LUKAS - I LET HIM GO
June 29, 2013...
"Happy Birthday, Satya. You deserve a lot of sweets today."
"I can promise you, I will."
Aku tersenyum melihat Satya dengan semangat menghabiskan Mozart cake yang dipilihnya sendiri begitu kami sampai di Merzenich Bäckereien.
My heart is smiling, too.
Dia sudah mengirim Stefan pesan singkat agar menemui kami di sini. Masih jelas dalam ingatanku kalau Satya suka makanan yang manis. Jika aku masih memikirkan dia sejak meninggalkan Bali, bagaimana bisa aku lupa dengan hal sepele seperti itu? Di tempat ini, aku berniat memanjakan Satya dengan segala jenis kue yang ada sebelum Stefan datang. Yang membuatku masih tidak percaya, Satya memesan teh hijau panas untuk menemani kue yang dipesannya. Sementara aku hanya memesan kopi. Sebelum temperatur membakar kulit kami berdua, duduk di luar kafe sambil menikmati matahari pagi musim panas adalah ide yang sempurna. Having Satya sitting in front of me and eating his cake, remind me of those moments when I was in Bali. It's still unbelievable that I finally be able to sit in front of him again, seeing him savoring each bite of that sugary cake. Aku tentu saja bahagia bisa melihat Satya lagi dan tahu dia baik-baik saja.
Namun ada perasaan tidak rela melihatnya harus kembali ke Stefan.
I want him to be happy, but not with Stefan. With me. Munafik jika aku menginginkan Satya bahagia bersama Stefan setelah apa yang harus kami jalani akibat kebohongan Rena. Aku ingin Satya tinggal bersamaku di sini. Aku akan menemukan jalan agar dia bisa menetap di Cologne. I'm willing to do whatever it takes to make him stay. Semalam, bisa saja aku memiliki Satya, memeluk tubuhnya, dan terbangun di samping pria yang masih tetap mengisi hatiku meski 2,5 tahun sudah berlalu. Pagi ini aku akan jadi pria paling bahagia di dunia.
Instead, I asked him to call Stefan. When we kissed last night, I knew only Stefan who can give him happiness. Not me.
Beberapa minggu lalu, aku menerima telepon dari Stefan. Tanpa basa-basi, dia ingin bertemu denganku untuk membicarakan Satya. Awalnya aku menganggap dia gila, bahkan sempat mengancam akan melaporkannya ke polisi karena aku sama sekali tidak mengenalnya. Namun tanpa lelah, dia memintaku untuk bertemu dengannya. Stefan bukan hanya meminta, tapi memohon untuk bertemu denganku. Yang meyakinkanku untuk bertemu dengannya adalah dia mengenal Satya dengan sangat baik. Jika dia hanya iseng, Stefan tidak mungkin tahu aku pernah memberi Satya gelang kulit di hari ulang tahunnya sebelum aku meninggalkan Bali.
When I decided to see him, he turned out to be the most amazing guy I'd ever met.
Ketika dia menceritakan semuanya, siapa dia, kenapa dia sangat bersikeras untuk bertemu denganku serta tujuannya menemuiku, aku langsung tahu. Untuk kedua kalinya, aku tidak akan bisa memiliki Satya setelah kebohongan Rena. Kali ini karena Stefan. I could see from his eyes and the way he talked about Satya, his love for Satya is bigger than mine. Aku sempat tidak mengerti kenapa dia ingin aku menjemput Satya di stasiun dan kenapa dia ingin sekali Satya bertemu denganku. You know what did he say? Dia ingin Satya mengungkapkan apa yang tidak pernah bisa dimilikinya. Kebohongan Rena jelas sesuatu yang tidak pernah diduga Satya dan mengetahui kebenaran atas kebohongan itu, Stefan yakin ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Satya. Dia tidak ingin memaksa Satya bertahan dalam sebuah hubungan jika masih ada yang belum selesai di antara aku dan Satya. Dia bahkan memintaku berjanji membahagiakan Satya, jika Satya memilihku. Dia hanya ingin melihat Satya bahagia.
Setelah pertemuan itu, ada kebimbangan apakah aku harus menjemput Satya atau tidak. Jika melihat Satya lagi, akan muncul keinginan untuk melakukan apa saja agar dia tetap bersamaku. Sempat terpikir olehku untuk tidak menjemputnya, menelantarkan Satya hingga dia kecewa dan membiarkannya berpikir aku sudah memiliki orang lain. It could have been the best decision.
