Part 3
Mahesa terbangun saat mendengar perdebatan kecil kedua orangtuanya. Ini masih terlalu pagi untuk mendengarkan Yumi yang berkali-kali memohon-mohon pada Prawira agar langsung pulang setelah pekerjaannya di kantor selesai. Namun Prawira tidak enak kepada sahabat-sahabatnya, ia sudah terlanjur janji akan datang pada acara reunian sekaligus bermain futsal bersama.
"Ayah 'kan baru sembuh. Jangan maksain, deh. Bunda khawatir!" Yumi menggenggam erat tangan suaminya. "Kalau bisa juga, hari ini mendingan Ayah jangan kerja."
"Enggak bisa, Bun. Persalinan kamu sebulan lagi, loh. Ayah harus ngumpulin uang buat persiapan."
Jika sudah membicarakan tentang persalinan, Yumi selalu menyerah mendebat suaminya itu. Meski keadaan ekonomi mereka berada di atas rata-rata. Namun Prawira selalu mengingatkan bahwa tidak selamanya mereka akan berada di atas, dan selalu mempersiapkan segala kemungkinan yang bakal terjadi.
"Ya sudah. Pokoknya Ayah cepet pulang kalau udah beres main futsalnya." Prawira mengangguk lalu mendekatkan dirinya dengan Yumi. Perlahan ia mengecup kening istrinya, sangat lama. Hingga suara panggilan dari Mahesa yang membuat kecupan itu terlepas.
"Mahesa baru bangun, Nak?"
Mahesa menggeleng, "Enggak, tadi Bunda sama Ayah lagi ngobrol, jadi Hesa enggak mau ganggu. Kan kata Bunda sama Ayah, kalau ada orang dewasa lagi ngobrol jangan ganggu."
Prawira dan Yumi tersenyum mendengar penuturan anaknya itu. Mereka bangga, Mahesa bisa menangkap dan mempraktekan ucapan mereka dengan baik. Sungguh, ia adalah anak yang cerdas.
"Sekarang, kamu mandi sama Ayah. Bunda mau siapin sarapan dulu." Mahesa mengangguk lalu menggandeng tangan ayahnya menuju kamar mandi.
Selama memasak di dapur, perasaan Yumi tidaklah nyaman. Berkali-kali ia menekan dadanya, merasakan sesak yang dirasakannya. Seperti akan terjadi sesuatu yang membuatnya bersedih. Namun, berkali-kali ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa itu hanya perasaanya saja.
"Suami kamu gak akan kenapa-kenapa, Yumi! Dia baik-baik aja, kok. Jangan terlalu memikirkan apa yang belum terjadi," ucap Yumi pada dirinya sendiri sambil bercermin di centong nasi yang terbuat dari stainless steel.
Sementara di dalam kamar. Seusai mandi Mahesa merasakan keanehan dari Ayahnya, sejak tadi Prawira tidak henti-hentinya menciumi dirinya, dan berkali-kali juga ayahnya mengucap kata rindu. Padahal setiap hari mereka bertemu. Bahkan kemarin mereka baru saja family time bersama ke floating market.
"Ayah kenapa?" tanya Mahesa.
Prawira terkekeh mendengar pertanyaan Mahesa yang sudah anak itu lontarkan berkali-kali.
"Ayah enggak kenapa-kenapa, Sayang. Kenapa, sih. Kok nanyain itu terus?"
"Hesa ngerasa ada yang aneh sama Ayah," ucap Mahesa sambil menatap ayahnya yang sedang memakaikan kancing baju seragam miliknya.
"Sini, Ayah mau bilang sesuatu sama Mahesa. Tapi Mahesa harus janji sama Ayah. Apa yang nanti dibilang sama Ayah, Mahesa harus nurut dan Mahesa harus ikutin apa kata Ayah." Mahesa mengangguk. "Mahesa, kalau nanti Ayah pergi. Mahesa janji akan terus menjadi anak yang baik, anak yang sehat dan anak yang kuat. Mahesa harus jadi pelindung buat Bunda dan adik Mahesa nanti, ya. Ayah titip bunda sama adik Mahesa."
