Part 17
Temaram lampu taman menemani Shani yang sedang menunggu kedua adiknya turun dari kamar mereka. Gadis itu berdiri menatap purnama yang sedang terang-terangnya. Hari ini mereka akan pergi ke sebuah gedung untuk menghadiri acara pertunangan Mahesa dan Ambarwati.
"Maaf lama, Teh." Viny terlihat sangat cantik, dengan balutan dress berwarna peach. Wajahnya dipoles makeup tipis yang membuatnya terlihat semakin mempesona.
"Ha--hai." Beby sangat gugup dengan penampilan barunya, gadis tomboy itu terlihat jauh berbeda dari biasanya. Dress berwarna senada dengan yang Viny dan Shani pakai dipadukan dengan heels sebagai alas kakinya.
"Beby cantik banget," ucap Viny memuji adiknya.
"Vin, jangan liatin gue kayak gitu. Malu." Beby menutup wajahnya yang semakin merona.
"Wah, Junio makin cinta ini mah." Shani tersenyum jahil kepada adik bungsunya itu.
"SHANI!" Beby melotot tajam mendengar ucapan Shani. Shani dan Viny malah tertawa melihat ekspresi Beby.
"Udah ayo pergi keburu macet nanti di jalan!" Beby mendahului kedua kembarannya menuju pekarangan depan rumah. Shani dan Viny tertawa semakin keras melihat Beby yang malu dengan pakaian feminim.
~~~
Setelah tiga puluh menit menembus jalanan Bandung yang padat. Akhirnya ketiga gadis kembar itu tiba di sebuah gedung di pusat kota Bandung.
Shani masih terdiam di kursinya, menyiapkan hati melihat kakak yang ia cintai bersanding dengan orang lain. Bahkan ia dan kedua adiknya belum pernah sekali pun melihat sosok Ambarwati.
Sementara di luar gedung, Kudo berdiri bersama Alika dan anaknya, di sebelahnya juga sudah ada Maulana yang menanti kedatangan si kembar tiga.
"Duh aku terlambat, ya?" Bukan tiga gadis kembar yang mereka nantikan yang menanyakan itu, melainkan Yona. Wanita itu datang bersama suami dan keempat anaknya serta adik-adik iparnya.
"Keluarga besar Shevera dateng juga nih!" ucap Nina yang juga baru datang bersama calon suaminya dan Tri bersama calon istrinya.
"Iya, nih. Sekalian lah. Mahesa juga langganan kita di Shevera cafe, kan. Lagian dia itu udah dianggap adik sendiri sama Yona," ucap Ram menanggapi Nina.
"Akhirnya kita bisa sekalian reunian," ucap Tri melihat orang-orang yang berkumpul di depan gedung itu.
"Om, itu mereka." Maulana menunjuk ke arah tiga gadis dengan dress berwarna senada yang sedang berjalan ke arah mereka.
"Itu beneran Beby?" tanya Nina, sahabat Mahesa itu pangling melihat Beby yang tampil sangat feminim.
"Ternyata si gadis tomboy bisa cantik juga," puji Kudo tanpa melepas tatapannya dari ketiga gadis yang pernah ia asuh saat mereka kecil.
"Hai, Shani, Viny, Beby!" sapa Kudo saat ketiganya tiba di dekat mereka.
"Hai, Om!" Shani, Viny dan Beby menjawab bersamaan.
"Belum mulai acaranya?" tanya Viny sambil mengalungkan tangannya di tangan Maulana.
"Belum, Mahesa juga masih di jalan katanya. Padahal Ambar udah dateng dari tadi sore." Maulana menjawab pertanyaan Viny.
Mereka akhirnya masuk bersamaan setelah kedatangan Junio. Di dalam gedung, mereka hanya berbincang-bincang sambil menikmati hidangan yang sudah tersedia bagi para tamu.
Shani menatap seorang gadis yang duduk di kursi yang ada di atas panggung. Gadis itu terlihat khawatir karena tunangannya belum datang. Padahal acara mereka akan dimulai lima menit lagi.
