RENA - A CHANCE
Udah hampir lima menit gue berdiri di depan pintu sambil nenteng paper bag berisi buah-buahan yang gue beli buat Lukas. Kalau gue nggak ingat lagi ada di mana dan buat apa gue ke sini, mungkin paper bag ini udah berakhir di tempat sampah. Gimana gue bisa masuk kalau dari sini aja, gue bisa denger suara tawa Lukas, yang kayaknya lagi cerita sesuatu yang lucu ke Satya? Bahkan, buat ngeraih handle pintu aja gue nggak sanggup.
I never thought, this guilt would haunt me like this.
Gue akhirnya ambil napas, sebelum pelan-pelan ngeraih handle pintu dan ngebuka kamar Lukas.
Udah tiga hari ini Lukas di Rumah Sakit. Dia kena tipus. Selama tiga hari ini, gue selalu gantian sama Satya buat jagain Lukas. Dia jagain Lukas kalau pagi sampai gue balik dari hotel, dan gue jagain Lukas pas Satya kerja sebelum Satya balik lagi buat jagain Lukas sampai pagi. Lukas nggak punya siapa-siapa di Bali dan gue—sekalipun nggak suka liat Satya jagain Lukas—gue juga nggak bisa percaya sama orang lain. Even though Lukas was insisted that he would be fine by himself. So, here I am. Berasa kayak dilema karena di satu sisi, gue pengen bisa jagain Lukas terus, but of course, impossible. Di sisi lain, gue tenang karena Satya yang jagain dia, bukan orang lain, meski gue takut, kebohongan gue bakal terbogkar dan gue kehilangan mereka. You play with fire, Rena.
"Lagi bahas apaan sih? Kayaknya seru banget."
Gue langsung hampirin Lukas yang lagi sandaran, sementara Satya duduk di kursi di sebelahnya. Gue cipika-cipiki keduanya sebelum duduk di ujung tempat tidur Lukas. Kondisinya udah mendingan, tinggal nanya dokter dia boleh pulang atau belum.
"Lukas lagi cerita tentang masa kecil dia waktu pertama kali belajar renang and how annoying he was with his sisters in the pool."
Lukas ngasih gue his million dollar smile dan gue cuma bales dia dengan senyum tipis. "Kalau kamu capek, nggak perlu ke sini, Rena. You need your beauty sleep."
"I am beautiful already, I don't need my beauty sleep that much anymore," jawab gue ngasal yang dibales Lukas dengan tawa kecil. Gue ngalihin pandangan gue ke Satya. "Gimana tadi pagi, Sat? Udah ditanyain ama dokternya kapan Lukas boleh balik?"
"Musti liat hasil lab besok, Ren. Kalaupun boleh, mungkin lusa, tapi dia tetap harus jaga pola makannya, harus diingetin terus. Kalau pas di hotel sih, kamu mungkin bisa ngingetin dia, tapi kalau udah di kos? Aku nggak yakin Lukas bakal nurut nasehat Dokter."
"So, what are you guys talking about? I know you must be talking about me."
Gue sama Satya gantian mandangin Lukas. "Lo musti jaga makanan lo sepulang dari sini. Sampai lo bener-bener sembuh."
"Well, I can do that."
Dari jawabannya, gue sama Satya tahu kalau dia bakal makan sama minum yang justru dilarang dokter.
"And you can't drink something cold, Lukas. No beer."
Kali ini, Lukas gantian yang mandang Satya dengan tatapan kaget. "What? I still can't drink cold drinks? No beer? Ugh!"
"Ya nggak perlu panas-panas juga, pokoknya lo nggak boleh minum minuman dingin sampai lo bener-bener sembuh."
"Oh God! That's a torture!"
Gue sama Satya cuma bisa ketawa liat reaksi Lukas kayak gitu.
Paper bag yang gue bawa tadi udah ada di samping meja dan gue nggak pernah ngelepasin pandangan gue dari Lukas atau Satya. Gimana kalau mereka sama-sama tahu kalau gue bohong? Yang lebih gue takutin, gimana kalau mereka malah udah saling bilang suka satu sama lain?
My biggest fear.
"Kamu kenapa Rena? Kok geleng-geleng kayak gitu."
Gue senyum. "It's nothing. Just had some thoughts."
"Okelah kalau gitu, aku pulang dulu ya? Nanti abis manggung aku langsung ke sini, biar kamu bisa pulang dan istirahat. Kalau capek, besok pagi nggak usahlah ke sini, Ren. I'll be fine nungguin Lukas sampai kamu pulang."
