Side Story - Ambarwati x Mahesa
Setelah resmi berpacaran, Ambarwati terlihat sangat bahagia. Gadis itu yang pada dasarnya murah senyum, kini senyumannya semakin cerah, wajahnya semakin bercahaya.
"Mbar, maneh kenapa senyum-senyum sendiri?" Tri yang berpapasan dengan Ambarwati di lorong fakultas sastra merasa aneh dengan adik angkatannya yang sejak tadi senyum-senyum sendiri.
"Ah, senpai. Aku lagi seneng banget!" Tiba-tiba Ambar heboh sendiri, gadis itu melompat-lompat kegirangan tanpa melepas senyumannya.
"Ai kamu kunaon? Geus gelo sugan!"
"Ih, senpai kok ngomongnya gitu." Ambarwati mendadak cemberut mendengar ucapan Tri. "Aku itu seneng soalnya baru aja jadian sama Kak Mahesa."
Tri melotot tidak percaya. Secepat inikah ia bangkit dari keterpurukannya. Sehari setelah pertemuan mereka di Shevera cafe, Tri diberitahu oleh Nina tentang keadaan Mahesa. Ia ikut prihatin dan merasa iba dengan apa yang dialami sahabatnya itu.
"Senpai kok ngeliatinnya kayak gitu?"
"Ah ... enggak apa-apa, kok. Selamat, ya. Semoga langgeng."
"Arigatou senpai!" Ambarwati mengembangkan senyuman manisnya lagi. Setelah berbincang sebentar, Tri pamit karena ada kelas yang harus ia masuki.
~~~
Di kantin kampus, Mahesa tengah menanti kedatangan kekasihnya. Ada hal penting yang harus ia sampaikan.
Cukup lama Mahesa menunggu Ambarwati, karena gadis itu masih ada jadwal kuliah. Sementara Mahesa hari itu tidak ada kelas. Ia datang ke kampus sekalian akan mengurus sesuatu yang sangat penting.
"Duh, maaf lama nunggunya, Kak." Ambarwati baru saja datang lalu duduk di kursi yang ada di hadapan Mahesa.
"Enggak apa-apa, kok. Sekalian tadi ngurusin sesuatu dulu."
"Oh iya. Katanya ada yang mau Kakak obrolin sama aku?"
"Makan dulu, deh. Kamu udah makan belum?" Ambarwati menggeleng menjawab pertanyaan Mahesa.
Mahesa bangkit dari dari tempatnya lalu melangkah menuju tempat penjual makanan. Setelah memesan semangkok mie ayam dan es teh manis, Mahesa kembali ke kursinya sambil menunggu pesanan untuk Ambarwati datang.
Selang beberapa menit, semangkok mie ayam tersaji di hadapan Ambarwati. Gadis itu menikmati makannya dalam diam. Hanya denting dari sendok garpu yang beradu dengan mangkok yang terdengar. Kebetulan siang itu keadaan kantin kampus juga sedang sepi.
Seusai menghabiskan makanannya Ambarwati izin ke toilet sebentar. Sambil menunggu kekasihnya kembali, Mahesa menimbang-nimbang bagaimana kalimat yang tepat untuk menyampaikan maksud pertemuannya dengan Ambarwati hari ini. Mahesa bingung, karena baru saja hubungan ia dengan Ambarwati berjalan, pemuda itu sudah harus meninggalkannya ke tempat yang jauh.
"Udah beres?" tanya Mahesa saat Ambarwati sudah duduk kembali di hadapannya. Ambarwati mengangguk menjawab pertanyaan Mahesa.
"Sebelumnya Kakak mau minta maaf. Mungkin ini mendadak, kita baru saja berpacaran sudah harus terpisah."
"Maksud Kakak?"
"Minggu depan Kakak harus ke Jepang, menemui kerabat almarhum Bunda. Dan mungkin akan tinggal beberapa tahun di sana." Ambarwati melotot tidak percaya.
"Bagus, dong. Lagian minggu depan juga aku pergi ke sana sebagai hadiah menang lomba pidato Bahasa Jepang kemarin," ucap Ambarwati dengan nada riang.
"Syukurlah kalau begitu, jadi awal-awal di sana Kakak ada yang nemenin."
Keduanya saling berbalas senyum, kebahagiaan terpancar jelas di mata kedua insan yang baru saja memadu kasih itu.
~~~
Seminggu berlalu, Mahesa akhirnya berangkat terlebih dahulu ke Jepang karena berbeda maskapai dengan Ambarwati.
Setelah menempuh penerbangan selama kurang lebih tujuh jam setengah, Mahesa akhirnya tiba di bandara Internasional Narita. Suhu yang hangat di siang hari menyambut kedatangan Mahesa yang baru pertama kali menginjakkan kaki di negara kelahiran bundanya.
Setelah mengambil koper dan melewati serangkaian pemeriksaan keimigrasian, Mahesa berjalan menuju lobi kedatangan Internasional. Pemuda itu mencari keberadaan orang yang akan menjemputnya. Tepat saat menoleh ke kanan, ia melihat seorang gadis berwajah oriental memegang kertas yang tertulis namanya.
