𝕭𝖆𝖇 55
Tanpa Ree sadari, Kairav yang sudah terbebas dari magis pasir, membawakan mantel untuk menutupi tubuh Ree yang sekarang telanjang. Pakaiannya telah terbakar habis oleh panas api yang Ree serap. Kemudian Kairav dengan lembut membantunya berdiri.
"Ak– aku tidak mengerti..." kata sebuah suara di depan Ree.
Rosea telah sadar dan melihat segala hal yang terjadi. Ketika Ree mengangkat tangan kirinya ke atas, semua orang dapat melihat bahwa ada tambahan bulatan kedua di bagian dalam pergelangan Ree.
Ree melihat gadis yang penuh kebingungan itu.
Gadis itu telah membunuh Andreas dan Ree membencinya... Tapi, ia juga bersimpati kepadanya. Ree memutuskan untuk berterus terang padanya.
"Kau benar. Orang yang terakhir kali kau lihat adalah kakakmu," lanjut Ree, "Aku melihatmu ditusuk oleh prajurit Jagrav. Aku mengguncangmu, meneriaki namamu. Tapi napasmu sudah tiada. Aku harus meninggalkan tubuhmu karena lebih banyak prajurit datang."
Kaki Rosea terasa begitu lemah, terlalu lemah untuk berdiri. Gadis itu pun jatuh terduduk.
"Ta– tapi... kakakku adalah lelaki."
Ree menggeleng. "Mereka menyembunyikan jenis kelaminku agar tidak ada yang tahu bahwa akulah... Putri Pertama."
Raut wajah Rosea menjadi panik. Ia memegangi kedua sisi kepalanya.
"La– lalu siapa aku? Siapa aku?!"
Dengan sisa tenaganya, Ree memanggil magis bayangan untuk mendekati bayangan Rosea. Awalnya ia dapat merasakan bayangan Rosea melawan, namun lama-kelamaan bayangan itu seakan pasrah. Kemudian tubuh Rosea mulai pecah berkeping-keping menjadi debu-debu hitam. Awalnya lengan, kemudian kaki, lalu rambut Rosea.
"Kau adalah boneka bayangan," jawab Ree pada wajah Rosea, "Milik Jagrav."
Lalu tubuh Rosea telah hilang sempurna menjadi debu-debu hitam.
ꜱᴀᴍᴘᴀɪ ᴊᴜᴍᴘᴀ ᴋᴇᴍʙᴀʟɪ, kata bayangan.
Magis bayangan telah meninggalkannya pula.
Untuk beberapa saat, hanya keheningan yang menyelimuti satu koloseum. Koloseum itu kini sudah berada di kondisi yang buruk. Dua pilar sudah jatuh, membuat longsor di satu sisi bangunan. Para penonton akhirnya mulai menuruni sisi yang ambruk itu untuk keluar. Tetapi Ree tidak peduli.
Bulu kuduk Ree tiba-tiba berdiri. Ia merasakan sensasi magis kuno di sekitarnya.
Ketika ia menoleh ke arah sumber magis kuno itu, ia melihat Penyihir Putih menyentuhkan tongkatnya pada tembok transparan yang masih menghalangi lorong mereka. Tongkat itu menimbulkan warna keemasaan yang sama ketika Ree memanggil magis kuno. Kemudian tembok itu pecah berkeping-keping.
Ree dapat merasakan satu alis Kai berdiri melihat itu. Ree bahkan tahu apa yang akan ditanyakan pria abadi itu, "Kalau kau bisa melakukan itu dari awal, kenapa tidak menyelamatkan kita?"
Penyihir Putih menghiraukan pertanyaan Kai. Di balik topeng putihnya, Ree dapat melihat sepasang mata yang tajam.
"Apa yang akan kau lakukan selanjutnya, Putri Pertama?" Tanyanya.
Pertama kali Ree mendengar suara Penyihir Putih. Terdengar tua dan serak.
Ree entah mengapa merasakan dorongan untuk melihat kru Pangeran Pemberontak, atau mungkin sisa dari mereka. Lex, Danum, dan Bima menatapnya penuh harap. Tetapi Rangga masih tidak sadarkan diri di sisi samping gapura mereka.
"Tembok seperti itu memiliki batas waktu. Dalam waktu beberapa jam, tembok itu akan menghilang sendiri," jelas Penyihir Putih.
Kemudian Ree melihat bagian dalam lengannya. Dua bulatan.
Ramalan terkutuk itu belum selesai.
