𝙺𝚎𝚗𝚊𝚗𝚐𝚊𝚗 𝟻

"Ayo bangun, dasar pemalas!" Seru Xi dari arah pintu kamar. Garin meloncat ke atas kasur Ree, membuat Ree mengaduh karena bocah itu mendarat di kaki Ree. Seketika Ree duduk kemudian menguap.

"Ini baru jam tujuh..." Ree masih menguap.

"Xandor ingin kita bertiga berlatih di hutan," selak Xi.

"Kena... paa?" jawab Ree sembari mengucek matanya yang masih mengantuk.

Xi berjalan masuk, ia membuka lemari Ree dan melemparkan pada Ree sebuah tunik serta celana. Sorot wajahnya khawatir. Seperti mengatakan ada sesuatu yang buruk yang akan datang.

Ree dapat membaca itu semua. Ia pun tidak bertanya-tanya kembali, langsung berpakaian kemudian mengikuti Garin dan Xi turun untuk keluar dari rumah mereka. Tepat ketika Ree berjalan melewati ruang tamu untuk meraih pintu rumah, ia dapat melihat Xandor sedang menerima beberapa tamu.

Seorang pria yang botak dengan beberapa pria lain yang berjubah hitam. Sepertinya pria botak itu adalah pemimpin sedangkan pria-pria lain adalah bawahan... atau mungkin penjaganya.

Ketika mereka lewat, Xandor dan pria botak itu juga melirik pada mereka. Untuk sesaat pria botak itu menahan tatapan Ree. Wajahnya familiar.

"Jangan hiraukan mereka," kata Xandor. "Mereka adalah murid-muridku, Nareen. Tidak pernah mereka sekalipun ikut misi-misiku."

Nareen? Nareen Nygard?? Kenapa dia ada di sini?

Pria bernama Nareen itu terkekeh.

Sebelum Ree dapat mendengar perkataannya selanjutnya, tiba-tiba Xi sudah menarik lengan Ree serta Garin untuk keluar dari rumah. Ree melawan sedikit. Tetapi Xi memperkuat pegangannya.

"Xi... Xandor sendirian bersama dengan Nareen... tidakkah itu bahaya?"

"Ada Dae." Kemudian dengan nada yang lebih berat Xi berkata, "Bila kita di sana pula justru akan lebih berbahaya. Kita dapat dijadikan tawanan."

Akhirnya Ree tidak melawan kembali. Meski ia tidak mengerti kenapa kali ini mereka yang harus bersembunyi dari Nareen. Bukankah di beberapa misi mereka dapat mengalahkan semua prajurit-prajurit Nareen? Apakah Nareen seorang diri sekuat itu?

Di dalam hutan, terdapat tempat yang sering mereka kunjungi untuk berlatih. Khususnya untuk Ree. Setelah tujuh tahun bersama mereka, Ree tidak pernah sekalipun menunjukkan magisnya. Seakan ada sebuah perjanjian tidak tertulis antara Ree dan mereka. Sehingga mereka pun tidak pernah memaksa atau mempertanyakannya pada Ree. Mereka mengerti terkadang magis adalah sumber rasa sakit. 

Tetapi untuk menjadi bagian dari Pasukan Bayangan, Ree harus berguna. Maka Xi dan Xandor bergantian mengajarinya cara menggunakan berbagai senjata. Pedang, pisau, bahkan panah sekalipun. Sampai saat ini, Ree paling menyukai pisau. Ia sudah memiliki koleksi pisau yang ia bawa ke mana-mana.

Sebenarnya, sebagian alasannya adalah karena senjata pertama yang ia miliki adalah pisau. Pisau yang dulu ia gunakan untuk menyayat dirinya. Tetapi pisau itu merupakan pemberian dari seseorang yang berharga untuk Ree. Maka ia terus menyimpannya.

Ree melayangkan pisau di tangan kanannya ke arah leher Xi. Dengan cekatan Xi menghindar, pria itu mengacungkan pisaunya menuju tubuh samping Ree, namun Ree yang dapat membaca gerak geriknya menghadang pisau Xi dengan pisau di tangan satunya. 

"Apa yang ia inginkan?" Tanya Ree. 

Gadis itu menahan posisi tangannya di leher Xi, membuat wajah mereka berdekatan.

Xi tidak menjawab, ia menghentakkan lengannya, mendorong Ree untuk meloncat ke belakang. Kemudian pria itu mulai menyerang Ree kembali. 

