𝕭𝖆𝖇 48
Rangga telah menunggu Ree berjam-jam lamanya. Sore sudah kian berganti malam. Anggota kru lainnya sudah tertidur, Rangga memastikan hal itu.
Di ruang tamu itu, Rangga menunggu sendiri. Ia membuka balkon yang memperlihatkan bulan sabit. Semilir angin membuat gorden balkon bergerak mengikuti angin dengan gemulai.
Pria itu baru saja meneguk arak untuk kesekian kalinya ketika Ree muncul dari bayangan di balik pintu masuk.
Melihat Rangga, Ree tidak berkata apapun. Ekspresinya bahkan tidak menunjukkan apa-apa. Gadis itu hendak berjalan menuju kamarnya ketika Rangga memanggilnya.
"Ree." Suaranya serak dan berat.
Pria itu mencoba untuk berdiri tapi alkohol membuatnya terhuyung. Kakinya menabrak meja di depan kursinya.
Ree langsung berjalan ke arahnya. Ia hendak mengambil tembikar berisi arak di depan Rangga dan menjauhkannya dari pria itu.
"Berapa banyak yang kau minum?" Ree berusaha mengambil gelas dari tangan Rangga tapi pria itu menghindar. Satu tangan Rangga menangkis uluran tangan Ree.
Akhirnya Ree memerhatikan wajah Si Pangeran dengan saksama. Di bawah kedua matanya terlihat guratan hitam. Ia terlihat lesu. Ree langsung tahu ada yang salah.
"Apa yang terjadi?" Ree berusaha meraih bayangan Rangga, membujuknya untuk membisikkan pada Ree apa yang sudah terjadi pada pria itu. Tapi hingga saat ini bayangannya masih membisu.
"Maafkan aku." Rangga meletakkan telapak tangan Ree pada dada bidangnya. "Aku keterlaluan tadi."
Ree mendorong pria itu hingga ia duduk kembali di sofa kemudian berhasil mengambil gelas dari tangan Rangga. Ree meleburkan gelas itu dalam bayangan sehingga Rangga tidak dapat menggapainya kembali. Gadis itu lalu berusaha mengangkat tubuh Rangga, setengah membopongnya menuju kamar.
Menggunakan bantuan bayangan, Ree berhasil membuka pintu kamar Rangga. Ia sedikit melemparkan tubuh Rangga di atas kasur.
Tubuh gadis itu terjatuh di atas tubuh Rangga karena pria itu jauh lebih berat dari padanya. Ketika ia ingin berdiri Rangga menyelipkan satu tangannya melingkari pinggang Ree, mengunci posisi gadis itu.
"Kau masih berbohong padaku," katanya sedih, "Kekuatanmu yang sebenarnya adalah menyerap magis apapun." Bau alkohol menyeruak dari mulut Rangga.
Ree sempat kaget mendengar hal itu dari Rangga. Magis milik Ree yang sebenarnya telah diketahui. Tetapi, Ree tidak begitu khawatir. Karena sebentar lagi ia akan keluar dari koloseum ini.
Ree berusaha membebaskan diri dari Rangga tapi tidak berhasil. Akhirnya ia meraih pergelangan tangan Rangga di punggungnya lalu memelintirnya sehingga Ree akhirnya dapat keluar dari rengkuhan Rangga. Rangga merintih kesakitan.
"Kau mabuk, Ga, tidurlah."
"Apa kau akan menyerap kekuatanku?"
"Dengar," kata Ree kesal, "Aku punya batasanku sendiri. Aku tidak menyerap magis dari semua orang yang kutemui."
Rangga tidak menghiraukan kekesalan di nada Ree. "Tahukah kau bahwa magismu seharusnya milik Putri Pertama?"
Ree mendecak tidak suka mendengar nama itu. Teringat apa yang putri itu lakukan pada Xoltar. Seakan mengetahui pemikiran Ree, pisau legendaris itu mengirimkan vibrasi magis dari sabuk di pinggang Ree. Ree tahu Xoltar ingin menyampaikan bahwa mereka berpikiran sama.
"Tidurlah, Ga," kata Ree kembali.
"Dan Sang Bunda hanya mau mengontrak satu orang sewaktu..." Rangga tidak berhenti berbicara. "Bagaimana kau tahu nama asli Sang Bunda pada awalnya?"
