebenernya nggak milih lokasi ini. Joddi bener-bener manjain gue soal lokasi. Dia nyuruh gue milih di antara tiga tempat: Bvlgari, St. Regis, atau Alila. Sebagai orang yang pernah kerja di hotel, gue tahu berapa rate di tempat-tempat itu. Gue sempet mikir kalau Joddi ini gilanya nggak ketulungan. Dan pas gue bilang kenapa dia milih tempat yang location-wise jelas breathtaking tapi price-wise bikin kantong jebol, Joddi cuma bilang: "For once in a lifetime, why should I save my money for one woman that I adore and love the most? You're going to spend my money anyway, so why don't we start it from our wedding?" jawaban ngawur itu langsung gue bales dengan gelitikin Joddi dan bikin dia berteriak minta ampun. I finally decided to have our wedding at Alila. Simply because I love the serenity of the place.
Dan kayak belum cukup Joddi ngabisin duitnya buat gue, he surprised me by a short trip to LA and took me to Vera Wang boutique. And yes, I'm wearing a Vera Wang dress right now. A Vera fucking Wang wedding gown! Cuma cewek nggak waras yang nolak gaun Vera Wang buat nikah. Gue nggak tahu harganya, karena Joddi beneran nyimpen soal harga ini dari gue. It must be couple thousands of dollars. Wedding planner gue sampai bilang ke gue kalau gue nggak seribet calon-calon lain yang pernah dia tanganin. Gue udah bilang apa yang gue dan Joddi mau, gaun dan tempat udah dipesen, ngapain juga harus cerewet soal hal-hal kecil? Gue berusaha buat nggak terlalu stres mikirin hari ini. Sure, ada saat-saat dimana gue kesel dan Joddi jadi pelampiasan, tapi nggak terlalu sering. Gue lebih ngerasa gugup daripada stres.
"Papa seneng kamu akhirnya nikah, Rena. Lega rasanya."
Gue cuma bisa senyum karena jantung gue udah berasa kayak lari maraton, padahal gue udah minta sama bokap gue supaya nggak jalan cepet. Pintu wedding venue udah keliatan dan gue sayup-sayup, bisa denger suara Satya yang nyanyiin At Last milik Etta James dengan gitarnya. Gue memang mau Satya yang nyanyi pas gue jalan di altar. Gue nggak mau orang lain ngiringin momen bersejarah dalam hidup gue. Satya nunjukkin beberapa lagu yang biasa dia nyanyiin buat wedding dan sekalipun gue pengen banget A Thousand Years-nya Christina Perri buat jadi lagu pengiring, Satya langsung nunjukkin ekspresi nggak setuju. Kata dia waktu itu: 'Boring, boring, boring, and nothing special' So, he suggested me some other songs and when he showed me the lyrics of At Last, I knew right away that I wanted that song. So, that's finally the song he is playing right now.
At last
My love has come along
My lonely days are over
And life is like a song
Dan pas ngelangkah pake Stuart Weitzman ke altar, gue makin gugup liat orang-orang yang merhatiin gue. Gue sama Joddi cuma ngundang 50 orang buat momen ini. Kami nggak mau terlalu banyak orang, since it's a sacred moment. Gue sama Joddi cuma mau orang-orang yang bener-bener punya arti dalam hidup gue dan Joddi ada di sini. Kalau resepsi ntar, gue sama Joddi ngundang sekitar 200-an orang. Mostly our colleagues and friends. Dan Joddi orangnya memang nggak ribet. Bahkan, dia minta pendapat Satya sama Stefan buat baju dia. How weird was that?
Dan perlahan, gue ngeliat Joddi yang luar biasa tampan. I've seen him in tux before, when we had to attend one of his friends' weddings, tapi gue nggak pernah nyangka, kalau dia bakal keliatan jauh jauh jauh lebih tampan sama baju yang dia pakai sekarang. And that smile. Gue memang one lucky bitch for having him as my husband-to-be. His face glows, the white tux he's wearing ....
Gue sempet ngelirik ke Satya yang cuma ngacungin jempol dan senyum. Stefan juga. Dia bener pas bilang kalau gue cerita ke Satya, gue nggak akan ngeliat sahabat gue itu di sini. Mungkin kedengerannya gue picik dan munafik banget, tapi kehadiran Satya memang bikin gue seneng, terlepas dari rahasia tentang satu rahasia itu.
