𝕭𝖆𝖇 49
Sehari sebelum permainan keempat, setelah seharian berlatih Ree kembali ke perpustakaan. Ia menemukan Barro dan buku itu di meja yang sama, seakan mereka telah menunggunya. Barro mendongak dari buku bacaannya untuk melihat Ree.
"Kau datang untuk mengucapkan selamat tinggal?"
Ree memperhatikan ilustrasi yang familiar di halaman buku itu. Jemarinya membuka halaman baru yang kosong. Kemudian ia menutup buku itu.
Esok ia akan melanjutkan rencananya untuk keluar dari koloseum. Ia tidak akan membutuhkan buku itu lagi.
"Aku tidak akan menjadi pion siapapun," kata Ree dengan tenang. Tatapannya menatap lurus mata Barro. "Bukan pion para dewa, bukan pion buku ini, dan bukanlah pion Wiseman, kau, ataupun Rosea."
Barro membersihkan kacamatanya dengan kain bajunya. Tanpa melihat mata Ree ia berkata, "Itu bukanlah cara ramalan bekerja."
Ree tidak menanggapi perkataannya itu.
"Kau tidak akan melihatku lagi. Terima kasih untuk... buku ini. Untuk semua nasihatmu."
Setelah puas, Barro memakaikan kacamatanya kembali dan benar-benar melihat gadis itu.
Ia bahkan terlihat kecil untuk seorang gadis.
"Lakukanlah yang kau inginkan, Nak," lanjut Barro, "Tapi aku berharap dapat bertemu denganmu lagi."
Ree jadi teringat di hari pertama mereka bertemu. Barro adalah makhluk yang terjebak dalam koloseum. Ia bertanya apakah Ree akan membebaskannya hari itu.
"Aku berharap kau dapat menemukan kebebasan."
Kemudian gadis itu melangkah pergi. Barro memperhatikan siluet gadis itu hingga tubuhnya melebur sempurna dengan bayangan di lantai. Dada Barro seakan terasa tertusuk puluhan jarum. Sensasi geli dapat ia rasakan di ujung jemarinya. Tubuhnya seakan bergetar karena antisipasi.
Gadis itu begitu naif... sekuat-kuatnya ia mencoba, ia tidak akan dapat melawan takdirnya. Ramalan akan terpenuhi.
Barro tersenyum miris.
"Kebebasanku... sepertinya sudah sangat dekat."
Malam itu Ree tidak mengunjungi Andreas. Ia harus menghemat kekuatannya. Lagipula ia sudah menyuruh Andreas untuk mencarinya di permainan keempat. Ree akhirnya akan membawa adiknya itu keluar dari koloseum. Mereka akan kembali kepada hidup mereka sebelumnya.
Hidup tanpa harus menggunakan magis.
Hidup jauh dari ramalan itu.
Semua anggota kru Pangeran Pemberontak berkumpul di ruang tamu. Mereka berniat untuk menyusun strategi. Berharap Bima dan Ree dapat membawakan informasi yang dapat digunakan untuk keuntunggan mereka.
Namun bayangan para kontestan lain tidak ada yang berbicara mengenai permainan esok. Apalagi Ree sudah tidak bisa dengan bebas membaca bayangan orang karena kemampuannya mulai menipis. Ree tidak memiliki apapun untuk dilaporkan selain kru Foyer disponsori sebuah alat magis pelindung yang langka.
Ree juga membaca bayangan Kinara, berharap mungkin kru Penyihir Putih akan mendapatkan bocoran seperti pada permainan ketiga. Ketika bayangan Kinara membisu, ia mencoba bayangan Danver. Lalu Mercurio. Bayangan kedua orang itu tidak tahu menahu akan permainan esok hari.
Ketika Ree akhirnya memutuskan meraih bayangan Kairav, pria itu menyadari sihir Ree. Meski mereka berdiri di kedua ujung ruangan, Kai langsung dapat menangkap mata Ree. Ia tahu Ree sedang mengorek informasi darinya. Pria itu membiarkan Ree begitu saja. Kairav bahkan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Setelah mengetahui bayangan Kairav juga tidak mengetahui apapun, Ree mencari sosok Penyihir Putih. Satu sosok yang seharusnya terlihat dari awal mula turnamen. Tetapi entah kenapa selama sebulan lebih, Ree jarang sekali melihat perempuan berambut putih itu.
Kenapa ia tidak menyadari hal ini?
Ree hanya pernah melihat Penyihir Putih ketika permainan berlangsung. Itupun hanya melihat sekilas. Mereka tidak pernah bertukar kata ataupun berinteraksi dalam bentuk apapun. Ree juga tidak pernah melihatnya di gedung serba guna.
