Part 12
Tri, Nina, dan Maulana menatap Mahesa yang terlihat lesu. Kepalanya disandarkan di meja tempat mereka berkumpul.
"Mahesa kenapa?" tanya Yona kepada ketiga sahabat Mahesa yang terlihat seperti mayat hidup.
"Patah hati mungkin."
"Paling ge dijauhin adik-adiknya lagi."
"Ada masalah di hati dia kayanya, Kak Yon."
Ketiga temannya dan Yona merasa iba dengan kondisi Mahesa yang sangat tidak baik. Berkali-kali pemuda itu menghela napas seperti sedang memikul beban yang sangat berat.
"Gue balik, deh. Masih ada tugas. Lagian Mahesa lagi kondisi kayak gini, jadi enggak asyik, ah!"
Maulana pamit kepada teman-temannya. Lalu tidak berapa lama kemudian Tri menyusul karena mendadak dihubungi oleh ibunya. Kini di meja itu hanya ada Mahesa dan Nina. Gadis itu masih sibuk dengan laptopnya, mengerjakan tugas kuliah. Sesekali ia juga melirik ke arah Mahesa yang sama sekali belum merubah posisinya.
Setelah tugasnya selesai, Nina mematikan laptopnya lalu menyimpannya ke dalam tas. Ia yang sudah tidak tahan dengan keadaan temannya itu akhirnya bertanya pada Mahesa tentang dirinya yang terlihat mengenaskan.
"Lo kenapa, deh?" tanya Nina
"Layu sebelum berkembang!"
"Hah, maksud lo apaan?" Nina dibuat heran dengan kalimat ambigu yang baru saja keluar dari mulut Mahesa.
"Terhempas sebelum berlayar."
"Udah gila ni anak!" Nina bergidik ngeri, takut sahabatnya itu benar-benar gila.
"Jatuh sebelum melayang."
Mahesa meracau tidak jelas membuat Nina memanggil Yona untuk menemaninya.
"Kak Yona, punya obat anti gila, gak?" Yona yang merasa terpanggil menghampiri meja tempat Nina dan Mahesa.
"Mati, aku mati." Mahesa terus menerus meracau tanpa memperdulikan tatapan heran dari Yona dan Nina.
"Kalau kamu mati udah dikubur, Mahesa!"
"Kak, Yona," rengek Mahesa lalu memeluk tubuh Yona dari samping.
Wanita itu meletakkan punggung tangannya di dahi Mahesa, memastikan salah satu anak asuhnya di panti tempat ia bekerja dulu dalam keadaan sehat. Yona lalu melirik Nina, bertanya pada gadis itu meski tanpa suara. Nina yang ditanya hanya mengangkat bahunya tidak tahu.
"Ada yang mau kamu ceritakan?" Mahesa mengangguk.
"Aa, Shelsa, Vee. Ini ada pasien!" Yona memanggil pemilik Shevera untuk membantu menyelesaikan masalah Mahesa.
"Ada apa, Sayang?" tanya pria yang dipanggil Aa oleh Yona begitu berada di hadapannya.
"Ini, A'. Mahesa lagi galau. Dari tadi ngomongnya aneh-aneh."
"Kena penyakit gila kayanya dia, Om," ucap Nina sekenanya.
"Yaudah, yuk. Pindak ke pojokan, biar enak ngobrolnya." ajak wanita yang berdiri di sebelah pria yang dipanggil Aa, Mahesa lalu bangkit. Dengan langkah lesu ia mengikuti Yona, Ram--pria yang dipanggil Aa-- dan Vee --wanita yang tadi berdiri di samping Ram--. Dibelakangnya Nina dan Shelsa--adik Ram dan Vee-- mengekori.
"Sebentar." Ram menengokkan kepalanya mencari keberadaan seseorang. Setelah mendapati orang yang ia cari, Ram memerintahkan salah satu pegawainya itu untuk meng-handle semua pekerjaan sampai sesi curhat Mahesa bersama ketiganya selesai.
~~~
"Shan, tunggu!" Beby mengejar Shani yang sejak tadi berjalan jauh di depannya. Sejak tadi pagi, Shani terus menghindari adik bungsunya itu. Sementara Viny, ia tidak ingin ikut campur masalah kedua kakaknya itu. Meski terlihat manja dan kekanak-kanakan gadis itu sudah bisa menerima apa yang terjadi diantara Shani dan Mahesa berbeda dengan Beby yang memang keras.