Saat itu juga Ree mengerti apa yang terjadi.
Hanya ada satu orang di turnamen ini yang mengetahui bagaimana cara mengontrak Sang Bunda. Seorang Janya. Bila Rangga mengetahui kemampuan Ree yang asli dan bahwa Ree mengetahui nama asli Sang Bunda... Ree tahu bagaimana Rangga mendapatkan kedua informasi itu.
Rangga telah berbicara pada Rosea.
"Apa yang perempuan itu katakan?"
Mungkin karena Rangga mabuk, pria itu tidak kaget ketika Ree langsung mengetahui mengenai pertemuannya dengan Rosea.
"Ia bilang," lanjut Rangga dengan nada melantur, "Kau harus mati untuk ramalan terjadi."
Ree memejamkan matanya sesaat. Ia langsung teringat ketika Rangga menyatakan bahwa pemberontakannya membutuhkan seorang Janya untuk berhasil.
Gadis itu melangkah mundur. Meski langkahnya sedikit gontai, resolusinya mantap. Ia menutup pintu kamar kemudian mengeluarkan sebuah pisau dari sabuknya. Gadis itu mengulurkan tangannya lalu membalikkan pisau sehingga ganggang pisau itu menghadap Rangga.
"Lakukanlah, kalau begitu." Suara Ree tidak pecah sedikit pun. "Aku tahu kau tidak semabuk itu."
Rangga berkedip. Ia telah ketahuan.
Pria itu duduk di tepi kasur. Matanya menatap Ree lurus. Ia tak menemukan sedikit pun ketakutan atau penyesalan di mata gadis itu.
Bagaimana seorang punya keberanian sebegitu besarnya?
"Satu hal," Ree menarik tangannya yang memegang pisau. "Janjilah padaku kau akan menjaga Andreas dan membawanya ke tempat yang aman. Janjilah dan aku tidak akan melawan."
Sejujurnya, Rangga kagum dengan rasa sayang Ree pada bocah itu. Ia tidak pernah menerima rasa sayang sebegitu besarnya. Ia adalah anak tunggal dan... Ayahnya lebih mencintai kekuatan daripada keluarganya sendiri.
Tapi Andreas? Bocah yang hanya ingin bermain pahlawan...
Rangga iri padanya karena Ree sangat menyayanginya.
Ree mengulurkan gagang pisau itu kembali kepada Rangga. Pria itu akhirnya berdiri. Namun bukannya menerima pisau itu, kedua tangan hangatnya menangkup tangan Ree.
"Bukan aku yang harus kau khawatirkan," katanya lembut.
"Lalu siapa?"
"Pikirkanlah, Ree. Siapa yang terus menerus menolong kita tanpa alasan? Siapa yang mendekatimu di turnamen ini? Kau harus mendekati musuhmu, mengumpulkan kepercayaan mereka untuk mendapatkan informasi. Untuk mengelabui musuhmu. Itu cara terbaik untuk membunuh targetmu, bukan? Siapa yang selama ini melakukan itu?"
Ree tidak perlu berpikir terlalu lama. Jawabannya sudah berada di ujung lidahnya.
Kai.
Kru Penyihir Putih tidak punya alasan untuk membantu pemberontakan Rangga. Mereka selalu mengaku tidak tahu alasan mengapa Penyihir Putih ingin mereka membantu kru Pangeran Pemberontak. Dan Kai, Ia dapat mengetahui kekuatan asli Ree dari... tebakan?
Bagaimana Ree dapat tahu bahwa Kai tidak diberitahu sebelumnya? Bahkan mungkin diberitahu oleh Rosea pula.
Ree rasanya ingin tertawa keras.
Kita memercayai yang ingin kita percayai.
Sebuah ironi.
Cukup lama setelah Ree kembali ke kamarnya, Rangga masih mengamati pisau yang ia ambil dari Ree. Sebuah pisau dengan bentuk huruf T, pisau yang gadis itu pakai ketika pertama kali bertanding di turnamen ini. Sudah tiga minggu yang lalu.
Ia merasa bersalah, merasa seperti pengecut.
"Aku butuh kau untuk menanamkan keraguan pada Ree terhadap Kai," kata Rosea malam it.