Sebuah pertanyaan mulai muncul ketika Ree beranjak kembali ke kediamannya.
Kenapa aku tidak pernah berusaha mencari tahu mengenai Penyihir Putih?
Kru itu menyelamatkan Rangga pada permainan kedua. Mereka berkata hanya melaksanakan perintah Penyihir Putih. Seharusnya Ree curiga dan berusaha mencari tahu identitas Penyihir Putih itu. Tetapi berbagai permasalahan yang kian muncul selama dirinya berada di turnamen membuatnya terdistraksi. Tujuan utamanya adalah untuk membawa Andreas pulang. Sehingga secara tak sadar ia tidak menganggap identitas Penyihir Putih yang misterius itu sebagai hal yang penting.
Lagipula, sudah banyak identitas misterius yang ia temui semenjak mengikuti turnamen. Wiseman, Barro, sekarang Penyihir Putih.
Selama mereka tidak menghalangiku keluar dari koloseum ini bersama Andreas, aku tidak peduli.
Ree kembali memfokuskan diri pada pertemuan kru miliknya.
"Aku mendengar rumor bahwa permainan esok direncanakan oleh Raja dan Ratu Judistia," kata Bima, "Namun detilnya sangat dirahasiakan."
Kru mereka menjadi sangat hening mendengar itu. Mereka duduk melingkar di ruang tamu. Masing-masing memiliki wajah yang menggelap karena minimnya informasi yang mereka miliki.
"Sepertinya kita hanya harus muncul besok dengan buta," kata Rangga akhirnya.
Ree memperhatikan wajah satu kru–nya. Meski ia mulai merasa diterima, mulai terbiasa dengan mereka...
Esok adalah hari terakhir aku akan melihat mereka.
Maka Ree mengamati mereka satu per satu. Bima yang berhati rapuh namun tetap berusaha tegar. Danum yang penasaran dan merupakan pendekar yang tangguh. Lex yang kini sudah mulai dapat menoleransi keberadaan Ree. Dan Rangga, Pangeran yang melakukan segalanya untuk Negeri Judistia.
Dada Ree terasa sedikit sesak. Ia tidak pernah menyangka akan merasa sangsi untuk meninggalkan mereka. Sepertinya ia sudah terikat dengan mereka lebih dari yang seharusnya.
Ree hanya berharap mereka akan tetap selamat ketika Ree telah tiada... dan bila waktu mengizinkan, untuk suatu hari dapat melihat mereka mencapai tujuan mereka.
Ketika empat orang itu sedang sibuk dengan pikirannya masing-masing, Ree diam-diam mengecup dua jarinya lalu menyentuhkannya pada dahi dan dadanya. Ia melakukannya persis seperti yang diajarkan oleh mendiang ayahnya.
Warisanmu di hidup ini akan selalu ada di pikiran dan hati kami.
Sebuah gestur penuh hormat yang menandakan perpisahan.
Ree hampir lupa bagaimana Madoff dapat bertingkah gila ketika menjadi narrator turnamen. Madoff baru saja membuat lelucon dari membunuh orang dengan sendok. Para penonton tentu saja tertawa terbahak-bahak.
Ree memutar bola matanya tepat ketika Lex melihatnya. Gadis itu bersiap menerima tatapan benci atau bisikan dari bayangan Lex betapa menjijikkan dirinya... Tapi Lex justru mendelikkan bahunya dan tersenyum tipis. Seakan pria itu berkata ia mengerti perasaan Ree.
Ree tersenyum pula melihat itu.
Kemudian Madoff mengumumkan sesuatu yang sangat mencengangkan.
"Permainan kali ini, adalah ide dari Putri Rosea. Setiap kru yang tersisa harus mengirimkan satu perwakilan. Kelima orang itu, bagaimanapun caranya, harus bertarung hingga hanya satu orang yang tersisa."
Kerumunan penonton bersorak kembali. "Hal terbaik adalah, mereka dapat memilih sendiri siapa perwakilan mereka."
Lima gerbang diangkat ke atas, menunjukkan kru-kru yang sedang berdebat satu sama lain.
"Biarkan aku," kata Lex tiba-tiba, "Aku akan menan–"
"Tidak," sergah Rangga dengan cepat. "Pilihan terbaik adalah Ree." Nadanya dingi. Ia seakan menghindari tatapan Ree.
"Aku telah berkembang, Ga. Aku latihan keras untuk ini. Biarkan aku bertarung kali ini. Ree sudah mempertaruhkan nyawanya sebelumnya, giliranku."
"Kemampuan bayangan Ree akan sangat menguntungkan–"
"Aku menguping pembicaraan kalian," kata Lex. Semua mata kini memandang Lex, penasaran dengan maksud pria itu sebenarnya. Entah mengapa Ree merasa tidak nyaman. Ia berfirasat buruk akan apapun yang akan dikatakan Lex berikutnya.
