𝕭𝖆𝖇 54

Tidak.

Tidak. Ree tidak sanggup merasa kehilangan kembali. Ia tidak bisa... tidak mampu.

"Tidak apa-apa...," rintih Wiseman, "...Gunakanlah aku."

Pikiran Ree tidak karuan. Napasnya tersengal-sengal. Pandangannya terfiksasi pada tubuh Andreas yang mulai tumbang. Tubuh yang ramping itu mengeluarkan darah segar di pasir arena. 

Saat itu pikiran Ree menjadi kosong. Sebuah cahaya putih melintas di penglihatannya. 

Tanpa sadar, Ree mulai mengumpulkan semua magis-magis kuno yang dapat ia temukan. Tubuh Wiseman bersinar, kemudian meledak menjadi kepingan-kepingan debu emas tepat di hadapan jutaan penonton. 

Ree memilin semua magis-magis kuno itu ke arah dirinya. Menghirup semua debu emas itu, memasuki magis itu ke dalam nadinya. Tangannya yang dibalut oleh pasir keras kini bersinar, menyinari pasir itu seperti lentera.

"Tidak!" serunya kembali. 

Dalam pikiran Ree hanya ada satu hal: ia harus cepat-cepat menghampiri Andreas. Ia harus menyelamatkan Andreas. 

Dengan sekuat tenaga Ree mengayunkan kedua tangannya. Pasir keras itu bergerak sedikit... Tapi hanya sedikit. 

"Andreas!" Ree kembali menggerakan lengannya dengan sekuat tenaga.

"Tidak, tidak tidak tidak TIDAK TIDAAAKK!" Suaranya semakin parau sementara ia tetap berusaha menggerakkan lengannya. Seperti seseorang yang berusaha mematahkan rantai besi dengan tangan kosong.

Tak lama pasir keras itu mulai goyah lalu menjadi retak.

Serbukan magis mulai menguar dari retakan yang diakibatkan pergerakan Ree. Sedikit demi sedikit pasir keras itu mulai keropos. 

Sedikit demi sedikit. Retakan itu meluas, melebar, dan seluruh pasir keras itu akhirnya pecah berkeping-keping dan menyatu dengan pasir arena kembali. Tangan Ree yang kini bebas masih bersinar. Warna emas seakan menonjolkan pembuluh darah dan nadi di lengannya.

Para penonton tertegun melihat hal itu. Mereka yang mengenal simbol itu, simbol yang membuat magis tiada, tidak percaya apa yang telah mereka lihat. Rosea pun tercengang. 

Bagaimana mungkin seseorang dapat membuat magis tanpa ada koneksi dengan para kontraktor?

Namun Ree tidak peduli akan orang lain. Dengan cepat ia menarik tombak yang menembus pahanya. Kemudian dengan pincang, ia berlari menuju tubuh Andreas. 

Dengan menggerakkan tangan kanannya, ia memanggil kembali bayangan dan menghantarkannya pada tubuh Rosea. Tubuh gadis itu terpental menjauhi bagian tengah arena dan gadis itu pun tak sadarkan diri.

Ree menggapai wajah Andreas. Bocah itu kesusahan bernapas. Darah membentuk jejak kering dari mulut hingga ke pipinya. Sementara darah dari perut dan punggungnya tetap mengucur keluar membasahi pasir. Matanya susah payah berusaha untuk tetap membuka.

Ketika Andreas mengenali sosok di atasnya, matanya berkaca-kaca.

"Ma– maafkan aku, Ree...," katanya dengan susah payah.

"Shhh..." Ree menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku terbuta- takan.. ol- oleh ge-gelar.. oleh na- nama besar... aku ingin me- menjadi pa- pahlawan..." Sebuah air mata terjatuh dari pelupuk mata Andreas.

Ree kembali menggelengkan kepalanya pelan. 

"Jangan bicara, aku akan menyembuhkanmu." 

Ree meletakkan tangan kirinya pada luka di perut Andreas. Ia berusaha untuk memanggil magis penyembuh dalam dirinya. Namun cahaya biru hanya bersinar sejenak pada nadi jemari Ree.