Bokap nepuk tangan gue begitu jarak gue sama Joddi udah deket.
"Papa sama Mama sayang kamu, Rena."
Gue cuma bisa ngangguk sebelum lengan Joddi terulur.
"You look extremely beautiful, Rena," ucap Joddi pelan.
I never thought that I would love a man like this in my life, a man that I would finally spend my lifetime with. I guess, Joddi is the perfect gift from God to me.
"I love you," balasku pelan sebelum kami saling berhadapan.
***
I'm officially a wife!
Gue nggak kaget kalau banyak temen-temen gue yang iri sama gue hari ini. Banyak dari mereka yang bilang, pernikahan gue ini sempurna. Like, super perfect. Yang paling bikin mereka iri, tentu aja gaun Vera Wang gue. Berapa banyak orang yang bisa pakai Vera Wang on their big day? At least di Indonesia, nggak banyak. Hell! Di luar pun, gue yakin nggak banyak yang bisa pakai Vera Wang. Selain itu, mereka juga masih nggak percaya gue akhirnya nikah. To a guy like Joddi!
Gue yakin, gue bakal bangun siang besok. Ini aja gue udah capek banget sebenernya. Bukan cuma badan, tapi juga batin gue. I really really need a long sleep.
"Aku nggak akan pernah bosen bilang kalau kamu cantik banget, Rena. Super gorgeous!"
Gue cuma bisa nepuk pundak Satya pas dia bilang gitu. Sejak pagi ini, gue belum sekalipun ngobrol sama Satya dan baru pas resepsi, gue bisa sedikit nyuri waktu buat ngobrol sama dia, itupun setelah sebagian besar tamu pada pulang. Masih ada cukup banyak tamu, tapi gue bisa bilang kalau the big crowd has passed.
"Cowok lo juga keliatan cakep, Sat. Gue nggak pernah nyangka kalau Stefan bakal keliatan begitu gantengnya pakai pakaian formal. Lo buruan nikah gih sama dia. Ntar gue dateng deh."
Satya cuma senyum. "Stop it, Rena! Buat aku, having him is more than just enough. Lagipula, aku yakin Stefan bukan orang yang mikir kalau nikah itu penting, It's complicated."
"Lo itu ya?" bales gue sambil berdecak.
Gue bisa bilang kalau Stefan is truly, madly, deeply in love with Satya. Gue nggak pernah ngomongin soal Lukas lagi, jadi gue nggak tahu gimana perasaan Satya sekarang. Tapi gue bakal bedah otak Satya kalau dia sampai bilang ke gue masih nyimpen perasaan ke Lukas. Stefan is the kind of guy that most gay guys want to be with. Mateng secara usia, mapan, dan dia cukup ganteng. Apalagi sekarang, ketika dia udah ganti pakaian formalnya sama kemeja merah muda dan celana putih. Kalau Stefan straight, udah pasti jadi cowok inceran gue. Gue bilang Stefan cukup ganteng, karena buat gue, cowok paling ganteng ya suami tercinta gue. Did I just say, my lovely husband? Holy crap! Gue tahu, Satya nggak pernah peduli sama hal-hal yang berhubungan sama fisik atau materi, tapi Satya jadi orang yang goblok banget kalau sampai saat ini, masih nyimpen Lukas di hati dia, sedikit pun! Lagipula, Lukas sepertinya juga udah ngilang dari peredaran. E-mail gue aja nggak pernah ada yang dibales, sekalipun gue bilang mau nikah.
"Belakangan, Stefan jadi sering ngasih kejutan-kejutan kecil, Rena. Dia jarang ngasih kejutan-kejutan gitu. Kira-kira kenapa ya? Itu bukan tanda-tanda kalau dia mau ninggalin aku kan?"
Kali ini, gue cuma natap Satya bengong. See? Bahkan, kejutan-kejutan yang baru dia bilang, bikin Satya mikir yang nggak-nggak. Pengen banget gue getok kepala dia sama heel Manolo Blahnik yang dikasih Carla, as part of her wedding gift to me, selain gaun biru langit Marchesa yang lagi gue pakai buat resepsi sekarang. Kenapa coba, dia mikir segitu jauhnya kalau cowoknya ngasih kejutan?
