𝕭𝖆𝖇 9
Subuh dini hari, Wiseman membangunkan kru dan memberitahu bahwa permainan kedua akan dimulai saat matahari terbit. Mereka punya satu jam untuk bersiap-siap.
Rangga hampir saja membelah leher pelayan itu ketika dia membangunkannya. Pria itu selalu tidur dengan satu pisau di bawah bantal.
Melihat tatapan Wiseman yang tidak terkejut, Rangga menebak dia sudah mencoba membangunkan Danum.
Gadis itu jauh lebih menyeramkan ketika dibangunkan dari tidur.
Tidak butuh waktu lama bagi Rangga untuk mempersiapkan diri. Hanya sedikit pakaian yang ia kemas. Entah kenapa pagi itu pikirannya menuju sosok Jagrav, ayah yang telah membuang anaknya sendiri. Jagrav tidak pernah menjadi sosok ayah yang baik bagi Rangga. Pria itu hanya mementingkan satu hal, memperluas kekuasaannya. Tak peduli bila ia harus menjual simpati rakyat dengan alasan mistis untuk menyelamatkan Judistia dari para kontraktor. Dan ketika Rangga menjadi kontraktor...
Rangga akan selalu ingat akan tatapannya ketika dia memerintahkan untuk Rangga, anaknya semata wayang, untuk dieksekusi secara publik. Untungnya Lex dan Bima berhasil mengeluarkan Rangga dari istana itu.
Tiga tahun telah berlalu.
Rangga tidak tinggal diam melihat banyak rakyatnya, terutama para kontraktor, yang menderita. Ia membentuk sebuah pemberontakan. Dan nyatanya banyak rekan dan pihak yang memiliki visi yang sama dengannya. Tidak hanya para kontraktor, namun juga para rakyat biasa yang merasa tidak adil bagi Jagrav untuk menaikkan pajak sepuluh kali lipat, merampas properti rakyat dengan paksa, memperluas tambang dan menaikkan jumlah rakyat yang dijadikan budak.
Selama tiga tahun, pemberontakan mereka bertumbuh. Mereka masih tinggal di Judistia, namun menyebar diri sangat tipis di berbagai daerah agar tidak terdeteksi. Jumlah mereka sudah semakin besar, sudah dalam jumlah yang cukup untuk melancarkan kudeta terhadap Ibukota Judistia. Kemudian membuat Jagrav menyerahkan takhta kerajaan secara paksa.
Tapi, Jagrav memasang pelindung kuno di sekitar Ibukotanya.
Tidak ada kontraktor yang dapat masuk.
Selama tiga tahun, Rangga berusaha memecahkan teka-teki pelindung tersebut. Ia bahkan berusaha membobol pelindung itu sendiri. Ketika ia mencoba melangkahi pelindung itu, sedetik kemudian dirinya terpental jauh dari batas kota. Hampir saja para prajurit yang berjaga di perbatasan menangkapnya kembali bila Lex tidak datang dan membuat lorong bawah tanah untuk mereka kabur.
Ia pun mencoba menggunakan magisnya. Kembali ia terpental. Kali ini lebih jauh dari sebelumnya. Dan jutaan kali lebih sakit. Seakan pelindung ini menampung magis yang disodorkan, menggandakan magis tersebut, kemudian melepaskannya pada kontraktor yang mencoba masuk.
Rangga membaca semua buku yang ia ketahui mengenai magis kuno. Ia pun membicarakan mengenai pelindung itu kepada setiap kapten dari pasukan pemberontakannya.
Usaha itu sampai detik ini, nihil.
Hingga perempuan itu datang ke salah satu pertemuan rahasia mereka dan memberitahukan bahwa yang mereka butuhkan untuk menurunkan pelindung itu akan muncul di Turnamen Mentari kali ini. Sebagian besar rekan Rangga tidak memercayai perempuan itu. Tapi bagi Rangga, apa salahnya untuk mencoba? Sudah tiga tahun mereka tersendat di permasalahan yang sama. Sudah waktunya mereka mengambil risiko.
Setidaknya mereka berjalan, baik maju atau mundur, itu jauh lebih baik daripada diam di tempat.
Ketika Rangga keluar kamar, dengan jubah abu-abu dan pakaian bertarungnya yang serba hitam, ia melihat Ree sudah menunggu dekat dapur.
"Tidur yang nyenyak?"
Ree mendongak. Guratan hitam di bawah matanya sangat mengganggu Rangga. Pipinya tirus sekali, membuat tulang pipinya menonjol. Kulitnya tergolong pucat untuk bangsa Judistia. Hidungnya mungil. Namun bibirnya yang pecah-pecah terlihat penuh dan tebal.
