Part 9
"Beb, itu si Juni nyariin lo." Seorang siswa menghampiri bangku tempat si kembar dan dua sahabatnya tengah menikmati istirahat makan siang di kantin.
"Ngapain?" Siswa itu hanya mengangkat bahunya menjawab pertanyaan Beby.
"Eby mau nyamperin Juni?" tanya Viny setelah mengunyah batagor pesanannya.
"Entar aja, deh. Eh, Sak bilangin ke Juni. Gue makan dulu." Siswa bernama Sakti itu mengangguk lalu pergi dari kantin.
"Cie ... cie ... cie."
"Apaan sih, Ge?" Beby mendelik kesal mendengar godaan Gracia.
"Ekhm, si bungsu udah ada yang nempel nih. Kakak-kakaknya kapan?" Ayu ikut memanas-manasi si kembar tiga.
"Kalau Viny udah ada." Shani terlihat santai menanggapi godaan sahabat-sahabatnya itu.
"Siapa?" tanya Ayu, Gracia termasuk Viny. Gadis itu entah tidak mengetahui atau tidak peka pada keadaan.
Bukannya menjawab, Shani malah menutup mulutnya. Menahan tawa karena melihat ekspresi Viny yang penasaran.
"Bang Maul," jawab Beby santai mewakili Shani. Seketika tawa Shani meledak setelah mendengarkan ucapan Beby.
Viny cemberut, ia sangat kesal dengan kedua saudara kembarnya. "Kalian jahat sama Inyi! Inyi aduin sama Kakak."
Bukannya takut dengan ancaman Viny, Shani malah tertawa semakin keras yang kini diikuti oleh Beby. Sementara kedua teman mereka saling lirik. Tidak mengerti dengan apa yang terjadi dengan ketiga gadis kembar yang ada di dekat mereka.
"Bang Maul siapa, Yu?" bisik Gracia pada Ayu sambil masih menatap ketiga gadis kembar itu secara bergantian.
"Enggak tau," jawab Ayu. Keduanya lalu melengos pergi tanpa pamit meninggalkan tiga gadis kembar itu.
"Eh, Ayu sama Gracia ke mana?" Shani menengokkan kepalanya mencari keberadaan kedua temannya yang tadi duduk semeja dengan mereka.
"Enggak tau," jawab Beby dan Viny bersamaan.
~~~
"Hesa, itu si Ambar." Tri menunjuk seorang gadis yang sedang berjalan dengan setumpuk buku di tangannya.
"Bentar." Mahesa berlalu mendekati gadis bernama lengkap Fathiya Ambarwati.
"Hai, mau ke mana?" tanya Mahesa basa-basi.
"Eh, Kak Mahe. Ini mau ke perpustakaan, ngembaliin buku sekalian ngerjain tugas," jawab Ambarwati. Gadis itu terlihat kesusahan membawa beberapa buku tebal milik perpustakaan kampusnya dan buku-buku tugas kuliahnya.
"Sini Kakak bantu."
Ambarwati adalah adik angkatan Tri. Gadis dengan kulit putih, tinggi semampai dan terlihat selalu modis itu merupakan gadis idaman di fakultas sastra. Mahesa bisa dekat dengan Ambarwati karena acara festival yang diadakan oleh fakultas sastra. Saat itu, Mahesa bersama Maulana dan Nina tengah berkeliling menikmati suasana festival yang bertepatan dengan perayaan hari sastra.
Namun, saat mereka sedang asyik berjalan, tiba-tiba Ambarwati tidak sengaja menabrak Mahesa cukup kencang sehingga membuat gadis itu terjengkang dan barang yang dibawanya berserakan di tanah. Mahesa yang melihat itu langsung saja membantu Ambarwati membereskan barang-barangnya yang berjatuhan lalu membantunya berdiri.
~~~
"Pepet terus!" Maulana menggoda Mahesa yang baru saja tiba dari perpustakaan.
"Apaan, deh." Mahesa memukul pelan bahu Maulana yang membuat lelaki itu meringis.
"Serius, Sa. Kayanya si Ambar beneran suka sama lo," ucap Nina dengan serius.
"Gue tau," jawab Mahesa yang membuat Maulana dan Tri melongo tidak percaya. "Kalian kira selama ini gue enggak peka gitu? Gue tau, Ambar suka sama gue, tapi, gue enggak bisa membalas perasaan dia." Penjelasan Mahesa membuat kedua temannya semakin melongo, tapi tidak dengan Nina, ia sudah sangat tahu bagaimana Mahesa.
"Kenapa?" tanya Maulana dan Tri bersamaan.
"Gue udah janji."
"Udah janji atau ada hati lain yang mengisi relung hati lo yang paling dalam?" Mahesa seakan tertohok dengan pertanyaan frontal dari Nina.
