PART 1
Mahesa duduk sendirian di bawah pohon Mahoni yang berada tepat di taman belakang panti asuhan tempat ia tinggal. Baju yang ia kenakan sudah penuh dengan lumpur, wajahnya yang putih terlihat sangat kotor dengan beberapa bercak-bercak dari lumpur. Banyak baret merah di tangan putih mulusnya, akibat terjatuh saat 'bermain' tadi.
Anak berusia lima tahun itu hanya diam menunduk, air matanya menetes sedikit demi sedikit. Ia tidak mengerti kenapa dirinya sering sekali dijahili oleh teman-teman sebayanya di panti. Apakah karena dirinya yang berbeda dari anak lainnya.
Mahesa terlihat terlalu menonjol dari segi fisik, tubuhnya yang putih bersih dan berbadan lebih tinggi dibanding teman-temannya. Teman-temannya selalu ingin melihat Mahesa kotor, dan terlihat jelek. Hingga pada akhirnya ia akan dimarahi oleh ibu panti karena pakaiannya yang kotor. Bahkan jika ia sudah mandi, ada saja yang dilakukan oleh penghuni panti lainnya agar tubuh dan pakaiannya tidak terlihat bersih.
"Kenapa mereka jahat sama Mahesa. Mahesa salah apa sama mereka?" tanya Mahesa pada dirinya sendiri sambil memainkan lumpur yang menggenang di bawah pohon Mahoni. Ia menuliskan kata 'Mama' di lumpur sisa hujan semalam itu.
Ia mengusap air mata dengan tangannya. Tidak peduli usapannya itu malah akan membuat wajahnya semakin kotor.
Saat tengah menikmati kesendiriannya, siluet orang dewasa terlihat menutupi lumpur yang sedang Mahesa mainkan. Anak berusia lima tahun itu mendongak, seorang pria dewasa berdiri tegap tengah menunduk menatapnya.
"Kamu kenapa sendirian?" tanya pria dewasa itu setelah berjongkok menyamakan posisinya dengan Mahesa.
Mahesa menggeleng pelan, tidak ingin menjawab ucapan pria dewasa yang sedang menatapnya itu.
"Kita adopsi dia ya, Darl," ucap seorang wanita yang datang bersamaan dengan pria itu.
"Siapa nama kamu?" tanya si pria sambil membersihkan rambut Mahesa yang kotor oleh lumpur.
"Mahesa," jawab Mahesa pelan.
"Mahesa mau ya, ikut kami?" Tanpa izin terlebih dahulu, wanita itu menggendong Mahesa. Anak itu hanya diam, menikmati gendongan dari seorang wanita dewasa yang nyaris tidak pernah ia rasakan sama sekali.
Pasangan suami-istri itu lalu berjalan ke dalam panti. Beberapa anak menatap Mahesa tidak suka. Seharusnya mereka yang diadopsi oleh pasangan suami-istri itu. Tapi, mengapa tidak ada satu pun dari mereka yang dapat memikat hati pasangan itu selain Mahesa.
"Mahesa mandi sama Bunda, ya!" Wanita itu mulai berani menyebut dirinya bunda. Mahesa hanya mengangguk, mengikuti keinginan calon ibu tirinya itu.
Sementara si suami tengah mengurus administrasi dan surat-surat adopsi. Wajahnya terlihat senang, akhirnya bisa memiliki seorang anak, meski bukan dari rahim istrinya.
"Terima kasih Tuan Prawira. Semoga Mahesa bisa menjadi anak yang baik, penurut dan membanggakan bagi kalian." Penjaga panti menjabat tangan Prawira, pria yang mengadopsi Mahesa.
"Terima kasih juga, Mbak. Sudah merawat Mahesa hingga seusia sekarang. Ya, meski kami bukan orangtua kandungnya. Tapi, sekali lagi terima kasih." Penjaga panti itu tersenyum ramah dan mengangguk mendengar perkataan dari Prawira.
Penjaga itu terlihat sangat lega karena ada orang yang mau membawa Mahesa dari panti. Ia merasa kasihan melihat Mahesa terus-terusan diganggu oleh teman-temannya dan selalu kena marah oleh ibu panti. Sebagai penjaga baru, gadis itu hanya bisa melihat tanpa bisa membantu banyak.
Beberapa saat kemudian, Mahesa muncul dari dalam panti menuju ruang depan tempat Prawira menunggu. Anak berusia lima tahun itu terlihat sangat tampan, kulitnya yang putih matanya yang sipit dan hidungnya yang mancung membuat siapapun pasti terpesona.
