RENA - A WOMAN'S FEELING


"Sekarang rencana lo apa?"

Satya udah cerita ke gue tentang hubungannya sama Patrick yang akhirnya kaput. Gue lega akhirnya Satya putus dari Patrick, apalagi setelah tahu Patrick balik lagi sama mantannya. What a dick! Pardon my English. Tiga tahun jadi sahabat Satya, baru kali ini gue nemu ada laki-laki goblok yang selingkuh sama mantannya. Malah bagus sih mereka putus, gue cuma nggak rela Satya diputusin kayak gini.

"Maksud kamu?"

Satya banget! Sok nggak ngerti maksud pertanyaan gue.

"New boyfriend? Prince Charming, maybe?"

Gue liat Satya cuma ngasih senyum tipis. Pertanyaan gue nggak salah kan? Setelah putus, prinsip gue ya nyari cowok lagi. Apalagi gue tahu, putus itu kalimat yang nggak asing (forgive my sarcasm) di dunia gay kayak Satya. Meski gue tahu, Satya bukan penganut paham I'm-available-now-so-let's-fuck. Satya, lebih old fashioned masalah dating, apalagi pacaran. Gue sering nanya ke dia, sebenernya dia ini gay tulen atau jadi-jadian, kok beda banget sama gay-gay lain yang gue kenal dan pernah temuin.

"Kamu tahu aku butuh waktu buat recover dari Patrick."

"Oh please, Satya! Don't give me that bullshit recover crap. I don't buy that. Lo nggak butuh recover dari pria bajingan kayak Patrick. He's a total dick! Gue nggak ngerti jalan pikiran lo, Sat. Lo itu udah dibuat sakit ati sama dia. Nggak perlu deh, lo masih berusaha recover. Putar haluan aja deh lo, sekalian jadi cowok straight kalau gitu."

Satya cuma ngehela napas. Gue tahu ini pertama kalinya Satya ngalamin hal beginian. Dikhianati maksud gue. I believe, this is his first. Cuma ya, kalau sampai gara-gara Patrick, dia jadi males pacaran lagi selama bulanan atau tahunan, gue bakal jadi orang pertama dan satu-satunya yang bakal getokin kepala dia sampai otaknya bener lagi.

"Lukas keren juga ya main surfing-nya?"

Kali ini, gue nyerah deh ngasih tahu Satya. Terserah lo deh, Sat. Tapi, ucapan Satya barusan, mau nggak mau, gue harus setuju. Sekalipun itu cara dia buat ngalihin obrolan kami soal Patrick. "Banget."

Kami lagi di Balangan, nemenin Lukas yang lagi surfing. Sebenernya, rencananya cuma gue sama Lukas doang, but then, Lukas bilang, kenapa nggak ngajak Satya. I said, why not? Kebetulan pas gue tanya, Satya juga lagi bisa. So, we ended up here in Balangan.

Cuaca lagi cerah Sabtu ini. Ombak kayaknya juga lagi bagus banget buat surfing. Udah hampir sejam Lukas surfing, which means, udah hampir sejam juga gue sama Satya ngobrolin tentang... Satya dan kekolotannya soal pacaran itu. Belakangan, gue agak sibuk di hotel, jadi intensitas ketemuan gue sama Satya juga nggak banyak. Ngobrol di Skype atau YM sama ngobrol langsung, jelas beda.

"Kalian udah ke mana aja?"

"Maksud lo dengan kalian itu siapa?" tanya gue bingung.

"Kamu sama Lukas. Kos kalian deket, kerja di hotel yang sama. Wajar kan pertanyaanku?"

