1. Dayang Impian Yusril
Yusril lahir di desa penghasil kopi, Lampung Utara.
"Di mana sepatuku?!"
Ayahnya adalah kepala desa dan pemilik kebun kopi terluas di desa. Namun, dengan semua jabatan dan tanah yang dimiliki dia masih termasuk golongan menengah ekonomi.
"Aku tidak mau sekolah tanpa sepatu baru!"
Meski begitu, Yusril yang berdarah biru tidak pernah menerima keadaan menengah orang tuanya dan selalu menganggap orang tuanya mampu memberinya apa saja. Ini semua karena Ibunya yang bercerita tentang asal-usul kakek buyutnya. Raja sebuah kerajaan di Lampung yang tak ada di buku sejarah. Dan saat kakeknya meninggal, Yusril begitu gembira karena dia akan menjadi Raja selanjutnya. Yusril pun bertanya pada Ibunya, "Bu, sekarang Yusril sudah jadi Raja?" lalu Ibunya menjawab, "Belum, kan Yusril masih punya Bapak. Jadi, Yusril harus nurut sama Bapak kalau mau jadi raja." Dan semenjak itu Yusril tak pernah tersenyum pada Bapaknya.
Satu kegemaran Yusril adalah wanita. Menurut cerita Ibunya, seorang Raja memiliki dayang-dayang. Wanita paling cantik di seluruh kerajaan yang bertugas melayaninya setiap saat: menyuapi, memakaikan pakaian, dan mengipasinya dengan bulu merak. Suatu hari, Yusril diajak bujang desa untuk menonton film di rumahnya. Film tentang kerajaan. Sang Raja begitu berkuasa, apapun yang dia inginkan selalu ia dapatkan dan siapapun yang menolak akan disiksa atau dibunuh secara kejam. Ada begitu banyak darah yang ditampilkan hingga Yusril jijik dan ingin muntah, tapi yang membuatnya terus menonton hingga selesai adalah adegan di beberapa bagian di mana Sang Raja dikelilingi dayang-dayang seperti yang Yusril bayangkan. Dayang-dayangnya begitu cantik, tubuhnya kurus seperti pohon kopi, berkulit putih, lembut, dan halus tanpa kain. Yusril belajar menjadi Raja yang baik.
Yusril tidak bisa melupakan film itu. Sesegera mungkin dia ingin memiliki dayang seperti Raja tersebut. Wanita pertama yang dia perhatikan ialah ibunya. Namun ibunya bertubuh gemuk seperti sapi, kulitnya pun hitam seperti kopi yang disangrainya tiap hari. Yusril tidak ingin dan dia mencari dayang lain. Bertahun-tahun Yusril mencari tapi perempuan di desa semua tidak menarik. Jika tidak gemuk, kulitnya hitam bersisik, jika pun putih, wajahnya seperti sapi. Akhirnya Yusril hanya bisa berfantasi sendiri dan mulai mengoleksi film seperti yang ditontonnya pertama kali.
SMA adalah pertama kalinya Yusril melihat perempuan yang memenuhi kriteria dayangnya. Yusril bahkan tak sanggup berkedip melihatnya. Wanita ini seperti tebu di antara pohon kopi. Dari tempat duduknya di bangku paling belakang, kegiatan paling menarik yang dilakukannya di kelas adalah memperhatikan Indriyana – begitu guru memanggilnya sesuai buku presensi yang duduk di bangku terdepan. Saat pelajaran Yusril tak bisa fokus selain mengamati bagian belakang Indri; panggilan yang dibuat Yusril. Memperhatikan rambut hitam kecokelatannya dan terpana setiap saat Indri menyibak rambutnya ke belakang dan memperlihatkan telinga putihnya. Yusril tidak pernah lupa wajahnya, menjadikan Indri objek fantasi favoritnya. Kulitnya yang seputih permen kapas yang dijual saat pasar malam, matanya yang cembung dan coklat seperti biji kopi yang disangrai ibunya, bibir merah muda yang lembab dan basah, apalagi tonjolan di balik seragamnya. Membayangkannya saja sudah membuat jantung Yusril berdegup kencang. Berjalan di dekatnya dan mencium aromanya sekilas membuat Yusril begitu bersemangat.