"Itu yang namanya Ambar, Shan." Shani menoleh saat Nina menepuk pelan pundaknya. "Jujur, gue kaget saat denger kabar dari Tri kalau Ambar jadian sama Mahesa. Saat itu gue sama sekali belum bertemu lagi dengan Mahesa, setelah kita ngobrol panjang di Shevera cafe."
Shani mencoba menekan sesak di dadanya. Ia sudah sangat ikhlas jika harus kehilangan Mahesa. Meski masih ada sedikit pengharapan agar takdir memilih dirinya yang mendampingi Mahesa. Tapi itu terlihat sangat tidak mungkin.
"Vin, ada hal yang pingin Abang ceritain sama kamu. Tapi jangan bilang kepada siapa pun lagi, ya." Saat ini Viny dan Maulana tengah berada di taman sebelah gedung tempat berlangsungnya acara pertunangan Mahesa dan Ambarwati. Keduanya bosan berada di dalam gedung karena acara mundur dari waktu yang seharusnya.
"Ada apa, Kak?"
"Sebenarnya, Mahesa masih mencintai Shani, Vin." Viny tidak terlihat terkejut dengan ucapan Maulana, sebenarnya tanpa diberitahu pun semua orang pasti tahu bagaimana perasaan Mahesa yang sesungguhnya. Bagaimana cara Mahesa menatap Shani jelas menandakan bahwa di hatinya masih ada Shani.
"Kok kamu enggak kaget, sih?" tanya Maulana penasaran.
"Semua orang juga tau, Kak. Kak Mahesa masih mencintai Teteh. Keliatan dari tatapannya kalau hati Kakak masih untuk Teh Shani." Maulana mengangguk menyetujui ucapan kekasihnya itu.
~~~
"Kakak kemana sih, lama banget." Beby merasakan ada yang aneh, hatinya tidak tenang karena acara yang seharusnya dimulai sepuluh menit yang lalu masih belum dibuka.
"Sabar napa, Beb." Junio jengah memperhatikan Beby yang mondar-mandir tidak jelas di depan pintu gedung sejak tadi. "Yang mau tunangannya aja nyantai gitu, kenapa lo yang tegang, sih."
"Bukan gitu Junionatha! Gue merasakan ada yang enggak bener, gue khawatir. Takut terjadi sesuatu sama Kakak!"
"Sini deh!" Junio menarik tangan Beby, mengajaknya duduk di sebelahnya. "Tarik napas dalam, buang pelan-pelan. Terus liat mata gue." Junio yang ditatap Beby mendadak membeku ditempatnya.
"Lo kenapa deh liatin gue kayak gitu."
"By!"
"Hah, By? Sejak kapan lo manggil gue dengan panggilan 'By'?"
"Dengerin dulu. Aku mau ngomong sesuatu. Keburu mati entar kalo kelamaan."
"Hah?"
"Cukup diem dan dengerin!" Junio menarik napas panjang lalu membuangnya pelan. "Beby Cecilia Yui Anadila Hasya Sarasvati Prawira. Maukah kamu, menyusul kedua Kakakmu?"
"Maksudnya menyusul kedua kakak gue apaan?"
"Maukah kamu jadi pendamping hidupku."
"Oh, ngomong yang jelas dong!" Beby menepuk-nepuk pundak Junio seakan-akan apa yang dibilang Junio adalah hal yang biasa.
Satu....
Dua....
Tiga....
"HAH APA?" Junio mengambil cincin dari saku kemejanya. Tanpa persetujuan Beby, pemuda itu langsung memasangkan cincin perak yang ia bawa tepat di jari manis Beby.
"Tidak ada penolakan. Dan aku juga tau, pasti kamu enggak bakalan nolak 'kan, By." Junio menatap jahil ke arah Beby, ia menarik turunkan alisnya yang membuat Beby sedikit kesal.