Tidak, dia tidak cantik. Setidaknya tidak dalam keadaannya sekarang. Ia terlihat seperti tidak tidur selama berbulan-bulan. Mungkin selama ia mencari adiknya. Dan... ia terlihat seperti memendam kesedihan atau amarah... atau keduanya, Rangga tidak bisa menebak dengan pasti.
Meski demikian, matanya tidak pernah gagal menyiratkan kebulatan tekadnya. Pandangannya selalu lurus dan meski Ia berhadapan dengan Pangeran Judsitia, Ia tidak membungkuk atau mengalihkan pandangan.
Bahkan Bima dan Lex tidak nyaman bila saling pandang dengan Rangga lama.
"Tidak bisa tidur," katanya pelan. Matanya terlihat bosan.
"Kopi?"
Rangga melewatinya untuk masuk ke dapur. Mengambil teko dan memasukkan air ke dalamnya.
Ree menggeleng.
Rangga membuat sebuah api kecil dengan jemarinya untuk memanaskan air dan membuat kopi untuk dirinya sendiri dan Danum. Perempuan itu adalah pencinta kopi garis keras.
Bau biji kopi seketika menyeruak semerbak dari dapur. Tak lama kemudian bunyi derit kamar bergantian terdengar. Sisa-sisa kru mereka mulai berdatangan. Semua dengan jubah dan pakaian tempur mereka. Berbagai pisau dalam segala bentuk melekat di balik pakaian Bima dan Lex.
Danum membawa tongkat kayunya dan menguncir rambutnya, daun telinganya yang panjang terlihat sangat menonjol. Gadis Dijamer itu langsung mengambil satu cangkir kopi yang sudah Rangga buatkan.
Rangga memperhatikan kru mereka. Masing-masing hening dalam dunia sendiri. Tidak satupun dari mereka tahu apa yang menunggu mereka hari ini.
Kemudian Wiseman mengantar mereka menuju koloseum. Bangunan itu sangat megah dan besar. Strukturnya melingkar dan terdiri dari lima lantai. Sebuah arena beralaskan pasir berada di tengah-tengah bangunan. Kemudian empat lantai melingkari arena itu merupakan tempat duduk para penonton.
Penuh. Para penonton sampai berdesak-desakkan untuk mendapatkan tempat duduk.
Raungan sorak-sorai bergema di seluruh dinding-dinding koloseum. Membuat pilar-pilar keramik koloseum seakan bergetar.
Sebuah podium disematkan di lantai dua dan tiga di sebelah utara bangunan. Melihat dari pakaian para penonton di podium, itu adalah tempat untuk para bangsawan. Dan duduk di tengah, dengan kursi takhta yang terbuat dari emas, adalah Raja Andalas, Antonio Vermeer III. Duduk di samping kanannya adalah putrinya, dan di samping kirinya adalah Madoff.
Kru mereka dan satu kru lain yang terlihat berasal dari Andalas ditempatkan di lorong sisi barat di bawah tempat duduk penonton. Satu level di atas ruangan kemarin. Sebuah gapura dengan jeruji besi menghalangi mereka untuk masuk ke arena.
Terdapat sepuluh gapura di sekeliling arena. Masing-masing menghadang satu hingga dua kru di baliknya.
Madoff menyapa para penonton. Riuh penonton pecah ketika Madoff menyambut Raja Andalas dan keluarga royalnya secara formal. Pria itu kemudian mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara. Para penonton menurut untuk diam.
Sulit untuk mengingat bahwa Madoff adalah buatan mantra kuno dan bukan seorang dengan eksistensi nyata bila dia dapat mengendalikan penonton sedemikian rupa.
"Saudara-saudara sekalian." Suara Madoff bergema dari podium itu. Lantang. Dia menggunakan magis angin untuk mengeraskan suara.
"Setiap lima tahun sekali tradisi Turnamen Mentari diadakan. Sebagai jawaban dari ramalan yang berumur sekitar lima ratus tahun yang lalu. "
Kemudian Madoff berganti dengan suara yang lebih menyerupai bisikan, meski tetap dapat didengar di seluruh ujung koloseum, "Jangan tanya padaku apa isi ramalannya –aku pun sudah lupa."
Tawa penonton menggelegar akan perkataannya.
Madoff kembali ke suara formalnya. "Tapi tradisi ini berjalan, dijaga ketat oleh mantra-mantra kuno. Dan aku adalah saksi mata bahwa melawan mantra kuno bukanlah keputusan yang bijak."
Lalu kembali pada suara jenaka. "Bukan berarti, kita tidak bisa bersenang-senang sembari menjalankan tradisi ini benar?" Penonton semakin riuh. Kemudian hening kembali untuk mendengarkan pidato Madoff berikutnya.