"Ayah mau pergi ke mana?" Prawira hanya menggelengkan kepalanya. Ia tidak menjawab pertanyaan Mahesa, meski anaknya itu terus mendesaknya.
Mahesa semakin dibuat bingung oleh ayahnya. Tapi ucapan dari ayahnya itu pasti akan ia lakukan.
Setelah Prawira dan Mahesa selesai memakai pakaianannya, mereka berdua berjalan menuju dapur dengan Mahesa yang ada di gendongan Prawira. Sesekali Mahesa tertawa saat ayahnya itu melompat-lompat yang membuat tubuhnya berguncang.
Yumi yang memperhatikan kebahagiaan di antara Mahesa dan Prawira menyunggingkan senyum manisnya. Dengan kehadiran Mahesa saja suaminya itu sudah sangat bahagia, bagaimana jika nanti anak kandungnya terlahir ke dunia. Mungkin kebahagiaan yang ia dan keluarganya dapat, akan bertambah berkali-kali lipat.
"Ayo sarapan, jangan bercanda terus, nanti kalian kesiangan!" ajak Yumi yang langsung diangguki oleh sepasang ayah dan anak itu.
Sesampainya di meja makan, Yumi langsung memberikan sepiring nasi goreng kepada Prawira dan Mahesa. Mahesa memegang sendoknya dan hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya, namun Prawira yang duduk di sebelahnya menahan pergerakan Mahesa dan mengabil sendok anaknya itu.
"Sini, Ayah suapin," ucap Prawira yang membuat Mahesa dan Yumi melongo tidak percaya. Hal yang cukup aneh, karena sejak Mahesa menjadi bagian dari keluarga Prawira, tidak pernah sekali pun ayahnya itu menyuapi Mahesa. Bahkan, saat Yumi ingin menyuapi anaknya, Prawira tidak jarang melarang Yumi. Alasannya, agar anaknya itu mandiri.
"Kalian kenapa?" Prawira merasa heran dengan tatapan Mahesa dan Yumi. Ia merasa tidak ada yang aneh dengan ucapannya.
"Ayah kenapa mau nyuapin, Hesa? Kan, kata Ayah, Hesa harus mandiri," ucap Mahesa polos.
"Sekali-sekali, Sayang. Sekalian belajar cara menyuapi yang baik dan benar. Biar nanti pas adiknya Mahesa lahir, Ayah enggak kaku kalau Bunda nyuruh Ayah." jelas Prawira menjawab pertanyaan dari Mahesa.
Akhirnya Mahesa mengangguk dan membiarkan ayahnya menyuapi Mahesa dengan telaten. Melihat itu, perasaan Yumi semakin tidak enak. Banyak sekali hal yang aneh terjadi pada Prawira hari ini.
Setelah sarapan yang berlangsung sangat aneh itu selesai, Prawira pamit sebentar menuju ruang kerjanya sebelum mengantar Mahesa ke sekolah. Ia mengambil buku catatan yang telah ia siapkan saat tujuh bulanan kehamilan Yumi.
"Ayo!" ucap Prawira sambil mengangkat Mahesa ke dalam gendongannya. Setelah ia memasukan buku catatan ke dalam tas kerjanya, Prawira langsung menuju pintu depan tempat Mahesa dan istrinya menunggu tadi.
"Bunda, Mahesa sekolah dulu, ya!" ucap Mahesa yang masih dalam gendongan ayahnya.
Yumi mengangguk lalu tersenyum setelah Mahesa mengecup punggung tangannya. Tubuh Prawira sengaja sedikit dibungkukkan agar anaknya itu bisa mencium punggung tangan ibunya sekaligus ia mengecup pelan perut Yumi yang sudah mulai membuncit.
"Anak Ayah baik-baik, ya. Jangan bikin Bunda kesakitan, jangan bikin Bunda kecapean. Baik-baik, ya!" Prawira berbisik tidak terlalu pelan sehingga masih bisa didengar oleh Yumi dan Mahesa.