"Aduh, anak Ayah udah ganteng." Prawira mendekati Mahesa lalu menggendongnya. Saking bahagianya, ia tidak henti-hentinya menciumi pipi Mahesa yang gembil.
Mahesa tertawa karena merasakan geli. Hatinya yang gelap perlahan menjadi terang, ia baru merasakan kehangatan dan kebahagiaan keluarga seperti sekarang.
"Ayah, Bunda juga mau gendong Mahesa," pinta istrinya kepada Prawira.
Prawira menyerahkan Mahesa pada istrinya. Setelah terlepas dari tangannya Prawira mengelus pelan wajah istrinya. "Tuan putri Yumi. Kamu jangan bersedih lagi karena kehilangan dua anak yang belum sempat kamu dan aku lihat. Sekarang ada Mahesa, anak tampan yang kelak akan menjadi seseorang yang kuat dan hebat." Istri Prawira yang bernama Yumi itu tersenyum manis dengan air mata haru yang mengalir pelan dari pelupuk matanya.
"Bunda kenapa nangis?" tanya Mahesa sambil mengusap pelan air mata yang mengalir di pipi ibunya itu.
"Bunda enggak nangis, Sayang. Bunda bahagia," ucap Yumi lalu memeluk erat Mahesa yang langsung diikuti oleh Prawira.
~~~
Sebelum mereka membawa Mahesa ke kediaman keluarga Prawira. Pasangan suami-istri itu mengajak Mahesa berjalan-jalan ke mall untuk belanja pakaian, mainan dan apa pun yang diinginkan Mahesa.
Setibanya di mall daerah Pasirkaliki, mereka bertiga turun dengan Mahesa yang masih dalam gendongan Yumi. Sejak dari panti asuhan tadi, tidak sedetik pun Yumi melepas anak itu dari pelukannya, meski sesekali Prawira menyuruhnya membiarkan Mahesa duduk sendirian.
"Bunda, gantian dong. Ayah juga pingin peluk Mahesa." Prawira pura-pura cemberut yang sontak membuat Yumi dan Mahesa tertawa. Wajah tegas Prawira tidak cocok sama sekali dengan ekspresinya yang sedang ia tunjukkan saat ini.
"Ayah jelek," celetuk Mahesa yang membuat Yumi semakin tertawa. Prawira yang pura-pura kesal mendekati Mahesa lalu menggelitik anak angkatnya itu.
"Ayah, udah. Capek. Hahaha ... udah, udah." Napas Mahesa terengah-engah setelah mendapat kelitikan yang cukup lama dari ayahnya.
"Ayah udah, ya. Kasihan Mahesa." Yumi mencoba menjauhkan Mahesa dari Prawira yang masih ingin mengerjai anaknya itu.
"Iya, udah, udah," ucap Prawira sambil mengelus rambut Mahesa.
Mereka tidak menyadari sejak tadi banyak pasang mata yang melihat kemesraan mereka. Saking bahagianya keluarga kecil baru itu dengan kehadiran Mahesa. Hingga mengabaikan orang-orang yang iri bahkan risih dengan kemesraan mereka.
Sudah hampir satu jam keluarga kecil itu berkeliling mall mengikuti semua keinginan Mahesa, meski lebih banyak dibelikan, karena Mahesa tidak meminta apa pun.
"Bunda, ini bantuin Ayah bawa belanjaannya, dong," gerutu Prawira yang berjalan di belakang Yumi. Mahesa yang berada di gendongan ibunya melirik ke belakang setelah mendengar gerutuan ayahnya.
"Bunda, itu Ayah kasihan. Bawa barang banyak banget," bisik Mahesa kepada Yumi.
"Biarin, salah sendiri Ayah kamu khilaf. Jadi susah 'kan bawanya," ucap Yumi menanggapi ucapan anaknya. Sebenarnya ia juga sedikit kasihan pada Prawira yang membawa banyak kantong keresek yang berisi pakaian, sepatu, mainan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan dan diinginkan oleh Mahesa. Namun, Prawira keukeuh ingin membelikannya agar Mahesa senang.
"Eits, enggak boleh minta tolong Kudo atau siapa pun," larang Yumi saat melihat Prawira hendak menghubungi seseorang dengan ponselnya. Prawira hanya bisa mendengus kesal. Untung saja ia sedang bahagia, kalau tidak, mungkin dia sudah marah-marah sejak tadi.
Mereka menyempatkan makan di salah satu restoran yang ada di dalam mall sebelum pulang menuju rumah mereka. Sesekali mereka bertanya pada Mahesa tentang kegiatannya selama di panti asuhan, namun mereka hanya mendapatkan jawaban yang sangat miris.