"Mahesa-san, anak laki-laki Yumi-san?" tanya gadis itu pada Mahesa yang baru saja tiba hadapannya.
"Iya, aku Mahesa, anak dari Yumi." Gadis itu tersenyum lega saat mendengar jawaban Mahesa.
"Ayo ikut aku!" ajak gadis itu. Mahesa mengekori di belakangnya dengan koper besar yang ia tarik oleh tangan kanannya.
"Kamu bisa Bahasa Indonesia?" tanya Mahesa sambil tetap melangkah dibelakang gadis itu.
"Ano, bisa sedikit. Tuan Kudo yang mengajari saya karena saya nantinya akan jadi asisten kamu selama di sini," jawab gadis itu.
"Nama kamu siapa?"
"Honda Yuzuka. Kamu bisa panggil saya Yuzuka."
Saat melihat punggung Yuzuka yang berjalan di depannya, Mahesa jadi teringat dengan ketiga adiknya yang ia tinggalkan. Mungkin gadis ini tidak berbeda jauh usianya dengan ketiga adiknya itu.
Keduanya akhirnya tiba di depan sebuah mobil sedan yang terparkir di lahan parkir bandara. Mahesa mengernyitkan dahi, tidak ada supir yang akan membawa mobil yang mereka tumpangi. Yuzuka jika dilihat-lihat belum layak mengendarai mobil.
"Hei, ayo masuk!" Yuzuka menegur Mahesa yang masih diam di tempatnya.
"Eh, kamu bisa membawa kendaraan?" Yuzuka mengangguk. "Sudah punya lisensi mengendarai?" lagi-lagi Yuzuka mengangguk.
"Jika kamu mengira aku adalah anak remaja itu salah besar. Karena usiaku mungkin sama denganmu." Mahesa kaget dengan penuturan Yuzuka, wajah dan tubuhnya tidak mencerminkan bahwa dirinya seusia dengan Mahesa.
~~~
Keesokan harinya Mahesa sedang bersiap-siap untuk pergi menemui Ambarwati yang sudah mendarat kemarin malam. Pakaian kasual membalut tubuhnya yang kecil.
"Kamu mau ke mana, Mahesa?" tanya Yuzuka saat berpapasan di lorong rumah tempat mereka tinggal.
"Aku mau menemui kekasihku."
"Woah, ternyata kamu sudah memiliki kekasih. Baiklah, selamat bersenang-senang!"
Mahesa memberanikan diri berpergian sendiri, dengan berbekal sedikit pengetahuan, buku saku panduan wisata dan hal-hal yang sempat diajarkan Yuzuka.
Namun Mahesa tidak ingin mengambil resiko dengan menggunakan Bus atau kereta menuju tempat pertemuannya dengan Ambarwati. Pemuda itu memilih menggunakan taksi agar lebih mudah.
Sepanjang perjalanan, Mahesa dibuat takjub dengan suasana kota Tokyo yang jauh berbeda dari kota asalanya, Bandung dan Ibukota Jakarta. Jalanan hari itu tidak terlalu ramai, hingga hanya lima belas menit saja ia sudah sampai di Akihabara, tempat ia dan Ambarwati bertemu.
"Mahesa!" Ambarwati berseru saat mendapati kekasihnya yang baru saja turun dari taksi. Mahesa membalas dengan melambaikan tangan ke arahnya lalu mendekati kekasihnya itu.
"Kamu enggak mau istirahat dulu gitu?"
Ambarwati menggeleng, "Aku kangen."
Mahesa terkekeh mendengar jawaban dari Ambarwati. Padahal keduanya hanya tidak berjumpa selama tiga hari tetapi kekasihnya itu sudah merasakan rindu. Apalagi nanti, saat Ambarwati pulang, mereka akan terpisah selama bertahun-tahun.
Sambil bergandengan tangan, keduanya mengelilingi daerah yang dikenal dengan surgannya para otaku dan pusat elektronik di Jepang. Di sepanjang jalan, toko-toko penjual elektronik berjajar rapi. Ada juga tempat penjualan Action Figure dan barang-barang yang sering diburu oleh para otaku.
Dari sekian tempat yang ada di wilayah itu, ada satu gedung yang sangat menarik perhatian mereka. Gedung toko bernama Don Quijote.
"Kak! itu ... itu." Mata Ambarwati berbinar saat menatap gedung toko yang bertuliskan Don Quijote.
"Theater AKB48."
"Iya, Kak. Masuk, yuk. Kita liat-liat aja!" ajak Ambarwati pada Mahesa.
Mereka akhirnya memasuki gedung Don Quijote lalu naik ke lantai delapan tempat Theater Idol Group AKB48. Wajah Ambarwati memancarkan kebahagiaan meski hanya berjalan-jalan di bagian luar Theater-nya saja tanpa masuk ke dalam.
Setelah puas berada di dekat Theater AKB48 mereka akhirnya turun untuk mencari makan, karena perut mereka sudah meminta untuk diisi. Mencari makan di negeri orang yang mayoritas non-muslim membuat Mahesa dan Ambarwati harus memilih tempat yang cocok untuk mereka.