Ia telah kehabisan magis penyembuh.

"Tidak... tidak..." 

Ia mencoba lagi, kembali membayangkan sensasi magis penyembuh di jemarinya, membayangkan darah dan daging menutup di bawah jemarinya.

Nihil.

Magis penyembuh telah meninggalkannya.

"Tidak..." Kali ini suaranya seakan patah, penuh kekalahan.

"Ree..." 

Andreas menggapai lengan kiri Ree, pupil matanya membelalak untuk sementara namun kemudian ia berkata, "Seharusnya aku tahu... seharusnya aku tahu..." 

Sebuah senyuman muncul di wajah bocah itu. Senyuman kecil dan dua bulir air mata yang menuruni pipinya kembali.

Karena pada bagian dalam pergelangan kiri Ree, sebuah bulatan hitam yang samar terlihat. Bulatan hitam kedua yang semakin lama semakin terlihat jelas... sementara nyawa Andreas semakin memudar.

"Putra Mahkota Judistia tidak pernah ditemukan..." kata Andreas, "Kau sudah memperingatiku mengenai ramalan itu, dari awal..."

"Tapi aku memang sudah diramalkan," kata Andreas pahit, "Diramalkan untuk menjadi kontrak keduamu, Adishree... Putri Pertama."

Ree menggeleng lebih kencang. Kedua tangannya menangkup kedua sisi wajah Andreas dengan lembut.

"Aku tidak akan membiarkan para dewa mengambilmu dariku," kata Ree, "Aku tidak akan mengucapkannya."

Mendengar itu air mata Andreas tak kuasa untuk dibendung. 

Ia sangatlah bodoh. Sangat bodoh. 

Ia mengejar kejayaan dan ramalan yang fana, hanya untuk mendapati bahwa selama ini ia telah diperalat. Ia memilih pihak yang salah, ia telah berkali-kali mengkhianati dan bahkan terang-terangan memanggil Ree sebagai monster, sebagai Sang Jahat. Padahal selama ini, hanya kasih Ree padanya yang paling tulus.

Sebegitu sayangnya Ree pada Andreas, hingga Ree bertekad tidak mengucapkan kata-kata itu. Kata-kata yang akan mengklaim nyawa Andreas sebagai bayaran kontrak kedua Ree.

Andreas tidak habis pikir, apa yang akan Ree dapatkan sebagai kontrak keduanya. Ia lebih tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Ree bila ia kembali kehilangan. Bila Ree kehilangan Andreas... akankah Ree merasa sedih?

"Tidak apa-apa Ree..." kata Andreas akhirnya, "Se- semua.. orang di- kontinen... i-ini akan mati bi- bila kau tida–"

"Tidak!" Ree berseru.

"Ree, biarkan a-aku setidaknya menjadi pa-pahlawan dengan cara i– ini... jadikan aku bayaran kon- kontrakmu..."

Ree menggeleng keras.

Andreas mendongak ke atas, melihat tiga bola api yang semakin lama semakin mendekati permukaan bumi. Dari kejauhan saja, ketiga bola api itu terlihat besar sekali. Dan bola api itu semakin membesar.

Dunia akan hancur karena tiga bola api itu.

"Ree... tolonglah..."

Ree masih menggeleng. Sementara ketiga bola api semakin mendekat, hawa panas menguar dari langit. Asap mengepul di segala tempat. Bumi terlihat berwarna merah.

"Ree... biarkan aku melak- kukan.. satu hal.. ya- yang benar.."

"Lakukan ini untukku," kata Andreas lembut, "Selamatkan semua orang untukku. Tolong."

Satu tetes air mata mengaliri pipi Ree. Andreas tidak pernah melihat kakaknya menangis. Dan sekarang melihatnya untuk pertama kali, hati Andreas yang melemah terasa remuk.

"Aku mencintaimu, kakak," perkataan Andreas justru membuat lebih banyak tetesan air mengucur dari mata Ree. 