Sejujurnya, gue dan Lukas nggak sering ketemuan juga selain di hotel. Kadang-kadang aja, selain dinner, kami ke Hardy's buat belanja kebutuhan sehari-hari. Itu juga kalau pas jadwal kami nggak tabrakan. Lukas orang yang nyenengin dan gue nyaman sama dia. Cuma sebagai cewek, gue ngerasa kalau Lukas itu misterius. Gue nggak bisa baca emosi Lukas karena dia selalu jadi happy-go-lucky type of guy. Selalu senyum seolah semua baik-baik aja. Nggak ada kan orang yang baik-baik aja terus? I hate that kind of person. Gue jadi nggak bisa nebak suasana hati dia. Selama ini, I can proudly say that I'm pretty good at reading people's emotion.

"Belakangan lagi sibuk gila di hotel dan jadwal Lukas juga keseringan sore, jadi ya, nggak sering-sering juga gue keluar sama Lukas."

Sometimes, lying is better than telling the truth.

"Abis ini mau ke mana?"

"Gue sih nurut aja, nggak tahu Lukas. Lunch kali ya? Gue laper."

"Tempat biasa?"

Gue cuma ngangguk.

Perlahan, gue liat Lukas dengan santainya jalan ke pantai dengan menenteng surfing board-nya. Kombinasi air laut yang netes dari rambut coklat kemerahannya, tubuhnya yang basah serta senyumnya begitu liat gue sama Satya, bikin gue tiba-tiba sesak napas. Gue tahu, Lukas itu good looking. Gue nggak bandingin dia sama Alexander Skarsgaard atau Michael Fassbender ya, tapi buat ukuran bule Eropa, Lukas bisa dibilang bikin mata jadi seger. Mungkin bukan fisiknya aja yang bikin gue sekarang sesak napas, tapi juga personality dia. Dan senyumnya. Oh, crap! SOS! I'm in trouble!

Ini bukan pertama kali gue liat cowok keluar dari air dengan tubuhnya yang masih basah. Gue juga nggak tahu kenapa kali ini, punya efek yang beda ke gue. Mungkin, karena cowok itu Lukas? I don't know. Kali ini, ingatan gue dengan jelas ngerekam setiap gerakan Lukas. And I can't take my mind off of that image.

"Sori, kalian jadi nunggu lama," ucap Lukas begitu sampai di tempat gue dan Satya duduk.

Lukas langsung ngerebahin tubuhnya di sebelah gue dan mejamin mata. Gue cuma bisa nelen ludah ngeliat dada dia naik turun, berusaha buat ngatur napas.

"You're good, Lukas."

Gue masih diem sementara Satya berusaha buat ngebales ucapan maaf Lukas barusan, yang sama sekali nggak ada hubungannya. But, he's got a point and I agree. Gue tahu yang dimaksud Satya pasti tentang how good he is at surfing. Lukas ngebuka matanya sebelum ngeliat Satya.

"Thanks, Satya."

"Kalau menurut gue sih Satya jujur. Gue setuju sama dia."

Ucapan gue cukup buat bikin Lukas senyum. And I said the truth. Nggak banyak traveler yang gue temui, surfing-nya sejago Lukas. Kebanyakan dari mereka ke Bali buat belajar atau paling nggak, belum sampai levelnya Lukas. Ini kenapa gue jadi bandingin Lukas ya? Apa efek dia keluar dari air tadi masih bikin otak gue jadi fucked up?

"Kita ke mana habis ini?"

"Makan siang?" jawab Satya sekalipun nada suaranya lebih seperti butuh persetujuan daripada nanya.

"Yuk ah, gue laper. Makan di Mak Jo aja yang deket. Abis itu kita omongin lagi mau ke mana."

"Bentar lah Ren, Lukas juga baru keluar dari air. Biarin dia ambil napas dulu."

Gue mandang Satya. Dia ada benernya juga.

"Ya udah, gue beli minum bentar ya? Haus banget."

Gue langsung berdiri dan jalan ninggalin Satya dan Lukas. Beli minum ini sebenernya cuma alasan gue buat ngejauh dari Lukas. Kenapa? Seeing him laying down half naked and wet, will drive my mind wild. Gue cewek normal ya, jadi wajar kalau liat Lukas dengan posisi tidurannya itu serta bayangan dia keluar dari air, bikin gue jadi nelen ludah berkali-kali. Seebelum tangan gue jadi gatel dan ngelakuin yang nggak-nggak, mending gue ngejauh.