Bila ia tetap bersama mereka, tinggi kemungkinannya mereka akan terseret menjadi korban kembali. Keluarganya, Pasukan Bayangan, kini Andreas. Semua telah terseret menjadi korban karena Ree adalah Putri Pertama. Kemudian Rangga... meski Ree memaafkannya, Ree tidak tahu bila ia akan mampu melihat wajah teman masa kecilnya itu lagi. Ia mengepalkan tangannya.
"Kemanapun selain tempat ini," desah Ree, "Ke suatu tempat yang tidak kukenal."
Penyihir Putih terkekeh. "Sempurna. Kita dapat mewujudkan itu. Adakah sesuatu yang ingin kau bawa?"
Ree memasukkan pisau Xoltar dalam sarungnya. "Ada," jawab Ree, "Sebuah buku."
Lex tidak tahu ke mana Ree dan kru Penyihir Putih pergi. Tembok transparan itu tidak kunjung menghilang pula meski mereka sudah menunggu lebih dari lima jam. Tidak ada dari mereka yang memanggil nama Ree, atau bahkan berusaha membuatnya tinggal. Lex memerhatikan satu per satu para penonton mulai pergi. Para prajurit pun tidak berani menyentuh tembok transparan itu.
Rangga masih tidak sadarkan diri. Tubuhnya terhimpit oleh salah satu pilar koloseum.
Biarkan saja, pikir Lex, biar pria itu tahu rasa.
Lex tidak membencinya, tetapi Lex membenci tindakannya. Hanya saja ia mengerti mengapa Rangga melakukan itu.
Namun ketika Rangga menolak untuk membunuh Ree... Itulah ketika Lex tahu bahwa pria yang mereka kenal masih berada di tubuh itu. Pria itu hanya... sedikit tersesat. Tapi mereka akan membantunya ke jalan yang benar kembali. Jalan yang mereka idamkan, yang mereka telah berusaha keras untuk jaga. Jalan untuk memperbaiki Judistia.
Tiba-tiba Lex merasakan keberadaan seseorang di belakang mereka. Ia dengan cepat memanggil magis tanahnya. Danum juga mulai mengubah kulitnya dan Bima sudah dalam posisi kuda-kuda seperti yang diajarkan Ree. Pria yang muncul langsung mengangkat kedua tangannya.
"Aku datang untuk mengeluarkan kalian," katanya.
Tentu saja Lex tidak akan percaya begitu saja. Pria itu adalah Ultar. Ia berkali-kali mencoba membunuh Rangga, membunuh mereka semua.
"Kenapa kita harus memercayaimu?" Geram Lex.
"Aku akan mengeluarkan kalian," lanjut Ultar, "Tapi bawalah aku bersama kalian." Suaranya memelas. "Aku mohon..."
Lex melihat ketakutan di wajah Ultar.
"Jagrav akan membunuhku bila tahu aku selamat dan gagal menjadikan bonekanya Putri Pertama," katanya dengan penuh ketakutan.
"Dengar, satu-satunya alasan aku menjadi kru Pandawa adalah karena aku ingin hidup. Pilihannya hanya itu atau aku mati. Bila kau ketinggalan berita, Jagrav membunuh kontraktor Judistia satu per satu."
Lex tertawa miris dalam hati. Lagi-lagi ia melihat bukti bahwa terkadang seseorang dipojokkan pada dua pilihan terburuk dan mereka harus memilih yang paling tidak buruk.
Lagi-lagi ia tersadarkan bahwa dunia tidak seabu-abu itu. Bahwa terkadang di balik keputusan buruk seseorang adalah situasi yang sulit. Ia tidak bisa menyalahkan ataupun membenci Ultar karena memilih untuk hidup.
"Bagaimana kami bisa tahu bahwa kau tidak dikirim Jagrav untuk memata-matai kami?"
Suara Ultar menjadi putus asa sekarang. "Aku punya beberapa informasi yang bisa kalian gunakan untuk pemberontakan kalian. Bawalah aku. Bila aku pergi bebas, Jagrav akan menemukanku dan membunuhku. Kesempatan terbaikku adalah bersama kalian. Menyerang Jagrav langsung."
Akhirnya mereka membuat kesepakatan dengan Ultar. Satu per satu, mereka di bawa Ultar berteleportasi keluar koloseum. Begitu juga Rangga yang masih tidak sadarkan diri.
Sesampainya di luar koloseum, mereka mendapatkan kereta dan beberapa kuda untuk kembali pulang ke Judistia. Perjalanan mereka dua minggu lamanya. Lex tidak tahu bagaimana komandan pemberontakan mereka akan menerima mereka.