Pagi tadi Beby berbicara berdua dengan Viny tentang kejadian semalam. Saat gadis itu meminta Mahesa untuk menutup pintu hatinya pada Shani. Tanpa mereka duga Shani mendengar pembicaraan mereka dan membuat Shani kesal pada adik bungsunya itu.
Shani bukanlah Beby yang menyelesaikan masalah dengan emosi, ia lebih memilih menghidar daripada harus beradu argumen atau meluapkan amarahnya.
"By, kamu enggak ngerti perasaan aku!" Shani menghentikan langkahnya karena sudah lelah menghindari Beby.
"Shan, lo egois!" Beby menaikkan nada bicaranya.
"Egois kamu bilang?" Shani pun akhirnya tidak bisa menahan diri lagi. Gadis itu kini ikut terpancing emosinya.
"Kakak milik kita, bukan milik salah satu dari kita! Lo pingin memiliki segalanya Shan!"
"By, apa aku salah punya perasaan lebih ke Kakak. Apa salah, By?!"
"Gue takut, kalau pada akhirnya dia lebih perhatian sama lo, yang akhirnya mengabaikan gue dan Viny. Lo jangan egois Shani!"
Shani terdiam, ia tidak tahu lagi harus menjawab apa. Beby benar, tapi ia tidak rela jika harus menutup hatinya untuk Mahesa. Perasaannya sudah terlalu dalam pada kakaknya itu, apalagi setelah ia tahu bahwa Mahesa bukan kakak kandungnya.
"Lo diem berarti lo setuju dengan ucapan gue."
Shani tidak menjawab lagi ucapan Beby dan memilih pergi. Hancur sudah perasaannya.
Dari kejauhan, Viny menangis merasakan sesak di dadanya. Perasaan sakit hati yang diterima Shani menular kepadanya, bukan hanya Viny. Beby juga sebenarnya merasakan itu, karena dia yang paling peka diantara saudara kembarnya. Tapi kali ini ia mencoba untuk tidak memperlihatkannya, karena rasa sakit yang ia rasakan adalah karenanya juga yang dengan tega meminta Shani dan Mahesa untuk tidak berhubungan lebih dari hubungan adik kakaknya.
~~~
"Inyi, kamu kenapa?" Maulana yang tidak sengaja lewat taman dekat rumah Mahesa melihat Viny tengah duduk di salah satu bangku sambil terisak.
"Bang Maul!" Tiba-tiba Viny memeluk Maulana dengan erat.
"Sakit!" Viny merintih sambil memukul-mukul punggung Maulana pelan.
"Inyi kenapa?" Maulana panik mendengar ucapan Viny.
"Dada Inyi sakit. Engap ...." Viny mengeratkan pelukannya.
"Ke dokter, yuk. Kita periksa, takut kenapa-kenapa!" Maulana panik begitu mendengar Viny mengeluhkan sakit di dadanya.
"Inyi sakit, Eby jahat!" ceracau Viny yang membuat Maulana tidak mengerti dengan maksud gadis itu.
"Inyi tenang dulu, ya." Maulana mengelus pelan punggung Viny, mencoba menenangkan adik dari sahabatnya itu. Pelukan mereka begitu erat, ia tidak peduli jika banyak orang yang akan melihatnya berpelukan di tempat umum. Yang ia pedulikan hanya gadis yang sejak lama ia sukai itu, dan ia berharap dengan pelukannya, Viny bisa lebih tenang.
Setelah lima menit, akhirnya Viny bisa sedikit tenang. Gadis itu melepaskan pelukannya pada Maulana, dan mengusap sisa-sisa air matanya.
"Inyi kenapa?" tanya Maulana setelah melihat Viny lebih tenang dari sebelumnya.
"Baru kali ini Inyi ngerasain apa yang dirasain sama kembaran Inyi. Enggak tau kenapa."
"Emang apa yang Inyi rasain?"
"Sakit, di sini." Viny menekan dadanya yang masih terasa sesak.
"Ada apa emangnya. Abang juga ngeliat Kakak kamu kayak yang enggak punya nyawa hari ini."
Viny akhirnya menceritakan apa yang terjadi diantara Shani dan Mahesa. Kisah cinta mereka yang tidak bisa bersama karena Beby yang meminta mereka untuk tidak memiliki hubungan lebih dari sekedar adik-kakak.