Namun akhirnya, aku memutuskan menjemputnya. Keinginan untuk melihat wajah dan bertemu lagi dengannya terlalu kuat untuk dilawan. When I saw him, just stood there, the memory when I saw him through the glass window in the airport two years prior, filled my mind. It was my heart that moved my feet toward him and the kiss ... it just happened. To me, it wasn't just a kiss. It wasn't just two lips met. It was everything that left unsaid in Bali. Ketika Satya mengatakan perasaannya dan memaksaku untuk melakukan hal yang sama, seperti ada beban yang terangkat dariku.
I meant what I said. And I still love him, until this second when I see him licking his spoon just because there's a trace of chocolate in there.
Setelah itu, kami tidak terlalu banyak bicara. Aku berusaha untuk berhati-hati dengan ucapan dan perbuatanku. Aku mengendalikan diri untuk tidak meraih tangan Satya dan menggengamnya selama kami berjalan pulang dari restoran. Aku tidak pernah melupakan hari ulang tahunnya. Ketika kami berciuman untuk kedua kalinya, ada dorongan kuat untuk menahan bibirku di sana, mengabaikan Stefan dan semua yang menghalangiku untuk memiliki Satya. But I knew, I would be the most egotistic human being that ever graced the earth if I did. It was a goodbye kiss, as there won't be any more kisses between us. It was ... my way of letting him go, though he's never been mine. Dan aku memintanya untuk menjadikanku sebagai masa lalu, karena aku memang masa lalu dalam kehidupannya.
I lied.
Tentu saja aku berbohong. Aku hanya harus mengucapkan apa yang harus didengar Satya. Stefan lebih bisa membuat Satya bahagia daripada aku. What can I do to make him happy? I'm just a crippled man. Untuk berjalan saja aku membutuhkan dua tongkat dan dokter sudah menjatuhkan vonis kalau aku tidak akan bisa berselancar lagi. Jika aku bahkan sudah berbohong kepada Satya tentang kondisiku, tidak ada bedanya jika aku juga membohonginya tentang perasaanku. Dan kebohonganku membuat Satya kembali ke Stefan.
Ketika Satya memintaku untuk menemaninya menunggu Stefan, aku tanpa ragu mengiyakannya. Mungkin ini misi bunuh diri pelan-pelan. Melihat Stefan dan Satya bersama, akan meninggalkan luka yang tidak mudah disembuhkan. Aku hanya berharap rasa sakit itu bisa membuatku benar-benar merelakan Satya agar bisa membuka hati kembali suatu saat nanti. Saat ini, aku masih membiarkan Satya berdiam di sana. Aku belum bisa membiarkannya pergi.
"Lukas...."
"Ya, Satya?"
"Aku minta maaf."
Aku mengerutkan alis sambil menatap Satya. "Untuk apa?"
"For the things we will never have and for the things we didn't have."
Aku menghela napas sebelum menggeleng. "Satya, it's not your fault, you owe no apology to me. It's that woman who should be stoned to death for what she has done."
Rena ... mengingat atau menyebut nama itu selalu membuatku geram. Kebencianku terhadapnya menjadi berlipat ganda dan semakin kuat. Aku bukan orang yang rajin berdoa, tetapi aku percaya, semesta akan membalas apa yang telah dilakukannya kepada kami. I want life treated her worse than what Satya and I had been through. There's no way I would forgive her for what she did.
"Will you forgive her?"
Aku menggeleng. "Will you?"
Satya juga menggeleng. "Stefan berusaha agar aku maafin Rena, but I can't. She betrayed my trust and put Stefan in this situation, something that shouldn't have happened in first place. How could I forgive her for dragging the three of us in a situation like ... this?"
"Let's not talk about her, Satya. It always ruins my mood."
Ketika surat dari Rena datang dan menceritakan apa yang disembunyikannya dariku dan Satya, ingin rasanya aku menemui Rena dan menumpahkan semua kata-kata kotor yang ada di kepalaku. Sejak itu, aku tidak pernah berhenti berharap agar Rena merasakan sakit yang sama seperti apa yang aku rasakan terhadap Satya. Bagaimana mungkin orang yang aku percaya, yang aku anggap sebagai sahabat, yang menganggap dirinya sebagai sahabat Satya, melakukan hal seperti itu? Aku bahkan melempar semua benda yang ada di kamarku dan mengunci diri selama beberapa hari di kamar. Surat Rena datang ketika aku masih berusaha menerima fakta kalau aku tidak akan bisa berselancar lagi. Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi dua hal yang menghancurkan hidupku di saat yang bersamaan?
"Lukas, can I ask you something?"
Aku mengangguk.
"Was there someone else?"
Aku memang kaget Satya belum menanyakan hal itu. Bukan berarti aku mengharapkan pertanyaan itu darinya. Aku berpikir, itulah pertanyaan pertama yang ingin diajukannya ketika bertemu denganku kemarin. Aku juga tidak ingin menjadi orang pertama yang mengangkat topik itu.