"Bunda, Ayah pamit, ya! Baik-baik di rumah, kalau ada apa-apa langsung hubungi Ayah." Prawira mengecup dahi Yumi cukup lama. Lagi-lagi pria itu merasakan sakit di dadanya, Prawira memejamkan matanya mencoba menekan rasa sakitnya agar tidak terlihat oleh Yumi.
"Ayah, ayo berangkat. Nanti terlambat!" seruan Mahesa tepat di telinga Prawira membuat ia melepaskan kecupannya di dahi Yumi.
"Ayo!"
~~~
Prawira duduk di meja kerjanya, hari ini ia terlihat sangat bersemangat, seakan-akan ini adalah hari terakhir ia bekerja. Sepanjang perjalanan dari lobi menuju ruang kerjanya, senyum Prawira tidak pernah luntur sedikit pun dari wajah tampan dan tegasnya.
Para pegawainya merasa heran sekaligus senang, karena jarang-jarang Prawira mengeluarkan senyuman saat sedang di tempat kerja. Lelaki itu lebih sering mengeluarkan tatapan tajam yang mengintimidasi dari pada tersenyum ramah.
"Masuk!" sahut Prawira saat ada yang mengetuk pintu ruang kerjanya sekaligus memohon izin memasuki ruangan itu.
"Ah, Kudo. Akhirnya kamu datang juga."
"Selamat siang, Tuan," ucap Kudo sambil membungkukkan badannya
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan panggil aku Tuan, Kudo. Kamu sudah aku anggap adik sendiri sejak saat aku bertemu denganmu." Prawira tersenyum tipis. Memang sudah sejak lama ia meminta Kudo untuk memanggil ia dengan namanya saja tanpa embel-embel kata Tuan.
"Tap--"
"Untuk hari ini saja, Kudo. Jangan panggil aku dengan kata 'Tuan', aku mohon!" pinta Prawira.
"Baiklah Tu-- Prawira." Prawira tersenyum senang. "Jadi apa yang membuat anda memanggil saya ke sini?"
Prawira langsung mengambil buku catatan yang ia bawa dari rumahnya, dan langsung menyerahkan buku itu pada Kudo.
"Apa ini?" tanya Kudo sambil membolak-balikkan buku yang sudah berada di tangannya.
"Buka saja."
Kudo membuka lembar demi lembar buku catatan yang hanya terisi tiga lembar di depannya saja. Dari ketiganya ia hanya melihat rangkaian nama anak yang sudah dipersiapkan oleh Prawira.
"Jika saat Yumi melahirkan nanti aku enggak ada di sisinya. Tolong, berikan nama anak aku sesuai dengan apa yang aku tulis di situ, Kudo."
"Memangnya anda mau ke mana?" tanya Kudo sambil mengernyitkan dahinya.
"Tidak ada yang tahu besok atau nanti seperti apa. Mungkin saja pada hari kelahiran anakku nanti ada tugas dari perusahaan yang harus aku tangani sendiri."
Kudo mengangguk-anggukan kepalanya setelah mendengarkan penjelasan dari Prawira.
Mereka berdua berbincang-bincang beberapa menit sebelum akhirnya jam makan siang menginterupsi kebersamaan mereka yang mulai mencair. Tidak ada kekakuan lagi karena Kudo sudah tidak lagi membatasi dirinya dengan Prawira yang ia anggap tuan, meski Prawira berharap pria yang ia selamatkan di negara asal istrinya itu menganggapnya sebagai kakak.
~~~
Langit sudah mulai menggelap, kumandang adzan isya sudah menggema beberapa menit yang lalu. Di sebuah lapang futsal di pusat Kota Bandung, Prawira dan teman-temannya tengah bersiap untuk bermain. Bukan permainan yang serius, hanya untuk sedikit mengeluarkan keringat saja.
"Duh, udah lama enggak main nih gue. Pasti noob aku ini mah," ujar Prawira sambil meregangkan otot-ototnya agar tidak cidera saat bermain nanti.
"Sok merendah. Lo itu paling jago diantara kita tau, gak. Orang dengan skill bagus itu enggak bakalan hilang." Dharma sahabatnya tidak setuju dengan ucapan Prawira.