~~~
Di tempat lain di sebuah taman dekat sekolah, Beby menangis dalam diamnya. Dari kejauhan, seorang pemuda seusia Beby sejak tadi terus memperhatikan gadis itu.
"Lo terlalu keras sama Shani, Beb. Sampai lo sendiri merasakan sakitnya," ucap pemuda itu saat duduk di sebelah Beby. Ia tidak tahan melihat Beby menangis sesegukan yang akhirnya ia memilih untuk mendekati Beby.
Beby menoleh mendapati Junio duduk manis di sebelahnya. Gadis itu biasanya akan dengan cepat mengusir Junio jika berada di dekatnya. Tapi karena kondisinya yang sedang tidak baik, ia memilih membiarkan pemuda itu.
Junio memberanikan diri merengkuh tubuh Beby, gadis itu langsung saja menyandarkan kepalanya di bahu Junio.
"Apa gue terlalu egois? Apa gue salah?" ucap Beby dengan nada lirih. Sudah hampir dua jam ia merasakan sesak di dadanya.
"Entah gue harus jawab apa. Karena lo yang ngerasain dan lo yang mengalami. Tapi menurut gue, lo terlalu keras sama kakak lo."
Beby masih terisak baru kali ini ia merasakan sakit yang sesakit-sakitnya. Padahal ia adalah gadis yang kuat dan tidak mudah menangis. Tapi karena rasa sakit yang terlalu dalam yang diterima Shani menular kepadanya dan membuat gadis itu lemah dan tidak berdaya.
Junio mencoba menenangkan gadis yang ia sukai itu. Ia mengusap punggung Beby pelan sesekali ia juga mengusap rambut Beby.
~~~
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tidak biasanya Shani masih berada di luar rumah. Gadis itu tidak ingin pulang, dia masih marah pada Beby, ia juga enggan memperlihatkan kesedihannya pada Mahesa.
Kini Shani tengah berada di rooftop sekolahnya. Kerlap-kerlip lampu dari mobil-mobil yang berjalan di kejauhan terlihat indah. Purnama yang sedang terang-terangnya seharusnya menjadi hal yang indah untuk dinikmati. Namun karena hatinya yang sedang muram, keindahan itu terabaikan oleh Shani.
Hembusan angin malam menerbangkan helai-helai rambut Shani. Pandangannya lurus ke depan, menatap keramaian di jalanan depan sekolahnya. Dinginnya malam yang menusuk tidak ia hiraukan, sepertinya rasa sakit di hatinya membuat semua tubuhnya menjadi mati rasa.
Untung saja Shani masih memiliki pikiran yang jernih dan tidak memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan melompat dari rooftop sekolahnya.
~~~
Mahesa masih berada di dalam cafe Shevera, setelah pemuda itu menceritakan masalahnya kepada Ram, Vee, Shelsa, Yona dan Nina. Kini ia sedang menunggu mereka memberikan saran dan nasihat untuknya.
Alunan lagu dari live music di dalam cafe itu menambah sendu suasana yang ada di meja tempat mereka berkumpul.
Indah, terasa indah
Bila kita terbuai dalam alunan cinta
Sedapat mungkin terciptakan rasa
Keinginan saling memiliki
"Saran gue, nih ya. Mendingan sekarang lo coba deketin Beby, beri dia pengertian. Dan lo harus membuktikan bahwa lo bisa adil sama semua adik-adik lo, Sa," saran Ram kepada Mahesa.
"Tapi Beby itu keras A'. Kalau dia sudah bilang B ya pasti B enggak mungkin bakalan jadi C apalagi D."
Namun bila itu semua
Dapat terwujud dalam satu ikatan cinta
Tak semudah seperti yang pernah terbayang
Menyatukan perasaan kita
"Itu yang susah, A'. Aku juga sebagai temannya Mahesa tau banget Beby kayak gimana anaknya." Nina menambahkan ucapan Mahesa.
Ram, Vee, Shelsa dan Yona terlihat tengah berpikir keras.
"Ada satu hal yang bisa kamu lakuin, Hesa. Tapi ...."
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua
Berdua
"Tapi apa, Kak?"
"Aku enggak yakin kamu bisa lakuin ini. Tapi sepertinya ini bakal jadi satu hal yang sebaiknya kamu lakukan." Vee menimbang-nimbang apakah sarannya ini bisa menjadi solusi terbaik atau malah akan menambah masalah.
"Apa itu, Kak?"
"Kamu harus pergi dari rumah itu."