Untuk beberapa saat mereka bergantian menyerang dan menahan, begitu terus. Hingga akhirnya Ree menunduk ketika Xi berusaha menerjang kepala Ree, sebelum Xi sempat mundur, ia memukul dagu Xi dengan gagang pisaunya. Lalu ia meloncat, kakinya terikat di tubuh Xi, dan gadis itu pun menggunakan momentum untuk menjatuhkan tubuh Xi ke tanah. 

Gerakan gadis itu sangat cepat, ia memelintir kedua kakinya pada leher Xi, membuat jalur pernapasan pemuda itu terhambat. Xi menggeliatkan tubuhnya. Mau tidak mau kekuatan pria itu lebih besar sehingga Ree harus menekan kakinya sekuat mungkin agar pria itu cepat kehabisan napas. Dengan demikian kekuatan pria itu melemah.

"Kenapa Nareen ada di rumah kita?" Tanya Ree lagi. Giginya ia katupkan untuk semakin berkonsentrasi menahan posisi. "Kalau kau kalah, kau harus memberitahuku."

Ree menantikan Xi untuk menepuk pahanya dua kali. Tanda pria itu sudah menyerah. Tetapi saat itu tidak muncul pula.

Tiba-tiba kedua kakinya melemah, Ree melepaskan posisi kunci. Gadis itu tertidur di lantai hutan dengan posisi terlentang. Ia berusaha keras untuk membuat tubuhnya bergerak lagi, tapi tidak bisa. Seseorang telah mengendalikan tubuhnya.

"Hey, itu curang!" Seru Ree. Xi telah menggunakan magisnya pada Ree.

Pemuda itu masih terlentang di atas perut Ree. Napasnya tersengal-sengal, ia mengambil napas dalam-dalam, seakan ia sudah menahan napas sangat lama.

"Bila aku tidak melakukannya kau tidak akan berhenti, bukan?"

Ree tersenyum miris. "Kau dan Xandor kan yang mengajariku untuk bertarung sebaik mungkin. Bila tidak nyawa kalian adalah taruhannya."

Setelah itu Xi terdiam, ia berusaha menenangkan napasnya. Ree dapat merasakan hangat tubuh pemuda itu serta mendengar detak jantungnya.

"Kita tidak akan bergabung bersama Nareen. Ia tiba-tiba datang menawarkan pekerjaan. Kita akan memanfaatkan kesempatan ini untuk menjatuhkan Nareen... dari dalam," kata Xi tiba-tiba. Ia telah menjawab pertanyaan di benak Ree.

Xi adalah seorang mentalis. Ia dapat menggerakan benda sesuai kehendak mentalnya. Tetapi ia bukanlah Pembaca Pikiran. Ia tidak bisa membaca pikiran orang lain. Tetapi nyatanya tidak perlu kemaampuan itu, Xi sudah dapat membaca pikiran Ree. Ia selalu dapat membaca ekspresinya, membaca gesturnya.

Xi tertawa pelan. Pemuda itu akhirnya memutar tubuhnya. Kedua tangannya berada di kedua sisi tubuh Ree. Dari dekat terlihat perbedaan antara tubuh pemuda itu yang besar dan tubuh Ree. Meski tubuh Ree juga padat berotot, gadis itu tetaplah... gadis.

"Lepaskan aku," kata Ree.

Pemuda itu masih menahan tubuh Ree dengan magisnya. Sebuah senyuman tipis muncul di wajahnya. Wajah pemuda itu sangat dekat dengan Ree. Matanya yang oriental –khas Lixi, hidungnya yang sedikit pesek, dan bibirnya yang tipis. Rambut hitamnya bergemilang karena keringatnya.

Xi menurunkan kepalanya, kini mereka dapat merasakan napas masing-masing, "Kau senang mengecek fiturku dari dekat."

Pipi Ree bersemu merah.

"Xi. Begitu aku bebas aku akan menonjokmu," kata Ree karena kesal. Xi langsung tertawa lepas mendengarnya.

Sedetik kemudian semua tahanan pada tubuh Ree seakan terangkat. Ree dapat merasa setiap jemari dan anggota tubuhnya lagi, ia pun dapat menggerakkan mereka. Namun, di jarak yang dekat dengan Xi, membuat tubuh Ree terasa sangat lemas. Gadis itu masih tidak bergerak.

Xi yang melihat itu tersenyum lembut. Kemudian ia menurunkan wajahnya, hingga bibirnya menyentuh bibir Ree. Hal pertama yang Ree perhatikan adalah basah. Ya, basah. Tapi juga lembut, hangat, dan... menyenangkan. Itu adalah ciuman pertama Ree. Tak lama Ree menutup matanya.