"Iya deh, iya." Beby menjawab malas pernyataan Junio. Namun sebenarnya, hatinya menghangat mendengar ungkapan cinta dari Junio yang sudah lama ia nantikan.
~~~
Setengah jam berlalu, belum ada tanda-tanda Mahesa akan datang ke tempat berlangsungnya acara. Bisik-bisik para tamu undangan terdengar riuh. Ambarwati sudah berkali-kali menghubungi Mahesa, namun ponselnya tidak aktif. Di panggung beberapa kali Ambarwati ditenangkan oleh kedua orangtuanya.
Kudo dan Yona juga ikut sibuk menghubungi orang-orang yang dekat dengan Mahesa untuk menanyakan keberadaan pemuda itu. Namun nihil, tidak ada satu orang pun yang mengetahui di mana Mahesa berada.
Prak!
Suara ponsel yang terjatuh membuat Viny, Beby, Kudo, Yona dan orang-orang yang berada di dekat Shani menoleh pada gadis cantik berambut panjang itu.
Tatapan Shani mendadak kosong setelah tidak sengaja menjatuhkan ponsel dari genggamannya. Kudo yang menyadari ada keanehan, langsung mengambil ponsel yang tergeletak di lantai.
"Halo, Teteh!" Suara Bi Tami terdengar sendu dari seberang sambungan telepon.
"Ini dengan Kudo, Bi. Ada apa?"
"Mahesa kecelakaan! Tadi dari rumah sakit menghubungi ke nomor rumah."
Tanpa izin terlebih dahulu Kudo mematikan sambungan telepon.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" Orang-orang yang ada di dekat Kudo menatap heran pria itu karena tiba-tiba mengajak mereka pergi ke rumah sakit.
"Shan, ayo!" Kudo menarik pelan lengan Shani, dibelakangnya istri dan anak-anak Kudo mengekori.
"Ada apa?" tanya Viny dengan perasaan tidak enak. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Viny, semuanya sibuk mengejar Kudo dan Shani yang sudah terlebih dahulu menuju tempat parkir.
Sementara Ambarwati yang melihat sedikit keributan di salah satu sudut gedung merasa penasaran. Ia ingin sekali mendekati sekumpulan orang yang terlihat tergesa-gesa itu.
"Ambar, sudah setengah jam lebih Mahesa belum juga datang," ucap Mama Ambarwati dengan nada kesal.
"Sabar, Ma. Mungkin macet." Ambarwati mencoba menenangkan Mamanya.
"Pokoknya kalau setengah jam lagi dia tidak datang. Pertunangan kalian batal!" ucap Papa Ambarwati dengan tegas. Mau tidak mau Ambarwati mengangguk mengiyakan ucapan Papanya.
~~~
Selama di perjalanan menuju rumah sakit, Shani terus menerus menangis di pelukan Yona.
"Sabar, ya. Kakak pasti baik-baik aja," ucap Yona sambil mengelus rambut Shani.
Viny, Beby, Maulana dan yang lainnya sudah tahu kalau Mahesa baru saja mengalami kecelakaan saat di perjalanan menuju gedung tempat pertunangannya dengan Ambarwati. Namun tidak ada yang tahu keadaan Mahesa, karena dari pihak rumah sakit hanya memberitahukan perihal kecelakaannya saja.
Setibanya mereka di rumah sakit. Mereka langsung mendatangi ruang UGD untuk menanyakan keadaan Mahesa.
"Suster Namira!" Alika memanggil salah satu perawat di rumah sakit. Ia mengenalnya karena rumah sakit tempat Mahesa ditangani merupakan rumah sakit tempat Alika bekerja.
"Suster Alika, ada apa?" tanya suster Namira melihat keadaan teman satu tempat kerjanya yang terlihat panik.
"Bagaimana keadaan korban kecelakaan bernama Ryuji Mahesa?"
"Oh, dia. Sebaiknya kalian melihat keadaannya sendiri," jawab suster Namira seperti tidak terjadi apa-apa.