Tidak jauh mereka berjalan dari Don Qouijote, Mahesa menemukan restoran kari dengan label halal. Tidak berpikir dua kali, akhirnya Mahesa dan Ambar memasuki tempat makan itu.
Setelah makanan tersaji, keduanya makan dengan lahap. Sesekali mereka saling bercanda dan mengumbar kemesraan dengan saling menyuapi.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam waktu Tokyo, mereka harus segera berpisah karena Ambarwati sudah ditunggu oleh orang yang mensponsori keberangkatannya ke Jepang. Sementara Mahesa, sudah berjanji pada Yuzuka untuk menemui majikannya yang merupakan kerabat Yumi.
~~~
Bertahun-tahun hubungan Mahesa dan Ambar tetap berjalan meski komunikasi mereka hanya dilakukan melalui skype atau sambungan telepon biasa.
"Ih, aku iri sama Kakak!" Ambarwati cemberut saat Mahesa menunjukkan tiket menonton di Theater AKB48.
Keduanya kini tengah berkomunikasi melalui aplikasi videocall skype.
"Mumpung kerjaan lagi sedikit, dan kebetulan banget ada temen kerja yang ngajakin theater-an."
"Pokoknya enggak mau tau. Kalau aku ke sana, Kakak harus ngajakin aku nonton AKB48!"
"Sayang banget. Kakak mulai besok sudah kembali ke Indonesia."
"Hah, serius? Kenapa enggak ngabarin!" Ambarwati semakin dibuat kesal oleh kekasihnya yang tidak mengabari tentang kepulangannya.
"Iya, Sayang. Bukan hanya serius. Duarius malah," jawab Mahesa sambil terkekeh.
"Besok aku jemput, ya!"
"Enggak usah, aku udah pesan travel. Kamu tunggu aja di rumah. Tapi dandan yang cantik, ya. Aku ada kejutan buat kamu."
"Oke deh."
Setelah itu, Mahesa pamit untuk mempersiapkan kepulangannya besok. Ia sudah tidak sabar menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya.
~~~
"Mahesa, kenapa kamu tidak tinggal di sini saja?" tanya Yuzuka setelah menurunkan Mahesa di lobi bandara.
"Terima kasih. Tapi aku harus pulang."
"Padahal segalanya sudah dipersiapkan untukmu. Dan jika kamu menginginkan apa pun. Nyonya pasti memberikannya untukmu, Mahesa."
"Maaf. Karena aku harus pulang ke Bandung, dan kembali pada cintaku yang sesungguhnya."
Mahesa memeluk Yuzuka sebelum meninggalkan wanita yang selama tiga tahun ini menemaninya menjadi asisten. Sayangnya, kerabat Yumi yang menjadi atasannya selama di Jepang tidak bisa mengantar Mahesa pulang karena ada rapat penting yang harus ia pimpin.
Perjalanan selama kurang lebih tujuh jam setengah di udara dari Jepang menuju Jakarta tidak terasa lama. Mahesa sangat menikmati perjalanannya. Begitu pula, perjalanan darat Jakarta - Bandung. Waktu tempuh empat jam terasa sangat singkat, meski beberapa kali tersendat kemacetan Ibukota.
Mahesa kini tiba di depan rumah Ambarwati. Kekasihnya itu sudah setia duduk di teras rumahnya, menanti kedatangan Mahesa.
"Kenapa enggak nunggu di dalem aja, Sayang," ucap Mahesa setelah memasuki pekarangan rumah Ambarwati.
Sebelumnya ia pulang ke apartemen miliknya untuk menyimpan barang-barang yang ia bawa dan pergi ke rumah Ambarwati menggunakan mobil.
"Enggak sabar pingin ketemu kamu," balas Ambarwati sambil memeluk erat Mahesa.
"Sebentar deh." Mahesa mengambil sesuatu dari saku bajunya. Lalu berdiri sambil menatap lembut Ambarwati
"Fathiya Ambarwari Callista. Maukah kamu menjadi istri seorang Ryuji Mahesa Chaesara Vernando Cahya Fallahi Prawira?"
Ambarwati menutup mulutnya tidak percaya, matanya berkaca-kaca mendengar penuturan dari Mahesa. Dalam satu kedipan mata, cairan bening mengalir lembut di pipi Ambarwati. Ia terharu dan tidak menyangka akan secepat ini Mahesa melamarnya.
"Iya. Aku mau!"
Mahesa lalu memasangkan cincin perak yang ia beli langsung dari Jepang di jari manis Ambarwati.
~~~
Catatan Kaki :
Senpai = Kakak senior.
Ai kamu kunaon, geus gelo? = Kamu kenapa, sudah gila?
Arigatou = Terima kasih.
-san = Panggilan bagi orang seangkatan atau setara dalam bahasa Jepang.
Otaku = Penggila anime atau Manga
Bandung, July 2019
HAHAHAHAHAHAHAHA
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top