Namun tiba-tiba Ree merasa sesuatu terlempar ke wajahnya. Sesuatu yang lembek dan kental. Ree membuka matanya untuk melihat wajah Xi juga terlempar hal yang sama. 

Lumpur. Mereka berdua melihat sumber yang melempar lumpur. Garin mulutnya yang cemberut.

"Ewwww menjijikkann!!!" Komentar Garin. 

Dengan cepat Ree dan Xi berdiri. Mereka membersihkan lumpur dari wajah. Lalu mereka mulai membalas lemparan Garin. Latihan mereka hari itu diakhiri dengan permainan bola lumpur.

Ketika mereka pulang ke rumah hari itu, Nareen sudah lama pergi. Xandor yang melihat keadaan mereka langsung menghukum mereka bertiga di halaman depan rumah. Mereka harus menahan posisi dengan satu kaki dan kedua tangan memegang telinga.

"Aku menyuruh kalian untuk berlatih." Xandor mengomeli mereka, "Tapi kalian malah bermain-main." 

Pria tua itu menggelengkan kepalanya. 

"Bukankah sudah berkali-kali kuperingatkan? Berlatihlah dengan mental bila kau tidak bertarung dengan baik teman-temanmu adalah taruhannya. Kalau kalian menganggap latihan sebagai waktu bermain, bila di misi selanjutnya aku dan Dae gugur karena kalian belum bertambah kuat, apa yang akan kalian lakukan?"

Ree mencibir bibirnya. Selama ini mereka selalu bertambah kuat setiap misi yang dijalankan. Mereka memiliki jadwal latihan yang ketat, juga persaudaraan di antara mereka mendorong motivasi mereka untuk berlatih. Tetapi selama ini tidak pernah ada yang gugur sekalipun. Paling dekat adalah Dae mendapatkan luka yang kritis di misi lampau, kendati demikian luka itu dapat cepat sembuh. Selama ini mereka selalu dapat kembali dengan utuh dan selamat.

"Tapi kau kan yang paling kuat di antara kami," kata Ree. "Bila kau gugur kita semua akan gugur."

Xandor tidak menjawab. Sorot wajahnya seketika menggelap. Pria tua yang lembut dan jenaka yang Ree kenal tidak ada malam itu.

"Nareen menawari kita pekerjaan." Lanjut pria itu dengan nada rendah, "Aku berpikir kita dapat menggunakan kesempatan ini untuk menjatuhkannya. Tapi..."

Xandor menoleh ke arah rumah mereka. Dae berdiri di ambang pintu. Ia mendengarkan semua percakapan mereka.

"Kita tidak akan pulang untuk waktu yang lama... dan kali ini, risikonya sangat tinggi." Suara Xandor terdengar sendu.

Meski Ree terlampau muda dibandingkan Xandor dan Dae, ia dapat mengikuti pembicaraan ini. Begitu pula Xi. Xandor sedang menanyakan pendapat mereka. Apakah mereka ingin menerjang risiko itu untuk menjatuhkan kerajaan perdagangan manusia milik Nareen? Menerjang risiko untuk menyelamatkan banyak nyawa?

Atau mereka memilih untuk mempertahankan apa yang mereka miliki? Mempertahankan gaya hidup mereka di atas penderitaan banyak orang?

Ree memperhatikan semua anggota Pasukan Bayangan satu per satu. Xi, Garin, Dae, dan Xandor. Mereka adalah penyelamat hidup Ree. Tidak hanya raga, tetapi juga jiwa. Mereka lah yang menarik Ree dari kegelapan, dari jurang ketidakberdayaan. Mereka memberikannya rumah, memberikannya tujuan, juga membentuknya sebagai seorang yang kuat. Terlebih lagi, mereka memberikan Ree sebuah jati diri.

"Apa kita layak disebut Pasukan Bayangan bila tidak menerjang risiko itu?"

Xi tersenyum lebar mendengar Ree. Begitu juga Dae.

Garin, yang termuda di antara mereka, juga pelan tapi pasti mulai mengerti arah pembicaraan mereka.

"Bila kita memilih hidup kita sendiri, tentu kita tidak layak menyebut diri sebagai Pasukan Bayangan!" Seru Garin.

Lambat laun, pundak Xandor berguncang. Ia tertawa lepas. Suara tawanya kasar dan berat. 

"Tidak, kurasa tidak." Ia menjawab Ree dan Garin. 

Kemudian ia mengambil satu batang rokok dan menyalakannya. Xandor menghembuskan asap tebal ke udara Andalas yang mulai mendingin. Musim dingin sebentar lagi akan datang.

"Kemasi barang-barang kalian. Kita berangkat esok pagi buta."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top