Gue langsung duduk di bangku -begitu masuk ke warung kecil sambil mesen jus jeruk- sementara pandangan gue nggak beralih dari Lukas yang lagi ngobrol sama Satya. Gue jelas nggak tahu apa yang mereka obrolin karena gue nggak punya pendengaran super kayak kelelawar. Gue liat Satya ketawa, Lukas juga ketawa. Gue? Cuma senyum.

I know I'm not a saint, bahkan bisa dibilang gue ini bitch. Terserah definisi lo atas kata bitch itu sendiri. Saat ini, momen ini, gue bisa ngerasain sesuatu yang bikin gue jadi kelimpungan. Gue bukan cenayang yang tahu masa depan orang bakal kayak apa, let alone, my own future. Cuma, gue selalu percaya sama naluri gue sebagai cewek.

Tangan gue ngelambai pas Lukas ngarahin pandangannya ke gue, with his million dollar smile-nya. Dibalik sunglasses yang gue pakai, dengan jarak yang cukup jauh dari Satya dan Lukas, gue ngerasa lega. Karena kalau gue ada di sana, gue pasti udah nggak fokus selain mandangin tubuh Lukas yang masih basah.

Jus jeruk gue udah tandas dan rasanya, perut gue udah nggak bisa diajak kompromi lagi. I need to eat. Soon.

Abis bayar minuman, gue langsung bangkit dari kursi dan jalan balik ke arah Satya dan Lukas yang masih asyik ngobrolin sesuatu. Sekali lagi, gue nggak punya pendengaran super kayak kelelawar, jadi gue nggak tahu mereka ngomongin apa.

"Udah siap pergi sekarang? Gue beneran laper nih."

"Are you really hungry, Rena?" tanya Lukas

Gue ngangguk. "Banget. Udah yuk ah!"

Tanpa nunggu Satya atau Lukas, gue jalan duluan ke parkiran. Balangan ini memang terkenal buat surfing, terutama yang udah mahir macam Lukas. Ombak di daerah selatan ini memang tinggi dan gede tapi karang di sini juga banyak. Jadi, kalau belum jago, mending jangan surfing di sini. Anyway, begitu gue sampai parkiran, gue langsung naik ke motor sembari nunggu Satya dan Lukas.

"Lo mau begitu doang ke Mak Jo?"

Gue liat Lukas belum pakai baju. Masih pakai boardshorts-nya doang. Bisa-bisa konsentrasi gue bukan ke jalan kalau liat Lukas cuma pakai boardshorts doang.

"I'll put my t-shirt later on. Don't worry, Rena. Aku nggak akan malu-maluin kamu atau Satya hanya dengan pakai boardshorts."

"Rena, duluan aja. Aku sama Lukas di belakang."

Gue cuma ngacungin jempol, karena keburu pake helm. Gue juga nggak mau ngebantah ucapan Satya karena gue juga pengennya begitu. Dengan gue di depan, paling nggak, gue bisa konsentrasi ke jalan. Gue nggak mau pikiran gue lari ke Lukas yang baru keluar dari air dengan... Crap! Kayaknya mental image gue tentang Lukas nggak bakal berubah dalam waktu dekat. Gue harap, pikiran gue bisa dikontrol, terutama pas di hotel. Gue nggak nyalahin siapa-siapa sih. It's just the woman side of me yang pasti dan dijamin bakalan susah buat konsentrasi sekalipun liat Lukas pakai seragam.

Gue nggak mau bilang kalau gue cinta sama Lukas. Sekalipun gue ini bitch sejati, cinta masih sesuatu yang sakral buat gue. Tapi, gue juga nggak mau bilang kalau gue nggak ada rasa apa-apa sama dia. Let's put it this way, gue tertarik sama dia. Enough said!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top