"Kemarin kita kedatangan para kontraktor magis dan pemagis dari seluruh kontinen ini. Beberapa manusia, beberapa fae, beberapa adalah makhluk yang sudah lama tidak kita dengar keberadaanya. Mereka berkumpul untuk mengadu diri, menguji diri, dan berusaha mendapatkan artefak legendaris."
"Kemarin, kalian bersembunyi di balik rumah masing-masing, bukan? Sekarang, kalian dapat melihat monster-monster yang membuat kalian takut dan kalian dapat menilai monster mana yang akan berakhir sampai akhir."
Suara Madoff memelan dan mencekam, namun setiap katanya disimak baik oleh setiap penonton. "Bila sebelumnya kalian merasa tidak berdaya terhadap mereka yang memiliki magis, mereka yang berani mengorbankan seusatu atau seseorang untuk memiliki kekuatan... sekarang, nyawa mereka berada di tangan kalian."
Setiap peserta tidak diperbolehkan untuk keluar dari komplek koloseum selama turnamen berlangsung. Dan eliminasi dari turnamen, berarti... kematian.
Sorak sorai penonton pecah akan perkatannya yang terakhir. Jauh lebih keras dan bergema dari sebelumnya. Hingga jeruji besi di depan kami bergetar hebat.
Bahkan Ree terlihat tegang. Ia terus menerus melihat ke arah gapura lain, berjarak tiga gapura di sebelah kiri. Rangga mengikuti arah pandangnya.
Sebuah pria muda dengan rambut pirang melihat Ree balik. Adiknya? Pria itu memutus pandangannya dan menoleh ke arah kiri atasnya. Di atas podium tempat Madoff berbicara.
Rangga mengikuti arah pandang pria itu.
Ia melihat seorang perempuan yang duduk tepat di belakang kursi Raja Andalas. Ia dibalutkan oleh gaun biru, perawakannya mungil dan rambut hitamnya yang ikal dan panjang terbuai oleh semilir angin. Ia mengenakan topeng masquerade dengan bordiran berwarna emas dan terdapat motif matahari, simbol Turnamen Mentari di tengah.
"Saudara-saudara sekalian, saatnya aku perlihatkan pada kalian hadiah dari turnamen ini." Madoff terkikik sendiri. "Maaf, maaf. Aku sangat senang. Menurutku tahun ini akan menjadi tahun yang LUAR BIASA!"
Pria berambut hijau itu mengulurkan satu tangan kepada perempuan bergaun biru. Tangan mungil menyambut tangan artifisial. Tubuh gadis itu terlihat tidak lebih dari empat belas tahun.
"Kalian kira keluarga Janya sudah hangus dari muka bumi, bukan? Tapi, sekarang kupersembahkan pada kalian..." suara Madoff menggelegar di sepenjuru koloseum.
"Putri Pertama dari keluarga Janya, satu-satunya yang selamat dari pembantaian sebelas tahun yang lalu!"
Para penonton terkesiap. Beberapa bangsawan di podium pun saling menatap satu sama lain dengan bingung. Hanya Raja Andalas dan putrinya yang bertampang netral.
"Rumornya, putri pertama generasi ke-tiga belas Judistia adalah Putri Pertama yang diramalkan seribu tahun yang lalu. Ketika pembantaian keluarganya sebelas tahun yang lalu, ia menembus Hutan Kelabu dan tiba di Andalas. Atas kebijaksanaan dan dermawan Sang Raja, Andalas telah menjaga dan menyembunyikan identitas Putri Pertama selama ini."
Rangga mendapati kedua tangannya bergetar. Ia tidak percaya. Tidak mungkin. Tidak mungkin. Ia melihat sendiri tubuh Rosea tersungkur di lantai hutan. Sebuah pedang tertancap di punggunggnya. Kolam darah mengelilingi tubuh mungil itu. Rosea hanya berusia tiga tahun ketika hal itu terjadi.
Tapi di sinilah perempuan itu.
Rosea Gayatri Janya.
Adik dari teman masa kecilnya, Pangeran Judsitia yang asli. Rangga lah yang menyandang gelar itu selama bertahun-tahun setelah pembantaian. Kini, gelar itu pun sudah diambil darinya.
Perempuan itu berdiri, ia maju berdiri di sebelah Madoff. Pandangannya menemui para penonton di setiap sudut. Kemudian ia melayangkan pandang menemui pandangan setiap kontestan. Hingga ia melihat ke arah Rangga. Lalu ia melanjutkan ke arah kru Pandawa, kru terakhir yang ia lihat sebelum akhirnya Ia membisikkan sesuatu pada Madoff dan kembali duduk di belakang Raja Andalas.
Ia duduk dengan tegak. Sementara para penonton masih tercengang.