"Semua orang dapat melihat dua orang itu memiliki hubungan yang unik. Hal terakhir yang kita inginkan adalah seorang Basma mengganggu rencana kita."
Ia merasa pengecut. Sebagian karena ada rasa senang melihat Ree mulai meragukan Kairav.
Sejujurnya, Rangga merasa cemburu ketika melihat Ree berinteraksi dengan Basma itu. Ia melihat Ree tersenyum pada Kairav. Senyum yang tulus, meski samar.
Rangga tidak pernah melihat gadis itu tersenyum selama hampir sebulan mengenalnya kecuali kepada Bima. Tapi senyuman yang ia berikan pada Kairav terasa berbeda... dan Rangga cemburu.
Ia adalah pengecut, pikirnya dalam hati sebelum tidur mengambil kesadarannya.
Selama beberapa hari berikutnya, Ree tidak lagi menawari Kai untuk sparring dan Kai tidak menawari untuk melatih Ree. Ketika mereka bertemu di ruang latihan, suasana canggung langsung menguasai satu ruangan. Mereka menghindari tatapan satu sama lain dan menyibukkan diri dengan latihan sendiri.
Semua orang dapat melihat telah terjadi sesuatu dalam hubungan mereka. Namun tidak ada yang berani bertanya karena satu pihak adalah seorang Basma dan pihak lain adalah Sang Karma.
Sebagian besar waktu Ree habiskan untuk berlatih sendiri. Bila tidak, ia melatih fisik Bima. Mengajarinya beberapa trik menggunakan pisau dan bertarung. Hal yang baru bagi Ree adalah ia mulai sparring melawan Lex. Belakangan ini secara tiba-tiba pria itu selalu mengajaknya untuk sparring.
"Tanpa magis?" Tanya Lex.
"Tanpa magis."
Ree dan Lex memasuki satu arena. Keduanya memasang ancang-ancang. Lex menyerang terlebih dahulu. Seperti yang Ree duga, Lex memang lincah. Tapi Ree lebih cepat.
Gadis itu sengaja menghindar terus menerus, membuat Lex memojokkannya ke pinggir arena. Ree sudah dapat melihat pola gerakan kaki Lex. Ia memulai setiap pukulan dengan melangkahkan kaki kirinya. Tepat ketika Lex hendak melayangkan pukulan, Ree yang sudah membaca pola kakinya langsung menangkis kemudian dengan cepat memukul leher Lex.
Pria itu terhuyung ke belakang. Ia batuk-batuk. Sambal meringis kesakitan.
"Sial," kutuk Lex, "Bagaimana kau bergerak sangat cepat? Kau menebak pola gerakanku?"
Ree mengangguk.
"Latihan semacam apa yang kau dapatkan di Pasukan Bayangan?"
"Kalau aku tidak cepat, rekanku dapat mati. Kalau aku tidak pintar membaca pola lawan, rekanku dapat mati. Dengan mental seperti itu aku berlatih. Meski..."
Ree tidak melanjutkan perkataannya. Tetapi Lex sudah dapat mengerti.
Ree kembali ke posisi ancang-ancang. Lex mengikuti. Mereka bertarung beberapa ronde dan setiap saat Ree selalu menang menggunakan kecepatannya.
Hingga akhirnya Lex memecahkan pola Ree. Ia kembali ke pola awalnya, membiarkan Ree dapat membacanya dengan terlalu mudah. Ketika Ree menangkis pukulannya, Lex dapat menangkis pukulan Ree. Lalu pria itu menendang kaki Ree sehingga gadis itu terjatuh dengan Lex di atasnya.
Dengan cepat pria itu mengunci tubuh Ree di bawah. Untuk ukuran tenaga, tentu Lex lebih kuat daripada Ree. Gadis itu berusaha menendang, memutar tubuhnya, namun Lex justru semakin menguatkan kuncinya.
"Menyerahlah," desis Lex di antara gigi-giginya.
Kekuatannya mulai melemah. Mengunci posisi seseorang membutuhkan banyak sekali tenaga.
Gadis itu tidak menyerah. Ia masih berusaha memutar tubuhnya untuk keluar dari kunci Lex.
"Menyerahlah," desis Lex dengan lebih jengkel.
Gadis itu tidak menurut.
"Kenapa kau tidak menyerah saja? Apalah arti satu kekalahan, huh?"