Sudah, terlambat sudah
Kini semua harus berakhir
Mungkin inilah jalan yang terbaik
Dan kita mesti relakan kenyataan ini
Kelima orang yang duduk di meja itu melotot tidak percaya dengan saran yang cukup ekstrim dari Vee.
"Kenapa harus seperti itu?" tanya Mahesa yang masih tidak yakin dengan saran Vee.
"Semakin sering kamu bertemu dengan Shani, akan semakin besar rasa cinta yang ada di hati kamu dan juga di hati Shani. Lalu, semakin sering kamu bertemu Beby, akan semakin besar rasa sakit yang kamu rasakan." Vee menjeda ucapannya lalu menyesap es teh manis yang tersaji di hadapannya. "Meski kamu bisa terlihat biasa saja di hadapan mereka, bukan berarti hatimu akan baik-baik saja. Pada akhirnya, yang mereka harapkan kamu adil, kamu malah akan mengabaikan mereka, termasuk Viny. Kalau seperti itu, kenapa tidak sekalian kamu hilang dari kehidupan mereka untuk sementara?"
Tetaplah menjadi bintang di langit
Agar cinta kita akan abadi
Biarlah sinarmu tetap menyinari alam ini
Agar menjadi saksi cinta kita
Berdua
Berdua
Menjadi saksi kita berdua
"Idenya Kak Vee bisa dipertimbangkan, Mahesa. Tapi, entah aku ngerasa malah akan merusak hubungan si kembar." Shelsa ikut berbicara setelah sejak tadi hanya mendengarkan ucapan kedua kakaknya. "Mereka pada akhirnya akan saling menyalahkan atas kepergian Mahesa. Tapi, kenapa tidak untuk dicoba. Biar mereka berpikir betapa berharganya kamu, Mahesa."
"Aku setuju sama Vee. Kak Yona pasti bantu kamu Mahesa. Kakak sudah menganggap kamu seperti adik sendiri, Kakak juga selama ini memperhatikan sejak kamu diadopsi oleh Tuan Prawira. Kali ini, kamu harus membuat mereka menjadi dewasa dan tidak bergantung padamu terus Mahesa. Sudah waktunya kamu juga memikirkan hidupmu bukan hanya adik-adik kamu."
Mahesa masih berpikir dan menimbang-nimbang saran siapa yang terbaik yang harus dia lakukan. Pemuda itu tidak tega meninggalkan adik-adiknya yang masih perlu ia bimbing.
"Gue setuju sih sama saran Kak Vee, Om Ram juga. Gimana kalau lo coba buat ngobrol baik-baik sama Beby, beri dia pengertian. Kalau adik bungsu lo itu masih belum bisa menerima penjelasan lo. Ya udah, lo pergi dari kehidupan mereka. Biar nanti mereka menjadi dewasa tanpa lo. Biar mereka berpikir harus seperti apa hidup mereka tanpa lo. Karena di masa depan nanti akan ada masanya mereka lepas dari lo dan memiliki kehidupan masing-masing." Nina menyimpulkan apa yang ia dengar lalu menyarankannya pada Mahesa.
"Terima kasih, Om Ram, Kak Vee, Kak Shelsa, Kak Yona, Nina. Saran dari kalian akan aku coba. Bukan hanya untuk aku, tapi untuk mereka juga. Dan semoga ini yang terbaik buat kami."
~~~
Mahesa sudah yakin dengan keputusannya. Ia akan mengikuti saran dari Ram, Vee, Shelsa, Yona, dan Nina. Dan malam ini, ia akan langsung membujuk Beby. Jika tidak, mungkin ia akan mempertimbangkan saran ke dua yang diberikan oleh Vee.
Namun setibanya di rumah, Mahesa tidak mendapati ketiga adiknya di ruang keluarga. Ia mencoba naik ke lantai dua menuju kamar mereka, tetapi sama ketiganya masih tidak ada di dalam kamar.
"Bi!" Mahesa memanggil Bi Tami untuk menanyakan ketiga adiknya.
"Iya, Kak?" tanya Bi Tami setelah berada di hadapan Mahesa.
"Shani, Viny sama Beby ke mana, ya?"
"Lah, Bibi kirain mereka pulang sama Kakak." Raut wajah Bi Tami menjadi panik begitu juga Mahesa. Karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan ketiga adiknya belum pulang sama sekali.