Aku mengangguk. "It didn't work. Just don't ask me why," jawabku sambil tersenyum, berharap Satya tidak akan membahas jawabanku.
Hanya ada satu pria yang hadir dalam hidupku sejak meninggalkan Bali. Hector, pria Spanyol yang aku temui di sebuah pesta ulang tahun teman. Seperti tipikal pria Spanyol, dia begitu menarik, dengan logat Spanyol yang masih kental sekalipun sudah lebih dari satu tahun tinggal dan bekerja di Jerman. Aku begitu merindukan Satya saat itu dan perhatian yang diberikan Hector seperti sebuah kompensasi atas cinta tidak sampaiku terhadap Satya. Ketika akhirnya kami menjalin hubungan, perhatiannya terhadapku menjadi semakin besar. Bahkan ketika memperkenalkannya ke keluargaku, mereka langsung menyukainya. He's a good man. Too good for me. Perhatian Hector yang besar itu perlahan membuatku merasa bersalah karena tidak bisa sepenuhnya memberikan hatiku untuknya. Masih ada Satya. Hubungan kami hanya berjalan beberapa bulan, meski ketika kami putus, Hector masih tidak tahu kenapa aku mengakhiri hubungan kami. Aku tidak bisa membiarkan dia menghabiskan waktu dan perhatiannya untukku, yang tetap memikirkan Satya, bahkan ketika dia tidur di sebelahku. I just couldn't.
Kepergianku ke Alpen waktu itu murni karena ingin menyendiri. Berusaha melupakan rasa bersalahku terhadap Hector, menekan perasaan rinduku terhadap Satya, mengekang logikaku agar tidak memesan tiket ke Bali untuk menemui Satya dan membiarkan dia tahu tentang perasaanku, tanpa peduli dengan konsekuensinya. Bahkan ketika kecelakaan itu terjadi, aku membayangkan wajah Satya yang diterangi api unggun dan menyanyikan Forever ketika kami ada di Nyang-nyang. Video yang aku rekam menjadi satu-satunya hal yang mampu membuatku tersenyum ketika aku dalam masa penyembuhan.
Keputusanku untuk menghilang dari kehidupan Rena dan Satya setelah kecelakaan itu adalah murni karena aku tidak ingin mereka mengasihaniku karena kondisiku. Terlebih Satya. Ada saat-saat ketika aku merindukan mereka berdua, terlebih Satya, dan satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan adalah video itu. Aku berusaha terlihat baik-baik saja di hadapan semua orang yang menanyakan kondisiku, aku tersenyum dan mengatakan kepada mereka aku akan sembuh. Aku tidak pernah berhenti membayangkan apa yang akan Satya lakukan kalau dia tahu kondisiku. Hanya membayangkan Satya ada di sebelahku ketika bergulat dengan rasa sakit dan frustasi atas vonis dokter, mampu membuatku bahagia.
Aku tersenyum melihat Satya sudah menghabiskan Mozart cake-nya. I'm gonna miss him again, but this time, I know that he's happy with Stefan. I don't have to worry about him anymore since Stefan will take care of him, will make him happy.
"That's the most delicious cake I've ever had! Thank you for taking me here, Lukas."
"You want to have second round?"
Satya menggeleng.
Kami saling bertatapan. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Satya saat ini, tapi dari tatapan matanya, ada sesuatu yang ingin dikatakannya.
"Lukas, aku bisa minta sesuatu dari kamu?"
"Asalkan kamu nggak minta aku buat lari, I'll do it," jawabku sambil tersenyum.
"That's not even funny, Lukas."
"Sorry."
Aku sudah mulai bisa menertawakan keadaanku, in a sarcastic way. Instead of being miserable, I try to accept my condition just to make me feel better by joking about it. At the right place, right time, and right people.
"Can I ask you to promise me, that you will find a much much better man than me and that we will keep in touch ... as friends?"
Biasanya aku selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali kata 'janji' disebut. Sebagai pria dewasa, aku beranggapan bahwa setiap kalimat yang terucap adalah janji yang harus ditepati. Hanya itu yang bisa dipegang dari seorang pria, kata-katanya.
"I promise you, Satya. For both. Don't worry about that. I'm not going to be alone for the rest of my life while you and Stefan have a perfect life," ucapku dengan nada ringan, seolah mengucapkan itu tidak membuat dadaku sesak. "I'll catch up with that, don't worry."
Satya tersenyum. "I'm gonna check on that regularly. The boyfriend part."
Kami berdua tertawa.