"Hati lain?" tanya Maulana dan Tri lagi-lagi bersamaan.
"Eh, sebentar. Lo belum cerita kalau ...."
"Kalau apa?" Lagi-lagi Maulana dan Tri bertanya bersamaan, kini keduanya memotong ucapan Nina.
"Belom beres ngomong gue! Jangan dipotong makanya." Nina mengdengus kesal pada kedua temannya yang sejak tadi tidak terlihat membantu.
"Lo belum cerita ke adik-adik lo, kalau lo sebenernya bukan kakak kandung mereka?" Mahesa menggeleng, "Om Kudo juga belum?"
Mahesa menggeleng lagi. "Paman nyuruh gue yang menyampaikan sendiri ke mereka. Gue bingung kapan waktu yang tepat. Dan gue takut, kalau nanti saat mereka tau faktanya mereka bakalan beda sama gue."
Nina berpindah tempat duduk, kini ia berada di sebelah Mahesa setelah mengusir Maulana yang tadi duduk di tempat itu.
"Hidup lo jangan didramatisir. Hidup ini bukan sinetron yang apa-apa pasti terlihat berlebihan. Gue yakin mereka akan nerima lo, meskipun lo itu bukan kakak kandung mereka. Lo tau sendiri, mereka seakan-akan tidak bisa hidup tanpa lo. Liat Shani, meskipun dia dewasa, tapi pelukan dan kasih sayang lo yang paling bisa membuatnya tenang. Liat Viny, dia cuman bisa manja ke lo, apa lo pernah liat dia manja ke orang lain, bahkan Shani yang notabene kakak kandungnya. Dan Beby, cuman lo yang bisa membuat dia meredakan emosinya."
Mahesa hanya terdiam mendengar nasihat dari Nina. Sahabatnya itu benar, pikirannya terlalu penuh dengan ketakutan tanpa memikirkan fakta-fakta yang ada.
"Jadi selama ini mereka belum tau kalo lo itu bukan kakaknya mereka?"
"Gila, bisa enggak tau gitu. Padahal, lima belas tahun kalian serumah. Kumaha caritana?"
Maulana dan Tri pun sama-sama tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar dari Nina dan Mahesa.
"Gue saranin, secepatnya lo sampaikan ke mereka. Semakin lama lo menunda semuanya. Semakin sakit mereka saat tau faktanya." Nina bangkit dari tempat duduknya. "Oh iya, satu lagi. Segera tentukan hati lo. Pilih Ambar atau dia!"
"Eh, Nin. Mau ke mana lo?"
"Gue ada kelas, bye!"
~~~
Mahesa tengah memikirkan ucapan Nina saat di kampus tadi. Karena itu, ia memutuskan untuk pergi ke kantor warisan ayahnya untuk menemui Kudo. Mahesa ingin membicarakan masalah ini dengan orang yang sudah merawatnya sejak kecil dan sangat tahu tentang keadaan keluarganya.
"Sore Mahesa," sapa Kudo yang baru saja memasuki ruangannya.
"Sore Paman," ucap Mahesa mambalas sapaan Kudo.
Mahesa ingin segera menyampaikan maksudnya mendatangi Kudo sore ini. Namun karena pamannya itu masih sibuk dengan beberapa berkas, Mahesa akhirnya harus menunggu beberapa saat, ia tidak ingin mengganggu Kudo yang terlihat sangat serius dengan pekerjaannya.
"Sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan, Mahesa." Kudo yang sudah menyelesaikan pekerjaannya lalu menghampiri Mahesa.
"Paman selalu saja tahu." Mahesa tersenyum.
"So ...."
"Apakah sekarang waktu yang tepat untuk memberitahukan mereka?"
"Semua terserah padamu, Mahesa. Paman akan mendukung semua keputusanmu."
"Tapi aku masih takut." Mahesa terlihat bingung.
"Apa yang kamu takutkan? Mereka sangat menyayangimu, setelah mereka mengetahui segalanya. Tidak akan sampai mereka membencimu atau malah menjauhimu. Kamu sudah menjadi seseorang yang sangat berharga bagi mereka, lebih berharga dari diri mereka sendiri."
"Semoga saja Paman. Kalau Shani dan Viny aku yakin mereka akan menerima, tapi aku tidak yakin dengan Beby. Paman tahu 'kan, betapa kerasnya dia."
"Apa perlu Paman yang membertitahu mereka?"
"Jangan. Biar Mahesa saja yang ceritakan semuanya pada mereka."
Kudo tersenyum senang, Mahesa kecil yang sering menangis kini sudah beranjak menjadi seorang pria yang dewasa.
"Kalau begitu, cepatlah pulang. Mereka pasti menunggumu di rumah." Kudo menepuk-nepuk bahu Mahesa.