"Aku tahu kemampuan magis Ree yang sebenarnya adalah menyerap magis orang lain. Bila demikian pasti magis bayangannya sudah menipis."
Napas Ree terhenti seketika. Tetapi gadis itu dengan cepat dapat mengontrol ekspresi wajahnya. Ia melihat Danum dan Bima tidak begitu kaget dengan fakta itu. Sepertinya mereka berdua juga telah menduga kemungkinan kemampuan Ree yang sebenarnya.
Akhirnya Ree mengangguk, membenarkan apa yang Lex katakan. Meski tubuhnya masih sedikit tegang karena sekarang lebih banyak yang mengetahui mengenai kekuatannya.
Lex hendak membujuk Rangga lagi, untuk membiarkan dirinya berkontribusi di turnamen ini. Lex tidak suka tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak suka bahwa selama turnamen, kru mereka terus menerus mengandalkan Ree. Ia benci merasa dirinya seperti bocah kecil yang lemah dan perlu menunggu bantuan orang lain. Sama seperti bocah yang bahkan tidak bisa berbuat apapun untuk menolong ibunya.
Kendati demikian, keputusan Rangga seperti sudah bulat. Si Pangeran menggeram, "Ree yang akan maju."
Gadis itu hanya menatap Rangga dengan aneh. Hubungannya dengan Rangga tentu merenggang semenjak hari pria itu mengatakan ia mengetahui rahasia Ree. Mereka hampir tidak pernah berbicara sejak itu. Hanya berpapasan dan berlatih sparring sekali-kali.
Apakah Rangga berpikir aku adalah kambing hitam di kru ini? Seseorang yang dapat dikorbankan?
Ya, Ree tidak menyalahkan Rangga bila berpikir demikian. Secara objektif, Ree memanglah pilihan terbaik. Ia bukanlah bagian dari pemberontakan mereka, ia adalah seorang asing bagi mereka. Jadi, Ree adalah pilihan yang ekonomis.
Bila Ree adalah Rangga, ia juga akan melakukan hal yang sama.
Jadi Ree menepuk pundak Lex dan tanpa berkata apapun pada Rangga, berjalan memasuki arena.
Melihat Ree memasuki arena, Kai, yang berada di sisi seberang koloseum menarik Mercurio ke belakangnya. Lalu ia berjalan sendiri memasuki arena. Ree juga melihat Mercurio yang bingung memprotes pada Penyihir Putih. Tapi pemimpin kru mereka sepertinya tidak peduli.
Kedua individu itu saling bertatap mata. Segala emosi bergejolak namun raut wajah mereka tidak menunjukkan apapun.
Tak terduga, Tuan Foyer mengorbankan dirinya sendiri dan Bida pun juga. Dari kru Pandawa... Andreas–lah yang maju.
Ree meringis mengetahui adiknya telah dipilih.
Pasti Gor dan Ultar yang bersengkongkol untuk mengorbankan Andreas, pikir Ree.
Tapi Ree dapat menggunakan ini untuk rencananya. Ia dapat lebih mudah meraih Andreas karena mereka satu arena.
Seperti yang ia janjikan pada Andreas, ia membuka pikirannya untuk informasi dari Andreas. Juga agar Andreas dapat melihat rencana yang Ree telah susun.
"Semua kontestan berposisi!!" Seru Madoff. Ree masih menunggu Andreas memasuki benaknya.
"Siap!"
Kedua tangan Ree menggapai satu pisau di pinggangnya dan pisau dari Xoltar.
"Mulai!"
Saat itu juga Ree seakan merasa kepalanya diserang. Rasanya seperti sesuatu sedang memotong otaknya dengan pisau tumpul. Rasanya sangat sakit hingga Ree bergeliat di pasir arena.
Foyer yang paling dekat dengan Ree langsung menargetkan Ree yang sedang tumbang. Pria itu menebaskan pedangnya ke bawah. Namun Ree bertindak dalam sepersekian detik. Ia memutar tubuhnya hingga pedang itu menebas pasir. Otaknya serasa pecah ketika tubuhnya bergerak.
Kemudian Ree dengan cepat menutup pikirannya kembali dengan bayangan. Meninggalkan rasa pilu yang dalam tersisa di kepala Ree. Pandangannya pun mulai mengabur.
Foyer hendak menebas lagi ketika tiba-tiba ia menjatuhkan pedangnya dan memegangi lehernya. Ia telah dicekik oleh magis. Bulir-bulir air mulai keluar dari hidung dan mulutnya.
Kai.