Mahesa mencoba menghubungi Shani, namun suara wanita dari operator yang menjawab panggilannya, ponsel gadis itu tidak aktif. Mahesa mencoba untuk tenang, kini ia menghubungi Viny. Nihil, hingga nada tering terakhir, Viny sama sekali tidak mengangkat panggilannya. Terakhir ia mencoba menghubungi Beby. Di percobaan pertama, Beby tidak mengangkat panggilannya. Mahesa kembali mencoba menghubungi Beby untuk ke dua kalinya, namun kini ponsel Beby tidak aktif.
Mahesa langsung menghubungi Kudo. Siapa tahu pamannya itu mengetahui keberadaan ketiga adiknya.
Setelah nada dering ke tiga, sambungan telepon dari Mahesa tersambung pada Kudo.
"Halo, Paman!"
"Ada apa, Mahesa?"
"Apa Paman bersama dengan Shani, Viny, atau Beby?"
"Tidak Mahesa. Kenapa?"
"Mereka belum pulang, Paman." Mahesa mengusap wajahnya kasar. Ia semakin khawatir karena tidak ada kabar dari ketiganya.
"Coba kamu hubungi mereka."
"Sudah, Paman. Ponsel Shani tidak aktif, Viny tidak mengangkat panggilan Mahesa, Beby pun sama."
"Kamu tenang, ya Mahesa. Paman akan menyuruh orang untuk mencari mereka." Mahesa mengangguk meski tidak akan bisa dilihat oleh Kudo.
Setelah sambungan terputus, Mahesa mengambil kunci motornya berniat untuk ikut mencari ketiga adiknya. Ia tidak bisa hanya berdiam diri saja di dalam rumah dan menunggu mereka.
Namun pada saat ia akan membuka pintu rumah. Suara deru sepeda motor yang sangat ia kenali memasuki areal rumah.
"Lo kenapa enggak kasih tau gue kalau Viny sama lo, Maul!" Mahesa langsung mendekati Maulana yang mengantarkan Viny pulang.
Viny menoleh sebentar ke arah Mahesa lalu pergi begitu saja ke dalam rumah tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Sorry. Viny yang bilang ke gue jangan menghubungi lo atau siapapun. Dia lagi pengen menenangkan diri." Maulana menepuk pundak Mahesa lalu pamit untuk pulang karena sudah terlalu malam.
Beberapa menit kemudian, Beby pulang dengan diantar Junio. Mahesa hendak memarahi Junio karena terlalu malam mengantarkan adik bungsunya itu pulang. Namun karena melihat Beby yang kondisinya tidak baik, ia memilih untuk menanyakannya nanti pada adiknya itu dan membiarkan Junio pulang.
Mahesa menunggu kedua adiknya selesai mandi, ia duduk di sofa ruang keluarga. Selain menantikan Viny dan Beby, Mahesa juga menunggu kepulangan Shani.
Setengah jam berlalu. Viny dan Beby masih belum turun dari kamarnya. Shani juga belum terlihat tanda-tanda kepulangannya. Mahesa yang sudah terlalu lama menunggu akhirnya naik ke lantai dua menuju kamar si kembar.
Mahesa mengetuk pelan pintu kamar mereka. Setelah tiga kali tidak ada jawaban dari dalam, ia membuka pintu lalu masuk ke dalam. Mahesa mendapati Viny yang duduk bersandar sambil memeluk boneka kesayangannya, sementara Beby hanya tiduran sambil menatap langit-langit kamarnya.
"Shani ke mana? Dia enggak bareng sama kalian?" Viny menggeleng, sementara Beby hanya diam tidak menjawab pertanyaan kakaknya.
Kekhawatiran Mahesa semakin bertambah. Waktu terus berjalan, kini jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, dan Shani belum pulang. Tidak biasanya gadis itu pulang selarut ini.
"Kakak enggak usah khawatir berlebihan. Shani enggak bakalan kenapa-kenapa," ucap Beby dengan nada datar tanpa menoleh sedikit pun ke arah Mahesa. Viny melotot tajam ke arah Beby, mengapa tidak ada rasa khawatir sedikit pun di hati adik bungsunya itu.
Mahesa akhirnya benar-benar pergi mencari Shani. Ia juga belum mendapatkan kabar dari Kudo tentang keadaan Shani membuat kekhawatirannya semakin bertambah.
~~~
BANDUNG, JULY 2019
YANG BILANGNYA MAU TIDUR CEPET TAPI MALAH UPDATE CERITA!
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top