"Wahai, ka– kami hambamu yang se– setia memanggilmu. Terimalah ini men..jadi ba– yaran kami. Ber– berikanlah pada kami ... yang telah kau janjikan pada kami. De– dengarlah kami........" Suara Andreas terbata-bata melafalkan kalimat itu.

Andreas menunggu Ree menyebut nama Sang Dewi. Nama dewa yang sakral bagi keluarga Janya, khususnya Putri Pertama.

Sekarang Andreas menyadari kesalahannya. Semua petunjuk sudah ada di depan matanya tetapi ia selalu menghiraukannya. Ree mengetahui tentang ramalan yang Andreas maksud sejak awal, Ree pun memiliki magis seperti yang diramalkan untuk Putri Pertama. Bahkan Ree memenangkan Ujian Putri Pertama dan ia adalah orang terakhir yang melihat Rosea hidup. Sekali pun tidak pernah terpikirkan oleh Andreas bahwa Ree adalah Putri Pertama yang asli... hingga saat ini.

Bahwa Ree jugalah Putra Mahkota yang tidak pernah ditemukan.

"Tidak apa-apa, Ree..." Andreas memaksa tersenyum, satu jemarinya menunjuk dada Ree. "Aku di sini." 

Ree kembali menangis mendengar Andreas mengulangi kata-kata yang selalu Ree ucapkan untuk menenangkan bocah itu. "Aku akan selalu ada di sini."

Ree menutup matanya dengan ketat. Udara semakin panas. Ia pun akhirnya menyadari bahwa bajunya sudah berasap dari tadi. Seruan doa dan isak tangis para rakyat dapat Ree dengar. Bayangan di kakinya pun mendesis karena panas bola api itu.

Lidahnya kaku dan mulutnya terasa pahit. Namun meski pelan Ree berbisik, "Dewi Kara." 

Dewi Kara. Sang Dewi Mentari, Ratu dari segala dewa dan dewi, Ibunda dari semuanya. Dan alasan hidup Ree begitu menyengsarakan.

Ree membenci dirinya karena telah membisikkan nama itu.

Tetapi Andreas tersenyum mendengar hal itu. Ia menatap Ree dengan lembut untuk terakhir kalinya. Sekujur tubuhnya mulai bercahaya, kemudian dengan cepat Andreas berubah menjadi serbuk-serbuk keemasan. Wajahnya adalah yang terakhir menjadi debu. Ree menangkap gerakan mulut Andreas, "Aku di sini." Lalu wajah itu hilang untuk selamanya.

Sementara lingkaran hitam di bagian dalam lengan Ree bertambah satu.

Ree mendongak melihat ketiga bola api itu sudah sangat dekat dengan permukaan bumi. Bajunya pun mulai menjadi abu perlahan-lahan.

Dengan bantuan pisau Xoltar, ia memanggil sisa-sisa magis bayangannya untuk menutupi keseluruhan koloseum. Sulur-sulur bayangan menarik semua jiwa di koloseum melebur menjadi satu pada dunia bayangan. Hanya tinggal Ree yang berada di atas pasir arena. Ketiga bola api itu sudah sangat dekat dengan kepalanya. Jubahnya sudah menjadi debu, pakaiannya mulai menipis dan kulitnya mulai terbakar. 

Penglihatan semua orang dalam dunia bayangan menjadi samar, namun mereka masih dapat dengan jelas melihat ketiga cahaya terang di dunia atas.

Ree mengangkat tangan kirinya. Ketika jemari tengahnya menyentuh sulur api, ketiga bola api itu berhenti untuk sepersekian detik. Lalu dalam sekejap, ketiga bola api itu berubah menjadi seperti benang-benang merah yang menghiasi angkasa. Ketiganya mulai terpilin menjadi satu benang merah yang berpusar pada jemari Ree. Sulur-sulur api itu membentuk percikan sewaktu-waktu. Gelombang warna oranye hingga kuning dan merah darah melukis langit dengan dasyat. Lebih menakjubkan lagi, pilinan ketiga sulur api itu mengaliri jemari dan lengan Ree. Hingga akhirnya menyatu, melebur menjadi satu dengan pembuluh-pembuluh darah di bawah kulit Ree. Pilinan api itu terus-menerus memasuki kulit Ree. Atau lebih tepatnya, kulit Ree terus-menerus menyerap api itu.