Dengan begitu banyak semangat dan gairah yang menggelora Yusril tetap tidak punya keberanian untuk menyapa Indriyana. Keinginan yang menggebu-gebu untuk menjadikan Indriyana dayang utamanya terus menggerogoti jiwanya. Yusril adalah keturunan raja dan segera bergelarnya setelah Bapak tiada. Seorang Raja selalu mendapat apa yang mereka inginkan. Jadi Yusril mulai mencari cara mendapatkan Indriyana. Dari menonton sebuah FTV, Yusril tahu wanita suka pria yang berolahraga basket. Dia segera meminta uang pada Ibunya untuk membeli bola basket. Ibunya sempat menolak, bertanya untuk apa, mau main di mana? Tidak ada lapangan basket di desanya, begitupun sekolahnya. Namun Yusril bersikeras, dia mengamuk, memolototi Ibunya dan mengancam berhenti sekolah jika permintaannya tak diberi. Ibunya mengalah. Hari itu juga Yusril membeli sebuah bola basket di pasar dan seharian belajar memantulkannya seperti yang dilihat di FTV. Esoknya dia membawa bola basketnya ke sekolah. Bergaya bak atlet nasional, penuh kebanggaan. Tapi bukan pujian yang di dapat malah ejekan dan cibiran. Buat apa dia membawa bola basket ke sekolah yang bahkan lapangannya masih beralas tanah? Semua orang tertawa.
Siangnya Yusril menonton FTV kembali; setelah sebelumnya merobek-robek bola basketnya. Kali ini dia melihat bahwa wanita menyukai laki-laki yang mengendarai sepeda motor dengan tangki bahan bakar di depan dan kenalpot bersuara besar. Hari itu juga Yusril meminta dibelikan motor yang sama. Penolakan terjadi lagi, Yusril mengamuk lagi. Kali ini lebih ganas, seperti kesetanan dia membanting barang-barang hingga bapaknya sendiri kesal dan hampir menebas kepalanya. Suasana rumah riuh akan makian, jeritan, dan tangisan ibu yang berusaha melerai mereka dan Yusril menang. Ibunya mengalah dan mengeluarkan tabungannya. Sepuluh juta rupiah diberikan.
Dengan bantuan teman bujangnya yang dulu, hari itu juga dia mendapatkan motor yang mirip dengan dilihatnya, hanya versi terdahulunya. Keesokan harinya dia mengendarai motornya ke sekolah. Penuh bangga dia menarik gasnya kuat-kuat hingga kenalpotnya meraung-raung memekik telinga. Berharap Indri akan melirik dan memujinya. Tapi sayang, bukan pujian malah teguran dari pihak sekolah yang di dapat. Indri pun tak meliriknya. Yusril kecewa berat saat tahu Indri dijemput ayahnya dengan mobil mewah.
Yusril tak kehabisan akal. Kali ini dia tidak percaya lagi dengan FTV yang dilihatnya. Dia berlari mencari ilmu lain dari bujang-bujang desa temannya. Dia mencurahkan segala keluh kesahnya di sana.
"Gua ini keturunan Raja!" keluh Yusril dalam mabuk minuman keras.
"Cewek itu suka cowok nakal, bro. Ayok, minum lagi." dan gelas kosongnya penuh kembali.
Semalaman suntuk dihabiskannya di warung minuman. Botol-botol kosong berbaris di meja memberitahu berapa banyak ilmu yang telah Yusril dapat. Paginya dia menjadi pemuda yang mencolok di sekolah. Bergaul dengan teman-teman yang sama bejatnya dengan pemuda desa. Merokok di kantin sekolah dan memamerkan kebodohannya pada semua siswa yang lewat, termasuk Indriyana. Sudah begitu besar setan merasuki dirinya tapi keberaniaannya untuk menyapa Indri masih nol besar. Hingga akhirnya di semester dua Indriyana pindah sekolah ke kota.
Tentulah Yusril kecewa besar, apalagi tak ada pengganti Indriyana hingga dia lulus SMA. Sehingga Yusril memutuskan untuk berkuliah di kota. Bukan untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi tapi bertemu wanita-wanita yang lebih cantik.
Wanita pertama yang berhasil dia kencani adalah teman satu fakultas ekonomi. Tidak ingin kecewa kehilangan kesempatan seperti dengan Indriyana, kali ini Yusril sudah menyiapkan mentalnya. Perkenalan terjadi kebetulan ketika mereka duduk bersebelahan dan berlanjut akan rencana makan berdua. Rini namanya, bukanlah tipe wanita yang Yusril idamkan. Kulitnya memang putih tapi jerawat di wajahnya mengganggu pemandangan. Hanya belahan dada yang terkadang timbul dari pakaiannya yang kendur membuat Yusril mengincarnya. Di akhir percakapan di kafe janji temunya akhirnya Yusril menyampaikan maksudnya, "Kamu mau enggak jadi dayangku?" tak disangka pertanyaan ini membuat Rini penasaran dan Yusril tak melewatkan kesempatan langsung mengajaknya ke sebuah tempat untuk mendapatkan jawaban. Sebuah hotel murahan. Tentu saja Rini tidak terima di ajak ke hotel saat kencan pertama. Naik pitam, Rini menampar Yusril hingga tangannya kebas. "Gila lo, yah! Ngaca dulu pake kaca yang lebar. Gaya kampungan kayak lo mau tidur sama gua? Hah!"