"Lo yakin? Liat besok deh, ntar gue sms. Lagian besok juga Jumat, Sat. Gue bisa langsung ke sini pulang dari kantor dan lo ke sini Sabtu pagi aja sekalian nemenin Lukas balik."
"Kamu yakin mau nginep di sini?"
Gue ngangguk. "Cuma semalem kan?"
Gue liat Satya agak sedikit ragu-ragu, tapi, gue bisa senyum ketika akhirnya dia setuju.
"Oke deh, kalau memang itu mau kamu."
Gue kemudian liat Satya pamitan sama Lukas and they just shook hands. No hugs. Sekalipun gitu, gue tetep ngerasa mereka berdua tahu kalau sama-sama suka. Woman's instinct. Atau, mungkin ini cuma karena gue terlalu banyak nonton komedi romantis, jadi pikiran gue selalu mikir yang nggak-nggak.
Begitu Satya pergi, gue duduk di kursi yang tadi didudukin Satya. Lukas keliatan agak berantakan, karena sejak di Rumah Sakit dia sepertinya belum shaving. Rambutnya juga. Pengen banget rasanya gue ngerapiin rambutnya itu pakai tangan gue. Tapi gue tahu Lukas pasti nggak bakal suka. He still looks adorable though. Kapan lagi gue bisa liat Lukas berantakan kayak gini? Dia nggak mungkin berantakan kan kalau pas di hotel?
"Rena, you really don't have to stay here. I'm fine. I'm a big boy."
Gue nggak tahu udah berapa kali Lukas ngomong gitu dan tanggepan gue tetep sama. Gue cuma harus kasih pandangan judes ke Lukas dan dia bakal langsung diem. Lagipula, gue juga nggak keberatan nungguin dia. Apa sih yang harus diberatin nungguin cowok kayak Lukas? Gue juga nggak mungkin bisa ngelakuin ini kalau dia sehat walafiat. Bukan berarti gue seneng lihat Lukas sakit ya, tapi ini kesempatan gue bisa nungguin Lukas dan ngobrol macem-macem sama dia. Yeah, this what a bitch do.
Satu-satunya yang bikin gue keberatan, jelas kebohongan gue. Beberapa kali, gue hampir ngebongkar kebohongan gue sendiri. But thank God, it didn't happen.
"I hope you didn't do something stupid every time I'm away."
Gue memang punya maksud buat mancing Lukas dengan pernyataan itu. Gue tahu kalau Lukas bisa cerita tentang his sexual orientation ke gue. He trusts me. Gue cuma pengen tahu sejauh mana Lukas udah bisa ngilangin perasaan sukanya ke Satya tanpa gue harus nanya dengan gamblang. Atau paling nggak, sejauh mana usaha dia buat ngelupain Satya.
Lukas cuma ngasih gue senyum tipis sebelum ngalihin pandangannya ke jendela di depan gue, yang tentu aja gelap karena udah malam.
"It's hard, Rena."
Meski gue nggak tahu apa yang sebenernya dirasain atau dipikirin Lukas, dari kalimat pendek itu aja gue bisa ngerasain betapa susahnya buat Lukas nyimpen ini. Ngeliat dia kayak gini, gue jadi ngerasa bersalah and this is not the first time he's like this. And I believe, this is not gonna be the last. Ada bagian dari diri gue yang bentak-bentak gue supaya ngasih tahu aja ke Lukas hal yang sebenernya. Tapi, sisi lain gue nggak mau kalah. Another part of me is yelling at me to keep this secret. I still fucking love this guy! I will not let Satya or any other guy, dating my Lukas. Nope! Won't allow it to happen.
"Gue tahu, tapi lo juga musti mikirin diri lo sendiri. Gue cuma nggak mau lo jadi makin kecewa dan sakit hati nanti. I don't want you to get hurt, Lukas."
Gue ngulurin tangan dan megang tangan Lukas. I know, Lukas would only take this as a friendship gesture. Even though deep inside me, I really want him to acknowledge me more than a friend to him, but having this chance to touch him and feel his skin against mine, that's enough for me. Kalau itu bikin gue jadi orang munafik, then be it. Lagipula, sebutan apa yang lebih tepat buat gue selain bitch and hypocrite in one sentence?
"I know."
Gue cuman bisa senyum. "Kalau lo mau cerita ke gue, tentang apa pun, cerita aja. Gue pasti jaga rahasia lo."