Ree memutuskan ini saatnya untuk keluar dari turnamen. Ia menggenggam pisau Xoltar dan menutup matanya. Seakan menjawab kehendak Ree, simbol-simbol di pisau itu bersinar samar. Vibrasi magis dapat Ree rasakan pada tubuhnya.
Tanpa berpikir panjang, Ree mengedarkan bayangannya untuk menutupi satu arena dalam kegelapan. Para penonton terkesiap karena sekarang mereka tidak dapat melihat apapun. Beberapa berteriak histeris dan berusaha mencari jalan keluar dari koloseum.
Kemudian ia melebur dengan bayangan di pasir arena dan meluncur ke tempat Andreas berada. Ree muncul di belakang Andreas.
"Dre, kita akan pergi," bisik Ree, "Sekarang juga."
"Ree? Kau di mana?" Tanya Andreas.
Ree meraih tangan adiknya lalu memutar Andreas menghadap Ree. "Siap?"
Ia mengumpulkan semua kekuatan bayangan di bawah kakinya. Mengingat-ingat kembali yang dikatakan Barro.
Gali sedalam-dalamnya, dua ratus langkah keluar.
Pisau legendaris itu seakan tahu apa yang dibutuhkan Ree. Vibrasi magis yang dirasakan Ree semakin besar, seperti pisau itu memberitahu bahwa ia siap apapun yang akan dilakukan Ree.
Gadis itu hendak menarik dirinya dan adiknya ke dalam bayangan... Ketika seseorang menusuknya.
Sebelum Ree dapat menyadari apa yang terjadi, tubuhnya sudah terjatuh ke atas pasir arena.
Terdengar suara keras seperti benda yang terjatuh di dekat Ree. Tidak sekali, tetapi tiga kali. Kemudian diikuti suara rintihan. Terdengar seperti orang terjatuh dari kursi penonton ke atas arena pasir.
Bayangan-bayangan yang menutupi koloseum memudar sementara Ree mulai kehilangan tenaga.
Ketika cahaya memasuki penglihatan kembali, Ree dapat melihat Andreas berdiri di atasnya, memegang sebuah pisau.
ʜᴀʜᴀʜʜᴀʜᴀʜ
ᴋᴀᴍɪ ʙᴀʜᴋᴀɴ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴘᴇʀɴᴀʜ ʙɪꜱᴀ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ᴀɴᴅʀᴇᴀꜱ ʜɪɴɢɢᴀ ᴅᴇᴛɪᴋ ɪᴛᴜ.
ʜᴀʜᴀʜᴀʜʜᴀʜ
ɪɴɢᴀᴛᴋᴀʜ ᴋᴀᴜ ᴅᴇɴɢᴀɴ ᴘᴇʀᴋᴀᴛᴀᴀɴ ʙᴀʀʀᴏ?
'ʙᴇʀʟᴀʀɪ ᴅᴀʀɪ ᴛᴀᴋᴅɪʀ ᴍᴀᴋᴀ ᴋᴀᴜ ᴀᴋᴀɴ ᴅɪᴋᴇᴊᴀʀ, ʙᴇʀʟᴀʀɪ ᴅᴀʀɪ ᴅɪʀɪᴍᴜ ꜱᴇɴᴅɪʀɪ ᴍᴀᴋᴀ ᴋᴀᴜ ᴀᴋᴀɴ ᴋᴇʜɪʟᴀɴɢᴀɴ. ʙᴇʀʟᴀʀɪ ᴅᴀʀɪ ᴋᴇᴅᴜᴀɴʏᴀ ᴍᴀᴋᴀ ᴋᴀᴜ ᴛɪᴅᴀᴋ ᴀᴋᴀɴ ʙᴇʀᴛᴀʜᴀɴ.'
ɪɴɪ ᴀᴅᴀʟᴀʜ ᴋᴀʀᴍᴀ ᴜɴᴛᴜᴋ ꜱᴀɴɢ ᴋᴀʀᴍᴀ, ʏᴀɴɢ ᴛᴇʟᴀʜ ᴛᴇʀʟᴀʟᴜ ʟᴀᴍᴀ ʙᴇʀʟᴀʀɪ ᴅᴀʀɪ ᴛᴀᴋᴅɪʀɴʏᴀ ᴅᴀɴ ᴍᴇʟᴜᴘᴀᴋᴀɴ ᴊᴀᴛɪ ᴅɪʀɪɴʏᴀ.
(ꜱᴇɴʏᴜᴍ ʟᴇʙᴀʀ)
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴛɪᴅᴀᴋ ʙɪꜱᴀ ʙᴇʀʜᴇɴᴛɪ ᴛᴇʀᴛᴀᴡᴀ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top