Setelah selesai melakukan pemanasan, Prawira dan teman-temannya memasuki lapangan dengan semangat. Permainan berlangsung sangat seru dengan diselingi canda dan tawa yang keluar dari pria-pria yang sudah bertahun-tahun tidak berjumpa itu.
"Woi, Pra. Istirahat dulu napa! Lo itu udah satu jam lebih main belom diganti-ganti dari tadi." Dharma memperingati Prawira yang sejak tadi kelewat semangat bermain, seakan-akan ia tidak akan pernah bermain futsal lagi.
"Tanggung, nih bentar lagi juga beres, kan!" balas Prawira sambil men-dribble bola di kakinya.
Namun saat ia akan melakukan tendangan ke gawang, tiba-tiba tubuhnya terjatuh dan tidak sadarkan diri.
"PRAWIRA!" Teman-temannya berteriak panik lalu mendekati tubuh Prawira yang lemah.
"Cepet bawa ke rumah sakit!" perintah Dharma sambil menggotong tubuh Prawira bersama temannya yang lain.
~~~
Di kediaman keluarga Prawira. Mahesa terlihat sangat gelisah, tangannya memegang mainan tapi mata dan pikirannya tidak pada mainan yang ia pegang itu. Tiba-tiba anak itu menangis kencang sekali hingga membuat Yumi yang sedang di dapur berlari ke arahnya. Karena terburu-buru tidak sengaja ia menyenggol pigura yang di dalamnya terdapat foto pernikahan Yumi dan Prawira.
Wanita itu mengabaikan pigura yang sudah pecah demi melihat keadaan anaknya yang tiba-tiba menangis.
"Mahesa kenapa?" tanya Yumi sambil menangkup kedua pipi Mahesa yang sudah dialiri air mata.
"Dada Hesa sesak, Bunda. Engap," jawab Mahesa sambil terisak. Tangan kecil Mahesa menekan-nekan dadanya yang terasa sesak. Perasaan itu tiba-tiba saja datang dengan sendirinya.
Saat sedang menenangkan Mahesa yang masih menangis. Tiba-tiba Kudo datang dengan keadaan yang tidak baik. Wajahnya menyiratkan kesedihan dan kebingungan.
"Nyo--Nyonya. Bisa ikut saya ke rumah sakit," ucap Kudo dengan terbata-bata.
"Siapa yang sakit?" Perasaan Yumi mulai tidak enak mendengar kata rumah sakit yang keluar dari Kudo.
"Na--nanti saya jelaskan. Saya mohon ikut saya." Yumi mengangguk dan mengikuti Kudo meski dengan perasaan yang tidak enak.
Hanya membutuhkan waktu empat puluh lima menit, Kudo dan Yumi akhirnya sampai di sebuah rumah sakit swasta tempat di mana Prawira dibawa oleh teman-temannya setelah terjatuh dan tidak sadarkan diri tadi. Beruntung jalanan kota Bandung malam itu tidaklah ramai.
"Semoga Prawira baik-baik saja." Seorang lelaki menepuk pundak Yumi yang baru saja sampai di depan pintu ruang UGD.
Yumi yang mendengar kalimat itu menatap Kudo, menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
"Dengan keluarga dari Bapak Prawira?" Seorang dokter datang tepat sebelum Kudo mengeluarkan kalimat penjelasannya.
"Kami mohon maaf, tidak bisa menolong Bapak Prawira. Beliau sudah meninggal sejak di perjalanan menuju rumah sakit tadi."
Yumi merasa pijakannya melemah, tubuhnya perlahan luruh ke lantai dinginnya lantai rumah sakit. Saking shock-nya, wanita itu hanya diam dengan air mata yang mengalir deras dari matanya.
"Saya turut berduka cita." Perlahan terdengar sayup-sayup kalimat istirja yang diselingi isakan tangis dari beberapa orang yang ada di dekat ruang UGD itu.
~~~
Bandung, June 2019
DI UPNORMAL PASIR KALIKI
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top