Ree akhirnya berhenti menggeliat.
"Kau tidak mengerti... bagaimanapun aku selalu kalah," kata Ree, "Hari di mana aku tidak melawan adalah hari aku mendapatkan tanda kontrak itu."
"Maksudm–"
Ree memutar tubuhnya sekuat tenaga. Lex yang tidak siap, mendapatkan pegangannya melemah sehingga posisi mereka akhirnya bertukar. Ree berada di atas Lex.
Napas mereka terengah-engah. Keringat bercucuran dari wajah dan tubuh mereka.
"Kerja yang bagus," puji Ree. Gadis itu berdiri dan berjalan ke arah tempat minum. Mereka bertukar pasangan habis itu. Ree melawan Danum dan Lex melawan Rangga sementara Bima berusaha membaca beberapa pikiran lawan.
Setelah semua orang tahu Ree adalah Sang Karma, mereka kiat memeriksa bayangan masing-masing, memastikan bayangan itu tidak berubah bentuk. Maka Rangga tidak lagi meminta Ree untuk memata-matai kru lain.
Setelah malam hari tiba, Lex menemukan hanya dirinya, Bima, dan Danum sampai di kediaman. Ree masih ingin berlatih sementara Rangga berkata ia ingin mencari udara segar. Lex tidak merasa ada yang aneh dengan itu.
Esok hari adalah permainan kelima. Bisa saja hari esok adalah hari terakhir untuk salah satu dari mereka. Memikirkan hal itu membuat tatapan Lex menggelap.
Mereka mendapatkan Wiseman sudah menunggu di ruang tamu. "Apakah ada yang bisa saya bawakan atau lakukan sebelum permainan kelima esok hari?"
Lex membuka mulutnya untuk menjawab tapi Wiseman memotongnya, "Selain membeberkan permainan esok." Lex menutup mulutnya kembali.
Bima akhirnya mengatakan mereka sedang tidak butuh apapun. Namun sebelum Wiseman menghilangkan dirinya, Lex mencegahnya.
"Kau sudah ada semenjak pertama kali turnamen ini berdiri, bukan?"
Wiseman mengangguk.
Lex tampak ragu untuk berkata, "di pengalamanmu, pernahkah ada kontraktor yang mendapatkan kontrak bukan karena keinginannya?"
Pelayan koloseum itu tertegun mendengar pertanyaan Lex. Lex sendiri merasa konyol menanyakan hal ini.
Selama ini ia selalu berpikir semua kontraktor melakukan kontrak karena menginginkan kekuatan. Kontrak magis tidak bisa dibuat untuk orang lain. Kau hanya bisa membuat kontrak untuk dirimu sendiri. Dan untuk dirimu melakukan kontrak... pasti karena ada sebagian dari dirimu yang menginginkan untuk mendapatkan kontrak itu, bukan? Itulah pikiran Lex selama bertahun-tahun lamanya.
Karena itulah alasan dirinya melakukan kontrak magis. Untuk menjadi kuat. Untuk memiliki sihir yang dapat melindungi orang-orang yang disayanginya.
Tetapi... melihat sikap enggan Ree setiap kali menggunakan kekuatannya selama sebulan ini dan melihat ekspresi gadis itu di setiap permainan. Lex melihat Ree seperti seorang yang tidak nyaman di kulitnya sendiri. Gadis itu seakan berlari dari dirinya sendiri, berlari dari kekuatannya sendiri.
Itulah yang membuat Lex berpikir ulang. Benarkah semua kontraktor melakukan kontrak semata untuk memenuhi hasrat mereka akan kekuatan?
Seakan mengetahui pergumulan batin yang muncul di benak Lex, Wiseman mulai bercerita.
"Aku pernah melihat budak yang melakukan kontrak karena murni keinginan Tuannya," kata Wiseman. "Aku pernah melihat kontestan yang melakukan kontrak untuk menyelamatkan diri. Tidak perlu jauh-jauh, salah satu kontestan saat ini..."
Semua mata kini tertuju pada Wiseman.
"Kairav Yuvan. Ia menggunakan mayat istrinya sebagai bayaran kontrak untuk menyelamatkan dunia. Ratusan tahun lamanya kejadian itu dan legendanya hidup. Namun semua orang dengan cepat mengira ia mengorbankan istrinya untuk dunia. Mereka salah. Istrinya mengorbankan dirinya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Kairav melakukan yang istrinya inginkan bukan yang dirinya inginkan."