Mereka telah gagal mendapatkan cara untuk menembus dinding Ibukota. Justru, mereka menemukan Pangeran Adishree yang ternyata adalah Putri Pertama dan sekarang gadis itu entah pergi ke mana bersama kru Penyihir Putih. Setidaknya mereka memiliki Ultar yang dapat memberikan beberapa informasi.
Lex hanya berharap Ree akan mengarah pada Judistia pula. Dengan kemampuan magis gadis itu, bagaimanapun caranya ia dapat mengatasi simbol penghalang magis itu, pemberontakan mereka akan semakin tinggi kemungkinannya untuk berhasil. Kendati demikian, tidak semua orang akan senang melihat, bahkan mengetahui, bahwa satu keturunan Janya masih hidup.
Mentari terakhir dari Negeri Cahaya.
Berkali-kali selama perjalanan, Lex ingin tertawa.
Ketika Rangga sudah bangun, pria itu mengukir simbol penghalang magis pada sebuah gelang besi dan memakaikannya pada Ultar dengan bantuan pandai besi. Hal itu agar Ultar tidak dapat melepaskannya dengan mudah. Kemudian Rangga juga ikutan tertawa dengan Lex. Menertawakan kebodohan mereka.
Danum dan Bima memandang mereka gila setiap kali mereka tertawa. Setiap kali Danum memberikan tatapan menelisik, salah satu dari mereka akhirnya harus menjelaskan apa yang mereka pikirkan.
Setiap kali mereka tertawa, mereka berpikir betapa bodohnya mereka untuk tidak langsung menyadari bahwa Ree adalah Putri Pertama. Kendati banyak perkataan di ramalan yang menunjukkan fakta itu.
"'Dalam balutan lautan merah', misalnya," lanjut Rangga, "Ree mendapatkan sebuah gaun yang membuatnya seperti dibalut oleh lautan berwarna merah." Rangga dan Lex tertawa kembali.
Di hari lain, Lex dapat berkata tiba-tiba, "Tentu saja, di ramalan tertulis, 'Diapit oleh tanah dan api–' itu aku dan Rangga, 'Dikokohkan oleh air–' itu Danum, 'Ditantang abadi–' itu Kairav!"
Di malam lain, Rangga mendapati dirinya menangis ketika ia sendiri dalam keheningan. Ia terngiang di malam ia menumpahkan kegundahannya pada Ree. Di malam itu, Ree berkata Adishree tidak menyalahkan Rangga. Juga di hari terakhir turnamen, Ree berkata ia telah memaafkannya.
Rangga merasa seakan ada yang memukuli dadanya bertubi-tubi. Selama ini ia berada di dekat Adishree, teman masa kecilnya, dan ia sama sekali tidak menyadari.
Di suatu hari yang lain, entah sudah berapa lama mereka berkendara, Bima-lah yang menggumamkan sisa dari ramalan.
Ia yang memakai topeng
Ia yang memasang benteng
Ia berjalan di pasir yang berdarah
diselimuti oleh gelap dan amarah
Saat itu mereka sedang beristirahat. Mereka membuat api kecil dan duduk melingkari api itu. Danum baru saja selesai menguliti seekor rusa untuk dibakar.
"Ree memakai topeng dari awal. Bukan secara harafiah, tapi ia menyembunyikan banyak hal. Kekuatan aslinya, asal muasalnya. Meski... Ia tidak pernah berbohong– sekalipun ia tidak pernah menggunakan nama kelahirannya dan ia menyembunyikan kemampuannya. Sebagai seorang manusia aku merasakan bahwa ia selalu bersikap tulus."
Danum mengangguk pelan terhadap itu. Rangga dan Lex meneguk arak yang mereka beli dari pasar sekitar. Ultar pun hanya diam mendengarnya.
Ia yang memasang benteng
Ia berjalan di pasir yang berdarah
"Ia juga selalu memasang benteng. Ia menggunakan bayangan agar tiada siapapun dapat memasuki pikirannya. Kemudian koloseum itu selalu mengadakan permainan di arena berpasir. Pasir yang sudah mendapatkan tumpahan darah dari segala kontestan."
Bima meraih kantung arak di tangan Lex kemudian meneguk sisa arak hingga habis. Lex ingin memprotes, tapi dirinya sendiri sudah sedikit mabuk sehingga ia akhirnya hanya tertawa kembali.
Sembari memutar daging rusa di atas api, Danum berkata pelan, "Diselimuti oleh gelap dan amarah,' bisakah kau membayangkan perasaannya? Aku tidak bisa. Ia kehilangan keluarganya. Kemudian kehilangan keluarga barunya, Pasukan Bayangan, lalu kehilangan Andreas."