Penolakan itu tidak membuat Yusril patah asa. Bahkan seminggu kemudian dia sudah membuat jadwal kencan dengan wanita lain. Berkenalan di kantin kampus, berbeda jurusan, namun tak jauh beda dengan Rini. Pakaian ketat memperlihatkan tubuh moleknya dari atas kebawah membuat Yusril melempar umpannya dan dimakan! Kencan berjalan mulus dan kalimat pamungkasnya keluar, "Kamu mau enggak jadi dayangku?" dan lagi akhir perjalanan adalah hotel busuk. Tak disangka, wanita ini membalas. Melempar umpan yang tak diduga. Dia memberi Yusril sebuah harga. Lima ratus ribu rupiah. Yusril terperangah, gugup meraba celananya dan mencari dompetnya. Uangnya bahkan tak sampai setengah harga. Dia mencoba menawar tapi wanita adalah makhluk yang kejam apalagi yang memasang harga. Tanpa sepatah kata hanya senyuman dia berlenggak ke luar kamar yang telah dipesan meninggalkan Yusril yang kalah banyak.
Penolakan demi penolakan diterima Yusril dari wanita diskotik hingga remaja mesjid. Satu hal yang dia pelajari dari semua penolakan itu adalah dia butuh modal lebih.
Masuk semester tiga Yusril dapat kabar Bapaknya meninggal. Berita duka itu membawa Yusril kembali ke rumah. Wajahnya tampak tak bahagia. Di hari kedelapan Bapaknya tiada dia bertengkar dengan Ibunya. Menuntut hak warisnya. Sebagai anak tunggal dia meminta jatah setengah luas kebun bapaknya. Tidak butuh waktu lama, hanya perlu membanting dan menghancurkan beberapa barang di rumah dan Ibunya sudah mengalah. Setengah kebun dijual. Kembali ke kota, Yusril berubah menjadi anak metropolitan. Motor lamanya yang memekakkan telinga berganti menjadi matic berkenalpot menggebu-gebu. Style-nya lebih trendi dengan rambut naik plus kacamata hitam besar tak lepas dari gayanya sehari-hari. Entah apa itu penyebabnya, keberuntungannya pun berubah drastis. Tak lama setelah kembali ke kota, Yusril berkenalan dengan Yunita. Wanita ini sempurna di mata Yusril. Kulit putih, badan kurus berisi, tinggi, dan wajah halus tanpa aib. Semua kriteria dayang yang Yusril cari. Jadilah Yusril tergila-gila, jantungnya berdegup kencang, setiap hari membayangkannya, menjadikan objek fantasinya sambil menunggu saat yang tepat mengajaknya kencan. Yusril tidak perlu berusaha keras untuk berkenalan dan mengajaknya kencan. Yunita begitu terbuka, terlihat polos dalam balutan jilbabnya. Yusril merasa Yunita memang diciptakan untuknya.
Kalimat pamungkas dilontarkan, Yunita yang penasaran dibawa ke hotel berbintang. Tak ada pertanyaan. Malah Yunita terlihat bahagia, rangkulan tangannya semakin kencang hingga masuk kamar. Di tempat tidur Yusril mulai menggoda, berkata-kata indah, tangannya mulai menjelajah. Di pertengahan tiba-tiba Yunita meminta Yusril menutup matanya. Suhu tubuh Yusril yang panas membuatnya tak sabar dan segera menurutinya. Yusril terkejut saat merasa pakaiannya ditanggalkan satu persatu oleh Yunita. Saat Yusril membuka matanya, sebuah sabuk kulit telah melingkari pinggang, pundak, dan selangkangan Yusril yang sudah tak berbusana. Cincin besi di dadanya menjadi pusat tempat semua sabuk tadi menyambung mengungkung tubuh dan jiwanya. Yunita berdiri di depannya terlihat berkuasa dalam balutan kain latex hitam dari kepala hingga ujung kakinya menggenggam cambuk gelap kuat. Yusril hanya bisa tersenyum penuh harap, cemas, dan penasaran kejutan apa yang akan dilakukan Yunita padanya. Mulutnya disumpal bola kulit bertali yang di ikat ke belakang kepala. Tidak bisa bicara, bertanya, dan bergerak dengan ikatan di tangan dan kakinya membuat Yusril hanya bisa pasrah penuh gairah. Kekehannya terdengar gagap dan saat Yunita mencambuknya dia semakin berkekeh Ria. Fantasinya berkelebat dalam kepala berlari-larian penuh bahagia seperti jantungnya yang berdegup macam gendang perang. Yunita memecut cambuknya lagi, tangannya kasar membalikkan tubuh Yusril yang telentang. Dalam posisi telungkupnya, Yunita mengangkat bokong Yusril hingga sepahanya. Dan saat itu juga jantung Yusril berhenti berdetak dan bayangan akan dayang yang sempurna sirna dari pikirannya.
Yunita ternyata waria.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top