Mata Wiseman menatap Lex dengan lurus. Saat itulah Lex menyadari, ada percikan tidak manusiawi di mata Wiseman. Pandangan pria tua itu terlihat seperti seorang yang sudah memperhatikan dunia ratusan tahun lamanya. Terlihat seperti seorang yang mengetahui semua cerita dari segala penjuru Pallaea.
"Jadi Tuan Alexander, terkadang orang memilih pilihan yang pahit. Dunia tidaklah hitam putih. Mereka yang tidak beruntung, hanya dapat memilih pilihan yang sedikit lebih tidak buruk di antara pilihan-pilihan terburuk yang ada."
Lanjut Wiseman, "Dan terkadang, itulah mengapa ada orang yang sudi membunuh orang lain untuk mendapatkan kontrak. Karena itu... Ya, ada kontraktor yang melakukan kontrak bukan karena kemauannya. Tapi karena dunia ini memaksanya."
Lex tertegun. Ia tidak pernah melihat perspektif lain soal membunuh untuk mendapatkan kontrak.
Berdasarkan pengalamannya, ibunya adalah korban untuk kontraktor yang murni ingin mendapatkan kekuatan. Ia tidak pernah berpikir ada sisi lain. Lebih tepatnya, tidak pernah ingin percaya ada penjelasan lain.
Selama ini ia membenci semua kontraktor yang mengorbankan nyawa... kini ia mempertanyakan apakah amarahnya kepada mereka dapat dibenarkan.
Apakah Ree termasuk pihak yang kurang beruntung itu?
"Bila kau ingin pihak untuk disalahkan, Tuan Alexander, salahkanlah mereka yang menciptakan sistem magis seperti ini." Suara Wiseman seakan bergema di kediaman mereka. Tatapan matanya intens.
"Salahkanlah para dewamu," geram Wiseman sebelum akhirnya menghilang dari hadapan mereka. Tubuhnya pecah menjadi debu-debu magis emas.
Danum bersiul. Perempuan Dijameer itu kaget Wiseman ternyata menyimpan amarah besar terhadap para dewa.
Bima kemudian membuka saluran pikiran mereka.
'Kau bertanya karena Ree, kan?' Tanya Bima.
Lex mengangguk.
ꜱɪᴍᴀᴋ ʟᴀɢᴜ ɪɴɪ, ᴡᴀʜᴀɪ ᴘᴇᴍʙᴀᴄᴀ
"ɴᴏᴡ ɪ... ɪ'ᴍ ᴅɪᴠɪɴɢ ᴅᴇᴇᴘ ɪɴ ʏᴏᴜʀ ᴏᴄᴇᴀɴ
ɪ... ꜱᴇᴇ ᴛʜᴇ ᴡᴀʏ ᴛᴏ ʀᴇᴅᴇᴍᴘᴛɪᴏɴ"
ᴋɪɴɪ ʟᴇx ʏᴀɴɢ ᴘᴇᴍɪᴋɪʀᴀɴɴʏᴀ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ʙᴀᴛᴜ ꜱᴜᴅᴀʜ ᴛᴇʀᴘᴇᴄᴀʜᴋᴀɴ
ᴀᴘᴀᴋᴀʜ ɪᴀ ᴀᴋᴀɴ ᴍᴇʟᴀᴋᴜᴋᴀɴ ʀᴇᴅᴇᴍᴘᴛɪᴏɴ ꜱᴇᴘᴇʀᴛɪ ʏᴀɴɢ ᴅɪɴʏᴀɴʏɪᴋᴀɴ ʟᴀɢᴜ?
ꜱᴀʟᴀᴍ,
ᴘᴀʀᴀ ʙᴀʏᴀɴɢᴀɴ ʏᴀɴɢ ᴛᴀʜᴜ ᴘᴇᴛᴜᴀʟᴀɴɢᴀɴ ɪɴɪ ᴀᴋᴀɴ ʙᴇʀᴀᴋʜɪʀ ᴅᴀʟᴀᴍ ʙᴇʙᴇʀᴀᴘᴀ ʙᴀʙ ʟᴀɢɪ.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top