"Para Dewa telah berbicara padaku, saudara-saudara, lewat Putri Pertama Judistia. Bahwa tahun ini ramalan akan terpenuhi. Dan itulah mengapa Sang Putri menawarkan dirinya untuk menjadi hadiah Turnamen Mentari. Kru yang menang akan menjadi Pancabara untuk Sang Putri pertama!"
Tidak mungkin.
Apakah hal ini mungkin?
"Tidak mungkin..."
Butuh beberapa waktu agar Rangga menyadari bahwa perkataan itu bukan berasal dari bibirnya. Lex atau Bima mungkin.
Para kontestan lain tercengang pula. Hanya kru Pandawa dan Penyihir Putih yang terlihat seakan biasa saja menerima hal ini. Apakah mereka sudah tahu dari awal?
Bila kru Pandawa tahu, kemungkinan besar Jagrav juga tahu akan hal ini.
Lalu siapa gadis kecil yang ia lihat di lantai hutan sebelas tahun yang lalu?
Rangga baru sadar ia sedang melamun ketika Ree berkata, "Jangan bilang, dialah alasan kalian mengikuti turnamen." Suaranya pelan. Seakan tidak yakin atau tidak mau yakin.
Mereka datang untuk mendapatkan yang diperlukan untuk membobol perlindungan kuno di Ibukota Judistia. Selama ini, Rangga menganggap hal itu adalah sebuah artefak kuno. Sebuah benda dengan kekuatan magis besar. Turnamen sebelum-sebelumnya, yang ia tahu, selalu menghadiahkan sebuah artefak. Tapi tahun ini... Ia tidak menyangka...
Ia menatap Ree. Gadis itu tidak tercengang seperti yang lain. Mata besarnya dengan guratan hitam yang tebal di bawahnya memancarkan kesedihan. Kedua alis matanya bertaut. Mengapa ia selalu sedih?
Rangga sedang berpikir. Berbagai cerita rakyat dan alunan-alunan lagu tua kembali padanya. Berbagai lukisan dan puisi yang dipaksa tutornya untuk Ia baca pada masa kecil. Berbagai cerita fabel dan hikayat.
Jawaban yang mereka cari selama ini ada di depan mereka.
"Ada kemungkinan... hanya seorang Janya yang dapat menurunkan pelindung kuno Ibukota," bisik Rangga pelan.
"Apa??" Teriak Lex.
Rangga memberinya tatapan bahwa ia akan menjelaskan nanti, setelah acara turnamen hari ini selesai. Teman seperjuangan Rangga semenjak Ia kecil itu melihatnya dengan ketidakpercayaan.
Ia memiliki sejarah tidak baik dengan pemerintahan keluarga Janya. Dan fakta bahwa bisa saja yang mereka butuhkan selama ini adalah seorang Janya.. Lex pasti marah besar.
"Rosea...?" Bima masih tidak percaya melihat perempuan itu.
Hanya Danum yang kemudian menanyakan pertanyaan yang seharusnya ditanyakan, "Mengapa ia menggunakan topeng?"
"Keamanan?" Jawab Bima ragu.
"Atau dia bukanlah Putri Pertama yang sebenarnya," kata Ree dengan lirih.
Rangga mengacuhkan kometar Ree. Ia tahu, dengan sangat pasti, bahwa perempuan itu pastilah Rosea Gayatri Janya.
ᴋᴀᴍɪ ᴍᴇᴍɪʟɪʜ ʟᴀɢᴜ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ʀᴀɴɢɢᴀ ᴋᴀʀᴇɴᴀ ꜱᴀɴɢᴀᴛ ᴍᴇɴɢɢᴀᴍʙᴀʀᴋᴀɴ ᴘʀɪᴀ ꜱᴀᴛᴜ ɪɴɪ, ᴘᴇᴍɪᴍᴘɪɴ ᴘᴇᴍʙᴇʀᴏɴᴛᴀᴋᴀɴ ᴅɪ ᴊᴜᴅɪꜱᴛɪᴀ.ᴀᴘᴀ ᴋᴀᴜ ᴍᴇɴʏᴜᴋᴀɪ ʀᴀɴɢɢᴀ? ʙɪʟᴀ ɪʏᴀ, ᴋᴏᴍᴇɴᴛᴀʀ, ꜰᴇᴇᴅʙᴀᴄᴋ, ᴠᴏᴛᴇ ᴅᴀɴ ᴍᴜɴɢᴋɪɴ ᴋᴀᴍɪ ᴀᴋᴀɴ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪᴋᴀɴ ᴠɪꜱᴜᴀʟɪꜱᴀꜱɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴘʀɪᴀ ᴀᴘɪ ɪɴɪ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴅɪ ʙᴀᴡᴀʜ ᴋᴜʀꜱɪᴍᴜ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top