Part 16

Beby terkejut saat memasuki rumah, gadis itu mendapati Mahesa tengah duduk berhadapan dengan Shani di meja makan.

Namun ada yang janggal, Shani tidak terlihat bahagia dengan kehadiran Mahesa. Matanya malah menyiratkan luka yang dalam. Dan Beby merasakan itu meski ia tidak tahu apa yang membuat kakak kembarnya itu terluka hatinya.

"Kakak!" Mahesa yang mendengar panggilan dari Beby menoleh, mendapati adik bungsunya berjalan cepat ke arahnya dengan senyum mengembang. Ada rasa canggung tersirat dari cara Beby memandang Mahesa.

"Ma--maafin kebodohan Beby, Kak," ucap Beby sambil menunduk di hadapan kakaknya itu.

"Tidak apa-apa, By. Kamu apa kabar?" Beby mendongak melihat senyuman tulus dari kakaknya yang sudah lama tidak ia lihat.

"Baik, sangat baik." Beby mengulas senyum lalu memeluk Mahesa erat.

"Maafin kakak juga, ya. Kakak sudah melanggar janji Kakak pada kalian dan pada Ayah Bunda. Kakak malah pergi menghindari masalah dan tidak langsung menyelesaikannya. Tapi Kakak bersyukur, kalian masih bersama, saling menguatkan dan saling menyayangi." Mahesa mengelus rambut Beby. Dadanya terasa basah, adik bungsunya itu menangis di pelukan Mahesa.

"Sudah-sudah, jangan nangis. Masa bungsunya Kakak yang terkenal kuat ini nangis," ucap Mahesa sambil tangannya masih mengelus punggung Beby. Akhirnya gadis berambut pendek itu melepaskan pelukannya pada Mahesa lalu mengusap pelan sisa-sisa air mata yang mengalir di pipinya.

Beby melangkah menuju meja makan. Namun sebelum ia duduk di sebelah Shani, matanya melihat sebuah surat undangan yang tersimpan rapi di atas meja makan. Beby terkejut saat melihat nama yang tercantum di surat undangan itu.

Beby menatap Mahesa meminta penjelasan dari kakaknya itu. Namun sebelum Mahesa menjelaskan, terdengar seruan dari seorang gadis dari ruang tengah.

"KAKAK!" seru gadis itu lalu berlari menghambur ke pelukan Mahesa.

"Inyi! Apa kabar?" tanya Mahesa sambil membalas pelukan Viny.

"Viny baik, Kak. Kakak apa kabar?" Viny bertanya balik.

"Kakak baik, sangat baik." Mahesa mengulas senyum meski Viny tidak menyadarinya.

Mahesa melepas pelukan Viny, matanya melihat dari ujung kepala hingga ujung kaki adiknya yang manja itu.

"Wih, siapa nih yang udah berani naruh cincin di jari manis adik aku yang manja ini?" tanya Mahesa saat melihat jari manis Viny yang sudah tersemat cincin emas.

Beby dan Shani yang tidak tahu perihal itu ikut menatap Viny meminta penjelasan. Sementara Viny yang ditatap oleh kakak dan kembarannya mengembangkan senyumannya yang manis.

"Viny, Sayang kok aku di-- Mahesa!" Maulana yang baru saja masuk terkejut melihat kedatangan sahabatnya yang sudah tiga tahun tidak ia temui.

Mahesa menatap Maulana dan Viny bergantian. Sejak kapan adiknya menjadi akur dengan Maulana. Biasanya Viny akan menghindar dari Maulana.

"Apa kabar, Bro?" tanya Maulana sambil mengulurkan tangannya.

"Baik. Lo apa kabar?" Mahesa menerima uluran tangan Maulana dan menjabatnya erat.

"Baik dan sedang berbahagia." Maulana tersenyum senang, hari ini ada dua kebahagiaan yang ia dapat.

"Berbahagia?" Maulana mengangguk lalu menarik Viny ke dalam rangkulannya. Gadis manis yang sudah beranjak dewasa itu tersipu saat Maulana menunjukkan jari manisnya yang sudah tersemat cincin emas.

"Gue baru aja ngelamar Viny di hadapan kedua orang tuanya." Mahesa, Shani, dan Beby terkejut dengan ucapan Maulana. Mereka ikut senang akhirnya si gadis manja itu mendapatkan sosok yang tepat untuk mendampinginya.

"Wah, Viny selamat, ya!"

"Keren lo, Vin. Selamat, ya! Semoga lancar sampai harinya nanti."

"Ah, Inyi-nya Kakak udah dewasa. Selamat, ya adik manjaku."

Mahesa menarik Viny ke dalam pelukannya yang diikuti oleh Shani dan Beby. Keempat bersaudara itu berpelukan dengan penuh rasa kasih sayang.

"Eh, lo jangan ikutan! Sana pergi." Mahesa mengusir Maulana yang sudah siap ikut ke dalam pelukan mereka.