"Paman belum mau pulang?" tanya Mahesa karena Kudo kembali duduk di meja kerjanya.
"Sebentar lagi, masih ada beberapa hal yang harus Paman kerjakan termasuk pemindahan kepemilikan perusahaan ke tanganmu."
Mahesa terlihat berpikir, hendak mengucapkan sesuatu. Namun tatapan Kudo mengurungkan niatnya untuk berbicara.
"Mahesa pamit. Salam untuk Bibi Alika." Mahesa akhirnya pergi meninggalkan Kudo yang kembali sibuk dengan laptopnya
~~~
Setibanya di rumah. Mahesa melihat ketiga adiknya tengah serius mengerjakan tugas.
"Serius banget sampai salamnya Kakak enggak kalian jawab." Mahesa mendekati ketiganya yang masih berkutat dengan buku, kertas, dan pensil.
"Hm," gumam Beby yang belum menyadari kedatangan Mahesa.
"Eh, Kakak. Kapan datang?" tanya Viny saat mendongakkan kepalanya. Beby dan Shani yang mendengar pertanyaan Viny ikut mendongakkan kepalanya, menatap ke arah Mahesa yang terlihat lelah.
"Baru banget. Ya sudah, kalian lanjut dulu. Kakak mau mandi, gerah. Semangat, ya!" Ketiga adiknya itu mengangguk lalu melanjutkan tugas mereka yang baru beres setengahnya.
Sesampainya di kamar. Mahesa tidak langsung menuju ke kamar mandi. Lagi-lagi pikirannya melayang-layang. Entah, ketakutannya masih sangat menguasai dirinya daripada keinginannya untuk memberitahukan fakta yang sebenarnya kepada ketiga adiknya itu.
"Argh, bingung!" Mahesa mengacak-acak rambutnya. Ia lalu melangkah ke hadapan cermin, wajahnya terlihat lelah karena seharian ini kegiatannya sangat penuh. Bukan hanya kegiatan, tapi ada hal juga yang memenuhi pikirannya.
Setelah selesai mandi, Mahesa turun menuju ruang makan ketiga adiknya sudah menunggu ia di meja makan. Di atasnya sudah tersedia berbagai macam masakan yang dibuat oleh Bi Tami.
Tidak ada kata yang terucap dari mulut Mahesa, tidak seperti biasanya. Shani, Viny dan Beby pun merasa heran dengan sikap kakak mereka, namun mereka tidak berniat menanyakan kenapa kakaknya seperti itu.
Keempatnya makan dengan khidmat sesekali Shani menatap ke arah Mahesa, ia tahu ada yang ditutupi oleh Mahesa dari ketiganya. Beby pun sama, ia adalah yang paling peka diantara ketiganya merasakan ada yang aneh sejak kepulangan Mahesa tadi.
"Kalian kenapa liatin Kakak terus?" tanya Viny polos.
"Enggak papa," jawab Beby dan Shani bersamaan.
Mahesa mendengarnya, namun ia tidak mengacuhkannya. Sejak tadi ia juga menyadari tatapan penasaran dari Shani dan Beby, tetapi belum saatnya ia bicara.
Setelah makan malam selesai, Bi Tami dibantu oleh Shani membereskan meja makan lalu mencuci semua piring dan gelas kotor bekas makan mereka. Saat semua akan beranjak ke ruang keluarga, Mahesa menahan ketiga adiknya untuk tetap duduk di meja makan, lalu ia pun memanggil Bi Tami.
"Bi, mungkin sekarang sudah waktunya." Bi Tami kaget dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Mahesa.
Bi Tami mengangguk setelah meredakan kekagetannya. Shani, Viny dan Beby menatap Mahesa dan Bi Tami secara bergantian. Sudah lima menit berlalu sejak mereka duduk bersama di meja makan.
"Sebenarnya, ada apa, sih?" tanya Beby tidak sabar.
"Iya, cepetan. Inyi masih belum beres ngerjain tugasnya." Viny menambahkan ucapan Beby.
"Jadi, kenapa. Kak, Bi? Apa yang sudah waktunya?" tanya Shani yang sama-sama tidak tahan menanti kalimat yang terucap dari mulut kakak atau asisten rumah tangga mereka itu.
Mahesa kembali berpikir lalu mengembuskan napas berat sebelum memulai menceritakan yang sebenarnya.
"Sebenarnya, Kakak bukan kakak kandung kalian." Satu kalimat yang keluar dari mulut Mahesa membuat Shani, Viny, dan Beby melotot tidak percaya.
"Maaf baru memberitahukan kalian. Kakak perlu waktu, menunggu kalian dewasa dan menerima kebenarannya."
~~~
Catatan Kaki :
Kumaha Caritana = Gimana ceritanya
BANDUNG, JULY 2019
GAK KERASA UDAH JULI LAGI
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top