Dengan tergesa-gesa Kudo masuk ke dalam ruang UGD bersama Alika. Sisanya menunggu di luar ruangan karena tidak boleh banyak orang yang masuk.
"Suster Alika," sapa dokter yang menangani Mahesa saat melihat Alika bersama Kudo memasuki ruang UGD.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Kudo pada dokter itu.
Kepala Mahesa dibebat dengan kain kasa. Tidak terlihat terlalu parah, namun tetap saja ada kekhawatiran jika terjadi luka dalam pada bagian kepala Mahesa.
"Aman, tidak ada yang perlu di khawatirkan dari Mahesa. Ia hanya mengalami sedikit shock dan benturan ringan yang menyebabkan luka sobek di bagian pelipis sebelah kanan. Hanya menurut penuturan saksi, mobil yang digunakan Mahesa keadaannya rusak parah. Karena ditabrak pada bagian samping belakang sebelah kiri."
"Syukurlah kalau begitu." Kudo mengelus dadanya, ia merasa lega karena tidak ada hal yang parah menimpa anak dari almarhum majikannya itu.
"Paman Kudo, Bibi Alika." Mahesa menatap dua orang yang berdiri di sebelah dokter yang menanganinya itu.
"Mahesa, kamu sudah sadar?"
"Aku tidak apa-apa, Paman. Hanya merasa sedikit pusing saja." jawab Mahesa sambil mencoba menyandarkan tubuhnya di bangsal tempatnya berbaring.
"Kalau begitu, saya pamit kar--"
"Sebentar, Dok. Ada yang ingin saya minta dari dokter, Paman dan Bibi." Ketiga orang itu mendekati Mahesa dan mendengarkan ucapan Mahesa.
~~~
Di ruang tunggu keadaan masih terasa mencekam. Kudo dan Alika yang belum kembali membuat rasa khawatir orang-orang yang masih setia menantikan kabar Mahesa semakin membesar.
Kini tersisa Shani, Viny, Beby, Maulana, Junio, Yona dan Ram yang menunggu, sisanya sudah kembali ke rumah masing-masing karena sudah terlalu malam.
Dari kejauhan seorang perempuan berlari mendekati ruang UGD
"Bagaimana keadaan Mahesa?" Perempuan itu mencengkram erat bahu Shani. Tapi Shani hanya diam tidak menjawab pertanyaan itu. Matanya masih sisa-sisa air mata masih tercetak jelas di pipi Shani.
"Kita belum mendapatkan kabar dari dalam, Ambar. Paman dan Bibi Mahesa sedang berada di dalam untuk menanyakan keadaanya." Yona mewakili Shani menjawab pertanyaan Ambarwati.
Ambarwati yang mendengar jawaban dari Yona semakin mempererat cengkramannya di bahu Shani yang membuat gadis itu meringis kesakitan.
"Heh, lepasin tangan lo dari Kakak gue!" Beby yang mendengar Shani meringis langsung berdiri dari tempatnya dan melepas paksa tangan Ambarwati yang mencengkram bahu kembarannya itu.
Ambarwati bukannya meminta maaf malah menatap Beby dengan tatapan tidak suka. Beby menatap balik Ambarwati dengan tatapan tajam yang mengintimidasi.
Namun sebelum terjadi keributan yang lebih besar. Pintu ruang UGD terbuka, sebuah bangsal baru saja didorong keluar oleh seorang perawat, di atasnya tengah berbaring seorang laki-laki dengan bebat di kepalanya dan masker oksigen yang menutupi mulut dan hidung laki-laki itu.
"MAHESA!" Ambarwati berseru saat kekasihnya terbaring tidak berdaya. Dengan tergesa-gesa ia mendekati bangsal yang didorong itu lalu mengikutinya.
"Bagaimana keadaan Mahesa, Kudo?" Kudo mengusap wajahnya kasar, ia lalu melirik ke arah Alika agar dia yang menjelaskannya pada Yona.