"You remind me of Jan. Somehow."
Gue ngerutin dahi. "Siapa Jan?"
"My ex. I can say that he's my first real boyfriend. We had a real relationship. Dan aku ingat, betapa sakitnya ketika hubungan kami berakhir."
Lukas belum pernah cerita apa pun tentang Jan atau his love history to me. Dan sekarang dia cerita tentang Jan tanpa gue minta, bikin gue sedikit lega. At least, dia cerita karena dia pengen.
"Kenapa lo putus sama dia?"
"He had to move to Shanghai and both of us, couldn't stand having long distance relationship. Kadang, kami masih berhubungan lewat surel, just say hi. He's happy with another man now. And here I am, falling in love with a straight man. I'm happy for what I feel but not for the fact that I can't show it to Satya."
Gue diem. A big slap.
Sekalipun Lukas ngucapin kalimat terakhir itu dengan nada yang ringan, gue bisa nangkep kalau itu usaha dia buat nertawain dirinya sendiri. How silly it is for him to fall in love with a straight man. Gue berusaha buat nggak nunjukkin emosi apa pun. This is worse than I thought. Tapi, nggak ada cara lain buat gue selain ngejaga rahasia ini, entah sampai kapan. Lukas tinggal tiga bulan lagi di Bali. In the meantime, gue nggak bakal kuat kalau dia benci sama gue terus hubungan kami jadi rusak. No, I have to keep this secret longer. Gue nggak tahu sampai kapan.
"Kenapa lo milih di Bali kalau gitu? Lo tahu gimana negara gue mandang orang-orang kayak lo. Diluar keinginan lo buat bisa surfing, masih banyak negara lain yang bisa lo pilih buat training, yang nggak keberatan sama orientasi lo."
Lukas let out a sigh.
"I never thought that far, Rena. Dan aku nggak pernah punya rencana untuk jatuh cinta di sini setelah apa yang terjadi sama Jan. Aku di sini hanya 8 bulan, I don't want to have a relationship that will only last for months. I want to have a real relationship that lasts for years."
Nah!
"Dan kenapa lo nggak pakai alasan itu buat ngubah perasaan lo ke Satya?" Tiba-tiba aja, kalimat itu langsung keluar dari mulut gue begitu denger kalimat Lukas. "Gue nggak bermaksud kejem sama lo, don't take it the wrong way, but Satya could be no exception, right? Karena kalau pun lo punya hubungan sama Satya, it will only last for months. Percaya sama gue, kalau Satya juga benci sama yang namanya long distance."
Lukas mandang gue dan pas Lukas ngelakuin itu, gue bener-bener bisa ngerasain gimana rasanya nyimpen rahasia dari orang yang percaya sama lo. It sucks! Gue ngerasa jadi tokoh antagonis di film-film romantis. Mungkin, gue harus dapet Oscar buat akting gue ini.
"You're right, Rena. Tapi kamu hanya tahu dari apa yang aku ceritakan. You don't really know what I'm feeling. Aku juga nggak tahu, misal Satya seorang gay, apakah kami akan bisa jadi pasangan. A kind of relationship that I want. But so far, what I'm feeling for him is something I haven't felt before. Not even with Jan. This is ... something new and different."
Lagi-lagi, gue diem. Another big slap.
Do you know how hard it is for me, Lukas? To see you longing like that for Satya, while I know exactly, Satya feels the same way? But, do you know that I love you too, something I want you to know but something I can't tell you and something you can't accept. Simply because you will never love me back, because you're in love with my best friend. MY FUCKING BEST FRIEND!
"Gue nggak bisa ngatur hidup lo, karena gue nggak punya hak buat itu. Tapi gue juga nggak mau lo sakit hati dan kecewa. I guess, you've prepared for it, haven't you?"
Lukas cuma senyum. "When you fall in love, you've got to be ready for the disappointment and the pain. Falling in love is a risky thing, Rena. But then again, I'm not gonna be the only one, right? Kalau memang konsekuensi dari perasaanku ke Satya adalah aku nggak bisa punya hubungan sama dia, then that's it. That's the consequence I have to take."
Gue dan Lukas saling pandang.
Sekarang gue tahu kenapa orang make a big deal of unrequited love. Because IT IS a big deal. Karena saat ini, bukan cuma gue yang lagi ada di posisi itu. Tapi cowok yang gue cintai dan sahabat gue.
Kalau udah gini, masih panteskah gue nyebut, kalau gue sahabat baik Satya?
':
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top