Napasku tertahan ketika mataku menangkap sosok Stefan yang sepertinya sedang mencari kami. Tanpa sadar, aku mengangkat lengan dan melambai ke arahnya. Satya mengikuti pandanganku dan begitu melihat siapa yang sedang menuju ke meja kami, aku melihat ada senyum di wajahnya.
"The prince charming is coming to pick up his king."
Satya hanya bisa tersipu, tetapi senyum itu tidak beranjak dari wajahnya. Satya bahagia. Itu yang terpenting.
"May I join you gentlemen?"
Kalimat Stefan itu langsung kami sambut dengan senyum sementara Stefan langsung mengambil kursi yang memang letaknya ada di antara aku dan Satya. Aku memerhatikan pandangan mata Stefan ke Satya. Aku tidak salah menafsirkan pandangan itu sebagai sebuah pemujaan. He adores Satya, so much. Meskipun tahu akan merasakan sakit melihat Stefan dan Satya, aku juga bahagia. Strange as it may sound, but it's true.
Stefan kemudian memandangku dan mengulurkan tangannya.
"Apa kabar, Lukas?"
Aku membalas uluran tangannya. "Getting better, as you can see."
"Stefan, kamu mau sesuatu? You know, they have good selection of bread and cakes here. I can get you some. Lukas, I want to have my second round. I was eyeing that Käse ... Käse...."
"Käse-Kirschkuchen, Satya," sahutku yang disambut Stefan dengan tawa.
"I'm good, Satya. Just having small bites on the train."
"Satya, why don't you stay here, sit back, relax, and let me get you the cake? I need to go the bathroom anyway," tawarku.
"You don't have to, Lukas."
"I insist, because you're a birthday boy today," jawabku sambil meraih dua tongkatku dan berusaha berdiri. Stefan berusaha membantuku tetapi aku menggeleng. "I'm fine Stefan, thanks. Satya, are you sure you don't want anything else? Another Mozart cake, maybe?"
"Yes, I'm sure. Lukas, you don't have to...."
"Geez! Why don't you two kissing each other or do something like lovers do while I'm away for 10 minutes? Stefan? Chained him to this table."
Stefan hanya tergelak, sementara Satya hanya bisa menundukkan wajahnya. Ada rona merah di wajahnya sebelum aku beranjak menjauh dengan senyum di wajahku.
Begitu berada di balik pintu kaca, aku menghentikan langkah untuk memandang Stefan serta Satya. Mereka sedang membicarakan sesuatu sebelum senyum terpasang di wajah Satya dan Stefan. Stefan kemudian mengulurkan tangannya untuk meremas tangan Satya dan mengecupnya. Sedetik kemudian, dia mendekatkan tubuhnya untuk mencium kening Satya.
Aku menarik napas dalam-dalam menyaksikan itu semua. Aku tidak akan mengingkari betapa sesaknya dadaku melihat itu. It hurts! But I chose to feel this pain because this is my way to deal with losing Satya for the second time.
Aku menghela napas panjang.
I feel universe has shown me that nothing in life is fair, and it will never be. Life has painted mine with lies and tragedy. I have my angers and grudges about why life decided to throw shits on me, after all, I'm just a man. Seeing Satya and Stefan right now, knowing that Satya is happy because there is a man who can give him the whole happiness, somehow makes me happy as well. If I had a choice, of having a relationship with Satya in the past or seeing him right now—even if Stefan didn't exist—I will choose to see Satya at this very moment. I believe, that everything in life happens for a reason, there is blessing in disguise of why Satya and me weren't together and will never be. There's a reason why it has to end. I just have to keep one wish, one hope, that it will lead me to something better in the future.
Or someone better.
I smiled. For Satya and Stefan, for myself, and for someone in my future. Someone who will show me how life is really worth living.
***F I N***
Akhhirnya ya ... fiuh! So, this is the ending, people. Semoga menjawab semua apa yang selama ini jadi pertanyaan kalian. Saya tahu, pasti ada yang kecewa, ada yang marah-marah, mungkin juga ada yang seneng, apa pun itu, saya seneng bisa berbagi cerita ini sama kalian. Semoga kalian menikmati baca cerita ini. Medianya jelas Someone Like You-nya Adele. "Sometimes it lasts in love, but sometimes it hurts instead" Lagu ini mewakili chapter trakhir ini, meski Lukas dan Satya nggak pernha punya hubungan, in a way, Lukas hoping that one day, he finds someone like Satya. Maybe better.
Next chapter, saya akan cerita tentang Twenty Four. Apa yang menginspirasi cerita ini dan hal-hal dibaliknya.
Again, thank you so much!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top