"Jahat amat, Kakak ipar." Maulana berpura-pura cemberut yang akhirnya mengundang tawa orang-orang yang ada di tempat itu.

~~~

Saking bahagianya dengan kabar Viny yang sudah dilamar oleh Maulana, Beby melupakan tentang surat undangan pertunangan yang ada di meja makan.

Mereka saat ini tengah berkumpul di ruang tamu, mendengarkan cerita Mahesa saat berada jauh dari ketiga adiknya dan sahabat-sahabatnya juga.

"Oh iya. Sampai lupa kan maksudnya Kakak datang ke sini."

"Ada apa, Kak?" tanya Viny penasaran. Sementara firasat Beby sudah tidak enak dan raut wajah Shani menjadi murung.

Bukannya menjawab, Mahesa malah bangkit dari tempatnya duduk.

"Mau ke mana lo, Sa?" tanya Maulana saat melihat Mahesa melangkah ke luar rumah.

"Ke mobil, mau ngambil sesuatu," jawab Mahesa lalu melanjutkan langkahnya yang sempat tertahan.

Mahesa kembali dengan membawa selembar surat undangan di tangannya. Setelah kembali duduk di tempatnya, Mahesa menyerahkan surat undangan yang ia bawa tadi pada Maulana.

"Sa, ini enggak salah?" tanya Maulana saat melihat nama yang tercantum di surat undangan itu. Raut wajahnya tidak menyiratkan kebahagiaan karena sahabatnya akan bertunangan.

Mahesa menggeleng, "Datang, ya. Gue dan Ambar pasti akan bahagia kalau kalian hadir di acara pertunangan kami." Ucapan Mahesa diakhiri dengan senyuman.

Bagai disambar petir di siang bolong. Viny dan Beby tersentak dengan ucapan Mahesa yang menyebutkan akan bertunangan dengan seorang perempuan yang terdengar asing di telinganya.

Ketiga gadis kembar itu hanya bisa diam saking terkejutnya dengan kabar pertunangan kakaknya yang tiba-tiba. Baru saja mereka bertemu dan berbagi kebahagiaan, akhirnya mereka harus merasakan sakit.

"Vin," bisik Maulana sambil mengusap-usap bahu kekasihnya itu. Ia tahu kalau Viny sekarang tengah merasakan perih di hatinya karena sudah pasti dan sudah sangat jelas kalau Shani merasakan itu.

"Kakak pamit dulu, ya. Besok-besok pasti Kakak berkunjung lagi ke sini. Atau kalian bisa berkunjung ke apartemen Kakak." Mahesa bangkit dari tempatnya. Ia diantar oleh Maulana menuju tempat mobilnya terparkir.

"Selamat, Bro. Gue enggak nyangka bakalan kayak gini ceritanya." Maulana merentangkan tangannya hendak memeluk sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu.

"Lebih baik seperti ini. Sebenarnya, gue masih menyayangi Shani, dari dalam hati gue masih ada Shani. Bahkan setelah pergi jauh dan mencoba membuka hati untuk Ambar, tetap saja nama Shani masih paling dominan menguasai hati dan pikiran gue." Maulana menepuk-nepuk kasar punggung Mahesa mencoba menguatkan sahabatnya yang sedang berada di pelukannya itu. 

"Semua akan indah pada waktunya. Keputusan lo dengan melamar Ambar memang menyakiti adik-adik lo. Tapi, mungkin ini jalan yang Tuhan kasih agar adik-adik lo bisa hidup lebih mandiri dan tidak terus-terusan bergantung pada lo." Maulana melepaskan pelukannya. "Sekali lagi, selamat. Salam buat Ambar."

Mahesa menaiki mobilnya lalu pergi dari pekarangan rumah yang menjadi saksi kehidupannya yang indah.

Di dalam rumah, Shani, Viny dan Beby menatap kepergian Mahesa dari balik jendela. Rasa sesak yang dirasakan oleh Shani lagi-lagi menular kepada kedua adiknya.

"Shan, maafin gue." Lagi-lagi Beby merasa bersalah, jika bukan karena keegoisannya di masa lalu. Mungkin Shani tidak akan merasakan luka sedalam ini.

"Bukan salah kamu, By. Mungkin sudah takdirnya aku dan Kakak tidak bisa bersama." Shani mendekati Beby yang mulai terisak. Rasa bersalah dan perasaan di hati Shani membuatnya merasakan sakit yang semakin dalam.

"Viny masih berharap, takdir akan mempersatukan Teteh dan Kakak. Tadi saat di hadapan Ayah dan Bunda, Viny meminta pada mereka agar menyampaikan pesan Viny ke Tuhan. Viny minta Teteh dan Kakak bersatu itu cukup untuk Viny," ucap Viny sambil terisak. "Tapi, takdir berkata lain. Kakak sudah akan berbahagia dengan seseorang."

Viny memeluk Shani yang mulai menangis. Meski sudah berkali-kali ia mencoba menahan tangisnya, tetap saja cairan bening itu meluncur tanpa izin. Beby ikut memeluk Shani, mencoba menenangkan kakak kembarnya itu.

~~~

Bandung, July 2019
TERLALU CEPAT?


R.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top