"Parah, Yon. Benturan di kepalanya menyebabkan gegar otak. Cedera di kepalanya cukup parah dan mengharuskan Mahesa untuk dirawat intensif." Shani yang tidak sengaja mendengar penuturan Alika mendadak lemas. Kakinya seakan-akan kehilangan pijakan lalu terduduk di lantai dingin lorong rumah sakit.
Beby dan Viny yang melihat itu langsung merangkul kakak mereka dan mendudukkannya di kursi yang ada di lorong itu.
~~~
Mahesa tidur dengan tidak nyenyak. Beberapa kali ia mengigau lalu meringis kesakitan. Namun matanya masih terpejam. Sejak dipindahkan ke ruang rawat, ia sama sekali belum membuka matanya.
"Sha--ni ... Shan." Mahesa mengigau memanggil nama Shani. Ambarwati yang mendengar kekasihnya mengucapkan nama wanita lain merasakan sakit di hatinya.
Ambarwati dengan setia menemani Mahesa sejak dipindahkan dari ruang UGD ke ruang rawat. Sementara Kudo izin pulang untuk mengantarkan Alika. Anak-anaknya tadi sudah ikut pulang terlebih dulu bersama Nina dan Tri. Beberapa saat setelah Kudo pulang, Yona dan Ram ikut menyusulnya pulang.
Shani, sama sekali belum masuk ke dalam ruang rawat Mahesa. Ia masih belum siap melihat keadaan kakaknya itu. Sementara Viny sudah tertidur dengan paha Maulana sebagai bantalnya dan Beby hanya diam bersandar di pundak Junio.
"Shani." Lagi-lagi Mahesa mengigau.
"Sayang, ada aku di sini." Ambarwati mengelus punggung tangan kanan Mahesa yang tidak terpasang selang infus.
"Shani, maafin kakak. Kakak salah udah ninggalin Shani." Ambarwati mulai tidak tahan, akhirnya perempuan itu keluar ruang rawat dan memanggil Shani untuk masuk ke dalam.
Shani yang merasa dipanggil oleh Ambarwati menoleh menatap kekasih kakaknya itu. Setelah diberitahu bahwa Mahesa mencarinya Shani melangkah dengan ragu, di belakangnya Beby mengekori mencoba menguatkan kakak kembarnya itu.
Saat berpapasan dengan Ambarwati, Beby menatapnya dengan tatapan tajam. Gadis berambut pendek itu sama sekali tidak menyukai Ambarwati, karena kesan pertamanya yang malah menyakiti kembarannya.
"Kakak," ucap Shani lirih saat melihat keadaan Mahesa yang sangat tidak baik. Kepalanya dibebat, beberapa bagian wajah kakaknya itu dipasangi kain kasa untuk menutupi luka.
Perlahan Shani mendekat lalu duduk tepat di sebelah tempat Mahesa berbaring.
"Aku di sini, Kak." Shani menarik tangan kanan Mahesa lalu mengelus punggung tangan kakaknya itu.
Mahesa membuka mata, melihat wajah Shani yang terlihat sangat kacau. Matanya sembap, sisa-sisa lelehan air mata tercetak jelas di pipi gadis yang tidak bisa dihapuskan dari hati Mahesa.
"Maafin Kakak." Mahesa mencoba menyentuh pipi Shani.
Ambarwati yang tidak tahan melihat kemesraan Shani dan Mahesa akhirnya pergi dari ruang rawat kekasihnya itu. Sebelumnya ia melepas cincin pemberian Mahesa dan memberikannya dengan paksa ke tangan Beby.
"Sampaikan pada Mahesa. Pertunangan kita batal," ucap Ambarwati pada Beby setelah memberikan cincin yang baru tersemat kurang dari sebulan itu. Wanita itu lalu pergi dengan derai air mata yang mengalir cukup deras.
~~~
Bandung, July 2019
IMPIAN ADA DI TENGAH PELUH.
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top