Magis-magis koloseum pun seakan terserap oleh Ree. Debu-debu magis emas mengeliling tubuh gadis berambut hitam itu.

Di punggung Ree, warna oranye yang vibran bercampur dengan kuning lemon serta segala varian warna merah seakan bermain di punggungnya. Mereka bergerak dari pundak, menuruni punggung Ree yang terlihat jelas karena seluruh kasutnya sudah menjadi debu. Sementara warna hitam mulai memudar dari punggungnya.

Gerakan warna-warna di punggung Ree seperti tinta yang dituangkan pada air dalam gerakan lambat. Kuning, kemudian oranye, emas, dan merah. Warna-warna itu membentuk sayap di belakang punggung Ree. Dua sayap yang transparan, seperti jutaan kaca disusun untuk membuatnya.

Semakin Ree menyerap api itu, semakin besar sayapnya.

Bahkan dari dunia bayangan, semua orang dapat menglihat permainan warna yang menakjubkan itu. Seakan sebuah lukisan, mereka telah menyaksikan suatu hal yang umumnya hanya merupakan cerita belaka.

Mereka melihat betapa indah dan berbahayanya kekuatan magis.

Hingga akhirnya pilinan api itu berakhir, warna oranye yang seakan mengalir di lengan Ree memudar. Sayap kaca di belakang Ree terbuka dengan sangat megah dan besar sekali.

Kedua sayap itu mulai mengecil, mulai memadatkan diri di belakang punggung Ree. Warna-warna itu membentuk satu figur yang mengambang, sebuah matahari yang berpijar. Kemudian matahari itu menyatu dengan kulit Ree, dan cahayanya meredup.

Hanya gambar matahari yang tersisa di punggung gadis itu, dengan warna hitam samar di kedua pundak Ree.

Namun tak lama, warna hitam itu akhirnya menghilang sementara para bayangan mengembalikan semua orang ke dunia atas.

Ree mendapati dirinya bersimpuh di tengah arena, persis di tempat ia sebelumnya berlutut memegangi Andreas. Hanya debu dan genangan darah yang tersisa di tempat itu.

Sebuah kehampaan menyelimuti hati Ree. Ia tidak dapat berpikir, hanya kegelapan. Semuanya terasa tumpul sekarang. 

Kulitnya yang sebelumnya terbakar tidak terasa sakit sedikit pun. Matanya yang sembap sudah mengering. Ia mendapati dirinya tidak mampu membentuk kata atau menggerakkan anggota tubuhnya. 

Lagipula, apa yang akan ia katakan atau lakukan?

Hampa. Tumpul.

Gelap.

Ia seperti kembali menjadi berumur delapan tahun dan berada di bak mandi di kediaman Xandor. Persis ketika ia baru menyadari segala hal yang telah hilang darinya dan mengapa itu semua terjadi. 

Ia kembali seperti gadis yang menangis di tepi hutan, kembali menjadi gadis kumuh di pinggir jalan.

Tak berdaya.

Seakan ia sedang berada di dunia bayangan. Namun bukannya ia dapat mendengar bisikan-bisikan bayangan, ia justru tidak mendengar apapun. 

Sunyi. 

Seakan ia sudah kehilangan semua inderanya.



ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ʀᴇᴇ ʙᴇʀʜᴀꜱɪʟ ᴍᴇɴᴊᴀᴅɪ ᴅᴀʟᴀɴɢ ᴜᴛᴀᴍᴀ ʜɪᴅᴜᴘɴʏᴀ? 

 ᴊᴀᴡᴀʙᴀɴɴʏᴀ ᴀᴅᴀʟᴀʜ... ʙᴇʟᴜᴍ. 


 ꜱᴀʟᴀᴍ, 

 ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ


Chapter ini adalah adegan di cover Turnamen Mentari sebelumnya btw

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top