"Otak lo kayaknya emang perlu dioperasi deh, Sat. Lo itu bener-bener keterlaluan nggak bersyukurnya. Stefan is madly in love with you! Lo juga tahu itu. Kejutan-kejutan itu berarti dia makin cinta sama lo dan gue nggak ngeliat itu sebagai hal yang aneh. Udah deh, lo itu jangan mikir yang aneh-aneh. Atau perlu gue getok kepala lo pake heel gue ini?" Satya menggeleng. "You're happy with him, aren't you?"
Gue ngerasa penting buat nanya pertanyaan itu, karena gue beneran nggak mau ngerusak pernikahan gue sama perasaan geregetan karena sahabat gue sendiri, nggak bahagia sama apa yang dia miliki disaat gue ada di puncak kebahagiaan. I won't accept that fact lightly.
"Yes, I'm happy. Mungkin, kamu bener. Nggak seharusnya aku mikir yang aneh-aneh."
Panjang umur.
Stefan jalan ke arah gue dan Satya. Dia langsung ngulurin tangannya ke gue.
"Rasanya, tidak lengkap kalau saya belum dansa sama the most beautiful woman today. May I? Saya harap, Satya tidak cemburu kalau saya menculik sahabatnya sebentar."
Gue cuma bisa ketawa kecil dan ngeliat Satya yang juga senyum denger ucapan Stefan.
"Udah, sana Sat! Hush! Hush!"
Gue sama Stefan langsung jalan ke tengah ruangan dan Joddi cuma bisa ngasih senyum ke gue. My husband is so fucking handsome!
"Saya harap, kamu tidak memikirkan apa pun saat ini, Rena. Karena kalau iya, saya tidak akan segan minta Joddi membuat kamu mabuk malam ini."
Gue tahu apa maksud kalimat Stefan. Dan sekalipun pikiran tentang Satya dan Lukas sempet mampir, gue bisa bilang kalau sejak gue dan Joddi resmi jadi suami-istri, gue nggak mikirin itu sama sekali. Simply because I don't want to.
"Lo nggak usah khawatir, Stefan. Gue terlalu bahagia buat mikirin hal lain."
"Glad to hear that."
A Thousand Years memang akhirnya masuk di daftar lagu yang harus ada di nikahan gue. Dan sekarang, band yang gue sewa (karena gue juga nggak mau Satya nyanyi di sepanjang acara. He's a special guest) lagi mainin itu. I can tell, from his move, that Stefan is a good dancer.
"Stefan, gue boleh minta satu hal sama lo nggak?"
"Jika ini menyangkut Satya, kamu boleh minta lebih dari satu," jawabnya sambil tersenyum.
"Gue bakal ke LA dan gue yakin, Satya pasti sedih. Dia bakal butuh waktu buat adaptasi sama gue yang jauh dari dia. Gue pengen lo bikin dia seneng dan sedikit ngelupain soal gue dan dia yang jauhan. Take him somewhere for a holiday. Gue tahu, Satya pengen banget jalan-jalan. Gue percaya, lo bakal bisa bikin dia ceria lagi. Atau, lo ajak dia ke Belanda, keliling Eropa kalau perlu. Satya pasti bakal seneng."
Gue memang sengaja ngomong ini ke Stefan karena tahu, kalau Satya bakal butuh waktu buat nerima kalau gue ada di LA. Gue cuma nggak mau Satya sedih karena ngerasa nggak punya temen lagi. Cuma Stefan yang bisa gue andelin but hal ini. Dia bakal ngelakuin apa aja buat liat Satya seneng.
"I'll think about it, Rena. You don't have to worry Satya will be sad when you're not here anymore. Sure, he will miss you but I can promise you, he will be happy. Whatever it takes to make him happy."
Gue cuma bisa senyum denger kalimat Stefan. I trust him. Nggak ada keraguan sedikit pun kalau Stefan bakal ngelakuin itu.
This is my big day and I just want to be the happiest woman right now.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top