Percikan api hanyalah suara yang menjawab perkataan Danum. "Aku kehilangan satu suku, tapi aku menemukaan kalian... dan aku tidak tahu bagaimana rasanya bila aku harus kehilangan kalian juga."
Rangga meneguk araknya sekali. Kemudian memberikan kantung air itu pada Lex. Lex meneguknya sekali dan memberikannya pada Bima. Bima yang sudah merasa melayang langsung memberikan kantung itu pada Ultar. Ultar meneguknya kantung arak itu terakhir kalinya sebelum memberikannya pada Danum.
"Aku akan merasa marah," kata Ultar, "Sangat marah pada siapapun yang membuat ramalan itu."
Danum meneguk arak itu dan menuang sisanya ke atas api. Membuat desisan api semakin besar sehingga daging rusa dapat matang sempurna.
"Aku tahu Ree," lanjut Danum, "Terlebih lagi ia akan menyalahkan dirinya sendiri pula."
Untuk beberapa saat hanya keheningan yang menemani mereka kembali. Danum membagikan daging rusa dalam diam. Mereka pun makan tanpa mengeluarkan suara apapun.
Akhirnya mereka mematikan api kecil itu dan mulai mengambil posisi tidur.
Kini mereka memikirkan beragam hal, tapi satu yang sama. Mereka memikirkan Ree. Anggota kelima kru mereka.
Seseorang yang mengajarkan mereka bahwa dunia tidak sehitam-putih yang mereka kira. Bahwa ada kontraktor yang mendapatkan kontrak magis bukan karena kemauan mereka. Bahwa di balik pengorbanan nyawa untuk mendapatkan kontrak, terkadang ada sisi lain yang memaksa mereka melakukan itu.
Mereka bisa saja berputar-putar mempertanyakan apakah niat membenarkan tindakan mereka? Ataukah di mana batasan moral yang sebenarnya berada?
Tapi mereka telah sepakat, sebuah kesepakatan yang tidak lisan, bahwa kontraktor yang mengorbankan nyawa orang adalah manusia pula. Mereka berhak untuk hidup dan menjalankan kehidupan. Mereka berhak untuk melindungi diri sendiri, mereka berhak untuk bahagia.
Namun terkadang, suara mereka terlupakan karena orang lain terburu mengecam mereka sebagai monster, sebagai makhluk buas.
Setelah melihat Putri Pertama, mereka sepakat bahwa dunia tidak hitam putih. Manusia dengan segala kompleksitasnya, membuat jutaan spektrum warna di dunia.
"Ah, betapa bodohnya aku," kata Rangga di keheningan malam. "Aku memperingatinya untuk tidak kembali ke Judistia..." Wajah Rangga penuh dengan penyesalan.
Tidak ada yang menjawab Rangga. Masing-masing dari mereka memiliki penyesalan masing-masing.
Malam itu ketika mereka membuka pikiran mereka untuk segala kemungkinan warna yang ada di dunia, mereka juga memikirkan Ree. Mereka harap Ree dapat terus memberikan warna pada dunia ini. Di manapun ia berada, kemanapun ia menuju. Dan ketika Ree sudah siap, mereka berharap dapat bertemu dengannya kembali di tanah Judistia.
ꜱᴇʙᴜᴀʜ ᴋᴇʜᴏʀᴍᴀᴛᴀɴ ᴅᴀᴘᴀᴛ ᴍᴇɴɢᴀɴᴛᴀʀ ᴀɴᴅᴀ ꜱᴀᴍᴘᴀɪ ꜱɪɴɪ.
ᴘᴇʀᴄᴀʏᴀʟᴀʜ, ᴘᴇᴛᴜᴀʟᴀɴɢᴀɴ ᴀɴᴅᴀ ʙᴀʀᴜ ꜱᴀᴊᴀ ᴅɪᴍᴜʟᴀɪ.
ʜᴀɴʏᴀ ꜱᴀᴊᴀ... ᴋᴀᴍɪ ʜᴀʀᴜꜱ ᴜɴᴅᴜʀ ᴅɪʀɪ ꜱᴇʙᴀɢᴀɪ ᴘᴇᴍᴀɴᴅᴜ ᴋᴀʟɪᴀɴ.
ᴋɪɴɪ, ᴋᴀʟɪᴀɴ ᴅᴀᴘᴀᴛ ʙᴇʀᴊᴀʟᴀɴ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ. ᴊᴀᴅɪʟᴀʜ ᴅᴀʟᴀɴɢ ᴜᴛᴀᴍᴀ ᴅɪ ᴋᴇʜɪᴅᴜᴘᴀɴ ᴋᴀʟɪᴀɴ.
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top