"Iya, Hesa kalau lagi enak-enak sendiri suka dijailin sama Kakak-kakak. Kadang waktu Mahesa minum, botol Mahesa dipencet, terus Mahesa batuk-batuk kadang sampai keluar dari hidung airnya." Mahesa terlihat tenang saat menceritakannya, seakan hal itu adalah hal yang biasa saja bagi anak itu. "Terus, tadi waktu Bunda sama Ayah jemput Mahesa. Mahesa habis main sendiri di bawah pohon, karena Mahesa di panti enggak punya temen. Waktu mahesa lagi keliling-keliling pohon, Kak Joni dorong Mahesa sampai jatuh ke lumpur. Tangan Mahesa juga perih kena batu-batu yang ada di situ," adu Mahesa sambil menunjukkan baret merah yang tercetak jelas di tangannya.
Yumi yang mendengarkan cerita dari anak angkatnya itu sedikit mengeluarkan air mata. Anak di hadapannya sangat tidak beruntung. Bukan hanya tidak memiliki orangtua, ia juga tidak memiliki teman. Beruntung, ia dan suaminya segera datang dan mengadopsi Mahesa, jika tidak, mungkin anak itu sudah kabur dari panti atau mengalami gangguan mental.
Setelah menghabiskan semua makanannya. Keluarga kecil Prawira memutuskan untuk langsung pulang, karena Mahesa sudah terlihat sangat lelah setelah hampir seharian di perjalanan dan berkeliling mall. Mahesa tertidur pulang sepanjang perjalanan pulang, wajahnya yang putih terlihat tenang.
"Mahesa, bangun. Kita sudah sampai, Nak." Yumi menepuk-nepuk pelan pipi Mahesa. Perlahan anak itu membuka mata lalu mengucek-nguceknya.
"Udah sampai, Bun?" tanya Mahesa dengan suara parau. Yumi mengangguk lalu menggendong Mahesa dan membawanya ke dalam rumah.
Prawira yang berjalan di belakang mereka tersenyum lebar. Kebahagiaannya kini sempurna dengan kehadiran Mahesa di tengah-tengah keluarga kecil yang telah ia bangun selama tiga tahun.
"Tuan, mau disimpan di mana belanjaannya?" Seorang pria dengan setelan jas hitam berdiri tegap di sebelah Prawira sambil membawa belanjaan yang dibeli oleh tuannya itu.
"Simpan di kamar anak saya saja, Kudo!" perintah Prawira yang langsung diangguki oleh pria bernama Kudo itu.
Setibanya di dalam rumah, Prawira tidak langsung mendekati istri dan anaknya yang sedang bermain dengan beberapa mainan yang baru saja ia beli di mall tadi. Ia langsung masuk ke dalam ruang kerjanya, mencari buku catatan yang berisi nama anak yang sudah ia siapkan sejak menikah dengan Yumi.
Setelah menemukan buku itu, Prawira terlihat tengah memilih lalu mencorat-coret catatannya. Prawira tersenyum puas, melihat rangkaian nama untuk Mahesa yang telah ia tulis.
"Ayah dari mana?" tanya Mahesa lalu mendekati Prawira. Di tangan anak kecil itu sudah ada lego yang sejak tadi dimainkan bersama ibunya.
"Ayah mau tanya, nama lengkap kamu siapa?" Bukannya menjawab pertanyaan Mahesa, Prawira malah bertanya hal lain kepada anaknya itu.
Mahesa terlihat berpikir sebentar. "Yang Mahesa tau. Nama Mahesa itu, Mahesa aja."
"Sekarang, Ayah kasih nama baru buat Mahesa. Mau?" Mata Mahesa berbinar mendengar ucapan ayahnya, meski ia belum mengerti betul apa maksudnya.
"Nama Mahesa sekarang. Ryuji Mahesa Chaesara Vernando Cahya Fallahi Prawira."
Yumi yang mendengar nama baru Mahesa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ayah, itu enggak kepanjangan?"
"Sudah tradisi keluarga, Bunda. Nama Ayah juga 'kan panjang," jawab Prawira.
"Nama lengkap Ayah siapa?" tanya Mahesa ingin tahu.
"Garuda Prawira Adji Satria Pradhita Kusnadi Dipraja."
"Woah! Kalau nama Bunda?"
"Yumi Hirose." Mahesa tidak se-excited saat mendengar nama ayahnya, ketika anak kecil itu mendengar jawaban dari ibunya.
~~~
DI SIANG YANG PANAS
BANDUNG, JUNE 2019
R.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top